Sariputta | Suttapitaka | VELUKA-JĀTAKA Sariputta

VELUKA-JĀTAKA

Veḷukajātaka (Ja 43)

“Orang keras kepala,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang keras kepala. Saat Sang Bhagawan bertanya benarkah ia keras kepala seperti apa yang dilaporkan, ia mengakui hal tersebut. “Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ini bukan pertama kalinya engkau begitu keras kepala; engkau juga keras kepala di kehidupan yang lampau, [245] dan, kekeraskepalaanmu membuat engkau menolak mengikuti nasihat dari ia yang bijaksana dan penuh kebaikan, mengakibatkan engkau menemui ajal karena gigitan ular.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kerajaan Kāsi. Saat ia mampu bersikap bijaksana, ia melihat bagaimana kesenangan indriawi melahirkan penderitaan dan bagaimana kebahagiaan sejati timbul setelah kesenangan indriawi dimusnahkan. Maka ia melepaskan kesenangan indriawi dalam dirinya dan pergi ke Himalaya untuk menjadi petapa. Ia melakukan meditasi pendahuluan kasiṇa 97 , kemudian memperoleh lima kemampuan batin luar biasa dan delapan pencapaian. Ia hidup dalam kebahagiaan jhana. Setelah beberapa waktu, ia telah memiliki lima ratus orang petapa sebagai pengikut; ia merupakan guru bagi mereka.
Suatu hari, seekor ular beracun yang masih kecil menjelajahi tempat tersebut sebagaimana kebiasaan ular, sampai di gubuk dari salah seorang petapa. Bhikkhu itu kemudian memeliharanya karena merasa tertarik pada hewan tersebut, seakan ular itu adalah anaknya sendiri. Ia menempatkan ular itu di dalam sangkar bambu dan memperlakukannya dengan baik. Karena tinggal di sangkar bambu, ular itu dikenal sebagai “Bambu”. Dan karena petapa itu sangat menyayangi ular itu seakan anaknya sendiri, mereka menyebutnya sebagai “Ayah Bambu”.
Mendengar salah seorang bhikkhu memelihara ular, Bodhisatta mengundang bhikkhu tersebut dan menanyakan kebenaran laporan tersebut. Saat bhikkhu tersebut membenarkannya, Bodhisatta berkata, “Seekor ular tidak dapat dipercaya. Jangan memeliharanya lagi.”
“Namun,” bantah bhikkhu tersebut, “ular itu menghormati saya seperti seorang murid kepada gurunya;— saya tidak dapat hidup tanpanya.” “Baiklah kalau begitu,” Bodhisatta menjawab, “ketahuilah bahwa ular ini dapat membuat engkau kehilangan nyawa.” Namun, tidak menghiraukan nasihat gurunya, bhikkhu itu tetap memelihara binatang peliharaan yang tidak mampu ia singkirkan. Beberapa hari kemudian, ketika semua bhikkhu pergi untuk mengumpulkan buah-buahan, mereka menemukan tempat dimana segala jenis pohon buah tumbuh dalam jumlah yang banyak. Mereka tinggal di sana selama dua hingga tiga hari lamanya. Di antara mereka, terdapat “Ayah Bambu” yang meninggalkan ularnya dalam sangkar bambu. Dua hingga tiga hari kemudian, saat kembali, ia mengingatkan dirinya untuk memberi makan ular itu. Ia membuka sangkar sambil mengulurkan tangannya, berkata, “Mari, Anakku, kamu pasti sudah lapar.” Namun, ular yang marah karena puasa panjang itu, menggigit tangan yang diulurkan itu, membunuhnya di tempat saat itu juga, kemudian melarikan diri ke hutan.
Melihat ia telah terbujur kaku di sana, para bhikkhu melaporkan kejadian tersebut kepada Bodhisatta [246], yang meminta agar jasadnya dibakar. Kemudian, duduk di tengahtengah, ia menasihati para bhikkhu dengan mengulangi syair berikut ini : —
Orang keras kepala, yang saat dinasehati
memberikan ketidakacuhan pada teman-teman
yang berbaik hati memberikan nasihat,
seperti ‘Ayah Bambu’, yang berakhir dalam kesia-siaan.
Demikianlah nasihat Bodhisatta kepada para pengikutnya; dan dengan mengembangkan empat kediaman luhur di dalam dirinya, setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam brahma.

Sang Guru berkata, “Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya engkau menunjukkan dirimu keras kepala; engkau tidak lebih keras kepala dari kehidupan lampau, karenanya engkau menemui ajal akibat gigitan ular.” Setelah mengakhiri uraian tersebut, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan mengatakan, “Bhikkhu yang keras kepala ini adalah ‘Ayah Bambu’ di masa itu, para siswa Buddha adalah kumpulan siswa di masa itu, dan Saya sendiri adalah guru mereka.”
Catatan kaki :
97 Kasiṇa adalah salah satu kelompok objek meditasi samatha, hasil yang dicapai adalah jhāna.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com