NANDA-JĀTAKA
Nandajātaka (Ja 39)
“Saya duga emas,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai siswa dari Sāriputta yang tinggal satu bilik dengannya.
Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, bhikkhu ini sangat penurut dan patuh, ia juga tekun dalam melayani sang thera. Suatu waktu, sang thera berangkat bersama Sang Guru, untuk melakukan pindapata, dan tiba di Magadha Selatan. Setibanya di sana, bhikkhu itu menjadi begitu sombong sehingga ia tidak mau melakukan apa pun yang diminta oleh sang thera. Lebih dari itu, jika ia ditegur dengan, “Bhante, lakukanlah hal ini,” ia akan bertengkar dengan thera tersebut. Sang thera tidak dapat menemukan apa yang merasukinya.
Setelah selesai melakukan pindapata, mereka kembali ke Jetawana. Setibanya di Wihara Jetawana, bhikkhu itu kembali ke sifat semulanya.
Thera itu menyampaikan hal tersebut kepada Sang Buddha, dengan berkata, “Bhante, seorang siswa yang tinggal satu bilik dengan saya, di satu tempat bersikap laksana seorang budak yang dibeli dengan seratus keping uang, dan di tempat yang lain ia begitu sombong sehingga perintah apa pun yang diberikan kepadanya akan membuatnya marah.”
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Sāriputta, ia menunjukkan watak seperti ini; di kehidupan yang lampau juga, di satu tempat ia bertindak seakan budak yang dibeli dengan seratus keping uang, sementara jika pergi ke tempat yang lain, ia akan menjadi orang yang suka berselisih dan suka bertengkar.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan thera tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang tuan tanah. Seorang tuan tanah yang lain, yang merupakan temannya, telah cukup tua, namun mempunyai [225] seorang istri yang usianya masih muda, ia melahirkan seorang putra yang juga merupakan ahli warisnya. Lelaki tua itu berkata sendiri, “Begitu saya meninggal, wanita ini, yang masih sangat muda, akan segera menikah dengan lelaki lain dan menghabiskan semua hartaku, bukannya menyerahkannya kepada putraku. Bukankah hal yang paling tepat untuk dilakukan dengan mengubur hartaku di tempat yang aman?”
Dengan ditemani oleh seorang pelayan yang bernama Nanda, ia pergi ke hutan dan menguburkan harta bendanya di suatu tempat tertentu, ia berkata kepada pelayannya, “Nanda yang baik, tunjukkan harta ini kepada anakku setelah saya meninggal, dan jangan biarkan hutan ini dijual.”
Setelah memberikan perintah tersebut kepada pelayannya, lelaki tua itu meninggal. Setelah anak itu dewasa, ibunya berkata kepadanya, “Anakku, ayahmu dengan ditemani oleh Nanda, menguburkan hartanya di suatu tempat. Ambil kembali harta itu dan jagalah harta keluarga kita.” Maka suatu hari, anak muda itu berkata kepada Nanda, “Paman, apakah ada harta yang dikubur oleh ayahku?” “Ada, Tuan.” “Dimanakah harta itu dikubur?” “Di hutan, Tuan.” “Baiklah kalau begitu, mari kita pergi ke sana.” Ia membawa sebuah sekop dan keranjang, kemudian pergi ke tempat itu, ia berkata kepada Nanda, “Baiklah, Paman, di manakah harta itu?” Saat itu Nanda telah berada di tempat harta itu berada dan sedang berdiri di atasnya, ia merasa begitu sombong dengan keberadaan uang itu, sehingga ia memaki tuannya dengan berkata, “Kamu, putra dari abdi pelayan wanita! Bagaimana mungkin ada uang di sini?”
Anak muda itu berpura-pura tidak mendengar hinaan itu, hanya berkata, “Kalau begitu, kita pergi saja,” dan pulang ke rumah bersama pelayan tersebut. Dua tiga hari kemudian, ia kembali ke tempat tersebut, Nanda kembali memakinya, sama seperti sebelumnya. Tanpa memberikan jawaban yang kasar, anak muda itu pulang dan memikirkan hal tersebut. Ia berpikir, “Awalnya, pelayan ini selalu bermaksud menyatakan di mana tempat harta itu dikubur. Namun begitu tiba di hutan, ia memaki saya. Saya tidak mengerti mengapa ia melakukan hal tersebut; saya akan mengetahui penyebabnya jika saya bertanya kepada teman lama ayah, tuan tanah itu.” Maka ia mengunjungi Bodhisatta, dan menyampaikan seluruh masalah kepadanya, menanyakan kepada temannya, apa alasan yang sebenarnya di balik kelakuan tersebut.
Bodhisatta berkata, “Tempat dimana Nanda berdiri memakimu merupakan tempat dimana ayahmu menguburkan hartanya. Karena itu, begitu ia mulai memakimu, katakan padanya, ‘Kamu berbicara dengan siapa, Pelayanku?’ Tarik ia dari tempat berdirinya, ambil sekop dan mulailah menggali; ambil harta keluargamu, dan buat ia yang membawanya pulang untukmu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengucapkan syair berikut ini : — [226]
Saya duga emas dan permata itu dikuburkan
dimana Nanda, pelayan dari kasta yang rendah,
berteriak dengan kerasnya!
Setelah memberi hormat kepada Bodhisatta, anak muda itu pulang ke rumah, lalu membawa Nanda ke tempat harta itu dikubur. Dengan patuh mengikuti nasihat yang diterimanya, ia membawa pulang uang itu dan menjaga harta keluarganya. Ia tetap mengikuti nasihat Bodhisatta, dan setelah menghabiskan hidupnya dengan berdana dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
Sang Guru berkata, “Di kehidupan yang lampau, orang ini juga mempunyai kecenderungan yang sama.” Setelah uraian itu berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Teman satu bilik Sāriputta adalah Nanda di masa itu, dan Saya sendiri adalah tuan tanah yang bijaksana dan baik tersebut.”
Menurut kisah yang disampaikan secara turun temurun, bhikkhu ini sangat penurut dan patuh, ia juga tekun dalam melayani sang thera. Suatu waktu, sang thera berangkat bersama Sang Guru, untuk melakukan pindapata, dan tiba di Magadha Selatan. Setibanya di sana, bhikkhu itu menjadi begitu sombong sehingga ia tidak mau melakukan apa pun yang diminta oleh sang thera. Lebih dari itu, jika ia ditegur dengan, “Bhante, lakukanlah hal ini,” ia akan bertengkar dengan thera tersebut. Sang thera tidak dapat menemukan apa yang merasukinya.
Setelah selesai melakukan pindapata, mereka kembali ke Jetawana. Setibanya di Wihara Jetawana, bhikkhu itu kembali ke sifat semulanya.
Thera itu menyampaikan hal tersebut kepada Sang Buddha, dengan berkata, “Bhante, seorang siswa yang tinggal satu bilik dengan saya, di satu tempat bersikap laksana seorang budak yang dibeli dengan seratus keping uang, dan di tempat yang lain ia begitu sombong sehingga perintah apa pun yang diberikan kepadanya akan membuatnya marah.”
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Sāriputta, ia menunjukkan watak seperti ini; di kehidupan yang lampau juga, di satu tempat ia bertindak seakan budak yang dibeli dengan seratus keping uang, sementara jika pergi ke tempat yang lain, ia akan menjadi orang yang suka berselisih dan suka bertengkar.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan thera tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang tuan tanah. Seorang tuan tanah yang lain, yang merupakan temannya, telah cukup tua, namun mempunyai [225] seorang istri yang usianya masih muda, ia melahirkan seorang putra yang juga merupakan ahli warisnya. Lelaki tua itu berkata sendiri, “Begitu saya meninggal, wanita ini, yang masih sangat muda, akan segera menikah dengan lelaki lain dan menghabiskan semua hartaku, bukannya menyerahkannya kepada putraku. Bukankah hal yang paling tepat untuk dilakukan dengan mengubur hartaku di tempat yang aman?”
Dengan ditemani oleh seorang pelayan yang bernama Nanda, ia pergi ke hutan dan menguburkan harta bendanya di suatu tempat tertentu, ia berkata kepada pelayannya, “Nanda yang baik, tunjukkan harta ini kepada anakku setelah saya meninggal, dan jangan biarkan hutan ini dijual.”
Setelah memberikan perintah tersebut kepada pelayannya, lelaki tua itu meninggal. Setelah anak itu dewasa, ibunya berkata kepadanya, “Anakku, ayahmu dengan ditemani oleh Nanda, menguburkan hartanya di suatu tempat. Ambil kembali harta itu dan jagalah harta keluarga kita.” Maka suatu hari, anak muda itu berkata kepada Nanda, “Paman, apakah ada harta yang dikubur oleh ayahku?” “Ada, Tuan.” “Dimanakah harta itu dikubur?” “Di hutan, Tuan.” “Baiklah kalau begitu, mari kita pergi ke sana.” Ia membawa sebuah sekop dan keranjang, kemudian pergi ke tempat itu, ia berkata kepada Nanda, “Baiklah, Paman, di manakah harta itu?” Saat itu Nanda telah berada di tempat harta itu berada dan sedang berdiri di atasnya, ia merasa begitu sombong dengan keberadaan uang itu, sehingga ia memaki tuannya dengan berkata, “Kamu, putra dari abdi pelayan wanita! Bagaimana mungkin ada uang di sini?”
Anak muda itu berpura-pura tidak mendengar hinaan itu, hanya berkata, “Kalau begitu, kita pergi saja,” dan pulang ke rumah bersama pelayan tersebut. Dua tiga hari kemudian, ia kembali ke tempat tersebut, Nanda kembali memakinya, sama seperti sebelumnya. Tanpa memberikan jawaban yang kasar, anak muda itu pulang dan memikirkan hal tersebut. Ia berpikir, “Awalnya, pelayan ini selalu bermaksud menyatakan di mana tempat harta itu dikubur. Namun begitu tiba di hutan, ia memaki saya. Saya tidak mengerti mengapa ia melakukan hal tersebut; saya akan mengetahui penyebabnya jika saya bertanya kepada teman lama ayah, tuan tanah itu.” Maka ia mengunjungi Bodhisatta, dan menyampaikan seluruh masalah kepadanya, menanyakan kepada temannya, apa alasan yang sebenarnya di balik kelakuan tersebut.
Bodhisatta berkata, “Tempat dimana Nanda berdiri memakimu merupakan tempat dimana ayahmu menguburkan hartanya. Karena itu, begitu ia mulai memakimu, katakan padanya, ‘Kamu berbicara dengan siapa, Pelayanku?’ Tarik ia dari tempat berdirinya, ambil sekop dan mulailah menggali; ambil harta keluargamu, dan buat ia yang membawanya pulang untukmu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau mengucapkan syair berikut ini : — [226]
Saya duga emas dan permata itu dikuburkan
dimana Nanda, pelayan dari kasta yang rendah,
berteriak dengan kerasnya!
Setelah memberi hormat kepada Bodhisatta, anak muda itu pulang ke rumah, lalu membawa Nanda ke tempat harta itu dikubur. Dengan patuh mengikuti nasihat yang diterimanya, ia membawa pulang uang itu dan menjaga harta keluarganya. Ia tetap mengikuti nasihat Bodhisatta, dan setelah menghabiskan hidupnya dengan berdana dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
Sang Guru berkata, “Di kehidupan yang lampau, orang ini juga mempunyai kecenderungan yang sama.” Setelah uraian itu berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Teman satu bilik Sāriputta adalah Nanda di masa itu, dan Saya sendiri adalah tuan tanah yang bijaksana dan baik tersebut.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com