LAKKHAṆA-JĀTAKA
Lakkhaṇamigajātaka (Ja 11)
“Yang baik dan jujur,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru di Weluwana (Veḷuvana) dekat Rājagaha, mengenai Devadatta. Kisah mengenai Devadatta36 akan saling berhubungan, sampai dengan masa Abhimāra, dalam Khaṇḍahāla-Jātaka 37 ; hingga ia dipecat dari jabatan bendahara dalam Cullahaṃsa-Jātaka 38 ; sampai akhirnya ia ditelan oleh bumi, di Buku Keenam belas, Samudda-vāṇija-jātaka39. Dalam kejadian yang dipertanyakan saat ini, Devadatta, walaupun gagal menanamkan kelima hal yang dipaksakannya itu, berhasil mengembangkan aliran baru dalam Sanggha dan membawa pergi lima ratus orang bhikkhu untuk menetap di Gayāsīsa. Saat para bhikkhu ini telah siap untuk menerima Dhamma, Sang Guru yang mengetahui tentang hal ini, memanggil kedua siswa utamanya 40 dan berkata, “Sāriputta, kelima ratus orang siswamu yang disesatkan oleh ajaran Devadatta dan telah mengikutinya pergi, sekarang siap untuk menerima Dhamma. Pergilah ke sana bersama beberapa orang bhikkhu lainnya, uraikan Dhamma kepada mereka, berikan penerangan kepada mereka yang tersesat tentang jalan untuk mencapai pencerahan dan hasil yang dapat mereka peroleh. Bawa mereka kembali bersamamu.”
Maka pergilah mereka ke sana, membabarkan Dhamma, memberi penjelasan mengenai jalan untuk mencapai pencerahan dan hasil yang dapat mereka capai. Keesokan harinya [143] saat fajar tiba, mereka kembali bersama para bhikkhu ke Weluwana. Sementara Sāriputta berdiri di sana setelah memberikan penghormatan kepada Sang Bhagawan sesudah ia kembali, para bhikkhu membicarakan Thera Sāriputta dengan penuh pujian, “Bhante, keagungan saudara kami ini, sang Panglima Dhamma, benar-benar menyilaukan saat ia kembali bersama lima ratus orang bhikkhu; sebaliknya, Devadatta telah kehilangan semua pengikutnya”
“Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, kejayaan menjadi milik Sāriputta yang kembali bersama para kerabatnya, seperti kejayaannya di kehidupan yang lampau. Jadi, ini juga bukan pertama kalinya Devadatta kehilangan pengikutnya, ia mengalami hal yang sama di kehidupan yang lampau.”
Para bhikku meminta Sang Bhagawan menjelaskan hal tersebut, Beliau kemudian menjelaskan apa yang selama ini tidak diketahui mereka karena kelahiran kembali.
Sekali waktu Rājagaha di Kerajaan Magadha diperintah oleh Raja Magadha, saat itu Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan. Setelah dewasa, ia tinggal di sebuah hutan sebagai pemimpin kawanan rusa yang berjumlah seribu ekor. Ia memiliki dua anak, yang bernama Lakkhaṇa (Keistimewaan) dan Kāḷa (Kegelapan). Setelah tua, ia mengalihkan tugasnya kepada kedua anaknya, menempatkan lima ratus ekor rusa dibawah perlindungan masing-masing anaknya. Sejak saat itu, kedua rusa muda bertanggung jawab untuk melindungi kawanan rusa tersebut.
Masa menjelang panen di Magadha, saat tanaman telah siap untuk dipanen di ladang-ladang, merupakan waktu yang berbahaya bagi kawanan rusa yang tinggal di sekitar tempat itu. Didorong oleh keinginan untuk membunuh semua makhluk yang memakan hasil panen mereka, para petani menggali lubang perangkap, memperbaiki pagar, mempersiapkan jebakan batu, memasang jerat dan jebakan lainnya; akibatnya banyak rusa yang mati terbunuh.
Saat Bodhisatta menandai musim panen telah tiba, ia memanggil kedua putranya dan berkata, “Anak-anakku, ini adalah saat dimana tanaman telah siap untuk dipanen di ladangladang, banyak rusa yang mengalami kematian di saat seperti ini. Kami yang telah tua akan mengadakan giliran untuk tinggal di tempat-tempat tertentu; kalian bawa semua rusa yang ada untuk berlindung di pegunungan dalam hutan itu, dan kembali setelah masa panen selesai.” “Baiklah,” jawab kedua anaknya, dan segera berangkat bersama kawanan rusa mereka, sementara ayah mereka menunggui tempat tersebut.
Manusia yang tinggal di sekitar tempat itu mengetahui dengan baik bahwa saat-saat seperti ini, kawanan rusa akan pergi ke pegunungan dan kembali setelah masa panen selesai. Mereka [144] menunggu sambil berbaring di tempat-tempat yang tersembunyi di sepanjang jalur itu, menembaki dan membunuh rusa-rusa itu. Si bodoh Kāḷa, tidak memperhitungkan kapan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan dan kapan waktu untuk berhenti, memaksa rusa-rusa yang berada di bawah perlindungannya untuk berjalan, siang dan malam, baik pagi maupun malam; saat mendekati perbatasan desa, para petani, baik dengan penyergapan secara tiba-tiba maupun secara terbuka, menghabisi sejumlah rusa yang dipimpinnya. Kebodohannya menyebabkan semua bencana itu, hanya sedikit kawanan rusa yang selamat saat ia tiba di dalam hutan.
Di sisi yang lain, Lakkhaṇa sangat bijaksana, cerdik dan banyak akal, ia tidak pernah berada terlalu dekat dengan batas desa. Ia tidak pernah berjalan di siang hari, bahkan saat pagi maupun malam, ia hanya melakukan perjalanan di tengah malam, sehingga ia berhasil mencapai hutan itu tanpa kehilangan seekor rusa pun.
Mereka tinggal di dalam hutan selama empat bulan, tidak pernah meninggalkan tempat itu sebelum masa panen berakhir. Saat melakukan perjalanan pulang, Kāḷa mengulangi kesalahan yang sama, akhirnya ia kehilangan semua kawanan rusa yang berada di bawah perlindungannya, hanya ia sendiri yang selamat saat tiba kembali di rumah mereka. Sementara Lakkhaṇa yang tidak kehilangan seekor rusa pun dari kawanan yang dipimpinnya, kembali bersama kelima ratus ekor rusa itu, menemui ayah mereka yang telah menunggu kedatangan mereka. Saat melihat kedatangan kedua anaknya, Bodhisatta menyusun syair yang dibacakannya bersama kawanan rusa yang lain: —
Yang baik dan jujur mendapatkan hadiahnya;
Lihatlah Lakkhaṇa yang kembali dengan membawa rombongannya,
sementara Kāḷa membinasakan semua kawanannya.
[145] Dengan syair inilah Bodhisatta menyambut kedatangan kedua anaknya. Setelah hidup dalam waktu yang cukup lama, ia kemudian meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan buah dari perbuatannya.
____________________
Pada akhir uraian ini, Sang Guru mengulangi bahwa kejayaan Sāriputta dan kekalahan Devadatta selalu terjadi bersamaan di kehidupan lampau, Beliau mempertautkan antara kedua kisah itu dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah Kāḷa di masa itu, para pengikutnya adalah pengikut Kāḷa; Sāriputta adalah Lakkhaṇa, para pengikutnya adalah pengikut Buddha, Ibunda Rāhula adalah ibu rusa di masa itu, dan Saya sendiri adalah sang ayah.”
[Catatan : Lihat Dhammapada, hal.146, untuk syair di atas dan untuk melihat kisah pembuka yang sama dari Jātaka ini.]
Catatan kaki :
36 Lihat Cullavagga,VII.1. ‘Lima hal’ mengenai Devadatta di berikan (VIII.3.14) sebagai berikut:— “ Para bhikkhu hidup di hutan sepanjang usia mereka; hanya hidup melalui dana yang terkumpul dari pintu ke pintu; hanya memakai kain kasar yang dipilih dari tumpukan kain jelek; tinggal di bawah pohon bukan di bawah atap dan tidak mengkonsumsi ikan maupun daging.” Kelima hal yang berlaku untuk para petapanya, lebih keras dari pada peraturan Sang Buddha. Dirumuskan oleh Devadatta untuk mengalahkan sepupu yang juga merupakan gurunya.
37 Bandingkan dengan No. 534.
38 No.533.
39 No.466.
40 Kedua siswa utama ini, hanya satu yang namanya disebutkan dalam teks, Sāriputta (yaitu ‘Panglima Dhamma’) dan Moggallāna, dua brahmana yang bersahabat, awalnya mereka adalah pengikut aliran yang berpandangan salah, dimana perubahan agama mereka menjadi agama Buddha berhubungan dengan Mahāvagga,I.23 — Tidak seperti Jātaka ini, catatan di Vinaya (Cullavagga,VII.4) mengenai perpindahan agama itu memberikan nilai lebih kepada Moggallāna.
Maka pergilah mereka ke sana, membabarkan Dhamma, memberi penjelasan mengenai jalan untuk mencapai pencerahan dan hasil yang dapat mereka capai. Keesokan harinya [143] saat fajar tiba, mereka kembali bersama para bhikkhu ke Weluwana. Sementara Sāriputta berdiri di sana setelah memberikan penghormatan kepada Sang Bhagawan sesudah ia kembali, para bhikkhu membicarakan Thera Sāriputta dengan penuh pujian, “Bhante, keagungan saudara kami ini, sang Panglima Dhamma, benar-benar menyilaukan saat ia kembali bersama lima ratus orang bhikkhu; sebaliknya, Devadatta telah kehilangan semua pengikutnya”
“Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, kejayaan menjadi milik Sāriputta yang kembali bersama para kerabatnya, seperti kejayaannya di kehidupan yang lampau. Jadi, ini juga bukan pertama kalinya Devadatta kehilangan pengikutnya, ia mengalami hal yang sama di kehidupan yang lampau.”
Para bhikku meminta Sang Bhagawan menjelaskan hal tersebut, Beliau kemudian menjelaskan apa yang selama ini tidak diketahui mereka karena kelahiran kembali.
Sekali waktu Rājagaha di Kerajaan Magadha diperintah oleh Raja Magadha, saat itu Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa jantan. Setelah dewasa, ia tinggal di sebuah hutan sebagai pemimpin kawanan rusa yang berjumlah seribu ekor. Ia memiliki dua anak, yang bernama Lakkhaṇa (Keistimewaan) dan Kāḷa (Kegelapan). Setelah tua, ia mengalihkan tugasnya kepada kedua anaknya, menempatkan lima ratus ekor rusa dibawah perlindungan masing-masing anaknya. Sejak saat itu, kedua rusa muda bertanggung jawab untuk melindungi kawanan rusa tersebut.
Masa menjelang panen di Magadha, saat tanaman telah siap untuk dipanen di ladang-ladang, merupakan waktu yang berbahaya bagi kawanan rusa yang tinggal di sekitar tempat itu. Didorong oleh keinginan untuk membunuh semua makhluk yang memakan hasil panen mereka, para petani menggali lubang perangkap, memperbaiki pagar, mempersiapkan jebakan batu, memasang jerat dan jebakan lainnya; akibatnya banyak rusa yang mati terbunuh.
Saat Bodhisatta menandai musim panen telah tiba, ia memanggil kedua putranya dan berkata, “Anak-anakku, ini adalah saat dimana tanaman telah siap untuk dipanen di ladangladang, banyak rusa yang mengalami kematian di saat seperti ini. Kami yang telah tua akan mengadakan giliran untuk tinggal di tempat-tempat tertentu; kalian bawa semua rusa yang ada untuk berlindung di pegunungan dalam hutan itu, dan kembali setelah masa panen selesai.” “Baiklah,” jawab kedua anaknya, dan segera berangkat bersama kawanan rusa mereka, sementara ayah mereka menunggui tempat tersebut.
Manusia yang tinggal di sekitar tempat itu mengetahui dengan baik bahwa saat-saat seperti ini, kawanan rusa akan pergi ke pegunungan dan kembali setelah masa panen selesai. Mereka [144] menunggu sambil berbaring di tempat-tempat yang tersembunyi di sepanjang jalur itu, menembaki dan membunuh rusa-rusa itu. Si bodoh Kāḷa, tidak memperhitungkan kapan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan dan kapan waktu untuk berhenti, memaksa rusa-rusa yang berada di bawah perlindungannya untuk berjalan, siang dan malam, baik pagi maupun malam; saat mendekati perbatasan desa, para petani, baik dengan penyergapan secara tiba-tiba maupun secara terbuka, menghabisi sejumlah rusa yang dipimpinnya. Kebodohannya menyebabkan semua bencana itu, hanya sedikit kawanan rusa yang selamat saat ia tiba di dalam hutan.
Di sisi yang lain, Lakkhaṇa sangat bijaksana, cerdik dan banyak akal, ia tidak pernah berada terlalu dekat dengan batas desa. Ia tidak pernah berjalan di siang hari, bahkan saat pagi maupun malam, ia hanya melakukan perjalanan di tengah malam, sehingga ia berhasil mencapai hutan itu tanpa kehilangan seekor rusa pun.
Mereka tinggal di dalam hutan selama empat bulan, tidak pernah meninggalkan tempat itu sebelum masa panen berakhir. Saat melakukan perjalanan pulang, Kāḷa mengulangi kesalahan yang sama, akhirnya ia kehilangan semua kawanan rusa yang berada di bawah perlindungannya, hanya ia sendiri yang selamat saat tiba kembali di rumah mereka. Sementara Lakkhaṇa yang tidak kehilangan seekor rusa pun dari kawanan yang dipimpinnya, kembali bersama kelima ratus ekor rusa itu, menemui ayah mereka yang telah menunggu kedatangan mereka. Saat melihat kedatangan kedua anaknya, Bodhisatta menyusun syair yang dibacakannya bersama kawanan rusa yang lain: —
Yang baik dan jujur mendapatkan hadiahnya;
Lihatlah Lakkhaṇa yang kembali dengan membawa rombongannya,
sementara Kāḷa membinasakan semua kawanannya.
[145] Dengan syair inilah Bodhisatta menyambut kedatangan kedua anaknya. Setelah hidup dalam waktu yang cukup lama, ia kemudian meninggal dan terlahir kembali sesuai dengan buah dari perbuatannya.
____________________
Pada akhir uraian ini, Sang Guru mengulangi bahwa kejayaan Sāriputta dan kekalahan Devadatta selalu terjadi bersamaan di kehidupan lampau, Beliau mempertautkan antara kedua kisah itu dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah Kāḷa di masa itu, para pengikutnya adalah pengikut Kāḷa; Sāriputta adalah Lakkhaṇa, para pengikutnya adalah pengikut Buddha, Ibunda Rāhula adalah ibu rusa di masa itu, dan Saya sendiri adalah sang ayah.”
[Catatan : Lihat Dhammapada, hal.146, untuk syair di atas dan untuk melihat kisah pembuka yang sama dari Jātaka ini.]
Catatan kaki :
36 Lihat Cullavagga,VII.1. ‘Lima hal’ mengenai Devadatta di berikan (VIII.3.14) sebagai berikut:— “ Para bhikkhu hidup di hutan sepanjang usia mereka; hanya hidup melalui dana yang terkumpul dari pintu ke pintu; hanya memakai kain kasar yang dipilih dari tumpukan kain jelek; tinggal di bawah pohon bukan di bawah atap dan tidak mengkonsumsi ikan maupun daging.” Kelima hal yang berlaku untuk para petapanya, lebih keras dari pada peraturan Sang Buddha. Dirumuskan oleh Devadatta untuk mengalahkan sepupu yang juga merupakan gurunya.
37 Bandingkan dengan No. 534.
38 No.533.
39 No.466.
40 Kedua siswa utama ini, hanya satu yang namanya disebutkan dalam teks, Sāriputta (yaitu ‘Panglima Dhamma’) dan Moggallāna, dua brahmana yang bersahabat, awalnya mereka adalah pengikut aliran yang berpandangan salah, dimana perubahan agama mereka menjadi agama Buddha berhubungan dengan Mahāvagga,I.23 — Tidak seperti Jātaka ini, catatan di Vinaya (Cullavagga,VII.4) mengenai perpindahan agama itu memberikan nilai lebih kepada Moggallāna.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com