NAKKHATTA-JĀTAKA
Nakkhattajātaka (Ja 49)
[257] “Orang-orang yang bodoh boleh saja melihat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai seorang petapa telanjang. Menurut kisah yang disampaikan secara turun menurun, seorang lelaki dari desa di dekat Kota Sawatthi melamar seorang gadis dari Sawatthi yang kastanya setara dengan mereka untuk menikah dengan putranya. Setelah menentukan waktu untuk datang menjemput mempelai wanita, ia berunding lagi dengan seorang petapa telanjang yang telah akrab dengan keluarga itu, mengenai apakah posisi bintang cukup baik jika pesta diselenggarakan pada hari itu.
“Ia tidak bertanya padaku pada awalnya,” pikir petapa itu dengan marah, “namun, setelah menetapkan hari tanpa berunding denganku, ia hanya membuat rujukan kosong bagiku sekarang. Baiklah, saya akan memberikan pelajaran kepadanya.” Maka ia menjawab bahwa posisi bintang tidak baik pada hari itu; upacara pernikahan tidak boleh diselenggarakan pada hari itu. Jika mereka tetap melakukannya, kemalangan akan menimpa mereka. Maka keluarga yang percaya pada perkataan petapa itu tidak jadi pergi ke rumah mempelai wanita pada hari itu. Sementara itu, teman mempelai wanita telah mempersiapkan pesta perayaan pernikahan tersebut. Saat melihat pihak laki-laki tidak datang, mereka berkata, “Mereka sendiri yang menentukan hari, dan mereka sendiri juga yang belum datang. Kami telah menghabiskan biaya yang cukup besar untuk acara ini. Memangnya mereka pikir mereka itu siapa? Mari kita nikahkan gadis ini kepada pemuda yang lain.” Maka mereka mencari mempelai pria yang lain dan menikahkan gadis itu kepadanya dengan semua perayaan yang telah mereka siapkan.
Keesokan harinya, pihak keluarga dari desa itu datang untuk menjemput mempelai wanita, namun penduduk Sawatthi menilai mereka sebagai berikut : — “Kalian orang-orang desa adalah taruhan yang buruk; kalian sendiri yang menentukan hari, kemudian mempermalukan kami dengan tidak hadir. Kami telah menikahkan gadis tersebut dengan orang lain.” Orang-orang desa itu mulai ribut, namun akhirnya mereka pulang kembali ke tempat mereka.
Para bhikkhu akhirnya mengetahui bagaimana petapa telanjang itu menghalangi perayaan tersebut, mereka membicarakan hal tersebut di Balai Kebenaran. Memasuki balai tersebut, dan setelah mengetahui dan mempelajari topik pembicaraan mereka, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya petapa ini menghalangi perayaan keluarga tersebut; di luar kekesalannya terhadap mereka, ia melakukan hal yang sama satu kali sebelum ini.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, beberapa orang penduduk kota melamar seorang gadis desa dan mereka telah menentukan harinya. Setelah pengaturan dilakukan, mereka baru bertanya kepada petapa keluarga mereka, apakah posisi bintang menguntungkan jika diadakan perayaan pada hari itu. Kesal karena mereka telah menetapkan waktu yang sesuai untuk mereka tanpa berunding dengannya terlebih dahulu, petapa itu memutuskan untuk menghalangi upacara pernikahan pada hari itu; [258] karena itu, ia menjawab bahwa posisi bintang sangat tidak menguntungkan pada hari itu, dan jika mereka berkeras untuk tetap melangsungkan pernikahan, kemalangan akan terjadi. Maka, dalam keyakinan terhadap petapa itu, mereka tetap berada di dalam rumah! Ketika orang-orang desa melihat penduduk kota itu tidak datang, mereka berkata, “Mereka yang menetapkan untuk melakukan pernikahan pada hari ini, dan sekarang, mereka sendiri yang tidak muncul. Memangnya mereka itu siapa?” Mereka lalu menikahkan gadis itu kepada orang lain.
Keesokan harinya penduduk kota datang dan meminta gadis itu; namun orang-orang desa itu berkata, “Kalian orang kota yang tidak mempunyai sopan santun. Kalian sendiri yang menetapkan hari dan kalian juga yang tidak datang untuk menjemput mempelai wanita. Karena kalian tidak hadir, gadis itu telah kami nikahkan dengan pemuda yang lain.” “Namun, saat kami bertanya pada petapa kami, ia mengatakan bahwa posisi bintang tidak menguntungkan. Itu sebabnya kami tidak hadir kemarin. Berikanlah gadis itu kepada kami.” “Kalian tidak datang tepat pada waktunya, sekarang ia telah menikah dengan orang lain. Bagaimana ia bisa kami nikahkan dua kali?” Sementara mereka bertengkar, ada seorang lelaki bijaksana dari kota, yang sedang mengunjungi desa tersebut untuk keperluan dagang. Mendengar penjelasan dari penduduk kota itu bahwa mereka telah berdiskusi dengan petapa mereka, dan mereka tidak hadir karena posisi bintang tidak menguntungkan, ia berseru, “Apa, benarkah posisi bintang berhubungan dengan hal ini? Bukankah mendapatkan gadis itu adalah hal yang menguntungkan?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini: —
Orang-orang bodoh boleh saja melihat pada ‘hari baik’,
namun keberuntungan tidak selalu mereka dapatkan.
Keberuntungan itu sendiri sebenarnya adalah bintang keberuntungan seseorang.
Apa yang bisa dicapai oleh sekedar posisi bintang?
Penduduk kota yang tidak mendapatkan gadis itu setelah pertengkaran, terpaksa pulang kembali ke rumah mereka!
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, petapa telanjang ini menghalangi perayaan keluarga tersebut, ia juga melakukan hal yang sama di kelahiran yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Petapa telanjang ini [259] merupakan petapa yang sama di masa itu, demikian juga dengan keluarga mempelai pria; Saya sendiri adalah orang bijaksana dan penuh kebaikan yang mengucapkan syair tersebut.”
“Ia tidak bertanya padaku pada awalnya,” pikir petapa itu dengan marah, “namun, setelah menetapkan hari tanpa berunding denganku, ia hanya membuat rujukan kosong bagiku sekarang. Baiklah, saya akan memberikan pelajaran kepadanya.” Maka ia menjawab bahwa posisi bintang tidak baik pada hari itu; upacara pernikahan tidak boleh diselenggarakan pada hari itu. Jika mereka tetap melakukannya, kemalangan akan menimpa mereka. Maka keluarga yang percaya pada perkataan petapa itu tidak jadi pergi ke rumah mempelai wanita pada hari itu. Sementara itu, teman mempelai wanita telah mempersiapkan pesta perayaan pernikahan tersebut. Saat melihat pihak laki-laki tidak datang, mereka berkata, “Mereka sendiri yang menentukan hari, dan mereka sendiri juga yang belum datang. Kami telah menghabiskan biaya yang cukup besar untuk acara ini. Memangnya mereka pikir mereka itu siapa? Mari kita nikahkan gadis ini kepada pemuda yang lain.” Maka mereka mencari mempelai pria yang lain dan menikahkan gadis itu kepadanya dengan semua perayaan yang telah mereka siapkan.
Keesokan harinya, pihak keluarga dari desa itu datang untuk menjemput mempelai wanita, namun penduduk Sawatthi menilai mereka sebagai berikut : — “Kalian orang-orang desa adalah taruhan yang buruk; kalian sendiri yang menentukan hari, kemudian mempermalukan kami dengan tidak hadir. Kami telah menikahkan gadis tersebut dengan orang lain.” Orang-orang desa itu mulai ribut, namun akhirnya mereka pulang kembali ke tempat mereka.
Para bhikkhu akhirnya mengetahui bagaimana petapa telanjang itu menghalangi perayaan tersebut, mereka membicarakan hal tersebut di Balai Kebenaran. Memasuki balai tersebut, dan setelah mengetahui dan mempelajari topik pembicaraan mereka, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya petapa ini menghalangi perayaan keluarga tersebut; di luar kekesalannya terhadap mereka, ia melakukan hal yang sama satu kali sebelum ini.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, beberapa orang penduduk kota melamar seorang gadis desa dan mereka telah menentukan harinya. Setelah pengaturan dilakukan, mereka baru bertanya kepada petapa keluarga mereka, apakah posisi bintang menguntungkan jika diadakan perayaan pada hari itu. Kesal karena mereka telah menetapkan waktu yang sesuai untuk mereka tanpa berunding dengannya terlebih dahulu, petapa itu memutuskan untuk menghalangi upacara pernikahan pada hari itu; [258] karena itu, ia menjawab bahwa posisi bintang sangat tidak menguntungkan pada hari itu, dan jika mereka berkeras untuk tetap melangsungkan pernikahan, kemalangan akan terjadi. Maka, dalam keyakinan terhadap petapa itu, mereka tetap berada di dalam rumah! Ketika orang-orang desa melihat penduduk kota itu tidak datang, mereka berkata, “Mereka yang menetapkan untuk melakukan pernikahan pada hari ini, dan sekarang, mereka sendiri yang tidak muncul. Memangnya mereka itu siapa?” Mereka lalu menikahkan gadis itu kepada orang lain.
Keesokan harinya penduduk kota datang dan meminta gadis itu; namun orang-orang desa itu berkata, “Kalian orang kota yang tidak mempunyai sopan santun. Kalian sendiri yang menetapkan hari dan kalian juga yang tidak datang untuk menjemput mempelai wanita. Karena kalian tidak hadir, gadis itu telah kami nikahkan dengan pemuda yang lain.” “Namun, saat kami bertanya pada petapa kami, ia mengatakan bahwa posisi bintang tidak menguntungkan. Itu sebabnya kami tidak hadir kemarin. Berikanlah gadis itu kepada kami.” “Kalian tidak datang tepat pada waktunya, sekarang ia telah menikah dengan orang lain. Bagaimana ia bisa kami nikahkan dua kali?” Sementara mereka bertengkar, ada seorang lelaki bijaksana dari kota, yang sedang mengunjungi desa tersebut untuk keperluan dagang. Mendengar penjelasan dari penduduk kota itu bahwa mereka telah berdiskusi dengan petapa mereka, dan mereka tidak hadir karena posisi bintang tidak menguntungkan, ia berseru, “Apa, benarkah posisi bintang berhubungan dengan hal ini? Bukankah mendapatkan gadis itu adalah hal yang menguntungkan?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini: —
Orang-orang bodoh boleh saja melihat pada ‘hari baik’,
namun keberuntungan tidak selalu mereka dapatkan.
Keberuntungan itu sendiri sebenarnya adalah bintang keberuntungan seseorang.
Apa yang bisa dicapai oleh sekedar posisi bintang?
Penduduk kota yang tidak mendapatkan gadis itu setelah pertengkaran, terpaksa pulang kembali ke rumah mereka!
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, petapa telanjang ini menghalangi perayaan keluarga tersebut, ia juga melakukan hal yang sama di kelahiran yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Petapa telanjang ini [259] merupakan petapa yang sama di masa itu, demikian juga dengan keluarga mempelai pria; Saya sendiri adalah orang bijaksana dan penuh kebaikan yang mengucapkan syair tersebut.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com