BAKA-JATAKA
Bakajātaka (Ja 38)
“Tipu muslihat tidak akan membawa keuntungan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang menjahit jubah.
Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, di Jetawana hiduplah seorang bhikkhu yang sangat ahli dalam melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan jubah, seperti menggunting, menyatukan, mengubah dan menjahit. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia selalu membuat jubah dan mendapat julukan ‘Pembuat Jubah’. Apa, Anda tentu bertanya, yang dilakukannya? – Baiklah, ia menggunakan keahliannya pada potongan kain usang, mengubahnya menjadi jubah yang bagus dan halus, dimana saat pencelupan dilakukan, ia akan memperjelas warna kain dengan cara merendam kain dalam pewarna makanan, menyikatnya dengan sejenis kulit, sehingga terlihat bagus dan menarik. Setelah itu, hasil karyanya akan diletakkan di samping.
Bhikkhu yang tidak memiliki kemampuan menjahit, mendatanginya dengan membawa kain-kain yang masih baru dan berkata, “Kami tidak tahu bagaimana cara membuat jubah, buatkanlah untuk kami.”
“Awuso,” jawabnya, “pembuatan jubah memerlukan waktu yang cukup lama, namun ada satu jubah yang baru saya selesaikan. Engkau dapat memilikinya jika mau meninggalkan kain-kain ini untukku.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengeluarkan jubah itu dan menunjukkannya pada mereka. Para bhikkhu yang hanya mengetahui bahwa warna jubah itu sangat bagus, tidak mengetahui jubah itu terbuat dari kain yang bagaimana, mengira jubah itu cukup kuat, bersedia memberikan kain baru mereka untuk ‘Pembuat Jubah’ itu dan pergi membawa jubah yang diserahkannya. Ketika jubah itu telah kotor dan dicuci dengan menggunakan air panas, bentuk aslinya akan muncul, terdapat tambalan di sana sini. Pemiliknya akan menyesali pertukaran yang telah mereka lakukan. Bhikkhu itu terkenal di mana-mana karena memperdayai semua orang yang menemuinya dengan cara seperti itu.
Di sebuah desa kecil, terdapat seseorang yang juga memperdayai orang-orang dengan cara yang sama seperti apa yang dilakukan oleh bhikkhu dari Jetawana tersebut. [221] Teman bhikkhu desa tersebut berkata, “Bhante, kata orang, di Jetawana juga terdapat seorang pembuat jubah yang memperdayai semua orang seperti yang engkau lakukan.” Sebuah ide terlintas di pikirannya, “Akan menarik untuk memperdayai bhikkhu kota itu!” Maka ia mengambil potonganpotongan kain usang dan mengubahnya menjadi sepotong jubah yang sangat bagus, mencelupnya dengan warna jingga yang sangat menarik. Ia memakai jubah tersebut dan pergi ke Jetawana. Saat bhikkhu penipu dari kota melihatnya, ia menginginkan jubah tersebut, maka ia berkata kepada pemilik jubah itu, “Bhante, apakah jubah ini dibuat sendiri olehmu?” “Benar, Saya sendiri yang membu-atnya,” jawabnya. “Biarkan saya memilikinya, Bhante, Anda bisa mengenakan jubah lain sebagai gantinya.” “Namun, Awuso, kami bhikkhu desa, sulit memenuhi ketentuan-ketentuan pembuatan jubah; jika saya memberikan jubah ini kepadamu, apa yang akan saya kenakan?” “Bhante, di tempat tinggalku ada beberapa potong kain yang masih baru; ambillah kain-kain itu dan buatlah sepotong jubah baru.” “Awuso, jubah ini menunjukkan ketrampilan tanganku. Namun, jika engkau berkeras, apa yang dapat saya lakukan? Ambillah jubah ini.” Setelah memperdayai bhikkhu penipu dari kota itu, menukar jubah dari kain usang dengan kain yang masih baru, sang bhikkhu desa segera pergi dari tempat tersebut.
Setelah jubah usang itu dipakai oleh bhikkhu dari Jetawana itu, ia mencucinya dengan menggunakan air hangat. Saat itu ia baru mengetahui bahwa jubah itu terbuat dari potongan kain usang; ia merasa dipermalukan. Semua bhikkhu mendengar kabar bahwa bhikkhu penipu dari Jetawana telah diperdayai oleh seorang pembuat jubah dari desa.
Suatu hari, saat para bhikkhu sedang duduk di Balai Kebenaran, membicarakan kejadian tersebut, Sang Guru memasuki balai tersebut dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka kemudian menceritakan kejadian itu kepada Beliau. Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan kejadian satu-satunya dimana pembuat jubah dari Jetawana memperdayai (orang lain) dengan menggunakan tipu muslihat, tetapi di kehidupan yang lampau ia juga melakukan hal yang sama; Sekarang ia diperdayai oleh seorang bhikkhu dari desa, sama seperti yang ia alami di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Dahulu kala, Bodhisatta terlahir di sebuah hutan yang angker sebagai dewa pohon dari sebatang pohon yang tumbuh dekat sebuah kolam teratai. Saat itu, setiap kali musim panas tiba, air kolam mengering sehingga yang tersisa hanya sebuah kolam kecil yang dipenuhi oleh sejumlah ikan. Melihat ikan-ikan tersebut, seekor bangau berkata kepada dirinya, “Saya harus menemukan cara untuk membujuk dan menyantap ikan-ikan ini.” Maka ia duduk dan berpikir keras di pinggir kolam tersebut.
Saat ikan-ikan melihat keberadaan bangau tersebut, mereka berkata, “Apa yang sedang Anda pikirkan, Tuan, dengan duduk termenung di sana?” “Saya sedang memikirkan kalian,” jawabnya. “Apa yang Anda pikirkan tentang kami, Tuan?” “Air di kolam akan semakin kering, makanan semakin sedikit dan kondisi semakin panas, saya berpikir sendiri, saat duduk di sini, apa yang akan kalian lakukan dengan berada di sini?” “Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” “Baik, jika kalian mau mendengarkan nasihatku, [222] saya akan membawa kalian satu per satu dengan menggunakan paruh saya, memindahkan kalian semua ke sebuah kolam besar yang dipenuhi oleh lima jenis teratai, dan meninggalkan kalian di sana.” “Tuanku,” kata ikan-ikan itu, “tidak ada bangau yang memikirkan kesejahteraan ikan-ikan, walaupun sedikit, sejak dunia ini mulai terbentuk. Engkau hanya ingin memangsa kami satu per satu.” “Tidak, saya tidak akan menyan-tap kalian jika kalian memercayaiku,” kata bangau tersebut. “Jika kalian tidak percaya ada kolam seperti apa yang saya katakan, kirimkan seekor ikan untuk ikut denganku dan melihat sendiri keberadaan kolam itu.” Percaya pada ucapan bangau itu, ikanikan itu menyerahkan seekor ikan besar kepada bangau (sebelah mata ikan ini buta), yang menurut mereka cocok dengan bangau tersebut baik saat berada di air maupun di darat. Mereka berkata, “Bawalah ikan ini bersamamu.”
Bangau membawa ikan tersebut pergi dan menurunkan ikan tersebut di kolam besar yang dikatakannya; setelah menunjukkan keseluruhan tempat itu kepada ikan tersebut, bangau membawanya kembali dan menurunkannya di kolam lama tempat teman-temannya berada. Ikan itu membicarakan keindahan kolam baru itu kepada teman-temannya.
Mendengar hal tersebut, timbullah keinginan mereka untuk pergi ke sana. Mereka berkata kepada bangau itu, “Baiklah, Tuan, tolong bawa kami menyeberang.”
Pertama-tama, bangau membawa ikan besar bermata satu itu dan membawanya ke tepi kolam, sehingga ia bisa melihat kolam tersebut, namun sebenarnya ia hinggap di pohonvaraṇa81 yang tumbuh di pinggir sungai. Ia melemparkan ikan tersebut ke cabang pohon dan mematuknya hingga mati, — setelah itu, ia mencungkil bersih dagingnya dan membiarkan tulang ikan tersebut jatuh di kaki pohon. Kemudian ia kembali lagi ke kolam itu dan berkata, “Saya telah membawanya masuk ke dalam kolam. Siapa berikutnya?” Dengan cara itulah ia membawa ikan itu satu per satu, dan melahap mereka semua hingga saat terakhir ia kembali, tidak ada satu ikan pun yang terlihat olehnya. Namun masih ada seekor kepiting di kolam itu. Bangau yang berniat menyantap kepiting itu berkata, “Tuan Kepiting, saya telah memindahkan semua ikan ke sebuah kolam besar yang permukaannya dipenuhi oleh bunga teratai. Ikutlah bersama saya; Saya akan membawamu ke sana.” “Bagaimana caramu membawa saya menyeberang?” tanya kepiting itu. “Tentu saja dengan paruhku,” jawab bangau. “Ah, dengan cara seperti itu saya bisa terjatuh,” kata kepiting, “saya tidak akan pergi bersamamu.” “Jangan takut, saya akan memegangmu eraterat di sepanjang perjalanan.” Kepiting itu berpikir, “Ia tidaklah memindahkan ikan-ikan itu ke dalam kolam. Akan tetapi, jika ia benar-benar membawa saya ke sana, itu adalah keberuntunganku. Jika ia tidak melakukannya, — yah, saya akan menggigit kepalanya hingga putus dan membunuhnya.” Ia berkata seperti ini kepada bangau tersebut, “Kamu tidak akan bisa memegangku dengan erat, Teman, karena kami, bangsa kepiting, dikaruniai dengan cangkang yang kerasnya sangat mencengangkan. [223] Jika saya bisa memegang lehermu dengan capit saya, saya bisa memegangmu dengan erat dan bisa pergi bersamamu.”
Tidak menduga kalau kepiting itu akan menjebaknya, bangau menyetujui hal itu. Dengan capitnya, kepiting itu menjepit leher bangau seperti jepitan seorang tukang besi, dan berkata, “Sekarang, kamu bisa mulai terbang!” Bangau itu membawanya dan menunjukkan kolam itu awalnya, namun kemudian ia hinggap di sebuah pohon.
“Kolam itu berada di arah itu, Paman,” kata kepiting, “engkau membawaku ke arah yang lain.” “Saya benar-benar adalah pamanmu!” jawab bangau, “dan kamu benar-benar keponakanku! Kamu mengira saya adalah budak yang harus mengangkat dan membawamu? Lihatlah tumpukan tulang-tulang di kaki pohon ini; seperti semua ikan yang telah saya makan, saya akan memakanmu juga.” Kepiting berkata, “Karena kebodohan mereka sendiri mereka dimakan olehmu, namun saya tidak akan memberikan kesempatan itu kepadamu. Tidak, yang akan saya lakukan adalah membunuhmu. Dan kamu, cukup bodoh dengan tidak melihat bahwa saya sedang menipumu. Jika harus mati, kita akan mati bersama. Saya akan membuat kepalamu putus.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia menjepit leher burung bangau itu dengan capitnya yang seperti penjepit. Dengan mulut terbuka lebar, dan air mata yang bercucuran dari matanya, bangau yang nyawanya terancam itu berkata, “Tuanku, saya tidak akan memakanmu! Lepaskanlah saya!”
“Baiklah, turunkan saya ke kolam itu,” kata kepiting. Bangau itu berputar dan turun ke kolam seperti yang diperintahkan, menempatkan kepiting itu di atas lumut di pinggir kolam. Namun sebelum turun, kepiting itu menjepit kepala bangau tersebut hingga putus, dengan gerakan setangkas saat kita memotong tangkai bunga teratai menggunakan pisau.
Dewa pohon yang menetap di pohon itu, melihat kejadian yang menarik tersebut, membuat seisi hutan dipenuhi suara tepuk tangan, melalui pengulangan syair ini dengan suaranya yang merdu :
Tipu muslihat tidak akan membawa keuntungan bagimu,
Orang yang penuh tipuan.
Lihatlah apa yang diperoleh bangau
yang penuh muslihat itu dari kepiting.
[224] “Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ini bukan pertama kalinya orang ini diperdayai oleh pembuat jubah dari desa itu; di kehidupan yang lampau ia juga diperdayai dengan cara yang sama.” Setelah uraiannya berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Pembuat jubah dari Jetawana itu adalah bangau di masa itu, pembuat jubah dari desa adalah kepiting, dan Saya sendiri adalah dewa pohon tersebut.”
[Catatan : Lihat Pañca-Tantra karya Benfey (I.175), Kathā-Sarit-Sāgara karya Tawney (II.31) dan Birth Stories karya Rhys Davids (hal.321), tentang pergeseran kisah populer ini.]
Catatan kaki :
81 Crataeva roxburghii.
Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, di Jetawana hiduplah seorang bhikkhu yang sangat ahli dalam melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan jubah, seperti menggunting, menyatukan, mengubah dan menjahit. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia selalu membuat jubah dan mendapat julukan ‘Pembuat Jubah’. Apa, Anda tentu bertanya, yang dilakukannya? – Baiklah, ia menggunakan keahliannya pada potongan kain usang, mengubahnya menjadi jubah yang bagus dan halus, dimana saat pencelupan dilakukan, ia akan memperjelas warna kain dengan cara merendam kain dalam pewarna makanan, menyikatnya dengan sejenis kulit, sehingga terlihat bagus dan menarik. Setelah itu, hasil karyanya akan diletakkan di samping.
Bhikkhu yang tidak memiliki kemampuan menjahit, mendatanginya dengan membawa kain-kain yang masih baru dan berkata, “Kami tidak tahu bagaimana cara membuat jubah, buatkanlah untuk kami.”
“Awuso,” jawabnya, “pembuatan jubah memerlukan waktu yang cukup lama, namun ada satu jubah yang baru saya selesaikan. Engkau dapat memilikinya jika mau meninggalkan kain-kain ini untukku.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengeluarkan jubah itu dan menunjukkannya pada mereka. Para bhikkhu yang hanya mengetahui bahwa warna jubah itu sangat bagus, tidak mengetahui jubah itu terbuat dari kain yang bagaimana, mengira jubah itu cukup kuat, bersedia memberikan kain baru mereka untuk ‘Pembuat Jubah’ itu dan pergi membawa jubah yang diserahkannya. Ketika jubah itu telah kotor dan dicuci dengan menggunakan air panas, bentuk aslinya akan muncul, terdapat tambalan di sana sini. Pemiliknya akan menyesali pertukaran yang telah mereka lakukan. Bhikkhu itu terkenal di mana-mana karena memperdayai semua orang yang menemuinya dengan cara seperti itu.
Di sebuah desa kecil, terdapat seseorang yang juga memperdayai orang-orang dengan cara yang sama seperti apa yang dilakukan oleh bhikkhu dari Jetawana tersebut. [221] Teman bhikkhu desa tersebut berkata, “Bhante, kata orang, di Jetawana juga terdapat seorang pembuat jubah yang memperdayai semua orang seperti yang engkau lakukan.” Sebuah ide terlintas di pikirannya, “Akan menarik untuk memperdayai bhikkhu kota itu!” Maka ia mengambil potonganpotongan kain usang dan mengubahnya menjadi sepotong jubah yang sangat bagus, mencelupnya dengan warna jingga yang sangat menarik. Ia memakai jubah tersebut dan pergi ke Jetawana. Saat bhikkhu penipu dari kota melihatnya, ia menginginkan jubah tersebut, maka ia berkata kepada pemilik jubah itu, “Bhante, apakah jubah ini dibuat sendiri olehmu?” “Benar, Saya sendiri yang membu-atnya,” jawabnya. “Biarkan saya memilikinya, Bhante, Anda bisa mengenakan jubah lain sebagai gantinya.” “Namun, Awuso, kami bhikkhu desa, sulit memenuhi ketentuan-ketentuan pembuatan jubah; jika saya memberikan jubah ini kepadamu, apa yang akan saya kenakan?” “Bhante, di tempat tinggalku ada beberapa potong kain yang masih baru; ambillah kain-kain itu dan buatlah sepotong jubah baru.” “Awuso, jubah ini menunjukkan ketrampilan tanganku. Namun, jika engkau berkeras, apa yang dapat saya lakukan? Ambillah jubah ini.” Setelah memperdayai bhikkhu penipu dari kota itu, menukar jubah dari kain usang dengan kain yang masih baru, sang bhikkhu desa segera pergi dari tempat tersebut.
Setelah jubah usang itu dipakai oleh bhikkhu dari Jetawana itu, ia mencucinya dengan menggunakan air hangat. Saat itu ia baru mengetahui bahwa jubah itu terbuat dari potongan kain usang; ia merasa dipermalukan. Semua bhikkhu mendengar kabar bahwa bhikkhu penipu dari Jetawana telah diperdayai oleh seorang pembuat jubah dari desa.
Suatu hari, saat para bhikkhu sedang duduk di Balai Kebenaran, membicarakan kejadian tersebut, Sang Guru memasuki balai tersebut dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka kemudian menceritakan kejadian itu kepada Beliau. Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan kejadian satu-satunya dimana pembuat jubah dari Jetawana memperdayai (orang lain) dengan menggunakan tipu muslihat, tetapi di kehidupan yang lampau ia juga melakukan hal yang sama; Sekarang ia diperdayai oleh seorang bhikkhu dari desa, sama seperti yang ia alami di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Dahulu kala, Bodhisatta terlahir di sebuah hutan yang angker sebagai dewa pohon dari sebatang pohon yang tumbuh dekat sebuah kolam teratai. Saat itu, setiap kali musim panas tiba, air kolam mengering sehingga yang tersisa hanya sebuah kolam kecil yang dipenuhi oleh sejumlah ikan. Melihat ikan-ikan tersebut, seekor bangau berkata kepada dirinya, “Saya harus menemukan cara untuk membujuk dan menyantap ikan-ikan ini.” Maka ia duduk dan berpikir keras di pinggir kolam tersebut.
Saat ikan-ikan melihat keberadaan bangau tersebut, mereka berkata, “Apa yang sedang Anda pikirkan, Tuan, dengan duduk termenung di sana?” “Saya sedang memikirkan kalian,” jawabnya. “Apa yang Anda pikirkan tentang kami, Tuan?” “Air di kolam akan semakin kering, makanan semakin sedikit dan kondisi semakin panas, saya berpikir sendiri, saat duduk di sini, apa yang akan kalian lakukan dengan berada di sini?” “Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” “Baik, jika kalian mau mendengarkan nasihatku, [222] saya akan membawa kalian satu per satu dengan menggunakan paruh saya, memindahkan kalian semua ke sebuah kolam besar yang dipenuhi oleh lima jenis teratai, dan meninggalkan kalian di sana.” “Tuanku,” kata ikan-ikan itu, “tidak ada bangau yang memikirkan kesejahteraan ikan-ikan, walaupun sedikit, sejak dunia ini mulai terbentuk. Engkau hanya ingin memangsa kami satu per satu.” “Tidak, saya tidak akan menyan-tap kalian jika kalian memercayaiku,” kata bangau tersebut. “Jika kalian tidak percaya ada kolam seperti apa yang saya katakan, kirimkan seekor ikan untuk ikut denganku dan melihat sendiri keberadaan kolam itu.” Percaya pada ucapan bangau itu, ikanikan itu menyerahkan seekor ikan besar kepada bangau (sebelah mata ikan ini buta), yang menurut mereka cocok dengan bangau tersebut baik saat berada di air maupun di darat. Mereka berkata, “Bawalah ikan ini bersamamu.”
Bangau membawa ikan tersebut pergi dan menurunkan ikan tersebut di kolam besar yang dikatakannya; setelah menunjukkan keseluruhan tempat itu kepada ikan tersebut, bangau membawanya kembali dan menurunkannya di kolam lama tempat teman-temannya berada. Ikan itu membicarakan keindahan kolam baru itu kepada teman-temannya.
Mendengar hal tersebut, timbullah keinginan mereka untuk pergi ke sana. Mereka berkata kepada bangau itu, “Baiklah, Tuan, tolong bawa kami menyeberang.”
Pertama-tama, bangau membawa ikan besar bermata satu itu dan membawanya ke tepi kolam, sehingga ia bisa melihat kolam tersebut, namun sebenarnya ia hinggap di pohonvaraṇa81 yang tumbuh di pinggir sungai. Ia melemparkan ikan tersebut ke cabang pohon dan mematuknya hingga mati, — setelah itu, ia mencungkil bersih dagingnya dan membiarkan tulang ikan tersebut jatuh di kaki pohon. Kemudian ia kembali lagi ke kolam itu dan berkata, “Saya telah membawanya masuk ke dalam kolam. Siapa berikutnya?” Dengan cara itulah ia membawa ikan itu satu per satu, dan melahap mereka semua hingga saat terakhir ia kembali, tidak ada satu ikan pun yang terlihat olehnya. Namun masih ada seekor kepiting di kolam itu. Bangau yang berniat menyantap kepiting itu berkata, “Tuan Kepiting, saya telah memindahkan semua ikan ke sebuah kolam besar yang permukaannya dipenuhi oleh bunga teratai. Ikutlah bersama saya; Saya akan membawamu ke sana.” “Bagaimana caramu membawa saya menyeberang?” tanya kepiting itu. “Tentu saja dengan paruhku,” jawab bangau. “Ah, dengan cara seperti itu saya bisa terjatuh,” kata kepiting, “saya tidak akan pergi bersamamu.” “Jangan takut, saya akan memegangmu eraterat di sepanjang perjalanan.” Kepiting itu berpikir, “Ia tidaklah memindahkan ikan-ikan itu ke dalam kolam. Akan tetapi, jika ia benar-benar membawa saya ke sana, itu adalah keberuntunganku. Jika ia tidak melakukannya, — yah, saya akan menggigit kepalanya hingga putus dan membunuhnya.” Ia berkata seperti ini kepada bangau tersebut, “Kamu tidak akan bisa memegangku dengan erat, Teman, karena kami, bangsa kepiting, dikaruniai dengan cangkang yang kerasnya sangat mencengangkan. [223] Jika saya bisa memegang lehermu dengan capit saya, saya bisa memegangmu dengan erat dan bisa pergi bersamamu.”
Tidak menduga kalau kepiting itu akan menjebaknya, bangau menyetujui hal itu. Dengan capitnya, kepiting itu menjepit leher bangau seperti jepitan seorang tukang besi, dan berkata, “Sekarang, kamu bisa mulai terbang!” Bangau itu membawanya dan menunjukkan kolam itu awalnya, namun kemudian ia hinggap di sebuah pohon.
“Kolam itu berada di arah itu, Paman,” kata kepiting, “engkau membawaku ke arah yang lain.” “Saya benar-benar adalah pamanmu!” jawab bangau, “dan kamu benar-benar keponakanku! Kamu mengira saya adalah budak yang harus mengangkat dan membawamu? Lihatlah tumpukan tulang-tulang di kaki pohon ini; seperti semua ikan yang telah saya makan, saya akan memakanmu juga.” Kepiting berkata, “Karena kebodohan mereka sendiri mereka dimakan olehmu, namun saya tidak akan memberikan kesempatan itu kepadamu. Tidak, yang akan saya lakukan adalah membunuhmu. Dan kamu, cukup bodoh dengan tidak melihat bahwa saya sedang menipumu. Jika harus mati, kita akan mati bersama. Saya akan membuat kepalamu putus.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia menjepit leher burung bangau itu dengan capitnya yang seperti penjepit. Dengan mulut terbuka lebar, dan air mata yang bercucuran dari matanya, bangau yang nyawanya terancam itu berkata, “Tuanku, saya tidak akan memakanmu! Lepaskanlah saya!”
“Baiklah, turunkan saya ke kolam itu,” kata kepiting. Bangau itu berputar dan turun ke kolam seperti yang diperintahkan, menempatkan kepiting itu di atas lumut di pinggir kolam. Namun sebelum turun, kepiting itu menjepit kepala bangau tersebut hingga putus, dengan gerakan setangkas saat kita memotong tangkai bunga teratai menggunakan pisau.
Dewa pohon yang menetap di pohon itu, melihat kejadian yang menarik tersebut, membuat seisi hutan dipenuhi suara tepuk tangan, melalui pengulangan syair ini dengan suaranya yang merdu :
Tipu muslihat tidak akan membawa keuntungan bagimu,
Orang yang penuh tipuan.
Lihatlah apa yang diperoleh bangau
yang penuh muslihat itu dari kepiting.
[224] “Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ini bukan pertama kalinya orang ini diperdayai oleh pembuat jubah dari desa itu; di kehidupan yang lampau ia juga diperdayai dengan cara yang sama.” Setelah uraiannya berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Pembuat jubah dari Jetawana itu adalah bangau di masa itu, pembuat jubah dari desa adalah kepiting, dan Saya sendiri adalah dewa pohon tersebut.”
[Catatan : Lihat Pañca-Tantra karya Benfey (I.175), Kathā-Sarit-Sāgara karya Tawney (II.31) dan Birth Stories karya Rhys Davids (hal.321), tentang pergeseran kisah populer ini.]
Catatan kaki :
81 Crataeva roxburghii.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com