Nalaka
Nālaka (Snp 3.11)
Kelahiran Buddha yang akan datang dan penjelasan tentang sifat-sifat pencerahan.
Suatu hari pada saat istirahat siang, pertapa Asita melihat bahwa 30 dewa telah berkumpul. Dipenuhi suka cita sambil memuji-muji Indra, dengan pakaian putih cemerlang mereka melambai-lambaikan jubah dan bendera mereka dengan amat gembira.
Melihat semua kegembiraan ini, dengan penuh hormat Asita bertanya kepada para dewa tentang hal yang sedang mereka rayakan. ‘Mengapa engkau semua amat bahagia dan penuh suka cita? Untuk apa semua lambaian dan kibaran bendera-bendera ini?
Belum pernah kulihat kegembiraan seperti ini, bahkan tidak juga ketika para dewa memenangkan pertempuran melawan para Asura. Apa yang mungkin mereka lihat sekarang? Pasti ada sesuatu yang luar biasa yang menyebabkan segala suka cita ini.
Mereka menyanyi dan bersorak-sorai, memainkan musik, menari-nari, bertepuk dan melambai-lambai — beritahukanlah mengapa, hai semua makhluk dari puncak Gunung Meru! Jawablah pertanyaanku, agar pikiranku tenang!’
‘Di suatu desa bernama Lumbini, di negeri Sakya,’ jawab para dewa, ‘seorang bodhisatta telah dilahirkan! Seorang makhluk yang akan menjadi Buddha telah dilahirkan, makhluk agung tanpa banding, mutiara berharga bagi kesejahteraan dan manfaat dunia umat manusia. Itulah sebabnya kami amat gembira, amat bergairah, amat senang.
Dari semua makhluk, inilah yang sempurna, manusia ini adalah yang teratas, yang tertinggi, pahlawan para makhluk! Inilah manusia yang, dari hutan para Guru, akan memutar Roda ajaran — auman singa, Raja para Binatang!
Ketika mendengar berita ini, Asita meninggalkan surga Tusita dan langsung menuju istana Suddhodana, Raja Sakya. Di sana, sesudah duduk, dia berkata kepada rakyat Sakya: ‘Di manakah Putra Mahkota? Saya ingin melihatnya.’
Maka mereka membawa pertapa Asita, yang dijuluki ‘Yang Tak Melekat’, dan menunjukkan Pangeran yang baru lahir. Pangeran itu bersinar, berkilau dan elok rupawan. Indah bagaikan melihat emas cair di tangan pengrajin ulung ketika dia mengeluarkannya dari perapian.
Melihat Pangeran itu bagaikan melihat terang — terangnya nyala api; terangnya konstelasi bintang yang bergerak di langit malam; terangnya dan bersihnya matahari musim gugur yang bersinar pada hari tak berawan. Pemandangan itu membuat sang pertapa dipenuhi suka cita dan dia merasakan kegembiraan yang luar biasa.
Di langit, makhluk-makhluk yang tak terlihat memegangi payung yang dari pusatnya terbentang seribu jeruji. Dewa-dewa lain melambaikan kipas dari ekor yak yang bertangkai emas, dan dewa-dewa ini juga tak tampak.
Si pertapa berambut panjang, ‘Kemegahan yang gelap,’ demikianlah dia dinamakan, memandangi bayi yang terbaring di kain oranye, yang bersinar bagaikan mata uang emas, di bawah pelindung putih yang dibentangkan di atasnya. Dengan kegembiran yang besar, dia menggendong bayi tersebut.
Sekarang singa Sakya berada di dalam gendongan lelaki yang telah menunggunya, manusia yang dapat mengenali semua tanda di tubuhnya — manusia yang dengan amat gembira kemudian mengumandangkan suaranya demikian: ‘Tidak ada sesuatu pun yang dapat dibandingkan dengan manusia ini; inilah yang tertinggi, inilah manusia yang sempurna!’
Pada saat itu pertapa itu ingat bahwa dia akan mati segera — dan dia merasa amat sedih sehingga dia mulai menangis. Orang-orang Sakya bertanya mengapa dia menangis: ‘Apakah Pangeran berada dalam bahaya?’ tanya mereka.
Untuk menenangkan mereka dari kecemasan, pertapa itu menjelaskan kepada mereka mengapa dia merasa sedih. ‘Tidak,’ katanya, ‘tidak akan ada bahaya maupun ancaman bagi kehidupan Pangeran, sejauh yang dapat saya lihat. Sebenarnya, baginya tidak akan ada rintangan apa pun sama sekali. Tidak mungkin ada; Dia bukannya makhluk biasa. [Dengarkan dengan cermat:]
Pangeran ini akan datang untuk terpenuhinya Pencerahan Sempurna; pangeran dengan pandangan yang sangat murni ini akan mulai memutar roda Kebenaran karena welas asihnya bagi kesejahteraan banyak makhluk. Kehidupan religius akan terbabarkan sepenuhnya.
Tetapi bagiku, terbersit sedikit kesedihan dan penderitaan di sini. Karena saya tidak akan hidup lama lagi, dan semasa hidup manusia ini saya akan mati. Jadi saya tidak akan dapat melihat manusia dengan kekuatan yang tak tertandingi ini mengajarkan hal-hal sebagaimana adanya. Itulah satu- satunya alasan saya merasa sedih.
Orang-orang Sakya sangat terharu mendengar apa yang dikatakannya, dan dia meninggalkan mereka, keluar dari ruangan-ruangan di dalam istana dan mulai menjalankan praktek kehidupan yang luhur dan bermoral. Tetapi ketika sedang berjalan keluar, dia mulai berpikir tentang kemenakannya, Nalaka. Maka dengan penuh kasih sayang, pertapa Asita berhenti untuk memberitahu tentang manusia dengan kekuatan yang tak ada bandingnya ini serta ajarannya.
Dia berkata kepada kemenakannya, ‘Suatu hari kamu akan mendengar seseorang berbicara tentang ‘Buddha’. Kamu akan mendengar tentang orang yang telah mencapai pencerahan sempurna karena mengikuti jalan yang benar. Jika kamu mendengar ini, pergi dan carilah semua hal tentang ajarannya — pergi dan hiduplah dengan Guru ini, Master ini, dan ikuti praktek-praktek kehidupan suci.’
Maka Nalaka, karena jasa-jasa perbuatan yang telah dia kumpulkan selama bertahun-tahun lewat tindakan yang baik dan bermanfaat, selalu waspada dan tenang, selalu menjaga keseimbangan inderanya, menanti-nanti munculnya pahlawan penakluk ini.
Pada saatnya berita itu benar-benar datang: Sang Buddha mulai memutar roda ajaran. Mengingat nasehat Asita, Nalaka pun pergi untuk menemui pertapa agung ini. Setelah bertemu, dia bertanya kepada manusia yang memiliki kebijaksanaan itu tentang kebijaksanaan tertinggi:
(‘Akhir dari kalimat-kalimat prolog’)
‘Apa yang dikatakan Asita kepadaku bertahun-tahun yang lalu ternyata benar,’ kata Nalaka. Saya dapat melihatnya sekarang. Engkau Gotama, telah mencapai kesempurnaan dalam semua hal. Sekarang, bolehkah saya mengajukan pertanyaan?
Selama beberapa waktu saya telah hidup sebagai kelana, dan sekarang saya ingin hidup sebagai bhikkhu: Jadi tolonglah jawab pertanyaan ini: Apakah kebijaksanaan tertinggi itu?’
Dan Guru Agung itu menjawab, ‘Akan kujelaskan kepadamu kebijaksanaan, suatu keadaan yang sulit untuk diperoleh dan sulit untuk diterapkan. Maka, waspadalah dan kerahkanlah usaha.
Kembangkan pikiran yang tenang-seimbang. Kamu akan selalu mendapat pujian dan celaan, tetapi jangan biarkan keduanya mempengaruhi ketenangan pikiran: ikutilah ketenangan, di mana tak ada kesombongan.
Bentuk-bentuk apa pun, baik yang tinggi maupun rendah dapat dijumpai, bagaikan lidah api dari kayu yang terbakar. Ada wanita yang menggoda pertapa, tetapi janganlah kamu mengembangkan nafsu terhadap mereka.
Karena terbebas dari paduan indera, tanpa kebencian atau pun kemelekatan terhadap makhluk-makhluk, betapa pun lemah atau kuatnya mereka, dengan membandingkan diri dengan orang lain seperti ini: ‘Sama seperti saya, demikian juga mereka, sama seperti mereka, begitu juga saya,’ tidak seharusnya dia membunuh atau pun menyebabkan orang lain membunuh.
Dorongan sesaat ‘Aku ingin’ dan ‘Aku akan memiliki’ — hilangkan itu! Di sanalah kebanyakan orang terpancang — tanpa itu, kamu dapat menggunakan mata untuk membimbingmu menembus keadaaan penderitaan ini.
Makanlah sedikit saja dan sederhanalah dalam hal makan. Dengan sedikit keinginan dan bebas dari ketamakan, dia tidak terserang penyakit keinginan. Dia berada dalam keadaan tanpa nafsu dan tenang.
[Inilah pola yang diikuti orang bijaksana]. Dia pergi berkeliling mengumpulkan dana untuk makannya, dan kemudian dia pergi ke tepi hutan dan duduk di bawah pohon.
Dia tekun menjalankan praktek meditasi. Dengan keterampilan dalam praktek ini, dia dapat merasakan hal itu sebagai kesenangan. Dia dapat membuat dirinya sendiri gembira, selagi hidup di bawah pohon di tepi hutan, bermeditasi.
Demikianlah dia melewatkan malam, dan di pagi hari dia pergi ke desa. Pikirannya tidak kacau. Dia tidak menjadi bergairah karena pemberian dan undangan yang ditawarkan orang-orang kepadanya di sana.
Setelah dia sampai di desa, dia tidak bergegas dari satu rumah ke rumah lain. Dan ketika dia mengumpulkan makanan, dia tidak membicarakan itu atau memberikan tanda apa pun.
Dia hanya sekadar berkata, ‘Inilah yang diberikan kepadaku: bagus,’ atau ‘Saya belum diberi apa pun: tak apa-apa.’ Dengan sikap seperti ini mengenai pengumpulan makanan, dia dapat kembali ke pohon tanpa terganggu.
Maka dia berkelana berkeliling dengan mangkuknya di tangan. Walaupun tidak bisu, namun dia bagaikan bisu. Dia menerima pemberian walau amat sedikit, dan juga menerima pemberian dari orang kecil, tanpa merendahkan serta tanpa kesombongan.
Bagaimana caranya memahami Nibbana, dengan cepat atau lambat, telah dibabarkan dengan amat jelas oleh pertapa Gotama. [Nibbana] Ini tidak pernah dilihat dua kali; pemahaman mengenai yang di luar duniawi ini dicapai secara bertahap [lewat empat tahap].
Jika orang tidak memiliki nafsu, jika seorang bhikkhu telah mengeringkan sungai dumadi, jika dia telah memutus semua aktivitas tugas dan kewajiban –dia sudah ‘seharusnya’ dan ‘seharusnya tidak’– maka demamnya telah berlalu.
‘Ya,’ kata Guru agung itu, ‘Aku akan menjelaskan keadaan kebijaksanaan kepadamu. Buatlah pikiranmu setajam pisau. Rilekskan lidahmu sehingga ujungnya menempel di langit-langit mulut, dan perutmu tenang serta [nafsu makanmu] terkendali.
Lepaskanlah pikiran yang terbelenggu, keadaan-keadaan yang melibatkan kemelekatan. Jangan menghabiskan banyak waktu berpikir tentang hal-hal yang tidak relevan. Tidak ada kekotoran batin, tidak ada keterikatan, tidak ada ketergantungan: yang ada hanyalah pengabdian untuk praktek kehidupan suci.
Dalam disiplin hidup sendiri, dalam pelayanan pertapa, keheningan kesendirianlah yang merupakan kebijaksanaan. Bila kesendirian menjadi sumber kegembiraan,
Maka itu akan bersinar ke sepuluh arah. Inilah suara meditasi kebijaksanaan bagi mereka yang telah melepaskan kesenangan indera. Jika engkau, sebagai pengikut, mendengar suara ini, maka engkau akan berkembang di dalam keyakinan, kesederhanaan dan kekuatan praktek.
Dengarkanlah suara air. Dengarkanlah suara air yang mengalir melalui jurang dan karang. Aliran kecillah yang membuat suara yang keras; arus yang besar mengalir dengan tenang.
Yang kosong akan bergema, sedangkan yang penuh akan tenang. Ketololan bagaikan pot yang separuh berisi; orang bijaksana adalah danau yang penuh air.
Pertapa dapat berbicara tentang banyak hal dengan akal sehat dan tepat. Dan dia dapat menjelaskan Hal-hal Sebagaimana Adanya dari sudut pandang pengetahuan. Ada banyak hal yang dapat dikatakannya dari sudut pandang itu.
Tetapi jika orang yang memiliki pengetahuan mempertahankan pengendalian dirinya, jika orang yang memiliki pengetahuan tidak banyak bicara, maka telah kau temukan orang bijaksana, di mana keheningan itu cocok dan pantas diperolehnya. Orang seperti ini telah menemukan Keheningan Kebijaksanaan.’
Suatu hari pada saat istirahat siang, pertapa Asita melihat bahwa 30 dewa telah berkumpul. Dipenuhi suka cita sambil memuji-muji Indra, dengan pakaian putih cemerlang mereka melambai-lambaikan jubah dan bendera mereka dengan amat gembira.
Melihat semua kegembiraan ini, dengan penuh hormat Asita bertanya kepada para dewa tentang hal yang sedang mereka rayakan. ‘Mengapa engkau semua amat bahagia dan penuh suka cita? Untuk apa semua lambaian dan kibaran bendera-bendera ini?
Belum pernah kulihat kegembiraan seperti ini, bahkan tidak juga ketika para dewa memenangkan pertempuran melawan para Asura. Apa yang mungkin mereka lihat sekarang? Pasti ada sesuatu yang luar biasa yang menyebabkan segala suka cita ini.
Mereka menyanyi dan bersorak-sorai, memainkan musik, menari-nari, bertepuk dan melambai-lambai — beritahukanlah mengapa, hai semua makhluk dari puncak Gunung Meru! Jawablah pertanyaanku, agar pikiranku tenang!’
‘Di suatu desa bernama Lumbini, di negeri Sakya,’ jawab para dewa, ‘seorang bodhisatta telah dilahirkan! Seorang makhluk yang akan menjadi Buddha telah dilahirkan, makhluk agung tanpa banding, mutiara berharga bagi kesejahteraan dan manfaat dunia umat manusia. Itulah sebabnya kami amat gembira, amat bergairah, amat senang.
Dari semua makhluk, inilah yang sempurna, manusia ini adalah yang teratas, yang tertinggi, pahlawan para makhluk! Inilah manusia yang, dari hutan para Guru, akan memutar Roda ajaran — auman singa, Raja para Binatang!
Ketika mendengar berita ini, Asita meninggalkan surga Tusita dan langsung menuju istana Suddhodana, Raja Sakya. Di sana, sesudah duduk, dia berkata kepada rakyat Sakya: ‘Di manakah Putra Mahkota? Saya ingin melihatnya.’
Maka mereka membawa pertapa Asita, yang dijuluki ‘Yang Tak Melekat’, dan menunjukkan Pangeran yang baru lahir. Pangeran itu bersinar, berkilau dan elok rupawan. Indah bagaikan melihat emas cair di tangan pengrajin ulung ketika dia mengeluarkannya dari perapian.
Melihat Pangeran itu bagaikan melihat terang — terangnya nyala api; terangnya konstelasi bintang yang bergerak di langit malam; terangnya dan bersihnya matahari musim gugur yang bersinar pada hari tak berawan. Pemandangan itu membuat sang pertapa dipenuhi suka cita dan dia merasakan kegembiraan yang luar biasa.
Di langit, makhluk-makhluk yang tak terlihat memegangi payung yang dari pusatnya terbentang seribu jeruji. Dewa-dewa lain melambaikan kipas dari ekor yak yang bertangkai emas, dan dewa-dewa ini juga tak tampak.
Si pertapa berambut panjang, ‘Kemegahan yang gelap,’ demikianlah dia dinamakan, memandangi bayi yang terbaring di kain oranye, yang bersinar bagaikan mata uang emas, di bawah pelindung putih yang dibentangkan di atasnya. Dengan kegembiran yang besar, dia menggendong bayi tersebut.
Sekarang singa Sakya berada di dalam gendongan lelaki yang telah menunggunya, manusia yang dapat mengenali semua tanda di tubuhnya — manusia yang dengan amat gembira kemudian mengumandangkan suaranya demikian: ‘Tidak ada sesuatu pun yang dapat dibandingkan dengan manusia ini; inilah yang tertinggi, inilah manusia yang sempurna!’
Pada saat itu pertapa itu ingat bahwa dia akan mati segera — dan dia merasa amat sedih sehingga dia mulai menangis. Orang-orang Sakya bertanya mengapa dia menangis: ‘Apakah Pangeran berada dalam bahaya?’ tanya mereka.
Untuk menenangkan mereka dari kecemasan, pertapa itu menjelaskan kepada mereka mengapa dia merasa sedih. ‘Tidak,’ katanya, ‘tidak akan ada bahaya maupun ancaman bagi kehidupan Pangeran, sejauh yang dapat saya lihat. Sebenarnya, baginya tidak akan ada rintangan apa pun sama sekali. Tidak mungkin ada; Dia bukannya makhluk biasa. [Dengarkan dengan cermat:]
Pangeran ini akan datang untuk terpenuhinya Pencerahan Sempurna; pangeran dengan pandangan yang sangat murni ini akan mulai memutar roda Kebenaran karena welas asihnya bagi kesejahteraan banyak makhluk. Kehidupan religius akan terbabarkan sepenuhnya.
Tetapi bagiku, terbersit sedikit kesedihan dan penderitaan di sini. Karena saya tidak akan hidup lama lagi, dan semasa hidup manusia ini saya akan mati. Jadi saya tidak akan dapat melihat manusia dengan kekuatan yang tak tertandingi ini mengajarkan hal-hal sebagaimana adanya. Itulah satu- satunya alasan saya merasa sedih.
Orang-orang Sakya sangat terharu mendengar apa yang dikatakannya, dan dia meninggalkan mereka, keluar dari ruangan-ruangan di dalam istana dan mulai menjalankan praktek kehidupan yang luhur dan bermoral. Tetapi ketika sedang berjalan keluar, dia mulai berpikir tentang kemenakannya, Nalaka. Maka dengan penuh kasih sayang, pertapa Asita berhenti untuk memberitahu tentang manusia dengan kekuatan yang tak ada bandingnya ini serta ajarannya.
Dia berkata kepada kemenakannya, ‘Suatu hari kamu akan mendengar seseorang berbicara tentang ‘Buddha’. Kamu akan mendengar tentang orang yang telah mencapai pencerahan sempurna karena mengikuti jalan yang benar. Jika kamu mendengar ini, pergi dan carilah semua hal tentang ajarannya — pergi dan hiduplah dengan Guru ini, Master ini, dan ikuti praktek-praktek kehidupan suci.’
Maka Nalaka, karena jasa-jasa perbuatan yang telah dia kumpulkan selama bertahun-tahun lewat tindakan yang baik dan bermanfaat, selalu waspada dan tenang, selalu menjaga keseimbangan inderanya, menanti-nanti munculnya pahlawan penakluk ini.
Pada saatnya berita itu benar-benar datang: Sang Buddha mulai memutar roda ajaran. Mengingat nasehat Asita, Nalaka pun pergi untuk menemui pertapa agung ini. Setelah bertemu, dia bertanya kepada manusia yang memiliki kebijaksanaan itu tentang kebijaksanaan tertinggi:
(‘Akhir dari kalimat-kalimat prolog’)
‘Apa yang dikatakan Asita kepadaku bertahun-tahun yang lalu ternyata benar,’ kata Nalaka. Saya dapat melihatnya sekarang. Engkau Gotama, telah mencapai kesempurnaan dalam semua hal. Sekarang, bolehkah saya mengajukan pertanyaan?
Selama beberapa waktu saya telah hidup sebagai kelana, dan sekarang saya ingin hidup sebagai bhikkhu: Jadi tolonglah jawab pertanyaan ini: Apakah kebijaksanaan tertinggi itu?’
Dan Guru Agung itu menjawab, ‘Akan kujelaskan kepadamu kebijaksanaan, suatu keadaan yang sulit untuk diperoleh dan sulit untuk diterapkan. Maka, waspadalah dan kerahkanlah usaha.
Kembangkan pikiran yang tenang-seimbang. Kamu akan selalu mendapat pujian dan celaan, tetapi jangan biarkan keduanya mempengaruhi ketenangan pikiran: ikutilah ketenangan, di mana tak ada kesombongan.
Bentuk-bentuk apa pun, baik yang tinggi maupun rendah dapat dijumpai, bagaikan lidah api dari kayu yang terbakar. Ada wanita yang menggoda pertapa, tetapi janganlah kamu mengembangkan nafsu terhadap mereka.
Karena terbebas dari paduan indera, tanpa kebencian atau pun kemelekatan terhadap makhluk-makhluk, betapa pun lemah atau kuatnya mereka, dengan membandingkan diri dengan orang lain seperti ini: ‘Sama seperti saya, demikian juga mereka, sama seperti mereka, begitu juga saya,’ tidak seharusnya dia membunuh atau pun menyebabkan orang lain membunuh.
Dorongan sesaat ‘Aku ingin’ dan ‘Aku akan memiliki’ — hilangkan itu! Di sanalah kebanyakan orang terpancang — tanpa itu, kamu dapat menggunakan mata untuk membimbingmu menembus keadaaan penderitaan ini.
Makanlah sedikit saja dan sederhanalah dalam hal makan. Dengan sedikit keinginan dan bebas dari ketamakan, dia tidak terserang penyakit keinginan. Dia berada dalam keadaan tanpa nafsu dan tenang.
[Inilah pola yang diikuti orang bijaksana]. Dia pergi berkeliling mengumpulkan dana untuk makannya, dan kemudian dia pergi ke tepi hutan dan duduk di bawah pohon.
Dia tekun menjalankan praktek meditasi. Dengan keterampilan dalam praktek ini, dia dapat merasakan hal itu sebagai kesenangan. Dia dapat membuat dirinya sendiri gembira, selagi hidup di bawah pohon di tepi hutan, bermeditasi.
Demikianlah dia melewatkan malam, dan di pagi hari dia pergi ke desa. Pikirannya tidak kacau. Dia tidak menjadi bergairah karena pemberian dan undangan yang ditawarkan orang-orang kepadanya di sana.
Setelah dia sampai di desa, dia tidak bergegas dari satu rumah ke rumah lain. Dan ketika dia mengumpulkan makanan, dia tidak membicarakan itu atau memberikan tanda apa pun.
Dia hanya sekadar berkata, ‘Inilah yang diberikan kepadaku: bagus,’ atau ‘Saya belum diberi apa pun: tak apa-apa.’ Dengan sikap seperti ini mengenai pengumpulan makanan, dia dapat kembali ke pohon tanpa terganggu.
Maka dia berkelana berkeliling dengan mangkuknya di tangan. Walaupun tidak bisu, namun dia bagaikan bisu. Dia menerima pemberian walau amat sedikit, dan juga menerima pemberian dari orang kecil, tanpa merendahkan serta tanpa kesombongan.
Bagaimana caranya memahami Nibbana, dengan cepat atau lambat, telah dibabarkan dengan amat jelas oleh pertapa Gotama. [Nibbana] Ini tidak pernah dilihat dua kali; pemahaman mengenai yang di luar duniawi ini dicapai secara bertahap [lewat empat tahap].
Jika orang tidak memiliki nafsu, jika seorang bhikkhu telah mengeringkan sungai dumadi, jika dia telah memutus semua aktivitas tugas dan kewajiban –dia sudah ‘seharusnya’ dan ‘seharusnya tidak’– maka demamnya telah berlalu.
‘Ya,’ kata Guru agung itu, ‘Aku akan menjelaskan keadaan kebijaksanaan kepadamu. Buatlah pikiranmu setajam pisau. Rilekskan lidahmu sehingga ujungnya menempel di langit-langit mulut, dan perutmu tenang serta [nafsu makanmu] terkendali.
Lepaskanlah pikiran yang terbelenggu, keadaan-keadaan yang melibatkan kemelekatan. Jangan menghabiskan banyak waktu berpikir tentang hal-hal yang tidak relevan. Tidak ada kekotoran batin, tidak ada keterikatan, tidak ada ketergantungan: yang ada hanyalah pengabdian untuk praktek kehidupan suci.
Dalam disiplin hidup sendiri, dalam pelayanan pertapa, keheningan kesendirianlah yang merupakan kebijaksanaan. Bila kesendirian menjadi sumber kegembiraan,
Maka itu akan bersinar ke sepuluh arah. Inilah suara meditasi kebijaksanaan bagi mereka yang telah melepaskan kesenangan indera. Jika engkau, sebagai pengikut, mendengar suara ini, maka engkau akan berkembang di dalam keyakinan, kesederhanaan dan kekuatan praktek.
Dengarkanlah suara air. Dengarkanlah suara air yang mengalir melalui jurang dan karang. Aliran kecillah yang membuat suara yang keras; arus yang besar mengalir dengan tenang.
Yang kosong akan bergema, sedangkan yang penuh akan tenang. Ketololan bagaikan pot yang separuh berisi; orang bijaksana adalah danau yang penuh air.
Pertapa dapat berbicara tentang banyak hal dengan akal sehat dan tepat. Dan dia dapat menjelaskan Hal-hal Sebagaimana Adanya dari sudut pandang pengetahuan. Ada banyak hal yang dapat dikatakannya dari sudut pandang itu.
Tetapi jika orang yang memiliki pengetahuan mempertahankan pengendalian dirinya, jika orang yang memiliki pengetahuan tidak banyak bicara, maka telah kau temukan orang bijaksana, di mana keheningan itu cocok dan pantas diperolehnya. Orang seperti ini telah menemukan Keheningan Kebijaksanaan.’
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com