MACCHA-JATAKA
Macchajātaka (Ja 34)
“Bukanlah rasa dingin,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang godaan nafsu terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya dalam kehidupan berumah tangga. Dalam kesempatan ini, Sang Guru berkata, “Benarkah apa yang saya dengar, bahwa engkau menyesal?”
“Benar, Bhagawan.”
“Karena siapa?”
“Mantan istri saya dalam kehidupan berumah tangga, begitu lembut terasa sewaktu disentuh; saya tidak dapat melepaskannya!” Sang Guru kemudian berkata, “Bhikkhu, wanita itu akan melukaimu. Karena dialah, di kehidupan yang lampau engkau hampir menemui ajalmu, namun diselamatkan oleh Saya.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir menjadi pendeta kerajaannya. Pada masa itu, beberapa orang nelayan melempar jala ke sungai. Seekor ikan besar yang sedang bercumbu dengan pasangannya mendekati jala itu. Ikan betina yang merasakan adanya jala ketika berenang di depan suaminya, segera menghindari jala itu dan lolos. Sementara suaminya yang dibutakan oleh nafsu, berenang tepat ke dalam jala. Begitu para nelayan merasakan ada ikan yang masuk ke dalam jala, mereka menarik jala tersebut dan mengeluarkan ikan itu; mereka tidak langsung membunuhnya, namun melemparkannya ke pasir dalam keadaan hidup. [211] “Kita akan memasaknya dalam bara api untuk dijadikan santapan kita,” kata mereka. Karena itu mereka menyiapkan perapian dan mengerat kayu agar dapat memanggangnya. Ikan itu meratap, berkata pada dirinya sendiri, “Bukan siksaan bara api atau penderitaan karena dipanggang atau rasa sakit lainnya yang membuat aku sedih, melainkan pikiran bahwa istriku akan sedih mengira aku pergi dengan ikan betina lainnya.” Dan ia pun mengulangi syair berikut ini :
Bukanlah rasa dingin, rasa panas maupun lilitan jala;
Hanya rasa takut terhadap apa yang akan dipikirkan oleh istriku yang tercinta,
bahwa kekasih yang lain telah memikat pergi suaminya.
Di saat yang sama, pendeta kerajaan itu pergi ke pinggir sungai bersama pelayannya untuk mandi. Pendeta ini mempunyai kemampuan memahami bahasa hewan. Oleh karenanya, saat mendengar ratapan ikan itu, ia berpikir sendiri, “Ikan ini sedang meratap karena hasratnya. Jika ia mati dalam keadaan pikiran yang tidak sehat seperti ini, ia pasti akan terlahir di alam neraka. Saya akan menyelamatkannya.” Maka ia mendatangi para nelayan itu, dan berkata, “Hai, maukah kalian memberikan satu ikan setiap hari untuk dijadikan kari bagi kami?” “Apa katamu ini, Tuan?” jawab mereka, “Ambil saja ikan yang Anda mau.” “Kami hanya membutuhkan ikan yang satu ini; berikanlah ia pada kami.” “Ikan itu adalah milikmu, Tuan.”
Memegang ikan itu dengan kedua tangannya, Bodhisatta duduk di pinggir sungai dan berkata, “Teman, jika engkau tidak terlihat olehku hari ini, engkau telah menerima ajalmu. Di masa yang akan datang, janganlah menjadi budak nafsu lagi.” Dengan nasihat tersebut, ia melepaskan ikan itu ke dalam air, sementara ia sendiri kembali ke kota.
____________________
[212] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru membabarkan Dhamma kepada mereka. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang (tadinya) menyesal tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru juga mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Mantan istri itu adalah ikan betina tersebut, dan Saya sendiri adalah pendeta kerajaan.”
[Catatan : Bandingkan dengan Jātaka No.216 dan No.297]
“Benar, Bhagawan.”
“Karena siapa?”
“Mantan istri saya dalam kehidupan berumah tangga, begitu lembut terasa sewaktu disentuh; saya tidak dapat melepaskannya!” Sang Guru kemudian berkata, “Bhikkhu, wanita itu akan melukaimu. Karena dialah, di kehidupan yang lampau engkau hampir menemui ajalmu, namun diselamatkan oleh Saya.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir menjadi pendeta kerajaannya. Pada masa itu, beberapa orang nelayan melempar jala ke sungai. Seekor ikan besar yang sedang bercumbu dengan pasangannya mendekati jala itu. Ikan betina yang merasakan adanya jala ketika berenang di depan suaminya, segera menghindari jala itu dan lolos. Sementara suaminya yang dibutakan oleh nafsu, berenang tepat ke dalam jala. Begitu para nelayan merasakan ada ikan yang masuk ke dalam jala, mereka menarik jala tersebut dan mengeluarkan ikan itu; mereka tidak langsung membunuhnya, namun melemparkannya ke pasir dalam keadaan hidup. [211] “Kita akan memasaknya dalam bara api untuk dijadikan santapan kita,” kata mereka. Karena itu mereka menyiapkan perapian dan mengerat kayu agar dapat memanggangnya. Ikan itu meratap, berkata pada dirinya sendiri, “Bukan siksaan bara api atau penderitaan karena dipanggang atau rasa sakit lainnya yang membuat aku sedih, melainkan pikiran bahwa istriku akan sedih mengira aku pergi dengan ikan betina lainnya.” Dan ia pun mengulangi syair berikut ini :
Bukanlah rasa dingin, rasa panas maupun lilitan jala;
Hanya rasa takut terhadap apa yang akan dipikirkan oleh istriku yang tercinta,
bahwa kekasih yang lain telah memikat pergi suaminya.
Di saat yang sama, pendeta kerajaan itu pergi ke pinggir sungai bersama pelayannya untuk mandi. Pendeta ini mempunyai kemampuan memahami bahasa hewan. Oleh karenanya, saat mendengar ratapan ikan itu, ia berpikir sendiri, “Ikan ini sedang meratap karena hasratnya. Jika ia mati dalam keadaan pikiran yang tidak sehat seperti ini, ia pasti akan terlahir di alam neraka. Saya akan menyelamatkannya.” Maka ia mendatangi para nelayan itu, dan berkata, “Hai, maukah kalian memberikan satu ikan setiap hari untuk dijadikan kari bagi kami?” “Apa katamu ini, Tuan?” jawab mereka, “Ambil saja ikan yang Anda mau.” “Kami hanya membutuhkan ikan yang satu ini; berikanlah ia pada kami.” “Ikan itu adalah milikmu, Tuan.”
Memegang ikan itu dengan kedua tangannya, Bodhisatta duduk di pinggir sungai dan berkata, “Teman, jika engkau tidak terlihat olehku hari ini, engkau telah menerima ajalmu. Di masa yang akan datang, janganlah menjadi budak nafsu lagi.” Dengan nasihat tersebut, ia melepaskan ikan itu ke dalam air, sementara ia sendiri kembali ke kota.
____________________
[212] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru membabarkan Dhamma kepada mereka. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang (tadinya) menyesal tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru juga mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Mantan istri itu adalah ikan betina tersebut, dan Saya sendiri adalah pendeta kerajaan.”
[Catatan : Bandingkan dengan Jātaka No.216 dan No.297]
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com