Sabbiya
Sabhiya (Snp 3.6)
Seorang pertapa yang berkelana bertanya kepada Sang Buddha dan enam guru lain pada zaman itu.
Demikian yang telah saya dengar: suatu ketika Sang Buddha berdiam di Hutan Bambu di dekat tempat pemberian makan tupai di Rajagaha. Pada suatu ketika, ada satu dewa yang mengunjungi kelana suci, Sabhiya. Dalam kehidupan sebelumnya, dewa itu merupakan saudaranya. Pada Sabhiya, dewa itu mengajarkan beberapa pertanyaan yang harus diajukan kepada setiap orang suci yang dijumpainya. ‘Jika ada pendeta atau pertapa yang dapat menjawabnya,’ kata dewa itu, ‘kamu harus mengangkatnya sebagai gurumu dan baktikan dirimu untuk menjalani kehidupan suci bersamanya.’
Maka Sabhiya si kelana menghafalkan pertanyaan-pertanyaan itu dan mulai mencari semua pemimpin spiritual besar pada saat itu, semua guru terkenal yang memiliki kelompok pengikut dan bhikkhunya sendiri. Berturut-turut dia menjumpai Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesa-kambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, dan guru Jain Nataputta (Mahavira), tetapi tak satu pun dari mereka dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Menyadari ketidakmampuannya sendiri, tentu saja mereka marah atau malu dan justru mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada Sabhiya.
‘Lebih baik aku berhenti dan kembali ke kehidupan yang gampang dan penuh kesenangan’ pikir Sabhiya. Namun kemudian muncul sesuatu di pikirannya. Ada orang suci lain bernama Gotama, yang masih muda dan terkenal karena ajaran dan jumlah pengikutnya. Mengapa tidak bertanya kepadanya? ‘Tetapi,’ pikir Sabhiya, ‘dia masih sangat muda dan belum lama menjadi orang suci. Bagaimana mungkin dia memiliki pengetahuan yang lebih banyak daripada guru-guru lain yang lebih tua, yang telah kujumpai?’ Pikiran lain muncul di benak Sabhiya: orang suci harus dihormati karena kekuatan dan keagungannya, bukan karena usianya. Maka akhirnya dia memutuskan untuk pergi menjumpai Gotama, orang suci itu.
Mulailah dia melakukan perjalanannya sampai suatu hari dia tiba di Rajagaha. Di sana, di Hutan Bambu di dekat tempat pemberian makan tupai, dia menemukan Sang Buddha. Setelah menyapa Beliau dengan sopan, dia memberi hormat dan kemudian duduk di satu sisi. Dia berbicara dalam syair pada Sang Guru:
‘Saya telah datang kepadamu,’ kata Sabhiya, ‘dengan penuh kebingungan dan keraguan. Amat besar keinginan saya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Saya mohon Tuan menjawab semuanya dan menjelaskan setiap jawaban kepada saya satu demi satu.’
‘Engkau telah datang dari jauh, Sabhiya,’ kata Sang Buddha. ‘Dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat ingin kau dapatkan jawabannya. Akan kujawab semuanya sekaligus dan akan kujelaskan setiap jawaban kepadamu satu demi satu.’
Tanyakanlah kepadaku apa pun yang kamu inginkan, Sabhiya. Akan kujelaskan sehingga hapus segala kebingunganmu.’Sabhiya berpikir, ‘Luar biasa, sungguh mengherankan. Para pertapa dan brahmana lain bahkan tidak mengizinkan aku mengajukan pertanyaan, tetapi akhirnya pertapa Gotama mengizinkan aku untuk mengajukannya.’ Dia merasa gembira, amat senang dan bersemangat. Maka dia bertanya kepada Sang Buddha.
‘Yang Mulia, apa yang harus dilakukan agar dapat disebut seorang bhikkhu? Apakah artinya menjadi lemah lembut? Apakah artinya mengendalikan diri? Dan apakah artinya menjadi Buddha, menjadi tercerahkan? Saya mohon penjelasan untuk empat hal ini, Yang Mulia.’
Dan inilah yang dikatakan Sang Buddha kepadanya:
‘Sabhiya, seorang bhikkhu adalah orang yang telah menciptakan jalan untuk dirinya sendiri, dan lewat jalan itu dia telah mencapai ketenangan sempurna, dengan mengatasi keraguan. Sesudah memutus ada dan tiada, dia menyempurnakan kehidupan spiritual dan telah menghancurkan tumimbal lahir.
Dia selalu tenang seimbang dan penuh kewaspadaan. Dia tidak menyakiti siapa pun, di mana pun. Seorang pertapa adalah orang yang telah menyeberang [ke Nibbana]. Dia tidak bingung. Dia tidak memiliki jejak kejahatan. Orang semacam inilah yang disebut lemah lembut: Dia telah menyeberangi lautan [Samsara].
Dia yang inderanya telah berkembang berkenaan dengan segenap dunia, baik internal maupun eksternal; dengan pemahaman yang menembus alam ini dan alam lain, dia yang telah berkembang dan terkendali akan menunggu saat kematian dengan tenang-seimbang.
Dia yang telah meneliti dengan cermat seluruh pikiran dan lingkaran keberadaan, yang terdiri dari kelahiran dan kematian, orang yang murni, tanpa noda, tanpa debu, yang telah mencapai hancurnya kelahiran disebut Buddha [yang tercerahkan].’
Sabhiya sangat gembira mendengar kata-kata ini dan melanjutkan serangkaian pertanyaan lain.
‘Apa yang harus dilakukan agar menjadi brahmana? Apakah artinya meninggalkan keduniawian, menjadi orang suci, menjadi samana? Apakah artinya menjadi murni, dan siapa yang dapat disebut pahlawan? Tolong jelaskanlah hal-hal ini kepadaku, Yang Mulia.’
Maka Sang Buddha menjawab:
‘Seorang brahmana adalah orang yang –setelah menghindari semua kejahatan– menjadi tanpa noda, baik, mantap dan tenang. Dengan mengatasi siklus kehidupan dia menjadi sempurna. Dia tidak melekat dan kokoh.
Orang suci adalah orang yang telah menenangkan dirinya, orang yang telah meninggalkan perbuatan jasa yang berpahala atau tidak. Mengetahui dunia ini dan dunia lain, dia tak ternoda dan telah mengatasi kelahiran dan kematian.
Karena telah menghancurkan semua kejahatan yang berhubungan dengan segenap dunia, baik di dalam maupun di luar, dan mengenai manusia dan dewa, dia tidak lagi sibuk dengan buah-buah pikir konseptual. Dia disebut telah murni.
Orang yang hidup di dunia ini tanpa melakukan kesalahan, orang yang telah melepas ikatan semua belenggu dan rantai, orang yang tidak bergantung pada apa pun di mana pun, yang terbebas, disebut pahlawan yang mantap.’
Merasa amat gembira mendapat jawaban-jawaban ini, Sabhiya melanjutkan pertanyaannya:
‘Siapakah yang dianggap pemenang dunia oleh mereka yang sudah tercerahkan? Apakah arti terampil? Apakah arti memiliki pemahaman, dan siapakah orang yang pantas disebut bijaksana? Tolong jelaskanlah hal-hal ini kepada saya.’
Dan Sang Buddha pun menjawab:
‘Engkau menanyakan apa pemenang dunia itu. Ada tiga dunia: dunia manusia, dunia dewa dan dunia makhluk Brahma. Pemenang dunia memeriksa dan memahami ketiga dunia ini. Dia telah mencabut keluar akar dari rantai-rantai yang mengikatnya pada dunia-dunia ini dan dia telah bebas. Inilah keadaan yang disebut pemenang dunia.
Engkau menanyakan apa terampil itu. Ada tiga jenis harta atau simpanan: harta yang disimpan oleh manusia, harta yang disimpan oleh dewa, dan harta yang disimpan oleh makhluk-Brahma. Orang yang terampil memeriksa dan memahami ketiga harta ini. Dia telah mencabut keluar akar ikatan terhadap simpanan-simpanan ini dan dia telah bebas. Inilah keadaan yang disebut terampil.
Orang yang memiliki pemahaman adalah orang yang telah melihat inderanya sendiri. Dia telah memahami bagaimana indera itu bekerja, baik di dalam pikiran maupun di dunia luar. Dia melihat dengan jernih, dia telah melampaui ‘hitam dan putih’ dan telah kokoh.
Dan apakah orang bijaksana? Orang bijaksana mengetahui cara untuk membedakan yang baik dari yang buruk berkenaan dengan dunia di dalam dan di luar. Baik dewa maupun manusia menghormatinya: dia telah memutus semua rantai dan pengikat.’
Merasa amat gembira mendapat jawaban-jawaban ini, Sabhiya melanjutkan rangkaian pertanyaannya:
‘Apakah yang harus dicapai agar dapat menjadi orang yang berpengetahuan? Dengan apakah orang bisa memiliki pandangan terang? Bagaimanakah orang bisa menjadi bersemangat? Dan apakah arti terdidik sempurna? Tolong jelaskanlah hal-hal ini, Yang Mulia.’
Sang Buddha menjawab:
‘Ketika orang telah melihat pengetahuan dan memahami semua hal yang diketahui oleh pendeta dan orang-orang suci, maka semua kerinduan dan keinginan akan sensasi pun lenyap. Setelah melampaui semua pengetahuan, dia menjadi orang yang berpengetahuan.
Dengan memahami obsesi nama-dan-rupa (kepribadian psiko – fisik), akar penyakit –baik internal maupun eksternal– dia terbebas dari ikatan terhadap segala akar penyakit. Karena alasan inilah dia disebut orang yang kokoh, yang memiliki pandangan terang.
Di sini dia bebas dari semua kejahatan dan telah mengatasi kesengsaraan neraka, karena itu dia penuh semangat. Dia rajin, penuh semangat, mantap.
Engkau bertanya tentang manusia yang terdidik sempurna, manusia dengan kelahiran agung: Yang terdidik sempurna mematahkan semua rantai. Ada rantai, tali dan ikatan –baik di dalam maupun di luar. Keagungan berarti mematahkan itu semua. Ini berarti mencabut akar semua itu dan menjadi terbebas. Inilah keadaan yang disebut terdidik sempurna.’
Merasa amat gembira dan penuh suka cita mendapat jawaban jawaban ini, Sabhiya menanyakan serangkaian pertanyaan lagi kepada Sang Buddha:
‘Apa yang harus dilakukan agar bisa menjadi orang terpelajar? Apakah artinya menjadi seorang ariya, orang dengan kelahiran mulia? Apakah orang yang mempunyai tindakan sempurna itu? Dan siapakah yang pantas disebut Kelana? Saya mohon Tuan menjelaskan hal-hal ini kepada saya.’
Sang Buddha mengatakan demikian ini:
‘Setelah mendengarkan semua pandangan, dengan kebijaksanaan dia mengetahui apa yang dicela dan apa yang tanpa cela. Dia telah menang, terbebas dan berada di luar kebingungan dan gangguan. Dia adalah orang yang terpelajar.
Orang bijaksana telah memutus kekotoran batin dan kemelekatan. Dia tidak akan masuk ke rahim mana pun juga. Dia telah terbebas dari tiga dorongan [keserakahan, kebencian dan kebodohan batin] dan dia tidak masuk ke lumpur pikiran konseptual. Dia disebut manusia dengan kelahiran agung.
Karena orang yang memiliki tindakan yang sempurna telah hidup dan bertindak secara benar, dengan terampil dia menangkap Hal-hal Sebagaimana Adanya. Dia tidak memiliki kemelekatan di mana pun; dia telah bebas, dia tidak memiliki kebencian [di dalam dirinya]: inilah tindakan yang sempurna.
Dan engkau bertanya tentang seorang Kelana. Bilamana engkau mengerti tindakan mana yang menyakitkan dan bilamana engkau meninggalkan tindakan-tindakan itu dan tidak berada dalam tindakan-tindakan itu, atau di atasnya atau di bawahnya atau di luarnya atau di antaranya atau di mana pun juga di dekat tindakan-tindakan itu, maka engkau adalah seorang Kelana. Bilamana engkau berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa pernah kehilangan kekuatan untuk memahami, maka engkau adalah seorang Kelana. Bilamana engkau menghilangkan kebencian, nafsu keinginan, kegelapan batin dan kesombonganmu, dan bila engkau mengakhiri rasa individualitas psiko-fisikmu, maka engkau telah mencapai sukses, dan dengan demikian engkau adalah seorang Kelana.’
Sabhiya si kelana bergetar hatinya mendengar kata-kata Sang Buddha. Dengan penuh suka cita dan kegembiraan, dia bangkit dari tempat duduknya. Dengan tangan berlipat dan bahu terbuka, dia berkata kepada Sang Buddha dalam syair:
‘Yang Mulia, Yang Bijaksana,’ katanya, ‘Engkau telah menyingkirkan enam puluh tiga opini [tradisional] yang menyebabkan perselisihan, kesimpulan para pertapa yang hanya sekadar adat dan ide spekulatif. Tuan telah meyeberangi banjir dan telah mencapai seberang!
Engkau telah sampai ke titik penderitaan yang paling jauh, dan kemudian melampauinya. Yang Mulia, Engkau adalah Manusia Tak Ternilai. Pada hemat saya, bagi Engkau tidak ada lagi dorongan-dorongan dari dalam. Engkau bersinar dengan pemahaman, memancarkan kebijaksanaan, mengakhiri penderitaan dan membawa saya ke seberang!
Engkau melihat apa yang sedang saya cari, Engkau tahu apa yang saya ragukan, dan Engkau membawa saya ke seberang! Sungguh pencapaian yang luar biasa! Ketinggian yang luar biasa! Yang tertinggi dalam kebijaksanaan. Saya tidak bisa memberikan apa pun kecuali salut, tidak bisa memberikan apa pun kecuali rasa hormat kepada sumber kekuatan yang lemah lembut, saudara matahari!
Engkau telah menjernihkan semua keraguanku dengan penglihatan sempurna-Mu. Jadi inilah kebijaksanaan, inilah Pencerahan Sempurna! Seperti inilah rasanya bila tak ada lagi yang menghalangi jalan.
Semua kekuatiran telah lenyap, gangguan telah terpatahkan. Dan sebagai gantinya, engkau memiliki segala yang tenang, terkendali, kokoh dan tepat.
Ketika Engkau berbicara, para dewa bersuka cita; ketika mereka mendengar-Mu, mereka bergembira. Engkau adalah pahlawan di antara para pahlawan dan sumber kekuatan di antara yang kuat!
Tak ada satu pun yang seperti Engkau di mana pun di dunia ini. Engkaulah makhluk yang terbaik dan termulia! Saya salut kepada-Mu dan saya menghormati-Mu!
Engkau adalah Sang Buddha, Yang Tercerahkan, Master, Guru. Engkau adalah kebijaksanaan yang menaklukkan Mara. Engkau telah mematahkan bias-bias dari dalam, penimbangan dari dalam. Engkau telah menyeberang dan membawa kami, kami semua, bersamamu.
Dengan berakhirnya faktor-faktor tumimbal lahir dan hancurnya dorongan-dorongan, Engkau telah berada di akhir kemelekatan. Engkau adalah singa di hutan belantara, yang tak menakutkan apa pun dan tak takut pada apa pun.
Engkau bagaikan bunga teratai di danau ! Kebaikan dan kejahatan menggelinding darimu, tidak berpengaruh, bagaikan tetes-tetes air menggelinding jatuh dari kelopak bunga teratai. Biarlah saya menghormat kaki seorang penakluk: Saya, Sabhiya si pemuja, menghormat di kaki Gurunya!
Maka Sabhiya si kelana membungkuk dengan hormat di kaki Sang Buddha dan berkata: ‘Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama! Sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama! Sebagaimana orang menegakkan apa yang telah terjungkir balik, atau mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau memberikan sinar penerangan di dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat benda-benda, demikian pula Kebenaran telah dijelaskan oleh Yang Mulia Gotama dengan berbagai cara. Oleh karenanya, saya berlindung pada Beliau, pada Dhamma-Nya dan Sangha-Nya. Saya ingin memasuki kehidupan tanpa-rumah, dan menerima pentahbisan lebih tinggi di dekat Yang Mulia Gotama.’
Kemudian Sabhiya si kelana menerima pentahbisan sebagai Samanera dan menerima pentahbisan lebih tinggi di dekat Sang Buddha.
Di kemudian hari, dengan menjalani kehidupan menyendiri, dengan rajin dan penuh semangat dan dengan kemauan yang mantap, dalam waktu singkat Sabhiya secara harmonis memahami, mengalami dan mencapai kesempurnaan tertinggi dari kehidupan suci di mana putra-putra keluarga yang baik meninggalkan kehidupan berumah-tangga, dan menempuh kehidupan tak-berumah. Tumimbal lahir telah diakhiri; kehidupan yang suci telah dijalani: apa yang harus dilakukan telah dilakukan dan tidak ada lagi yang harus dilakukan di dalam keberadaan dunia ini: Sabhiya si kelana telah menjadi salah satu Arahat.
Demikian yang telah saya dengar: suatu ketika Sang Buddha berdiam di Hutan Bambu di dekat tempat pemberian makan tupai di Rajagaha. Pada suatu ketika, ada satu dewa yang mengunjungi kelana suci, Sabhiya. Dalam kehidupan sebelumnya, dewa itu merupakan saudaranya. Pada Sabhiya, dewa itu mengajarkan beberapa pertanyaan yang harus diajukan kepada setiap orang suci yang dijumpainya. ‘Jika ada pendeta atau pertapa yang dapat menjawabnya,’ kata dewa itu, ‘kamu harus mengangkatnya sebagai gurumu dan baktikan dirimu untuk menjalani kehidupan suci bersamanya.’
Maka Sabhiya si kelana menghafalkan pertanyaan-pertanyaan itu dan mulai mencari semua pemimpin spiritual besar pada saat itu, semua guru terkenal yang memiliki kelompok pengikut dan bhikkhunya sendiri. Berturut-turut dia menjumpai Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesa-kambali, Pakudha Kaccayana, Sanjaya Belatthiputta, dan guru Jain Nataputta (Mahavira), tetapi tak satu pun dari mereka dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Menyadari ketidakmampuannya sendiri, tentu saja mereka marah atau malu dan justru mulai melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada Sabhiya.
‘Lebih baik aku berhenti dan kembali ke kehidupan yang gampang dan penuh kesenangan’ pikir Sabhiya. Namun kemudian muncul sesuatu di pikirannya. Ada orang suci lain bernama Gotama, yang masih muda dan terkenal karena ajaran dan jumlah pengikutnya. Mengapa tidak bertanya kepadanya? ‘Tetapi,’ pikir Sabhiya, ‘dia masih sangat muda dan belum lama menjadi orang suci. Bagaimana mungkin dia memiliki pengetahuan yang lebih banyak daripada guru-guru lain yang lebih tua, yang telah kujumpai?’ Pikiran lain muncul di benak Sabhiya: orang suci harus dihormati karena kekuatan dan keagungannya, bukan karena usianya. Maka akhirnya dia memutuskan untuk pergi menjumpai Gotama, orang suci itu.
Mulailah dia melakukan perjalanannya sampai suatu hari dia tiba di Rajagaha. Di sana, di Hutan Bambu di dekat tempat pemberian makan tupai, dia menemukan Sang Buddha. Setelah menyapa Beliau dengan sopan, dia memberi hormat dan kemudian duduk di satu sisi. Dia berbicara dalam syair pada Sang Guru:
‘Saya telah datang kepadamu,’ kata Sabhiya, ‘dengan penuh kebingungan dan keraguan. Amat besar keinginan saya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Saya mohon Tuan menjawab semuanya dan menjelaskan setiap jawaban kepada saya satu demi satu.’
‘Engkau telah datang dari jauh, Sabhiya,’ kata Sang Buddha. ‘Dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat ingin kau dapatkan jawabannya. Akan kujawab semuanya sekaligus dan akan kujelaskan setiap jawaban kepadamu satu demi satu.’
Tanyakanlah kepadaku apa pun yang kamu inginkan, Sabhiya. Akan kujelaskan sehingga hapus segala kebingunganmu.’Sabhiya berpikir, ‘Luar biasa, sungguh mengherankan. Para pertapa dan brahmana lain bahkan tidak mengizinkan aku mengajukan pertanyaan, tetapi akhirnya pertapa Gotama mengizinkan aku untuk mengajukannya.’ Dia merasa gembira, amat senang dan bersemangat. Maka dia bertanya kepada Sang Buddha.
‘Yang Mulia, apa yang harus dilakukan agar dapat disebut seorang bhikkhu? Apakah artinya menjadi lemah lembut? Apakah artinya mengendalikan diri? Dan apakah artinya menjadi Buddha, menjadi tercerahkan? Saya mohon penjelasan untuk empat hal ini, Yang Mulia.’
Dan inilah yang dikatakan Sang Buddha kepadanya:
‘Sabhiya, seorang bhikkhu adalah orang yang telah menciptakan jalan untuk dirinya sendiri, dan lewat jalan itu dia telah mencapai ketenangan sempurna, dengan mengatasi keraguan. Sesudah memutus ada dan tiada, dia menyempurnakan kehidupan spiritual dan telah menghancurkan tumimbal lahir.
Dia selalu tenang seimbang dan penuh kewaspadaan. Dia tidak menyakiti siapa pun, di mana pun. Seorang pertapa adalah orang yang telah menyeberang [ke Nibbana]. Dia tidak bingung. Dia tidak memiliki jejak kejahatan. Orang semacam inilah yang disebut lemah lembut: Dia telah menyeberangi lautan [Samsara].
Dia yang inderanya telah berkembang berkenaan dengan segenap dunia, baik internal maupun eksternal; dengan pemahaman yang menembus alam ini dan alam lain, dia yang telah berkembang dan terkendali akan menunggu saat kematian dengan tenang-seimbang.
Dia yang telah meneliti dengan cermat seluruh pikiran dan lingkaran keberadaan, yang terdiri dari kelahiran dan kematian, orang yang murni, tanpa noda, tanpa debu, yang telah mencapai hancurnya kelahiran disebut Buddha [yang tercerahkan].’
Sabhiya sangat gembira mendengar kata-kata ini dan melanjutkan serangkaian pertanyaan lain.
‘Apa yang harus dilakukan agar menjadi brahmana? Apakah artinya meninggalkan keduniawian, menjadi orang suci, menjadi samana? Apakah artinya menjadi murni, dan siapa yang dapat disebut pahlawan? Tolong jelaskanlah hal-hal ini kepadaku, Yang Mulia.’
Maka Sang Buddha menjawab:
‘Seorang brahmana adalah orang yang –setelah menghindari semua kejahatan– menjadi tanpa noda, baik, mantap dan tenang. Dengan mengatasi siklus kehidupan dia menjadi sempurna. Dia tidak melekat dan kokoh.
Orang suci adalah orang yang telah menenangkan dirinya, orang yang telah meninggalkan perbuatan jasa yang berpahala atau tidak. Mengetahui dunia ini dan dunia lain, dia tak ternoda dan telah mengatasi kelahiran dan kematian.
Karena telah menghancurkan semua kejahatan yang berhubungan dengan segenap dunia, baik di dalam maupun di luar, dan mengenai manusia dan dewa, dia tidak lagi sibuk dengan buah-buah pikir konseptual. Dia disebut telah murni.
Orang yang hidup di dunia ini tanpa melakukan kesalahan, orang yang telah melepas ikatan semua belenggu dan rantai, orang yang tidak bergantung pada apa pun di mana pun, yang terbebas, disebut pahlawan yang mantap.’
Merasa amat gembira mendapat jawaban-jawaban ini, Sabhiya melanjutkan pertanyaannya:
‘Siapakah yang dianggap pemenang dunia oleh mereka yang sudah tercerahkan? Apakah arti terampil? Apakah arti memiliki pemahaman, dan siapakah orang yang pantas disebut bijaksana? Tolong jelaskanlah hal-hal ini kepada saya.’
Dan Sang Buddha pun menjawab:
‘Engkau menanyakan apa pemenang dunia itu. Ada tiga dunia: dunia manusia, dunia dewa dan dunia makhluk Brahma. Pemenang dunia memeriksa dan memahami ketiga dunia ini. Dia telah mencabut keluar akar dari rantai-rantai yang mengikatnya pada dunia-dunia ini dan dia telah bebas. Inilah keadaan yang disebut pemenang dunia.
Engkau menanyakan apa terampil itu. Ada tiga jenis harta atau simpanan: harta yang disimpan oleh manusia, harta yang disimpan oleh dewa, dan harta yang disimpan oleh makhluk-Brahma. Orang yang terampil memeriksa dan memahami ketiga harta ini. Dia telah mencabut keluar akar ikatan terhadap simpanan-simpanan ini dan dia telah bebas. Inilah keadaan yang disebut terampil.
Orang yang memiliki pemahaman adalah orang yang telah melihat inderanya sendiri. Dia telah memahami bagaimana indera itu bekerja, baik di dalam pikiran maupun di dunia luar. Dia melihat dengan jernih, dia telah melampaui ‘hitam dan putih’ dan telah kokoh.
Dan apakah orang bijaksana? Orang bijaksana mengetahui cara untuk membedakan yang baik dari yang buruk berkenaan dengan dunia di dalam dan di luar. Baik dewa maupun manusia menghormatinya: dia telah memutus semua rantai dan pengikat.’
Merasa amat gembira mendapat jawaban-jawaban ini, Sabhiya melanjutkan rangkaian pertanyaannya:
‘Apakah yang harus dicapai agar dapat menjadi orang yang berpengetahuan? Dengan apakah orang bisa memiliki pandangan terang? Bagaimanakah orang bisa menjadi bersemangat? Dan apakah arti terdidik sempurna? Tolong jelaskanlah hal-hal ini, Yang Mulia.’
Sang Buddha menjawab:
‘Ketika orang telah melihat pengetahuan dan memahami semua hal yang diketahui oleh pendeta dan orang-orang suci, maka semua kerinduan dan keinginan akan sensasi pun lenyap. Setelah melampaui semua pengetahuan, dia menjadi orang yang berpengetahuan.
Dengan memahami obsesi nama-dan-rupa (kepribadian psiko – fisik), akar penyakit –baik internal maupun eksternal– dia terbebas dari ikatan terhadap segala akar penyakit. Karena alasan inilah dia disebut orang yang kokoh, yang memiliki pandangan terang.
Di sini dia bebas dari semua kejahatan dan telah mengatasi kesengsaraan neraka, karena itu dia penuh semangat. Dia rajin, penuh semangat, mantap.
Engkau bertanya tentang manusia yang terdidik sempurna, manusia dengan kelahiran agung: Yang terdidik sempurna mematahkan semua rantai. Ada rantai, tali dan ikatan –baik di dalam maupun di luar. Keagungan berarti mematahkan itu semua. Ini berarti mencabut akar semua itu dan menjadi terbebas. Inilah keadaan yang disebut terdidik sempurna.’
Merasa amat gembira dan penuh suka cita mendapat jawaban jawaban ini, Sabhiya menanyakan serangkaian pertanyaan lagi kepada Sang Buddha:
‘Apa yang harus dilakukan agar bisa menjadi orang terpelajar? Apakah artinya menjadi seorang ariya, orang dengan kelahiran mulia? Apakah orang yang mempunyai tindakan sempurna itu? Dan siapakah yang pantas disebut Kelana? Saya mohon Tuan menjelaskan hal-hal ini kepada saya.’
Sang Buddha mengatakan demikian ini:
‘Setelah mendengarkan semua pandangan, dengan kebijaksanaan dia mengetahui apa yang dicela dan apa yang tanpa cela. Dia telah menang, terbebas dan berada di luar kebingungan dan gangguan. Dia adalah orang yang terpelajar.
Orang bijaksana telah memutus kekotoran batin dan kemelekatan. Dia tidak akan masuk ke rahim mana pun juga. Dia telah terbebas dari tiga dorongan [keserakahan, kebencian dan kebodohan batin] dan dia tidak masuk ke lumpur pikiran konseptual. Dia disebut manusia dengan kelahiran agung.
Karena orang yang memiliki tindakan yang sempurna telah hidup dan bertindak secara benar, dengan terampil dia menangkap Hal-hal Sebagaimana Adanya. Dia tidak memiliki kemelekatan di mana pun; dia telah bebas, dia tidak memiliki kebencian [di dalam dirinya]: inilah tindakan yang sempurna.
Dan engkau bertanya tentang seorang Kelana. Bilamana engkau mengerti tindakan mana yang menyakitkan dan bilamana engkau meninggalkan tindakan-tindakan itu dan tidak berada dalam tindakan-tindakan itu, atau di atasnya atau di bawahnya atau di luarnya atau di antaranya atau di mana pun juga di dekat tindakan-tindakan itu, maka engkau adalah seorang Kelana. Bilamana engkau berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa pernah kehilangan kekuatan untuk memahami, maka engkau adalah seorang Kelana. Bilamana engkau menghilangkan kebencian, nafsu keinginan, kegelapan batin dan kesombonganmu, dan bila engkau mengakhiri rasa individualitas psiko-fisikmu, maka engkau telah mencapai sukses, dan dengan demikian engkau adalah seorang Kelana.’
Sabhiya si kelana bergetar hatinya mendengar kata-kata Sang Buddha. Dengan penuh suka cita dan kegembiraan, dia bangkit dari tempat duduknya. Dengan tangan berlipat dan bahu terbuka, dia berkata kepada Sang Buddha dalam syair:
‘Yang Mulia, Yang Bijaksana,’ katanya, ‘Engkau telah menyingkirkan enam puluh tiga opini [tradisional] yang menyebabkan perselisihan, kesimpulan para pertapa yang hanya sekadar adat dan ide spekulatif. Tuan telah meyeberangi banjir dan telah mencapai seberang!
Engkau telah sampai ke titik penderitaan yang paling jauh, dan kemudian melampauinya. Yang Mulia, Engkau adalah Manusia Tak Ternilai. Pada hemat saya, bagi Engkau tidak ada lagi dorongan-dorongan dari dalam. Engkau bersinar dengan pemahaman, memancarkan kebijaksanaan, mengakhiri penderitaan dan membawa saya ke seberang!
Engkau melihat apa yang sedang saya cari, Engkau tahu apa yang saya ragukan, dan Engkau membawa saya ke seberang! Sungguh pencapaian yang luar biasa! Ketinggian yang luar biasa! Yang tertinggi dalam kebijaksanaan. Saya tidak bisa memberikan apa pun kecuali salut, tidak bisa memberikan apa pun kecuali rasa hormat kepada sumber kekuatan yang lemah lembut, saudara matahari!
Engkau telah menjernihkan semua keraguanku dengan penglihatan sempurna-Mu. Jadi inilah kebijaksanaan, inilah Pencerahan Sempurna! Seperti inilah rasanya bila tak ada lagi yang menghalangi jalan.
Semua kekuatiran telah lenyap, gangguan telah terpatahkan. Dan sebagai gantinya, engkau memiliki segala yang tenang, terkendali, kokoh dan tepat.
Ketika Engkau berbicara, para dewa bersuka cita; ketika mereka mendengar-Mu, mereka bergembira. Engkau adalah pahlawan di antara para pahlawan dan sumber kekuatan di antara yang kuat!
Tak ada satu pun yang seperti Engkau di mana pun di dunia ini. Engkaulah makhluk yang terbaik dan termulia! Saya salut kepada-Mu dan saya menghormati-Mu!
Engkau adalah Sang Buddha, Yang Tercerahkan, Master, Guru. Engkau adalah kebijaksanaan yang menaklukkan Mara. Engkau telah mematahkan bias-bias dari dalam, penimbangan dari dalam. Engkau telah menyeberang dan membawa kami, kami semua, bersamamu.
Dengan berakhirnya faktor-faktor tumimbal lahir dan hancurnya dorongan-dorongan, Engkau telah berada di akhir kemelekatan. Engkau adalah singa di hutan belantara, yang tak menakutkan apa pun dan tak takut pada apa pun.
Engkau bagaikan bunga teratai di danau ! Kebaikan dan kejahatan menggelinding darimu, tidak berpengaruh, bagaikan tetes-tetes air menggelinding jatuh dari kelopak bunga teratai. Biarlah saya menghormat kaki seorang penakluk: Saya, Sabhiya si pemuja, menghormat di kaki Gurunya!
Maka Sabhiya si kelana membungkuk dengan hormat di kaki Sang Buddha dan berkata: ‘Sungguh menakjubkan, Yang Mulia Gotama! Sungguh luar biasa, Yang Mulia Gotama! Sebagaimana orang menegakkan apa yang telah terjungkir balik, atau mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau memberikan sinar penerangan di dalam kegelapan sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat benda-benda, demikian pula Kebenaran telah dijelaskan oleh Yang Mulia Gotama dengan berbagai cara. Oleh karenanya, saya berlindung pada Beliau, pada Dhamma-Nya dan Sangha-Nya. Saya ingin memasuki kehidupan tanpa-rumah, dan menerima pentahbisan lebih tinggi di dekat Yang Mulia Gotama.’
Kemudian Sabhiya si kelana menerima pentahbisan sebagai Samanera dan menerima pentahbisan lebih tinggi di dekat Sang Buddha.
Di kemudian hari, dengan menjalani kehidupan menyendiri, dengan rajin dan penuh semangat dan dengan kemauan yang mantap, dalam waktu singkat Sabhiya secara harmonis memahami, mengalami dan mencapai kesempurnaan tertinggi dari kehidupan suci di mana putra-putra keluarga yang baik meninggalkan kehidupan berumah-tangga, dan menempuh kehidupan tak-berumah. Tumimbal lahir telah diakhiri; kehidupan yang suci telah dijalani: apa yang harus dilakukan telah dilakukan dan tidak ada lagi yang harus dilakukan di dalam keberadaan dunia ini: Sabhiya si kelana telah menjadi salah satu Arahat.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com