LOSAKA-JĀTAKA
Losakajātaka (Ja 41)
“Orang yang keras kepala,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Thera Losaka Tissa.
‘Siapa,’ kamu tentu bertanya, ‘Thera Losaka Tissa ini?’ Baiklah, ayahnya adalah seorang nelayan di Kosala, dan ia adalah ketidakberuntungan bagi keluarganya. Ketika ia menjadi bhikkhu, tidak ada apa pun yang diberikan kepadanya. Setelah kehidupan sebelumnya berakhir, ia dikandung oleh istri seorang nelayan dari suatu desa nelayan, yang dihuni oleh seribu keluarga di Kosala. Pada hari (pertama) ia dikandung, seribu nelayan tersebut yang membawa jala di tangan pergi ke sungai dan kolam untuk menangkap ikan, tidak berhasil menangkap satu ekor ikan pun; kemalangan yang sama menimpa mereka sejak saat itu hingga seterusnya. Sebelum ia lahir, desa itu mengalami kebakaran sebanyak tujuh kali, dan dikuasai oleh musuh kerajaan sebanyak tujuh kali. Sejak saat itu, orang-orang mengalami ketidakberuntungan besar. Menyadari sebelumnya nasib mereka tidak seperti itu, sementara sekarang ini, mereka tersiksa dan mengalami kehancuran, mereka mengambil kesimpulan bahwa pasti ada pembawa ketidakberuntungan di antara mereka, dan memutuskan untuk membagi penghuni desa menjadi dua kelompok. Pembagian tersebut segera mereka lakukan, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari lima ratus keluarga. Sejak itu kehancuran hanya terjadi pada kelompok di mana orang tua Losaka di masa yang akan datang berada; sementara kelima ratus keluarga yang lain berkembang dengan pesat. Mereka yang dituakan memutuskan untuk membagi jumlah mereka menjadi dua lagi, dan terus melakukan hal tersebut sehingga yang tersisa hanya satu keluarga itu saja yang dipisahkan dari penghuni lainnya. Dengan demikian mereka tahu bahwa pembawa ketidakberuntungan itu adalah keluarga tersebut, yang akhirnya mereka usir dari desa itu. [235] Dengan susah payah ibunya menafkahi kehidupan mereka; sewaktu saat melahirkan tiba, ia melahirkan putranya di suatu tempat tertentu. (Saat seseorang yang lahir dalam kelahirannya yang terakhir, ia tidak akan bisa dibunuh. Seperti lampu dalam bejana, demikianlah di dalam batinnya menyala kobaran takdirnya untuk menjadi seorang Arahat.) Ibunya membesarkannya hingga ia mampu berlari. Setelah ia mampu berlari, ibunya menempatkan sebuah pecahan kendi di tangannya, memintanya pergi ke sebuah rumah untuk mengemis, sementara itu, ibunya pergi meninggalkannya. Sejak itu, anak yang ditinggalkan sendiri itu mengemis makanan di sekitar tempat tersebut, dan tidur di tempat mana pun yang ditemukannya. Ia tidak pernah dimandikan dan dipelihara dengan baik, dan bertahan hidup seperti pisaca pemakan sampah86. Ketika berusia tujuh tahun, ia memungut dan menyantap gumpalan demi gumpalan nasi yang ditemukannya di luar pintu rumah, yang dibuang orang ketika mencuci pot nasi.
Sāriputta, sang Panglima Dhamma, saat pergi ke Sawatthi untuk melakukan pindapata, menemukan anak itu, bertanya-tanya dari manakah anak yang terlihat berantakan itu berasal. Dipenuhi oleh kasih sayang, ia memanggil anak tersebut. “Kemarilah, Nak.” Anak itu mendekat, membungkuk pada sang thera dan berdiri di hadapannya. Sāriputta kemudian bertanya, “Engkau berasal dari desa mana dan dimanakah orang tuamu berada?”
“Saya adalah orang miskin, Bhante,” jawab anak itu, “orang tua saya telah lelah merawat saya, mereka meninggalkan saya dan pergi sendiri.”
“Maukah engkau menjadi bhikkhu?” “Saya ingin sekali, namun siapakah yang mau menerima orang tidak beruntung seperti saya menjadi anggota Sanggha?” “Saya bersedia menerimamu.” “Kalau begitu, mohon terimalah saya menjadi seorang bhikkhu.”
Thera tersebut memberikan makanan kepada anak itu dan membawanya ke wihara, ia sendiri yang memandikannya dan menjadikannya sebagai samanera sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu di kemudian hari setelah ia cukup dewasa. Setelah dewasa, ia dikenal sebagai Thera Losaka Tissa; ia selalu tidak beruntung87, dan hanya mendapatkan sedikit persembahan. Cerita berkembang bahwa, tidak peduli betapa berlimpahnya persembahan yang diberikan, ia tidak pernah mendapatkan makanan yang dapat membuatnya kenyang, hanya sekedar membuatnya mampu bertahan hidup saja. Satu sendok nasi saja telah membuat pattanya terlihat sangat penuh, sehingga pemberi dana yang mengira pattanya telah penuh, akan memberikan dana kepada orang berikutnya. Saat nasi telah diberikan ke pattanya, dikatakan bahwa nasi yang berada di piring pemberi dana akan menghilang. Demikian juga yang terjadi dengan persembahan makanan lainnya. Walaupun demikian, dengan berlalunya waktu, ia berhasil mengembangkan kesadarannya dan mencapai phala tertinggi, yakni tingkat kesucian Arahat, namun ia tetap mendapatkan persembahan dana dalam jumlah yang sedikit.
Setelah waktunya telah sempurna, ketika jasmani yang menentukan jalan hidupnya 88 telah usang, tiba saat baginya untuk meninggalkan dunia ini. Sang Panglima Dhamma, saat bermeditasi, mengetahui hal tersebut, kemudian berpikir, “Losaka Tissa akan meninggal hari ini; bagaimana pun juga, hari ini saya akan memastikan ia dapat makan hingga kenyang.” Maka ia membawa thera itu pergi ke Sawatthi untuk berpindapata. Namun, karena Losaka ikut bersamanya, semua itu sia-sia, walaupun Sāriputta mengulurkan tangan untuk menerima dana makanan di Sawatthi yang padat penduduknya, mereka hanya memberikan penghormatan kepadanya. Maka ia meminta Thera Losaka untuk pulang terlebih dahulu dan mengambil tempat di ruang duduk wihara, sementara ia sendiri mengumpulkan makanan yang kemudian dikirimkannya dengan pesan [236] agar makanan itu diberikan kepada Thera Losaka. Setiap orang yang menerima titipan makanan itu pergi dengan membawa makanan tersebut, namun kemudian mereka melupakan semua hal tentang Losaka, dan memakan semuanya sendiri. Ketika Sāriputta bangkit dan masuk ke dalam wihara, Losaka menemuinya dan memberikan penghormatan kepadanya. Sāriputta berhenti, memutar badannya dan bertanya, “Sudahkah kamu menerima makanan itu?”
“Saya akan, tanpa diragukan, menerimanya pada waktu yang tepat,” jawab Thera Losaka. Sāriputta merasa sangat tidak enak hati, ia melihat sudah jam berapakah saat itu. Tengah hari89 telah terlewati. “Tunggu disini, Bhikkhu,” kata Sāriputta, “jangan pergi ke mana-mana”, ia membuat Losaka Tissa mengambil tempat di ruang duduk, dan ia pergi ke istana Raja Kosala. Raja meminta agar pattanya dibawakan dan berkata saat itu telah melewati tengah hari, karena itu bukan lagi saat untuk makan nasi, memerintahkan agar mangkuknya diisi dengan empat jenis makanan yang manis90. Dengan makanan tersebut, ia kembali ke wihara, berdiri dihadapan Losaka, dengan patta di tangan, meminta orang bijaksana itu untuk makan, namun Thera Losaka merasa malu, rasa hormat yang dimilikinya terhadap Sāriputta, membuat ia menolak untuk makan. “Makanlah, Thera Tissa,” kata Sāriputta, “saya harus berdiri dengan memegang patta, sementara engkau duduk dan makan. Jika patta ini terlepas dari tangan saya, semua makanan di dalamnya akan lenyap.”
Maka Thera Losaka Tissa makan makanan manis tersebut, sementara sang Panglima Dhamma yang agung itu berdiri sambil memegang patta. Berkat jasa dan kekuatan dari sang thera, makanan-makanan itu tidak menghilang. Dengan demikian, Thera Losaka dapat makan sebanyak yang ia inginkan dan merasa puas, di hari yang sama ia meninggal dunia, dan ia tidak mengalami kelahiran kembali lagi.
Yang Tercerahkan Sempurna berdiri, melihat saat jasadnya dikremasi; dan mereka kemudian membangun cetiya untuk menyimpan abunya.
Saat duduk dalam sebuah pertemuan di Balai Kebenaran, para bhikkhu berkata, “Awuso, Losaka sangat tidak beruntung, ia hanya mendapatkan sedikit persembahan dana. Bagaimana ia yang begitu tidak beruntung, dengan kebutuhan yang tidak pernah terpenuhi bisa mencapai tingkat kesucian Arahat?”
Masuk ke dalam Balai Kebenaran, Sang Guru menanyakan topik pembicaraan mereka, mereka pun menceritakannya kepada Beliau. “Para Bhikkhu,” Beliau berkata, “tindakan bhikkhu itu sendiri yang membuat ia menerima sedikit persembahan dana, demikian juga dengan pencapaian tingkat kesucian Arahat. Di kehidupan yang lampau, ia menghalangi orang lain menerima persembahan, akibatnya ia hanya mendapatkan sedikit persembahan dana di kelahiran ini. Karena melakukan meditasi terhadap ketidakkekalan, penderitaan, keadaan tanpa inti, ia mencapai tingkat kesucian Arahat dengan kemampuannya sendiri.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu di masa kehidupan Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang hidup di pedesaan, yang disokong oleh seorang tuan tanah. Tingkah lakunya sebagai seorang bhikkhu91 biasa-biasa saja, ia menjalankan sila dan memenuhi dirinya dengan meditasi (vipassana). Di tempat itu juga terdapat seorang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat, ia hidup bersama teman-temannya dalam kesetaraan, saat kisah ini berlangsung, ia sedang melakukan kunjungan pertama ke desa yang dihuni oleh tuan tanah yang menyokong kehidupan bhikkhu tersebut. Tuan tanah [237] yang merasa senang melihat perilaku thera itu, mengambil patta dan mempersilakannya masuk ke rumahnya, dan dengan penuh hormat mengundangnya untuk makan. Kemudian ia mendengarkan khotbah singkat yang disampaikan oleh thera tersebut. Di akhir khotbah, tuan tanah itu berkata, “Bhante, jangan pergi lebih jauh dari tempat di sekitar wihara kami. Pada sore hari, saya akan datang untuk menemuimu di sana.” Maka thera tersebut pergi ke wihara desa tersebut, memberikan salam kepada bhikkhu yang menghuni wihara saat masuk ke sana. Setelah memberikan sapaan yang penuh kesopanan, thera tersebut mengambil tempat di samping bhikkhu itu. Bhikkhu itu menerima kedatangannya denganramah, dan menanyakan apakah ia telah mendapatkan dana makanan.
“Sudah,” jawab Thera tersebut. “Dimanakah engkau mendapatkannya?” “Di sekitar sini, di rumah seorang tuan tanah.” Setelah mengatakan hal tersebut, Thera tersebut menanyakan kamarnya dan pergi untuk mempersiapkannya. Setelah meletakkan patta dan jubahnya di satu sisi, ia duduk bermeditasi, menikmati kebahagiaan vipassana, menyelami rasa bahagia dalam magga dan phala.
Sore harinya, tuan tanah tersebut datang, diiringi oleh para pelayan yang membawa bunga, wewangian, pelita dan minyak. Setelah memberikan salam kepada bhikkhu yang tinggal di wihara itu, ia bertanya apakah tamunya telah sampai, seorang thera. Mendengar jawaban bahwa tamu itu telah sampai, ia menanyakan dimana thera itu berada. Setelah mengetahui kamar mana yang diberikan kepada thera tersebut, ia pun mengunjunginya. Pertama-tama ia memberikan hormat dengan penuh kesopanan, kemudian duduk di sisi thera tersebut dan mendengarkan Dhamma yang disampaikan olehnya. Di sore yang dingin itu, tuan tanah tersebut memberikan persembahan pada Pohon Cetiya dan Pohon Bodhi, kemudian menyalakan pelita dan pergi setelah menyampaikan undangan kepada thera dan bhikkhu itu, agar datang ke rumahnya keesokan hari untuk menerima persembahan dana makanan darinya.
“Saya telah kehilangan kendali atas tuan tanah itu,” pikir bhikkhu itu. “Jika thera ini menetap, saya tidak akan dapat menandinginya.” Ia merasa tidak senang dan mencari cara licik agar thera itu dapat melihat bahwa ia tidak boleh menetap di sana demi kebaikannya. Karenanya, saat thera tersebut memberikan penghormatan di awal hari, bhikkhu itu tidak membuka mulutnya. Sang arahat membaca pikiran bhikkhu itu dan berkata pada dirinya sendiri, “Bhikkhu ini tidak mengetahui bahwa saya tidak akan menghalanginya, baik dari keluarga yang menyokongnya, maupun posisinya sebagai bhikkhu.” Thera tersebut kemudian kembali ke kamar, masuk ke dalam kebahagiaan vipassana dan juga phala.
Keesokan harinya, bhikkhu itu, membunyikan gong 92 dengan hati-hati, menyentuh gong tersebut dengan bagian belakang kukunya, dan pergi sendiri ke rumah tuan tanah itu. Sambil mengambil patta dari tangan bhikkhu itu, tuan tanah tersebut memintanya untuk duduk dan menanyakan dimanakah orang baru itu berada.
“Saya tidak mengetahui kabar temanmu,” jawab bhikkhu itu. “Walaupun saya telah memukul gong dan mengetuk pintu kamarnya, saya tidak dapat membangunkannya. Saya hanya bisa menduga bahwa makanan pilihan [238] di sini kemarin tidak sesuai dengan seleranya, dan dia masih memikirkan baik buruknya. Mungkin dengan melakukan ini, ia ingin menyampaikan hal tersebut kepadamu.”
(Sementara itu, arahat yang menunggu hingga waktu untuk melakukan pindapata tiba, mandi, berpakaian dan bangkit dengan membawa pattanya, ia melayang ke udara dan pergi ke tempat yang lain)
Penjaga itu mempersembahkan nasi dan susu untuk dimakan oleh bhikkhu tersebut, bersama dengan mentega cair, madu, gula. Kemudian patta bhikkhu itu dibersihkan dengan serbuk yang wangi (cuṇṇa) dan diisi lagi. Tuan tanah itu berkata, “Bhante, thera itu pasti kelelahan setelah perjalanannya, tolong bawakan ia makanan-makanan ini.” Tanpa keberatan apa pun, bhikkhu itu membawa makanan tersebut dan pergi, sambil berpikir, “Jika ia mencicipi makanan (enak) seperti ini sekali saja, maka ia tidak bisa diusir pergi lagi, sekali pun dengan menyeretnya atau menendangnya keluar dari pintu. Bagaimana saya dapat melenyapkan makanan seperti ini? Jika saya berikan kepada orang lain, pasti akan segera ketahuan. Jika saya buang ke sungai, mentega cair ini akan terapung di permukaan sungai. Jika dibuang ke tanah, akan membuat semua gagak di daerah ini berkumpul.” Dalam kebingungannya, ia melihat sebidang tanah yang sedang terbakar, menampakkan bara api. Ia melemparkan isi pattanya ke dalam lubang, mengisi bara api ke permukaan lubang itu, dan pulang ke rumah. Tidak menemukan thera tersebut di sana, ia berpikir bahwa sang arahat mengerti akan kecemburuannya dan telah pergi. “Menderitalah aku,” ia menangis, “untuk keserakahan yang membuat aku melakukan keburukan ini.”
Sejak saat itu, ia sakit dan berubah seperti mayat hidup. Setelah meninggal ia terlahir kembali di alam neraka, disiksa di sana selama beberapa ratus ribu tahun lamanya. Karena buah perbuatan jahatnya telah masak, dalam lima ratus kelahiran berturut-turut ia dilahirkan menjadi yaksa, yang tidak pernah mendapatkan makanan yang cukup, hanya satu kali, saat ia menikmati sampah yang tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Kemudian untuk lima ratus kali kelahiran berikutnya ia terlahir menjadi anjing, yang juga hanya pernah kenyang satu kali saja, yakni saat makan sejumlah nasi yang dimuntahkan; tidak ada kesempatan lainnya yang memungkinkan ia makan hingga kenyang. Saat berhenti terlahir sebagai anjing, ia terlahir di keluarga pengemis di sebuah desa di Kasi. Begitu ia lahir, keluarga itu menjadi semakin melarat, ia tidak pernah mendapatkan setengah bagian dari bubur kanji yang ia inginkan. Ia dipanggil Mittavindaka [239].
Tidak mampu menahan rasa perih akibat lapar93 yang menyerang, orang tuanya memukul dan mengusirnya pergi, sambil berteriak, “Pergilah, engkau anak sial!”
Dalam perjalanannya, anak buangan ini sampai ke Benares, dimana saat itu Bodhisatta adalah seorang guru yang sangat terkenal di seluruh dunia, dengan lima ratus orang brahmana muda yang menerima pelajaran darinya. Di masa itu, para penduduk mempunyai kebiasaan untuk memberi makanan seadanya kepada anak-anak miskin dan memberikan pendidikan kepada mereka secara gratis. Mittavindaka juga menjadi salah seorang siswa yang dibiayai melalui derma penduduk di bawah asuhan Bodhisatta. Namun, ia sangat liar dan keras kepala, selalu berkelahi dengan teman-temannya dan tidak mengindahkan teguran dari gurunya. Dengan demikian, sia-sialah biaya yang mereka bayarkan kepada Bodhisatta. Saat terlibat pertengkaran dan tidak mau menerima teguran, anak itu melarikan diri dari sana, dan tiba di sebuah desa di pinggiran, tempat dimana ia menerima pekerjaan upahan untuk menghidupi dirinya. Kemudian ia menikah dengan seorang wanita miskin, dan mempunyai dua orang anak. Para penduduk desa kemudian membayarnya untuk mengajarkan ajaran yang benar dan menjelaskan apa yang palsu kepada mereka, mereka memberikan sebuah gubuk padanya di jalan masuk desa mereka. Namun, karena Mittavindaka tinggal bersama mereka, musuh kerajaan menyerang tempat itu sebanyak tujuh kali, tempat tinggal mereka mengalami kebakaran sebanyak tujuh kali dan tujuh kali juga persediaan air mengering.
Mereka memikirkan hal tersebut dan setuju bahwa sebelum kedatangan Mittavindaka, hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi. Sejak kehadirannya, keadaan mereka semakin memburuk. Maka mereka mengusirnya secara paksa dari desa, ia pun pergi dari tempat itu bersama keluarganya. Kemudian ia tiba di sebuah hutan yang ada penghuninya. Di sana, istri dan anak-anaknya dibunuh dan dimangsa oleh setan (amanussā). Setelah lari dari sana, ia berkelana hingga tiba di sebuah kapal yang akan memulai pelayarannya. Ia menerima pekerjaan sebagai awak kapal upahan di kapal tersebut. Kapal itu berlayar selama tujuh hari, dan pada hari ketujuh, kapal berhenti di tengah laut, seakan tersangkut di atas batu besar. Mereka kemudian melempar undian agar bisa terlepas dari kemalangan tersebut. Pengundian dilakukan sebanyak tujuh kali dan semuanya jatuh kepada Mittavindaka. Mereka memberikan sebuah rakit bambu padanya, menahannya di sana dan melemparkannya dari kapal. Dengan segera, kapal mulai bergerak kembali [240].
Mittavindaka merangkak naik ke rakit bambunya dan mengapung di atas ombak. Berkat kesetiaannya menjalankan sila di masa kehidupan Buddha Kassapa, di tengah lautan ia bertemu dengan empat putri dewata yang menetap di Istana Kaca, ia menetap bersama mereka dengan penuh kesenangan selama tujuh hari. Makhluk-makhluk dewata di istana hanya dapat menikmati kebahagiaan selama tujuh hari; begitu hari ketujuh tiba, mereka harus kembali menerima hukuman mereka lagi. Mereka meninggalkannya dengan perintah agar ia menanti kehadiran mereka. Namun, begitu mereka pergi, Mittavindaka segera berlayar pergi dengan rakitnya dan tiba di tempat delapan orang putri dewata lainnya yang menetap dalam Istana Perak. Saat meninggalkan mereka, ia tiba di tempat enam belas orang putri dewata yang menetap di Istana Permata, dan dari sana menuju ke tempat tiga puluh dua orang putri dewata yang menetap di Istana Emas. Tanpa memedulikan kata-kata mereka, ia berlayar lagi dan tiba di kota para yaksa, yang berada di antara pulau-pulau. Saat itu, ada yaksa yang sedang mengambil bentuk seekor kambing. Tanpa menyadari kambing itu adalah penjelmaan seorang yaksa wanita, Mittavindaka memutuskan untuk menyantapnya, ia menangkap kaki kambing itu. Saat itu juga, dengan kemampuannya, ia melemparkan Mittavindaka melewati lautan, hingga jatuh tepat pada tumpukan duri yang terdapat di lereng parit kering benteng Kota Benares, ia jatuh terguling di tanah.
Pada masa itu, para pencuri sering mengunjungi parit tersebut dan membunuh kambing milik raja; maka para penggembala kambing menyembunyikan diri untuk menangkap penjahat- penjahat itu.
Mittavindaka bergerak maju dan melihat kawanan kambing itu. Ia berpikir, “Seekor kambing dari pulau yang ada di antara lautan itu, karena ditangkap kakinya olehku, melemparkan aku ke sini melewati lautan. Barangkali jika aku melakukan hal yang sama terhadap salah seekor kambing ini, aku akan dilempar sekali lagi ke tempat tinggal para putri dewata istanaistana lautan tersebut.” Tanpa berpikir panjang, ia menangkap kaki salah seekor kambing. Seketika itu juga kambing tersebut mengembik dan para penggembala kambing berhamburan dari segala penjuru ke arahnya. Mereka segera menahannya sambil berteriak, “Ini adalah pencuri yang telah hidup sekian lama dari kambing-kambing milik raja.” Mereka memukulinya dan menyeretnya pergi dalam keadaan terikat untuk menghadap raja.
Pada saat yang sama, Bodhisatta bersama kelima ratus orang brahmana muda yang mengelilinginya, keluar dari kota untuk pergi mandi. Melihat dan mengenali Mittavindaka, ia berkata pada para penggembala kambing itu, “Ada apa? Ini adalah salah seorang siswa saya, Orang-orang yang baik; mengapa kalian menangkapnya?” “Tuan,” jawab mereka, “kami mendapatkan maling ini saat ia menangkap kaki seekor kambing, itulah sebabnya ia kami tahan.” “Baiklah,” [241] kata Bodhisatta, “bagaimana jika kalian membiarkan ia ikut bersama kami untuk menjalani hidup sebagai pelayan kami?” “Baiklah, Tuan,” jawab mereka dan membiarkan tahanan mereka pergi. Mereka lalu kembali ke tempat mereka. Bodhisatta bertanya kepada Mittavindaka, ke mana ia pergi selama selang waktu itu. Mittavindaka menceritakan kepadanya apa saja yang telah dilakukannya selama masa itu.
“Karena tidak mendengarkan nasihat dari mereka yang menginginkan kebaikan untuknya,” kata Bodhisatta, “ia mengalami semua kemalangan ini.” Ia membacakan syair berikut ini :
Orang yang keras kepala, pada saat dinasihati,
memberikan ketidakacuhan pada teman-teman
yang berbaik hati memberikan nasihat,
akan menimbulkan bahaya tertentu, — seperti Mittaka,
saat ia menangkap kaki kambing yang sedang merumput.
Pada saat itu, baik guru maupun Mittavindaka sama-sama meninggal dunia dan alam kelahiran mereka setelah meninggal adalah sesuai dengan perbuatan mereka masing-masing.
Sang Guru berkata, “Losaka sendiri yang menyebabkan ia menerima sedikit dana, dan juga mencapai tingkat kesucian Arahat.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Thera Losaka Tissa adalah Mittavindaka di masa itu dan Saya sendiri adalah Guru yang sangat terkenal di seluruh dunia94 tersebut.”
Catatan kaki :
86 Bersumber pada Subhūti, paṁsu-pisācakā disebutkan sebagai tingkat keempat dari peta atau ‘setan’ (mereka yang diberi bentuk dengan kerongkongan yang besar dan mulut yang tidak lebih besar dari lubang jarum, sehingga rasa lapar mereka tidak akan bisa dipuaskan, bahkan saat dalam keadaan biasa). Namun baik Manual of Buddhism karya Hardy (hal.58) maupun di Milinda (hal.294) tidak menyebutkan paṁsu-pisācakā sebagai salah satu dari empat tingkatan peta.
87 Bacaan (teks Pali) nippuñño, bukan nippañño. Lihat Ceylon R.A.S.Journal, 1884. hal.158 dan bandingkan dengan apuñño di hal.236, baris kedua puluh dari teks asli berbahasa Pali.
88 Protoplasma adalah ‘dasar dari jasmani yang membentuk kehidupan’, maka āyu-saṁkhārā adalah dasar rohani menurut ajaran Buddha. Umat Buddha memiliki tujuan untuk mencabut Lebensstoff ini sehingga tidak akan ada kelahiran kembali lagi.
89 Yakni, tidak boleh makan nasi lagi sepanjang hari itu. Jika bayangan dari lebar jari telah ditutupi oleh tongkat yang berdiri tegak lurus, seorang bhikkhu yang disiplinnya ketat, tidak akan makan nasi dan makanan sejenisnya lagi.
90 Mentega cair, mentega segar, madu, dan sari tebu .
91 Pakatatto dijelaskan oleh Rhys Davids dan Oldenberg di catatan pada hal.340 dari Sacred Books of the East Vol.XVII, dimana bhikkhu adalah ‘orang yang tidak membuat dirinya bertanggung jawab terhadap kemajuan disiplin apa pun, yang melakukan sesuatu dengan penuh keteraturan.’
92 Gaṇḍi mempunyai arti ‘sebuah gong’, bandingkan Jāt.IV.306; namun lihat catatan di hal.213 dari S.B.E Vol.XX. Ada keraguan akan makna kata kapiṭṭhena. Dapatkah bacaan asli menjadi (punadivase) nakhapiṭṭhena, yakni ‘dengan bagian belakang kukunya’? Tujuan bhikkhu itu adalah melakukan tindakan untuk membangunkan tamu tanpa mengganggu tidurnya.
93 Baca chātakadukkham untuk Jātakadukkham Fausboll.
94 Bandingkan dengan No.82, 104, 369, 439, Petavatthu No.43, Avadāna-Ṣataka No.50,
J.As.1878, dan Ind.Antiq.x.293.
‘Siapa,’ kamu tentu bertanya, ‘Thera Losaka Tissa ini?’ Baiklah, ayahnya adalah seorang nelayan di Kosala, dan ia adalah ketidakberuntungan bagi keluarganya. Ketika ia menjadi bhikkhu, tidak ada apa pun yang diberikan kepadanya. Setelah kehidupan sebelumnya berakhir, ia dikandung oleh istri seorang nelayan dari suatu desa nelayan, yang dihuni oleh seribu keluarga di Kosala. Pada hari (pertama) ia dikandung, seribu nelayan tersebut yang membawa jala di tangan pergi ke sungai dan kolam untuk menangkap ikan, tidak berhasil menangkap satu ekor ikan pun; kemalangan yang sama menimpa mereka sejak saat itu hingga seterusnya. Sebelum ia lahir, desa itu mengalami kebakaran sebanyak tujuh kali, dan dikuasai oleh musuh kerajaan sebanyak tujuh kali. Sejak saat itu, orang-orang mengalami ketidakberuntungan besar. Menyadari sebelumnya nasib mereka tidak seperti itu, sementara sekarang ini, mereka tersiksa dan mengalami kehancuran, mereka mengambil kesimpulan bahwa pasti ada pembawa ketidakberuntungan di antara mereka, dan memutuskan untuk membagi penghuni desa menjadi dua kelompok. Pembagian tersebut segera mereka lakukan, sehingga masing-masing kelompok terdiri dari lima ratus keluarga. Sejak itu kehancuran hanya terjadi pada kelompok di mana orang tua Losaka di masa yang akan datang berada; sementara kelima ratus keluarga yang lain berkembang dengan pesat. Mereka yang dituakan memutuskan untuk membagi jumlah mereka menjadi dua lagi, dan terus melakukan hal tersebut sehingga yang tersisa hanya satu keluarga itu saja yang dipisahkan dari penghuni lainnya. Dengan demikian mereka tahu bahwa pembawa ketidakberuntungan itu adalah keluarga tersebut, yang akhirnya mereka usir dari desa itu. [235] Dengan susah payah ibunya menafkahi kehidupan mereka; sewaktu saat melahirkan tiba, ia melahirkan putranya di suatu tempat tertentu. (Saat seseorang yang lahir dalam kelahirannya yang terakhir, ia tidak akan bisa dibunuh. Seperti lampu dalam bejana, demikianlah di dalam batinnya menyala kobaran takdirnya untuk menjadi seorang Arahat.) Ibunya membesarkannya hingga ia mampu berlari. Setelah ia mampu berlari, ibunya menempatkan sebuah pecahan kendi di tangannya, memintanya pergi ke sebuah rumah untuk mengemis, sementara itu, ibunya pergi meninggalkannya. Sejak itu, anak yang ditinggalkan sendiri itu mengemis makanan di sekitar tempat tersebut, dan tidur di tempat mana pun yang ditemukannya. Ia tidak pernah dimandikan dan dipelihara dengan baik, dan bertahan hidup seperti pisaca pemakan sampah86. Ketika berusia tujuh tahun, ia memungut dan menyantap gumpalan demi gumpalan nasi yang ditemukannya di luar pintu rumah, yang dibuang orang ketika mencuci pot nasi.
Sāriputta, sang Panglima Dhamma, saat pergi ke Sawatthi untuk melakukan pindapata, menemukan anak itu, bertanya-tanya dari manakah anak yang terlihat berantakan itu berasal. Dipenuhi oleh kasih sayang, ia memanggil anak tersebut. “Kemarilah, Nak.” Anak itu mendekat, membungkuk pada sang thera dan berdiri di hadapannya. Sāriputta kemudian bertanya, “Engkau berasal dari desa mana dan dimanakah orang tuamu berada?”
“Saya adalah orang miskin, Bhante,” jawab anak itu, “orang tua saya telah lelah merawat saya, mereka meninggalkan saya dan pergi sendiri.”
“Maukah engkau menjadi bhikkhu?” “Saya ingin sekali, namun siapakah yang mau menerima orang tidak beruntung seperti saya menjadi anggota Sanggha?” “Saya bersedia menerimamu.” “Kalau begitu, mohon terimalah saya menjadi seorang bhikkhu.”
Thera tersebut memberikan makanan kepada anak itu dan membawanya ke wihara, ia sendiri yang memandikannya dan menjadikannya sebagai samanera sebelum ditahbiskan menjadi bhikkhu di kemudian hari setelah ia cukup dewasa. Setelah dewasa, ia dikenal sebagai Thera Losaka Tissa; ia selalu tidak beruntung87, dan hanya mendapatkan sedikit persembahan. Cerita berkembang bahwa, tidak peduli betapa berlimpahnya persembahan yang diberikan, ia tidak pernah mendapatkan makanan yang dapat membuatnya kenyang, hanya sekedar membuatnya mampu bertahan hidup saja. Satu sendok nasi saja telah membuat pattanya terlihat sangat penuh, sehingga pemberi dana yang mengira pattanya telah penuh, akan memberikan dana kepada orang berikutnya. Saat nasi telah diberikan ke pattanya, dikatakan bahwa nasi yang berada di piring pemberi dana akan menghilang. Demikian juga yang terjadi dengan persembahan makanan lainnya. Walaupun demikian, dengan berlalunya waktu, ia berhasil mengembangkan kesadarannya dan mencapai phala tertinggi, yakni tingkat kesucian Arahat, namun ia tetap mendapatkan persembahan dana dalam jumlah yang sedikit.
Setelah waktunya telah sempurna, ketika jasmani yang menentukan jalan hidupnya 88 telah usang, tiba saat baginya untuk meninggalkan dunia ini. Sang Panglima Dhamma, saat bermeditasi, mengetahui hal tersebut, kemudian berpikir, “Losaka Tissa akan meninggal hari ini; bagaimana pun juga, hari ini saya akan memastikan ia dapat makan hingga kenyang.” Maka ia membawa thera itu pergi ke Sawatthi untuk berpindapata. Namun, karena Losaka ikut bersamanya, semua itu sia-sia, walaupun Sāriputta mengulurkan tangan untuk menerima dana makanan di Sawatthi yang padat penduduknya, mereka hanya memberikan penghormatan kepadanya. Maka ia meminta Thera Losaka untuk pulang terlebih dahulu dan mengambil tempat di ruang duduk wihara, sementara ia sendiri mengumpulkan makanan yang kemudian dikirimkannya dengan pesan [236] agar makanan itu diberikan kepada Thera Losaka. Setiap orang yang menerima titipan makanan itu pergi dengan membawa makanan tersebut, namun kemudian mereka melupakan semua hal tentang Losaka, dan memakan semuanya sendiri. Ketika Sāriputta bangkit dan masuk ke dalam wihara, Losaka menemuinya dan memberikan penghormatan kepadanya. Sāriputta berhenti, memutar badannya dan bertanya, “Sudahkah kamu menerima makanan itu?”
“Saya akan, tanpa diragukan, menerimanya pada waktu yang tepat,” jawab Thera Losaka. Sāriputta merasa sangat tidak enak hati, ia melihat sudah jam berapakah saat itu. Tengah hari89 telah terlewati. “Tunggu disini, Bhikkhu,” kata Sāriputta, “jangan pergi ke mana-mana”, ia membuat Losaka Tissa mengambil tempat di ruang duduk, dan ia pergi ke istana Raja Kosala. Raja meminta agar pattanya dibawakan dan berkata saat itu telah melewati tengah hari, karena itu bukan lagi saat untuk makan nasi, memerintahkan agar mangkuknya diisi dengan empat jenis makanan yang manis90. Dengan makanan tersebut, ia kembali ke wihara, berdiri dihadapan Losaka, dengan patta di tangan, meminta orang bijaksana itu untuk makan, namun Thera Losaka merasa malu, rasa hormat yang dimilikinya terhadap Sāriputta, membuat ia menolak untuk makan. “Makanlah, Thera Tissa,” kata Sāriputta, “saya harus berdiri dengan memegang patta, sementara engkau duduk dan makan. Jika patta ini terlepas dari tangan saya, semua makanan di dalamnya akan lenyap.”
Maka Thera Losaka Tissa makan makanan manis tersebut, sementara sang Panglima Dhamma yang agung itu berdiri sambil memegang patta. Berkat jasa dan kekuatan dari sang thera, makanan-makanan itu tidak menghilang. Dengan demikian, Thera Losaka dapat makan sebanyak yang ia inginkan dan merasa puas, di hari yang sama ia meninggal dunia, dan ia tidak mengalami kelahiran kembali lagi.
Yang Tercerahkan Sempurna berdiri, melihat saat jasadnya dikremasi; dan mereka kemudian membangun cetiya untuk menyimpan abunya.
Saat duduk dalam sebuah pertemuan di Balai Kebenaran, para bhikkhu berkata, “Awuso, Losaka sangat tidak beruntung, ia hanya mendapatkan sedikit persembahan dana. Bagaimana ia yang begitu tidak beruntung, dengan kebutuhan yang tidak pernah terpenuhi bisa mencapai tingkat kesucian Arahat?”
Masuk ke dalam Balai Kebenaran, Sang Guru menanyakan topik pembicaraan mereka, mereka pun menceritakannya kepada Beliau. “Para Bhikkhu,” Beliau berkata, “tindakan bhikkhu itu sendiri yang membuat ia menerima sedikit persembahan dana, demikian juga dengan pencapaian tingkat kesucian Arahat. Di kehidupan yang lampau, ia menghalangi orang lain menerima persembahan, akibatnya ia hanya mendapatkan sedikit persembahan dana di kelahiran ini. Karena melakukan meditasi terhadap ketidakkekalan, penderitaan, keadaan tanpa inti, ia mencapai tingkat kesucian Arahat dengan kemampuannya sendiri.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu di masa kehidupan Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang hidup di pedesaan, yang disokong oleh seorang tuan tanah. Tingkah lakunya sebagai seorang bhikkhu91 biasa-biasa saja, ia menjalankan sila dan memenuhi dirinya dengan meditasi (vipassana). Di tempat itu juga terdapat seorang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat, ia hidup bersama teman-temannya dalam kesetaraan, saat kisah ini berlangsung, ia sedang melakukan kunjungan pertama ke desa yang dihuni oleh tuan tanah yang menyokong kehidupan bhikkhu tersebut. Tuan tanah [237] yang merasa senang melihat perilaku thera itu, mengambil patta dan mempersilakannya masuk ke rumahnya, dan dengan penuh hormat mengundangnya untuk makan. Kemudian ia mendengarkan khotbah singkat yang disampaikan oleh thera tersebut. Di akhir khotbah, tuan tanah itu berkata, “Bhante, jangan pergi lebih jauh dari tempat di sekitar wihara kami. Pada sore hari, saya akan datang untuk menemuimu di sana.” Maka thera tersebut pergi ke wihara desa tersebut, memberikan salam kepada bhikkhu yang menghuni wihara saat masuk ke sana. Setelah memberikan sapaan yang penuh kesopanan, thera tersebut mengambil tempat di samping bhikkhu itu. Bhikkhu itu menerima kedatangannya denganramah, dan menanyakan apakah ia telah mendapatkan dana makanan.
“Sudah,” jawab Thera tersebut. “Dimanakah engkau mendapatkannya?” “Di sekitar sini, di rumah seorang tuan tanah.” Setelah mengatakan hal tersebut, Thera tersebut menanyakan kamarnya dan pergi untuk mempersiapkannya. Setelah meletakkan patta dan jubahnya di satu sisi, ia duduk bermeditasi, menikmati kebahagiaan vipassana, menyelami rasa bahagia dalam magga dan phala.
Sore harinya, tuan tanah tersebut datang, diiringi oleh para pelayan yang membawa bunga, wewangian, pelita dan minyak. Setelah memberikan salam kepada bhikkhu yang tinggal di wihara itu, ia bertanya apakah tamunya telah sampai, seorang thera. Mendengar jawaban bahwa tamu itu telah sampai, ia menanyakan dimana thera itu berada. Setelah mengetahui kamar mana yang diberikan kepada thera tersebut, ia pun mengunjunginya. Pertama-tama ia memberikan hormat dengan penuh kesopanan, kemudian duduk di sisi thera tersebut dan mendengarkan Dhamma yang disampaikan olehnya. Di sore yang dingin itu, tuan tanah tersebut memberikan persembahan pada Pohon Cetiya dan Pohon Bodhi, kemudian menyalakan pelita dan pergi setelah menyampaikan undangan kepada thera dan bhikkhu itu, agar datang ke rumahnya keesokan hari untuk menerima persembahan dana makanan darinya.
“Saya telah kehilangan kendali atas tuan tanah itu,” pikir bhikkhu itu. “Jika thera ini menetap, saya tidak akan dapat menandinginya.” Ia merasa tidak senang dan mencari cara licik agar thera itu dapat melihat bahwa ia tidak boleh menetap di sana demi kebaikannya. Karenanya, saat thera tersebut memberikan penghormatan di awal hari, bhikkhu itu tidak membuka mulutnya. Sang arahat membaca pikiran bhikkhu itu dan berkata pada dirinya sendiri, “Bhikkhu ini tidak mengetahui bahwa saya tidak akan menghalanginya, baik dari keluarga yang menyokongnya, maupun posisinya sebagai bhikkhu.” Thera tersebut kemudian kembali ke kamar, masuk ke dalam kebahagiaan vipassana dan juga phala.
Keesokan harinya, bhikkhu itu, membunyikan gong 92 dengan hati-hati, menyentuh gong tersebut dengan bagian belakang kukunya, dan pergi sendiri ke rumah tuan tanah itu. Sambil mengambil patta dari tangan bhikkhu itu, tuan tanah tersebut memintanya untuk duduk dan menanyakan dimanakah orang baru itu berada.
“Saya tidak mengetahui kabar temanmu,” jawab bhikkhu itu. “Walaupun saya telah memukul gong dan mengetuk pintu kamarnya, saya tidak dapat membangunkannya. Saya hanya bisa menduga bahwa makanan pilihan [238] di sini kemarin tidak sesuai dengan seleranya, dan dia masih memikirkan baik buruknya. Mungkin dengan melakukan ini, ia ingin menyampaikan hal tersebut kepadamu.”
(Sementara itu, arahat yang menunggu hingga waktu untuk melakukan pindapata tiba, mandi, berpakaian dan bangkit dengan membawa pattanya, ia melayang ke udara dan pergi ke tempat yang lain)
Penjaga itu mempersembahkan nasi dan susu untuk dimakan oleh bhikkhu tersebut, bersama dengan mentega cair, madu, gula. Kemudian patta bhikkhu itu dibersihkan dengan serbuk yang wangi (cuṇṇa) dan diisi lagi. Tuan tanah itu berkata, “Bhante, thera itu pasti kelelahan setelah perjalanannya, tolong bawakan ia makanan-makanan ini.” Tanpa keberatan apa pun, bhikkhu itu membawa makanan tersebut dan pergi, sambil berpikir, “Jika ia mencicipi makanan (enak) seperti ini sekali saja, maka ia tidak bisa diusir pergi lagi, sekali pun dengan menyeretnya atau menendangnya keluar dari pintu. Bagaimana saya dapat melenyapkan makanan seperti ini? Jika saya berikan kepada orang lain, pasti akan segera ketahuan. Jika saya buang ke sungai, mentega cair ini akan terapung di permukaan sungai. Jika dibuang ke tanah, akan membuat semua gagak di daerah ini berkumpul.” Dalam kebingungannya, ia melihat sebidang tanah yang sedang terbakar, menampakkan bara api. Ia melemparkan isi pattanya ke dalam lubang, mengisi bara api ke permukaan lubang itu, dan pulang ke rumah. Tidak menemukan thera tersebut di sana, ia berpikir bahwa sang arahat mengerti akan kecemburuannya dan telah pergi. “Menderitalah aku,” ia menangis, “untuk keserakahan yang membuat aku melakukan keburukan ini.”
Sejak saat itu, ia sakit dan berubah seperti mayat hidup. Setelah meninggal ia terlahir kembali di alam neraka, disiksa di sana selama beberapa ratus ribu tahun lamanya. Karena buah perbuatan jahatnya telah masak, dalam lima ratus kelahiran berturut-turut ia dilahirkan menjadi yaksa, yang tidak pernah mendapatkan makanan yang cukup, hanya satu kali, saat ia menikmati sampah yang tersedia dalam jumlah yang berlimpah. Kemudian untuk lima ratus kali kelahiran berikutnya ia terlahir menjadi anjing, yang juga hanya pernah kenyang satu kali saja, yakni saat makan sejumlah nasi yang dimuntahkan; tidak ada kesempatan lainnya yang memungkinkan ia makan hingga kenyang. Saat berhenti terlahir sebagai anjing, ia terlahir di keluarga pengemis di sebuah desa di Kasi. Begitu ia lahir, keluarga itu menjadi semakin melarat, ia tidak pernah mendapatkan setengah bagian dari bubur kanji yang ia inginkan. Ia dipanggil Mittavindaka [239].
Tidak mampu menahan rasa perih akibat lapar93 yang menyerang, orang tuanya memukul dan mengusirnya pergi, sambil berteriak, “Pergilah, engkau anak sial!”
Dalam perjalanannya, anak buangan ini sampai ke Benares, dimana saat itu Bodhisatta adalah seorang guru yang sangat terkenal di seluruh dunia, dengan lima ratus orang brahmana muda yang menerima pelajaran darinya. Di masa itu, para penduduk mempunyai kebiasaan untuk memberi makanan seadanya kepada anak-anak miskin dan memberikan pendidikan kepada mereka secara gratis. Mittavindaka juga menjadi salah seorang siswa yang dibiayai melalui derma penduduk di bawah asuhan Bodhisatta. Namun, ia sangat liar dan keras kepala, selalu berkelahi dengan teman-temannya dan tidak mengindahkan teguran dari gurunya. Dengan demikian, sia-sialah biaya yang mereka bayarkan kepada Bodhisatta. Saat terlibat pertengkaran dan tidak mau menerima teguran, anak itu melarikan diri dari sana, dan tiba di sebuah desa di pinggiran, tempat dimana ia menerima pekerjaan upahan untuk menghidupi dirinya. Kemudian ia menikah dengan seorang wanita miskin, dan mempunyai dua orang anak. Para penduduk desa kemudian membayarnya untuk mengajarkan ajaran yang benar dan menjelaskan apa yang palsu kepada mereka, mereka memberikan sebuah gubuk padanya di jalan masuk desa mereka. Namun, karena Mittavindaka tinggal bersama mereka, musuh kerajaan menyerang tempat itu sebanyak tujuh kali, tempat tinggal mereka mengalami kebakaran sebanyak tujuh kali dan tujuh kali juga persediaan air mengering.
Mereka memikirkan hal tersebut dan setuju bahwa sebelum kedatangan Mittavindaka, hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi. Sejak kehadirannya, keadaan mereka semakin memburuk. Maka mereka mengusirnya secara paksa dari desa, ia pun pergi dari tempat itu bersama keluarganya. Kemudian ia tiba di sebuah hutan yang ada penghuninya. Di sana, istri dan anak-anaknya dibunuh dan dimangsa oleh setan (amanussā). Setelah lari dari sana, ia berkelana hingga tiba di sebuah kapal yang akan memulai pelayarannya. Ia menerima pekerjaan sebagai awak kapal upahan di kapal tersebut. Kapal itu berlayar selama tujuh hari, dan pada hari ketujuh, kapal berhenti di tengah laut, seakan tersangkut di atas batu besar. Mereka kemudian melempar undian agar bisa terlepas dari kemalangan tersebut. Pengundian dilakukan sebanyak tujuh kali dan semuanya jatuh kepada Mittavindaka. Mereka memberikan sebuah rakit bambu padanya, menahannya di sana dan melemparkannya dari kapal. Dengan segera, kapal mulai bergerak kembali [240].
Mittavindaka merangkak naik ke rakit bambunya dan mengapung di atas ombak. Berkat kesetiaannya menjalankan sila di masa kehidupan Buddha Kassapa, di tengah lautan ia bertemu dengan empat putri dewata yang menetap di Istana Kaca, ia menetap bersama mereka dengan penuh kesenangan selama tujuh hari. Makhluk-makhluk dewata di istana hanya dapat menikmati kebahagiaan selama tujuh hari; begitu hari ketujuh tiba, mereka harus kembali menerima hukuman mereka lagi. Mereka meninggalkannya dengan perintah agar ia menanti kehadiran mereka. Namun, begitu mereka pergi, Mittavindaka segera berlayar pergi dengan rakitnya dan tiba di tempat delapan orang putri dewata lainnya yang menetap dalam Istana Perak. Saat meninggalkan mereka, ia tiba di tempat enam belas orang putri dewata yang menetap di Istana Permata, dan dari sana menuju ke tempat tiga puluh dua orang putri dewata yang menetap di Istana Emas. Tanpa memedulikan kata-kata mereka, ia berlayar lagi dan tiba di kota para yaksa, yang berada di antara pulau-pulau. Saat itu, ada yaksa yang sedang mengambil bentuk seekor kambing. Tanpa menyadari kambing itu adalah penjelmaan seorang yaksa wanita, Mittavindaka memutuskan untuk menyantapnya, ia menangkap kaki kambing itu. Saat itu juga, dengan kemampuannya, ia melemparkan Mittavindaka melewati lautan, hingga jatuh tepat pada tumpukan duri yang terdapat di lereng parit kering benteng Kota Benares, ia jatuh terguling di tanah.
Pada masa itu, para pencuri sering mengunjungi parit tersebut dan membunuh kambing milik raja; maka para penggembala kambing menyembunyikan diri untuk menangkap penjahat- penjahat itu.
Mittavindaka bergerak maju dan melihat kawanan kambing itu. Ia berpikir, “Seekor kambing dari pulau yang ada di antara lautan itu, karena ditangkap kakinya olehku, melemparkan aku ke sini melewati lautan. Barangkali jika aku melakukan hal yang sama terhadap salah seekor kambing ini, aku akan dilempar sekali lagi ke tempat tinggal para putri dewata istanaistana lautan tersebut.” Tanpa berpikir panjang, ia menangkap kaki salah seekor kambing. Seketika itu juga kambing tersebut mengembik dan para penggembala kambing berhamburan dari segala penjuru ke arahnya. Mereka segera menahannya sambil berteriak, “Ini adalah pencuri yang telah hidup sekian lama dari kambing-kambing milik raja.” Mereka memukulinya dan menyeretnya pergi dalam keadaan terikat untuk menghadap raja.
Pada saat yang sama, Bodhisatta bersama kelima ratus orang brahmana muda yang mengelilinginya, keluar dari kota untuk pergi mandi. Melihat dan mengenali Mittavindaka, ia berkata pada para penggembala kambing itu, “Ada apa? Ini adalah salah seorang siswa saya, Orang-orang yang baik; mengapa kalian menangkapnya?” “Tuan,” jawab mereka, “kami mendapatkan maling ini saat ia menangkap kaki seekor kambing, itulah sebabnya ia kami tahan.” “Baiklah,” [241] kata Bodhisatta, “bagaimana jika kalian membiarkan ia ikut bersama kami untuk menjalani hidup sebagai pelayan kami?” “Baiklah, Tuan,” jawab mereka dan membiarkan tahanan mereka pergi. Mereka lalu kembali ke tempat mereka. Bodhisatta bertanya kepada Mittavindaka, ke mana ia pergi selama selang waktu itu. Mittavindaka menceritakan kepadanya apa saja yang telah dilakukannya selama masa itu.
“Karena tidak mendengarkan nasihat dari mereka yang menginginkan kebaikan untuknya,” kata Bodhisatta, “ia mengalami semua kemalangan ini.” Ia membacakan syair berikut ini :
Orang yang keras kepala, pada saat dinasihati,
memberikan ketidakacuhan pada teman-teman
yang berbaik hati memberikan nasihat,
akan menimbulkan bahaya tertentu, — seperti Mittaka,
saat ia menangkap kaki kambing yang sedang merumput.
Pada saat itu, baik guru maupun Mittavindaka sama-sama meninggal dunia dan alam kelahiran mereka setelah meninggal adalah sesuai dengan perbuatan mereka masing-masing.
Sang Guru berkata, “Losaka sendiri yang menyebabkan ia menerima sedikit dana, dan juga mencapai tingkat kesucian Arahat.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Thera Losaka Tissa adalah Mittavindaka di masa itu dan Saya sendiri adalah Guru yang sangat terkenal di seluruh dunia94 tersebut.”
Catatan kaki :
86 Bersumber pada Subhūti, paṁsu-pisācakā disebutkan sebagai tingkat keempat dari peta atau ‘setan’ (mereka yang diberi bentuk dengan kerongkongan yang besar dan mulut yang tidak lebih besar dari lubang jarum, sehingga rasa lapar mereka tidak akan bisa dipuaskan, bahkan saat dalam keadaan biasa). Namun baik Manual of Buddhism karya Hardy (hal.58) maupun di Milinda (hal.294) tidak menyebutkan paṁsu-pisācakā sebagai salah satu dari empat tingkatan peta.
87 Bacaan (teks Pali) nippuñño, bukan nippañño. Lihat Ceylon R.A.S.Journal, 1884. hal.158 dan bandingkan dengan apuñño di hal.236, baris kedua puluh dari teks asli berbahasa Pali.
88 Protoplasma adalah ‘dasar dari jasmani yang membentuk kehidupan’, maka āyu-saṁkhārā adalah dasar rohani menurut ajaran Buddha. Umat Buddha memiliki tujuan untuk mencabut Lebensstoff ini sehingga tidak akan ada kelahiran kembali lagi.
89 Yakni, tidak boleh makan nasi lagi sepanjang hari itu. Jika bayangan dari lebar jari telah ditutupi oleh tongkat yang berdiri tegak lurus, seorang bhikkhu yang disiplinnya ketat, tidak akan makan nasi dan makanan sejenisnya lagi.
90 Mentega cair, mentega segar, madu, dan sari tebu .
91 Pakatatto dijelaskan oleh Rhys Davids dan Oldenberg di catatan pada hal.340 dari Sacred Books of the East Vol.XVII, dimana bhikkhu adalah ‘orang yang tidak membuat dirinya bertanggung jawab terhadap kemajuan disiplin apa pun, yang melakukan sesuatu dengan penuh keteraturan.’
92 Gaṇḍi mempunyai arti ‘sebuah gong’, bandingkan Jāt.IV.306; namun lihat catatan di hal.213 dari S.B.E Vol.XX. Ada keraguan akan makna kata kapiṭṭhena. Dapatkah bacaan asli menjadi (punadivase) nakhapiṭṭhena, yakni ‘dengan bagian belakang kukunya’? Tujuan bhikkhu itu adalah melakukan tindakan untuk membangunkan tamu tanpa mengganggu tidurnya.
93 Baca chātakadukkham untuk Jātakadukkham Fausboll.
94 Bandingkan dengan No.82, 104, 369, 439, Petavatthu No.43, Avadāna-Ṣataka No.50,
J.As.1878, dan Ind.Antiq.x.293.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com