MAKHADEVA-JATAKA
Maghadevajātaka (Ja 9)
“Lihatlah, uban,” dan seterusnya. Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru di Jetawana, mengenai pelepasan agung, yang bertalian dengan Nidana-Katha32.
Saat itu para bhikkhu sedang duduk dan memberikan pujian terhadap pelepasan agung Yang Mahabijaksana. Sang Guru masuk ke Balai Kebenaran, duduk di tempat duduk-Nya dan menyapa para bhikkhu: — “Apa yang menjadi topik pembicaraan dalam pertemuan ini, wahai Bhikkhu?”
“Bukan apa-apa, Bhante, hanya memuji pelepasan agung yang telah Bhante lakukan.” “Wahai Bhikkhu,” Beliau berkata kepada para siswa-Nya, “bukan hanya di kelahiran ini saja Tathāgata33 melakukan pelepasan, di masa lampau ia juga meninggalkan keduniawian.”
Para bhikkhu memohon Bhagawan menjelaskan hal tersebut. Buddha kemudian menceritakan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu saat di masa lampau, Kerajaan Videha, di Mithilā, diperintah oleh seorang raja yang bernama Makhādeva. Beliau adalah raja yang taat dan bertindak adil. Di dalam beberapa kelahiran secara berturut-turut selama delapan puluh empat ribu tahun lamanya, ia menikmati hidup sebagai pangeran, mempunyai gelar raja muda, dan memegang kekuasaan sebagai raja. Suatu hari, setelah menjalankan kehidupan ini cukup lama, ia berpesan kepada tukang pangkasnya, — “Teman, jika engkau menemukan uban tumbuh di kepala saya, katakanlah kepada saya.” Suatu hari, bertahun-tahun kemudian, [138] tukang pangkas benar-benar menemukan sehelai uban tumbuh di antara rambut ikalnya yang hitam legam. Maka ia pun menyampaikan hal itu kepada raja. “Cabutlah uban itu, Teman,” kata raja, “dan letakkan di telapak tangan saya.” Tukang pangkas menuruti perintah raja, mencabut uban itu dengan jepitan emas kemudian meletakkan uban itu di telapak tangan raja. Pada saat itu raja masih mempunyai masa hidup selama delapan puluh empat ribu tahun lagi, namun saat memandang uban yang hanya sehelai itu, hatinya dipenuhi emosi yang sangat mendalam. Ia seolah melihat Raja Maut berdiri di sekelilingnya, atau bahkan seolah terperangkap dalam pondok yang terbuat dari dedaunan yang sedang terbakar. “Makhādeva yang dungu!” serunya, “Uban telah tumbuh sebelum engkau membebaskan diri dari kotoran batin.” Ia terus menerus menatap uban itu, ada sesuatu yang berkobar dalam dadanya; seluruh tubuhnya bercucuran peluh, sementara pakaiannya terasa sesak mengimpit dan terasa tidak tertahankan. “Hari ini juga,” ia berpikir, “saya akan meninggalkan keduniawian untuk menjalani hidup sebagai seorang petapa.”
Ia menghadiahkan tukang pangkas itu sebuah desa senilai seratus ribu keping uang. Kemudian meminta anak sulungnya untuk menghadap dan berkata padanya, “Anakku, uban telah tumbuh di kepalaku, saya mulai tua. Saya telah puas menikmati kesenangan duniawi, sekarang sudah saatnya saya mencicipi kesenangan batin; waktu saya untuk melepaskan keduniawian telah tiba. Ambillah takhta kerajaan ini, saya akan menetap di taman peristirahatan di hutan mangga Makhādeva, dan hidup mengasingkan diri di sana.”
Setelah ia memutuskan untuk menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa, para menterinya mendekat dan bertanya, “Paduka, apa alasan Paduka memilih menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa?”
Dengan uban di tangannya, Raja mengulangi syair berikut ini kepada para menterinya: —
Lihatlah, uban yang tumbuh di kepala saya;
inilah pesan bahwa Dewa Maut telah datang
untuk merampas kehidupan saya.
Saat ini, saya berpaling dari hal-hal duniawi,
dengan hidup mengasingkan diri, ditemukanlah
kedamaian yang tersembunyi.
[139] Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia meninggalkan takhta kerajaan dan di hari yang sama ia menjadi seorang petapa. Ia menetap di hutan mangga Makhādeva, menghabiskan waktu delapan puluh empat ribu tahun mengembangkan empat kediaman luhur dalam dirinya dan meninggal dalam keadaan jhana, tanpa terputus. Kemudian ia terlahir kembali di alam brahma. Setelah itu, ia kembali terlahir sebagai seorang raja bernama Nimi, di Kota Mithilā dan setelah menyatukan keluarganya yang tercerai-berai, sekali lagi ia menjadi seorang petapa di hutan mangga yang sama, mengembangkan empat kediaman luhur dan terlahir kembali sekali lagi di alam brahma.
____________________
Setelah mengulangi pernyataan bahwa Beliau juga meninggalkan keduniawian di kelahiran yang lampau, pada akhir uraian, Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Ada bhikkhu yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, beberapa orang bhikkhu mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmī, dan bhikkhu yang lainnya mencapai tingkat kesucian Anagāmi. Setelah menceritakan kedua kisah tersebut, Sang Guru mempertautkan kedua kisah tersebut dan memperkenalkan tentang kelahiran itu dengan menyatakan, “Ānanda merupakan tukang pangkas tersebut, Rāhula merupakan putra sulung raja dan Saya sendiri adalah Raja Makhādeva.”
[Catatan : Lihat Majjhima-Nikāya, Sutta No.83, dengan judul Makhādeva Sutta. Menurut Leon Feer (J.As. tahun 1876, hal.516) naskah Bigandet menyebutnya sebagai Devadūta-Jātaka. Dalam Life or Legend of Gaudama (hal.408) karya Bigandet terdapat satu versi dari kisah Jātaka ini, dimana raja tersebut bernama Minggadewa, dan apa yang dilakukan oleh Raja Nemi (= Nimi pada kisah diatas) dijelaskan secara terperinci. Lihat Mahāvansi karya Upham, Vol.I, hal.14, dan Jātaka tentang ‘Nemy’ dirujuk olehnya sebagai Jātaka ke-544. Lihat juga Cariyā-Pitaka, hal.76 dan Piringan XLVIII (2) Stupa of Bharhut, dimana nama yang terukir adalah Magha-deva, yaitu suatu pengejaan yang dipertahankan dalam naskah Majjhima Sutta berbahasa Burma modern, sumber jelas kisah Jātaka ini dikumpul.]
Catatan kaki :
32 Lihat hal.61, Vol.I dari Fausböll, tentang bagaimana Pangeran Siddharta, yang akan menjadi Buddha, meninggalkan keduniawian dalam mencari kebenaran sejati.
33 Kata yang sering digunakan sebagai gelar dari Buddha ini jauh dari arti yang jelas, tingkat ketidakjelasan itu dipertinggi oleh keterangan yang cukup rumit dari Buddhaghosa di hal.59-68 dari Sumaṅgala-vilāsinī, dimana terdapat delapan terjemahan yang berbeda. Istilah tersebut dapat diartikan sebagai ‘Ia yang menempuh jalan yang telah dilalui oleh Buddha sebelumnya’; namun ada penjelasan lain lagi di hal.82 Vol.XIII dari Sacred Books of the East, dimana diartikan sebagai ‘Ia yang telah tiba disana’ yakni pembebasan.
Saat itu para bhikkhu sedang duduk dan memberikan pujian terhadap pelepasan agung Yang Mahabijaksana. Sang Guru masuk ke Balai Kebenaran, duduk di tempat duduk-Nya dan menyapa para bhikkhu: — “Apa yang menjadi topik pembicaraan dalam pertemuan ini, wahai Bhikkhu?”
“Bukan apa-apa, Bhante, hanya memuji pelepasan agung yang telah Bhante lakukan.” “Wahai Bhikkhu,” Beliau berkata kepada para siswa-Nya, “bukan hanya di kelahiran ini saja Tathāgata33 melakukan pelepasan, di masa lampau ia juga meninggalkan keduniawian.”
Para bhikkhu memohon Bhagawan menjelaskan hal tersebut. Buddha kemudian menceritakan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu saat di masa lampau, Kerajaan Videha, di Mithilā, diperintah oleh seorang raja yang bernama Makhādeva. Beliau adalah raja yang taat dan bertindak adil. Di dalam beberapa kelahiran secara berturut-turut selama delapan puluh empat ribu tahun lamanya, ia menikmati hidup sebagai pangeran, mempunyai gelar raja muda, dan memegang kekuasaan sebagai raja. Suatu hari, setelah menjalankan kehidupan ini cukup lama, ia berpesan kepada tukang pangkasnya, — “Teman, jika engkau menemukan uban tumbuh di kepala saya, katakanlah kepada saya.” Suatu hari, bertahun-tahun kemudian, [138] tukang pangkas benar-benar menemukan sehelai uban tumbuh di antara rambut ikalnya yang hitam legam. Maka ia pun menyampaikan hal itu kepada raja. “Cabutlah uban itu, Teman,” kata raja, “dan letakkan di telapak tangan saya.” Tukang pangkas menuruti perintah raja, mencabut uban itu dengan jepitan emas kemudian meletakkan uban itu di telapak tangan raja. Pada saat itu raja masih mempunyai masa hidup selama delapan puluh empat ribu tahun lagi, namun saat memandang uban yang hanya sehelai itu, hatinya dipenuhi emosi yang sangat mendalam. Ia seolah melihat Raja Maut berdiri di sekelilingnya, atau bahkan seolah terperangkap dalam pondok yang terbuat dari dedaunan yang sedang terbakar. “Makhādeva yang dungu!” serunya, “Uban telah tumbuh sebelum engkau membebaskan diri dari kotoran batin.” Ia terus menerus menatap uban itu, ada sesuatu yang berkobar dalam dadanya; seluruh tubuhnya bercucuran peluh, sementara pakaiannya terasa sesak mengimpit dan terasa tidak tertahankan. “Hari ini juga,” ia berpikir, “saya akan meninggalkan keduniawian untuk menjalani hidup sebagai seorang petapa.”
Ia menghadiahkan tukang pangkas itu sebuah desa senilai seratus ribu keping uang. Kemudian meminta anak sulungnya untuk menghadap dan berkata padanya, “Anakku, uban telah tumbuh di kepalaku, saya mulai tua. Saya telah puas menikmati kesenangan duniawi, sekarang sudah saatnya saya mencicipi kesenangan batin; waktu saya untuk melepaskan keduniawian telah tiba. Ambillah takhta kerajaan ini, saya akan menetap di taman peristirahatan di hutan mangga Makhādeva, dan hidup mengasingkan diri di sana.”
Setelah ia memutuskan untuk menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa, para menterinya mendekat dan bertanya, “Paduka, apa alasan Paduka memilih menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa?”
Dengan uban di tangannya, Raja mengulangi syair berikut ini kepada para menterinya: —
Lihatlah, uban yang tumbuh di kepala saya;
inilah pesan bahwa Dewa Maut telah datang
untuk merampas kehidupan saya.
Saat ini, saya berpaling dari hal-hal duniawi,
dengan hidup mengasingkan diri, ditemukanlah
kedamaian yang tersembunyi.
[139] Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia meninggalkan takhta kerajaan dan di hari yang sama ia menjadi seorang petapa. Ia menetap di hutan mangga Makhādeva, menghabiskan waktu delapan puluh empat ribu tahun mengembangkan empat kediaman luhur dalam dirinya dan meninggal dalam keadaan jhana, tanpa terputus. Kemudian ia terlahir kembali di alam brahma. Setelah itu, ia kembali terlahir sebagai seorang raja bernama Nimi, di Kota Mithilā dan setelah menyatukan keluarganya yang tercerai-berai, sekali lagi ia menjadi seorang petapa di hutan mangga yang sama, mengembangkan empat kediaman luhur dan terlahir kembali sekali lagi di alam brahma.
____________________
Setelah mengulangi pernyataan bahwa Beliau juga meninggalkan keduniawian di kelahiran yang lampau, pada akhir uraian, Beliau membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Ada bhikkhu yang mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, beberapa orang bhikkhu mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmī, dan bhikkhu yang lainnya mencapai tingkat kesucian Anagāmi. Setelah menceritakan kedua kisah tersebut, Sang Guru mempertautkan kedua kisah tersebut dan memperkenalkan tentang kelahiran itu dengan menyatakan, “Ānanda merupakan tukang pangkas tersebut, Rāhula merupakan putra sulung raja dan Saya sendiri adalah Raja Makhādeva.”
[Catatan : Lihat Majjhima-Nikāya, Sutta No.83, dengan judul Makhādeva Sutta. Menurut Leon Feer (J.As. tahun 1876, hal.516) naskah Bigandet menyebutnya sebagai Devadūta-Jātaka. Dalam Life or Legend of Gaudama (hal.408) karya Bigandet terdapat satu versi dari kisah Jātaka ini, dimana raja tersebut bernama Minggadewa, dan apa yang dilakukan oleh Raja Nemi (= Nimi pada kisah diatas) dijelaskan secara terperinci. Lihat Mahāvansi karya Upham, Vol.I, hal.14, dan Jātaka tentang ‘Nemy’ dirujuk olehnya sebagai Jātaka ke-544. Lihat juga Cariyā-Pitaka, hal.76 dan Piringan XLVIII (2) Stupa of Bharhut, dimana nama yang terukir adalah Magha-deva, yaitu suatu pengejaan yang dipertahankan dalam naskah Majjhima Sutta berbahasa Burma modern, sumber jelas kisah Jātaka ini dikumpul.]
Catatan kaki :
32 Lihat hal.61, Vol.I dari Fausböll, tentang bagaimana Pangeran Siddharta, yang akan menjadi Buddha, meninggalkan keduniawian dalam mencari kebenaran sejati.
33 Kata yang sering digunakan sebagai gelar dari Buddha ini jauh dari arti yang jelas, tingkat ketidakjelasan itu dipertinggi oleh keterangan yang cukup rumit dari Buddhaghosa di hal.59-68 dari Sumaṅgala-vilāsinī, dimana terdapat delapan terjemahan yang berbeda. Istilah tersebut dapat diartikan sebagai ‘Ia yang menempuh jalan yang telah dilalui oleh Buddha sebelumnya’; namun ada penjelasan lain lagi di hal.82 Vol.XIII dari Sacred Books of the East, dimana diartikan sebagai ‘Ia yang telah tiba disana’ yakni pembebasan.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com