KAṬṬHAHĀRI-JĀTAKA
Kaṭṭhahārijātaka (Ja 7)
“Saya adalah putramu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Jetawana, mengenai Vāsabha-Khattiyā, yang terdapat di Buku Kedua belas dari Bhaddasāla-Jātaka28. Menurut cerita secara turun temurun, ia adalah putri dari Mahānāma Sakka dengan seorang pelayan wanita bernama Nāgamuṇḍā; ia kemudian menjadi istri Raja Kosala. Saat ia sedang mengandung putra dari raja, raja yang baru mengetahui tentang asal usulnya yang rendah itu, menurunkan statusnya, demikian pula dengan status putranya, Viḍūḍabha. Ibu dan anak itu tidak pernah keluar dari istana.
Mendengar hal ini, pada subuh pagi hari, dengan diiringi oleh lima ratus orang bhikkhu [134], Sang Guru mengunjungi istana. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan untuk-Nya dan berkata, “Tuan, dimanakah Vāsabha-Khattiyā?”
Raja menceritakan kejadian tersebut kepada Beliau. “Tuan, putri siapakah Vāsabha-Khattiyā?” “Putri dari Mahānāma, Bhante.” “Saat datang dari jauh, menjadi istri siapakah dia?” “Istri saya, Bhante.” “Tuan, ia adalah putri dari seorang raja, menikah dengan seorang raja dan melahirkan anak dari seorang raja. Mengapa putra itu tidak berhak atas kerajaan yang diperoleh dari kekuasaan ayahnya? Di masa lampau, seorang raja yang mendapatkan putra dari wanita pengumpul kayu bakar dari pertalian sesaat29 memberikan kekuasaannya kepada putranya.”
Raja memohon Bhagawan menjelaskan hal tersebut. Kemudian Beliau menceritakan hal yang selama ini tidak diketahuinya dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika di masa lalu, Brahmadatta, Raja Benares, sedang mengunjungi taman peristirahatannya. Ketika menjelajah mencari buah dan bunga, ia bertemu dengan seorang wanita yang sedang memungut kayu sambil bernyanyi dengan gembira di hutan. Karena jatuh cinta pada pandangan pertama, raja menjalin hubungan dengannya. Saat itulah Bodhisatta dikandung. Merasakan penambahan berat badan bagaikan ditekan vajra Dewa Indra, wanita itu menyadari bahwa ia telah mengandung, maka ia pun menyampaikan hal itu kepada raja. Raja memberikan cincin bertera yang dipakainya kepada wanita itu, kemudian mengirimnya pulang dengan mengucapkan, “Jika bayi ini perempuan, gunakan cincin ini untuk biaya perawatannya, namun jika ia laki-laki, bawa cincin beserta anak itu kepadaku.”
Sampai pada saatnya, ia pun melahirkan Bodhisatta. Ketika anak itu sudah bisa berlari dan sedang bermain di taman, ia mendengar suara tangis, “Tidak ‒ ayah telah memukulku!” Mendengar kata-kata itu, Bodhisatta berlari ke tempat ibunya dan menanyakan siapakah ayahnya.
“Kamu adalah putra dari Raja Benares, Anakku.” “Apa yang dapat membuktikan perkataanmu, Bu?” “Saat raja meninggalkanku, ia memberikan cincin bertera ini kepadaku dan berkata, ‘Jika bayi ini perempuan, gunakan cincin ini untuk biaya perawatannya, namun, jika ia laki-laki, bawa cincin beserta anak itu kepadaku’.” “Kalau begitu, mengapa engkau tidak mengantarkanku kepadanya, Bu?”
[135] Melihat anak itu telah bertekad untuk mencari ayahnya, ia membawanya ke gerbang istana dan meminta kedatangan mereka diberitahukan kepada raja. Setelah dipersilakan, ia masuk ke dalam istana, memberi hormat kepada raja dan berkata, “Ini adalah putramu, Paduka.”
Raja telah mengetahui bahwa perkataan itu benar adanya, namun karena berada di hadapan anggota istana lainnya, rasa malu menyebabkan beliau menjawab, “Dia bukan putraku.” “Tetapi ini adalah cincin bertera darimu, Paduka; Paduka tentu dapat mengenalinya.” “Demikian pula dengan cincin bertera itu, bukan berasal dariku.” Wanita itu kemudian berkata, “Paduka, sekarang saya tidak mempunyai bukti atas perkataan saya lagi, saya hanya bisa memohon kebenaran. Apabila Anda benar-benar ayah dari anakku ini, saya berharap ia bisa melayang di udara; jika bukan, ia akan jatuh ke tanah dan meninggal.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia memegang kaki Bodhisatta dan melemparkannya ke udara.
Bodhisatta duduk bersila dan melayang di udara, dengan suara yang merdu, Beliau menyatakan kebenaran kepada ayahnya, dengan mengulangi syair ini: —
Saya adalah putramu, Raja yang berkuasa,
besarkanlah saya, Paduka !
Raja membesarkan semua orang,
terlebih-lebih anaknya sendiri.
Mendengar Bodhisatta mengajarkan kebenaran kepadanya dari udara, raja mengulurkan kedua tangannya dan berseru, “Datanglah padaku, Putraku! Tidak ada orang lain selain saya sendiri yang akan membesarkan dan mengasuhmu.” Seribu tangan terulur untuk menerima Bodhisatta, [136] namun ia tidak turun kepada orang lain melainkan ke pelukan raja dan duduk di pangkuan raja tersebut. Kemudian raja mengangkat anak itu menjadi raja muda, sedangkan ibunya menjadi permaisuri. Setelah raja wafat, ia dinobatkan menjadi raja dengan gelar Raja Kaṭṭhavāhana – pemungut kayu bakar – semasa hidupnya, dan setelah memerintah kerajaannya dengan adil, Beliau meninggal dan terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Uraian Dhamma yang disampaikan kepada Raja Kosala
itu pun berakhir, kedua kisah telah diceritakan pula. Sang Guru kemudian mempertautkan kedua kisah itu, dan memperkenalkan kelahiran tersebut dengan mengatakan, “Mahāmāyā adalah wanita yang menjadi ibu di masa itu, Raja Suddhodana adalah ayah anak tersebut dan Saya sendiri adalah Raja Kaṭṭhavāhana.
[Catatan : Bandingkan dengan Dhammapada, hal.218; Jātaka No.465 dan Buddhaghosha’s Parables karya Rogers. Lihat juga ikhtiar di Ceylon R.A.S.Journal, tahun 1884, untuk menelusuri Jātaka ini kembali pada cerita Dushyanta and Cakuntalā dalam kisah Mahābhārata dan drama Kālidāsa berjudul Lost Ring]
Catatan kaki :
28 No.465.
29 Kata muhuttikāya mempunyai arti harfiah “sesaat” atau dapat diterjemahkan juga menjadi “dengan siapa ia beristri, dalam waktu yang singkat.” Professor Künte (Ceylon R.A.S.Journal, tahun 1884,hal.128) berpendapat kata itu suatu acuan terhadap bentuk pernikahan Muhūrta (mohotura) yang “terdapat di antara Mahratha daripada Brahmana,”, dan dia membandingkan dengan bentuk Gāndharva yang lebih dikenal, yakni : perpaduan (resmi) atas persetujuan bersama, secara mendadak tanpa dimulai dengan ikatan yang resmi sama sekali.
Mendengar hal ini, pada subuh pagi hari, dengan diiringi oleh lima ratus orang bhikkhu [134], Sang Guru mengunjungi istana. Beliau duduk di tempat yang telah disediakan untuk-Nya dan berkata, “Tuan, dimanakah Vāsabha-Khattiyā?”
Raja menceritakan kejadian tersebut kepada Beliau. “Tuan, putri siapakah Vāsabha-Khattiyā?” “Putri dari Mahānāma, Bhante.” “Saat datang dari jauh, menjadi istri siapakah dia?” “Istri saya, Bhante.” “Tuan, ia adalah putri dari seorang raja, menikah dengan seorang raja dan melahirkan anak dari seorang raja. Mengapa putra itu tidak berhak atas kerajaan yang diperoleh dari kekuasaan ayahnya? Di masa lampau, seorang raja yang mendapatkan putra dari wanita pengumpul kayu bakar dari pertalian sesaat29 memberikan kekuasaannya kepada putranya.”
Raja memohon Bhagawan menjelaskan hal tersebut. Kemudian Beliau menceritakan hal yang selama ini tidak diketahuinya dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika di masa lalu, Brahmadatta, Raja Benares, sedang mengunjungi taman peristirahatannya. Ketika menjelajah mencari buah dan bunga, ia bertemu dengan seorang wanita yang sedang memungut kayu sambil bernyanyi dengan gembira di hutan. Karena jatuh cinta pada pandangan pertama, raja menjalin hubungan dengannya. Saat itulah Bodhisatta dikandung. Merasakan penambahan berat badan bagaikan ditekan vajra Dewa Indra, wanita itu menyadari bahwa ia telah mengandung, maka ia pun menyampaikan hal itu kepada raja. Raja memberikan cincin bertera yang dipakainya kepada wanita itu, kemudian mengirimnya pulang dengan mengucapkan, “Jika bayi ini perempuan, gunakan cincin ini untuk biaya perawatannya, namun jika ia laki-laki, bawa cincin beserta anak itu kepadaku.”
Sampai pada saatnya, ia pun melahirkan Bodhisatta. Ketika anak itu sudah bisa berlari dan sedang bermain di taman, ia mendengar suara tangis, “Tidak ‒ ayah telah memukulku!” Mendengar kata-kata itu, Bodhisatta berlari ke tempat ibunya dan menanyakan siapakah ayahnya.
“Kamu adalah putra dari Raja Benares, Anakku.” “Apa yang dapat membuktikan perkataanmu, Bu?” “Saat raja meninggalkanku, ia memberikan cincin bertera ini kepadaku dan berkata, ‘Jika bayi ini perempuan, gunakan cincin ini untuk biaya perawatannya, namun, jika ia laki-laki, bawa cincin beserta anak itu kepadaku’.” “Kalau begitu, mengapa engkau tidak mengantarkanku kepadanya, Bu?”
[135] Melihat anak itu telah bertekad untuk mencari ayahnya, ia membawanya ke gerbang istana dan meminta kedatangan mereka diberitahukan kepada raja. Setelah dipersilakan, ia masuk ke dalam istana, memberi hormat kepada raja dan berkata, “Ini adalah putramu, Paduka.”
Raja telah mengetahui bahwa perkataan itu benar adanya, namun karena berada di hadapan anggota istana lainnya, rasa malu menyebabkan beliau menjawab, “Dia bukan putraku.” “Tetapi ini adalah cincin bertera darimu, Paduka; Paduka tentu dapat mengenalinya.” “Demikian pula dengan cincin bertera itu, bukan berasal dariku.” Wanita itu kemudian berkata, “Paduka, sekarang saya tidak mempunyai bukti atas perkataan saya lagi, saya hanya bisa memohon kebenaran. Apabila Anda benar-benar ayah dari anakku ini, saya berharap ia bisa melayang di udara; jika bukan, ia akan jatuh ke tanah dan meninggal.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia memegang kaki Bodhisatta dan melemparkannya ke udara.
Bodhisatta duduk bersila dan melayang di udara, dengan suara yang merdu, Beliau menyatakan kebenaran kepada ayahnya, dengan mengulangi syair ini: —
Saya adalah putramu, Raja yang berkuasa,
besarkanlah saya, Paduka !
Raja membesarkan semua orang,
terlebih-lebih anaknya sendiri.
Mendengar Bodhisatta mengajarkan kebenaran kepadanya dari udara, raja mengulurkan kedua tangannya dan berseru, “Datanglah padaku, Putraku! Tidak ada orang lain selain saya sendiri yang akan membesarkan dan mengasuhmu.” Seribu tangan terulur untuk menerima Bodhisatta, [136] namun ia tidak turun kepada orang lain melainkan ke pelukan raja dan duduk di pangkuan raja tersebut. Kemudian raja mengangkat anak itu menjadi raja muda, sedangkan ibunya menjadi permaisuri. Setelah raja wafat, ia dinobatkan menjadi raja dengan gelar Raja Kaṭṭhavāhana – pemungut kayu bakar – semasa hidupnya, dan setelah memerintah kerajaannya dengan adil, Beliau meninggal dan terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.
____________________
Uraian Dhamma yang disampaikan kepada Raja Kosala
itu pun berakhir, kedua kisah telah diceritakan pula. Sang Guru kemudian mempertautkan kedua kisah itu, dan memperkenalkan kelahiran tersebut dengan mengatakan, “Mahāmāyā adalah wanita yang menjadi ibu di masa itu, Raja Suddhodana adalah ayah anak tersebut dan Saya sendiri adalah Raja Kaṭṭhavāhana.
[Catatan : Bandingkan dengan Dhammapada, hal.218; Jātaka No.465 dan Buddhaghosha’s Parables karya Rogers. Lihat juga ikhtiar di Ceylon R.A.S.Journal, tahun 1884, untuk menelusuri Jātaka ini kembali pada cerita Dushyanta and Cakuntalā dalam kisah Mahābhārata dan drama Kālidāsa berjudul Lost Ring]
Catatan kaki :
28 No.465.
29 Kata muhuttikāya mempunyai arti harfiah “sesaat” atau dapat diterjemahkan juga menjadi “dengan siapa ia beristri, dalam waktu yang singkat.” Professor Künte (Ceylon R.A.S.Journal, tahun 1884,hal.128) berpendapat kata itu suatu acuan terhadap bentuk pernikahan Muhūrta (mohotura) yang “terdapat di antara Mahratha daripada Brahmana,”, dan dia membandingkan dengan bentuk Gāndharva yang lebih dikenal, yakni : perpaduan (resmi) atas persetujuan bersama, secara mendadak tanpa dimulai dengan ikatan yang resmi sama sekali.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com