SUKHAVIHĀRI-JĀTAKA
Sukhavihārijātaka (Ja 10)
[140] “Seseorang yang tidak mengawal,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika Beliau berada di hutan mangga Anūpiya, di dekat Kota Anūpiya, mengenai Thera Bhaddiya (Yang Berbahagia) yang bergabung dalam Sanggha bersama enam bangsawan muda, salah satu diantaranya Upāli34. Thera Bhaddiya, Kimbila, Bhagu dan Upāli mencapai tingkat kesucian Arahat; Thera Ānanda mencapai tingkat kesucian Sotāpanna; Thera Anuruddha memperoleh kemampuan penglihatan dewa; dan Devadatta memperoleh kemampuan memperbanyak diri yang luar biasa. Kisah keenam bangsawan muda itu, hingga kejadian di hutan mangga Anūpiya, bertalian dengan Khandahāla-Jātaka35.
Pada masa kekuasaannya, Yang Mulia Bhaddiya selalu dikawal seakan ia sendiri yang menunjuk dewa pelindungnya. Ia memikirkan kembali rasa khawatir yang dimilikinya pada saat ia berkuasa; ketika berada dalam perlindungan para pengawalnya; bahkan lonjakan yang sering dialaminya pada saat berada di atas singgasana dalam ruangan pribadinya di tempat yang tinggi di dalam istana; dan kemudian ia membandingkannya dengan hilangnya rasa khawatir itu karena saat ini ia adalah seorang Arahat, yang berkelana ke sana kemari, menjelajahi hutan serta gurun. Saat memikirkan hal tersebut, tiba-tiba dengan sepenuh hati ia berujar, “Oh, kebahagiaan! Oh, kebahagiaan!”
Para bhikkhu melaporkan kejadian tersebut kepada Bhagawan dengan mengatakan, “Yang Mulia Bhaddiya mengumumkan kebahagiaan yang telah ia peroleh.”
“Wahai Bhikkhu,” kata Bhagawan, “Ini bukan pertama kalinya Bhaddiya hidup dalam kebahagiaan; kebahagiaan yang diperolehnya sekarang tidak kalah apabila dibandingkan dengan kebahagiaannya di kelahiran yang lampau.”
Para bhikkhu memohon Bhagawan untuk menjelaskan hal tersebut. Bhagawan kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika di masa lalu, saat Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana kaya dari utara. Karena menyadari bahwa keburukan ditimbulkan oleh nafsu keinginan dan berkah mengalir dari pelepasan keduniawian, maka ia pun melepaskan nafsu indriawi, pergi ke Himalaya untuk menjadi seorang petapa dan memperoleh delapan pencapaian. Jumlah pengikutnya dengan cepat meningkat menjadi lima ratus orang petapa. Saat musim hujan, ia meninggalkan Pegunungan Himalaya dan melakukan perjalanan pindapata bersama para pengikutnya, melewati desa dan kota hingga tiba di Benares. Di sana ia menetap di tempat peristirahatan kerajaan bagi pensiunan yang telah disediakan sebagai anugerah dari raja. Setelah menetap selama empat musim hujan, ia menemui raja untuk berpamitan. Namun, raja berkata, “Engkau telah tua, Bhante. Mengapa harus kembali ke Pegunungan Himalaya lagi? Biarkan murid-muridmu saja yang kembali ke sana [141], sementara engkau sendiri berdiam di sini.”
Bodhisatta memercayakan kelima ratus orang pengikutnya di bawah pengawasan murid tertuanya, dengan berkata, “Kembalilah ke Pegunungan Himalaya bersama mereka; saya akan menetap di sini.”
Murid tertua itu sebelumnya adalah seorang raja, namun ia telah melepaskan takhta kerajaannya untuk menjadi seorang bhikkhu; melalui pelaksanaan meditasi berpusat pada konsentrasi, akhirnya ia memperoleh delapan pencapaian. Suatu hari, saat murid tertua itu menetap di Pegunungan Himalaya bersama lima ratus orang petapa, timbul kerinduannya untuk bertemu dengan gurunya. Ia berkata pada rekan-rekannya, “Tinggallah dengan penuh kepuasan di sini; setelah memberi penghormatan kepada guru, saya akan segera kembali.” Maka pergilah ia ke tempat gurunya berada, memberi penghormatan dan menyalaminya dengan penuh kasih. Kemudian ia duduk di bawah di sisi gurunya, di atas sehelai permadani yang telah dibentangkannya.
Kala itu raja tiba, ia datang ke tempat peristirahatan mengunjungi petapa tersebut; setelah memberi hormat, ia duduk di sisi lainnya. Walaupun menyadari kedatangan raja, murid tertua petapa itu tidak bangkit, melainkan tetap duduk di sana, sambil berseru dengan kesungguhan yang penuh kasih, “Oh, kebahagiaan! Oh, kebahagiaan!”
Raja yang merasa tidak senang terhadap murid petapa karena tidak bangkit walaupun menyadari kehadirannya, berkata pada Bodhisatta, “Bhante, petapa ini tentunya telah mengisi penuh perutnya, ia duduk di sana dengan bahagia, berseru dengan penuh keriangan hati.”
“Paduka,” Bodhisatta menanggapi kata-kata itu, “sebelumnya ia adalah seorang raja sepertimu. Ia sedang merenungkan bahwa kebahagiaan yang diperolehnya di hari-hari saat ia masih seorang perumah tangga, hidup di bawah singgasana megah nan agung dengan sejumlah pengawal di kedua sisinya, tidak pernah sebanding dengan kebahagiaan yang ia miliki sekarang ini. Inilah kebahagiaan hidup seorang petapa; kebahagiaan dari pencapaian jhana. Hal inilah yang menyebabkannya menuturkan ungkapan yang sepenuh hati itu.” Lebih lanjut, untuk mengajarkan Dhamma kepada raja, Bodhisatta mengulangi syair berikut ini: —
Ia yang tidak mengawal, juga tidak dikawal, Paduka,
hidup dalam kebahagiaan, terbebas dari keterikatan
nafsu keinginan.
[142] Ditentramkan oleh uraian yang diajarkan padanya, raja memberikan penghormatan kepada petapa tersebut dan kembali ke istananya. Murid tertuanya juga mohon pamit kepada gurunya dan kembali ke Pegunungan Himalaya. Bodhisatta tetap bersemayam di sana, sampai Beliau meninggal dalam keadaan jhana tanpa terputus, dan terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Setelah uraian dan kedua kisah itu berakhir, Beliau kemudian mempertautkan kedua kisah tersebut dan memperkenalkan kelahiran itu dengan mengatakan, “Thera Bhaddiya adalah siswa tertua tersebut dan Saya sendiri adalah guru dari rombongan petapa itu.”
[Catatan : Untuk cerita pembuka, bandingkan dengan Cullavagga,VII.1.5—]
Catatan kaki :
34 Bandingkan dengan Vinaya karya Oldenberg, Vol.II, hal.180-4 (diterjemahkan di hal.232, Vol XX dari Sacred Books of the East), mengenai percakapan enam orang Pangeran suku Sakya dan tukang pangkas yang bernama Upāli.
35 No.534 di daftar Westergaard, belum diedit oleh Fausböll.
Pada masa kekuasaannya, Yang Mulia Bhaddiya selalu dikawal seakan ia sendiri yang menunjuk dewa pelindungnya. Ia memikirkan kembali rasa khawatir yang dimilikinya pada saat ia berkuasa; ketika berada dalam perlindungan para pengawalnya; bahkan lonjakan yang sering dialaminya pada saat berada di atas singgasana dalam ruangan pribadinya di tempat yang tinggi di dalam istana; dan kemudian ia membandingkannya dengan hilangnya rasa khawatir itu karena saat ini ia adalah seorang Arahat, yang berkelana ke sana kemari, menjelajahi hutan serta gurun. Saat memikirkan hal tersebut, tiba-tiba dengan sepenuh hati ia berujar, “Oh, kebahagiaan! Oh, kebahagiaan!”
Para bhikkhu melaporkan kejadian tersebut kepada Bhagawan dengan mengatakan, “Yang Mulia Bhaddiya mengumumkan kebahagiaan yang telah ia peroleh.”
“Wahai Bhikkhu,” kata Bhagawan, “Ini bukan pertama kalinya Bhaddiya hidup dalam kebahagiaan; kebahagiaan yang diperolehnya sekarang tidak kalah apabila dibandingkan dengan kebahagiaannya di kelahiran yang lampau.”
Para bhikkhu memohon Bhagawan untuk menjelaskan hal tersebut. Bhagawan kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali.
____________________
Suatu ketika di masa lalu, saat Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana kaya dari utara. Karena menyadari bahwa keburukan ditimbulkan oleh nafsu keinginan dan berkah mengalir dari pelepasan keduniawian, maka ia pun melepaskan nafsu indriawi, pergi ke Himalaya untuk menjadi seorang petapa dan memperoleh delapan pencapaian. Jumlah pengikutnya dengan cepat meningkat menjadi lima ratus orang petapa. Saat musim hujan, ia meninggalkan Pegunungan Himalaya dan melakukan perjalanan pindapata bersama para pengikutnya, melewati desa dan kota hingga tiba di Benares. Di sana ia menetap di tempat peristirahatan kerajaan bagi pensiunan yang telah disediakan sebagai anugerah dari raja. Setelah menetap selama empat musim hujan, ia menemui raja untuk berpamitan. Namun, raja berkata, “Engkau telah tua, Bhante. Mengapa harus kembali ke Pegunungan Himalaya lagi? Biarkan murid-muridmu saja yang kembali ke sana [141], sementara engkau sendiri berdiam di sini.”
Bodhisatta memercayakan kelima ratus orang pengikutnya di bawah pengawasan murid tertuanya, dengan berkata, “Kembalilah ke Pegunungan Himalaya bersama mereka; saya akan menetap di sini.”
Murid tertua itu sebelumnya adalah seorang raja, namun ia telah melepaskan takhta kerajaannya untuk menjadi seorang bhikkhu; melalui pelaksanaan meditasi berpusat pada konsentrasi, akhirnya ia memperoleh delapan pencapaian. Suatu hari, saat murid tertua itu menetap di Pegunungan Himalaya bersama lima ratus orang petapa, timbul kerinduannya untuk bertemu dengan gurunya. Ia berkata pada rekan-rekannya, “Tinggallah dengan penuh kepuasan di sini; setelah memberi penghormatan kepada guru, saya akan segera kembali.” Maka pergilah ia ke tempat gurunya berada, memberi penghormatan dan menyalaminya dengan penuh kasih. Kemudian ia duduk di bawah di sisi gurunya, di atas sehelai permadani yang telah dibentangkannya.
Kala itu raja tiba, ia datang ke tempat peristirahatan mengunjungi petapa tersebut; setelah memberi hormat, ia duduk di sisi lainnya. Walaupun menyadari kedatangan raja, murid tertua petapa itu tidak bangkit, melainkan tetap duduk di sana, sambil berseru dengan kesungguhan yang penuh kasih, “Oh, kebahagiaan! Oh, kebahagiaan!”
Raja yang merasa tidak senang terhadap murid petapa karena tidak bangkit walaupun menyadari kehadirannya, berkata pada Bodhisatta, “Bhante, petapa ini tentunya telah mengisi penuh perutnya, ia duduk di sana dengan bahagia, berseru dengan penuh keriangan hati.”
“Paduka,” Bodhisatta menanggapi kata-kata itu, “sebelumnya ia adalah seorang raja sepertimu. Ia sedang merenungkan bahwa kebahagiaan yang diperolehnya di hari-hari saat ia masih seorang perumah tangga, hidup di bawah singgasana megah nan agung dengan sejumlah pengawal di kedua sisinya, tidak pernah sebanding dengan kebahagiaan yang ia miliki sekarang ini. Inilah kebahagiaan hidup seorang petapa; kebahagiaan dari pencapaian jhana. Hal inilah yang menyebabkannya menuturkan ungkapan yang sepenuh hati itu.” Lebih lanjut, untuk mengajarkan Dhamma kepada raja, Bodhisatta mengulangi syair berikut ini: —
Ia yang tidak mengawal, juga tidak dikawal, Paduka,
hidup dalam kebahagiaan, terbebas dari keterikatan
nafsu keinginan.
[142] Ditentramkan oleh uraian yang diajarkan padanya, raja memberikan penghormatan kepada petapa tersebut dan kembali ke istananya. Murid tertuanya juga mohon pamit kepada gurunya dan kembali ke Pegunungan Himalaya. Bodhisatta tetap bersemayam di sana, sampai Beliau meninggal dalam keadaan jhana tanpa terputus, dan terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Setelah uraian dan kedua kisah itu berakhir, Beliau kemudian mempertautkan kedua kisah tersebut dan memperkenalkan kelahiran itu dengan mengatakan, “Thera Bhaddiya adalah siswa tertua tersebut dan Saya sendiri adalah guru dari rombongan petapa itu.”
[Catatan : Untuk cerita pembuka, bandingkan dengan Cullavagga,VII.1.5—]
Catatan kaki :
34 Bandingkan dengan Vinaya karya Oldenberg, Vol.II, hal.180-4 (diterjemahkan di hal.232, Vol XX dari Sacred Books of the East), mengenai percakapan enam orang Pangeran suku Sakya dan tukang pangkas yang bernama Upāli.
35 No.534 di daftar Westergaard, belum diedit oleh Fausböll.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com