Sifat-sifat Seorang Murni

Seseorang bertanya kepada Sang Buddha, ‘Tuan Gotama, saya ingin bertanya tentang manusia sempurna. Ada yang dapat disebut ‘orang yang sudah tenang’ — dapatkah Engkau menjelaskan bagaimana dia melihat segala sesuatu dan bagaimana dia berperilaku?’

‘Orang yang sudah tenang, yang telah memadamkan semua nafsu keinginannya sebelum tubuhnya hancur dan hilang, yang tidak peduli bagaimana hal-hal bermula atau bagaimana hal-hal itu akan berakhir, serta tidak melekat dengan apa yang tejadi di antaranya: orang itu tidak lagi memiliki rasa ‘lebih suka’.

Dia tidak memiliki kemarahan, ketakutan maupun kesombongan. Tak ada sesuatu pun yang mengganggu ketenangannya dan tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyebab untuk penyesalan. Dia adalah manusia bijaksana yang terkendali ucapannya.

Dia tidak merindukan masa depan dan tidak menyesali masa lampau; tidak ada pandangan maupun opini yang memimpinnya. Dia dapat melihat dan tidak melekat pada dunia kesan-indera yang menyesatkan.

Dia tidak menyembunyikan apa pun dan tidak ada sesuatu pun yang dia kukuhi erat-erat. Tanpa ketamakan maupun keirihatian, dia tetap tidak menonjolkan diri; dia tidak merendahkan dan menghina orang lain.

Dia bukanlah manusia yang memikirkan diri sendiri, atau manusia yang kecanduan kenikmatan; dia adalah manusia yang lembut dan waspada, tanpa keyakinan buta; dia tidak menunjukkan kebencian [terhadap apa pun].

Dia bukanlah orang yang bekerja karena menginginkan sesuatu; sekalipun tidak mendapatkan apa-apa sama sekali, dia tetap tidak tergoyahkan; tak ada keserakahan untuk membangun nafsu guna mencicipi kesenangan-kesenangan baru.

Kewaspadaannya membuat dia terus-menerus berada dalam keseimbangan pikiran, di mana kecongkakan tidak mungkin ada. Terhadap dunia di sekitarnya; dia tidak membuat perbandingan sebagai ‘lebih tinggi’, ‘lebih rendah’ atau ‘setara’.

Karena memahami Hal-hal Sebagaimana Adanya, dia terbebas dari ketergantungan dan tidak ada apa pun yang dia andalkan. Baginya tidak ada lagi nafsu keinginan untuk hidup atau tidak hidup.

Inilah yang kusebut manusia yang telah tenang. Yaitu manusia yang tidak mengejar kesenangan, yang tidak memiliki ikatan apa pun, yang telah melampaui tarikan kemelekatan.

Dia adalah manusia tanpa anak, manusia tanpa harta kekayaan, tanpa ladang, tanpa ternak — manusia yang tidak memiliki apa pun di dalam dirinya yang dilekatinya sebagai miliknya, serta tidak ada satu pun di dalam dirinya yang di tolaknya sebagai bukan miliknya.

Dia adalah manusia yang dapat menerima kritik-kritik salah dari orang lain, pandita dan pertapa lain namun tetap tak terganggu dan tak tergoyah oleh kata-kata mereka.

Dia adalah manusia tanpa ketamakan dan tanpa rasa memiliki; dia adalah manusia yang — karena bijaksana-tidak menganggap dirinya ‘lebih tinggi’, ‘lebih rendah’ atau ‘setara’. Dia adalah manusia yang tidak memasuki spekulasi, manusia yang terbebas dari spekulasi.

Dia adalah manusia yang tidak mempunyai apa pun yang dapat disebutnya sebagai miliknya, dan dia tidak menangis karena tidak memiliki apa pun. Dia tenang, karena tidak memegang pandangan-pandangan spekulatif.