Sariputta | Suttapitaka | MAHĀSĪLAVA-JĀTAKA Sariputta

MAHĀSĪLAVA-JĀTAKA

Mahāsī­la­vajā­taka (Ja 51)

“Berusaha keraslah, Saudaraku,” dan seterusnya. Kisah ini disampaikan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang menyerah dalam usaha kerasnya. Ketika ditanya oleh Sang Guru apakah laporan terse-but benar bahwa ia orang yang menyerah, bhikkhu tersebut [262] berkata hal itu benar adanya. “Bagaimana engkau bisa,” kata Sang Guru, “begitu dingin terhadap keyakinan yang membawa pada pembebasan? Bahkan saat ia yang bijaksana dan baik di kehidupan lampau kehilangan kerajaan mereka, ketetapan hati mereka tidak surut, hingga akhirnya mereka memenangkan kembali kekuasaan mereka.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai putra raja; saat upacara pemberian nama, mereka memberinya nama Mahāsīlavā (Pangeran Kebaikan). Pada usia enam belas tahun, ia telah menyelesaikan pendidikannya, setelah ayahnya meninggal, ia dinobatkan menjadi raja, yang memerintah rakyatnya dengan penuh kebaikan, dengan gelar Raja Kebaikan. Di keempat gerbang kotanya ia membangun balai distribusi dana, kemudian satu di pusat kota dan satu lagi di gerbang istana. — dengan jumlah keseluruhannya adalah enam. Masing-masing ia manfaatkan untuk menyalurkan dana kepada para pengembara yang miskin dan membutuhkannya. Ia menjalankan sila dan uposatha. Ia sangat sabar, penuh cinta kasih dan kebaikan, dan juga belas kasih; ia memerintah negeri tersebut dengan penuh keadilan, membahagiakan semua makhluk yang sejenis dengan rasa cinta dari seorang ayah kepada putra kesayangannya.
Suatu hari, seorang menteri raja melakukan penyelewengan di tempat tinggal selir raja, hal ini menjadi bahan pembicaraan orang banyak. Para menteri melaporkan hal terse-but kepada raja. Setelah menyelidiki sendiri hal tersebut, raja mendapatkan kesalahan menteri itu dengan sangat jelas. Maka ia memerintahkan pelaku kejahatan itu untuk menghadapnya dan berkata, “Oh, Orang yang dibutakan oleh kesalahan; kamu telah melakukan kejahatan dan tidak berharga untuk menetap di kerajaanku. Bawa harta bendamu, serta istri dan anakmu, kemudian pergilah.” Diusir dari kerajaan tersebut, menteri itu meninggalkan Negeri Kāsi dan melayani Raja Kosala, akhirnya ia naik pangkat menjadi penasihat pribadi kerajaan. Suatu hari, ia berkata kepada Raja Kosala, “Paduka, Kerajaan Benares bagaikan sarang madu berkualitas yang tidak tersentuh oleh lalat; Rajanya adalah kelemahan kerajaan tersebut; hanya dengan pasukan yang tidak terlalu hebat saja juga sudah bisa menaklukkan kerajaan tersebut.”
Raja Kosala menganggap Kerajaan Benares cukup luas, mempertimbangkan bahwa pasukan yang biasa-biasa saja juga sudah bisa menaklukkannya, ia menjadi curiga bahwa penasihatnya adalah orang awam yang akan membawanya masuk perangkap. “Pengkhianat,” seru Raja, “engkau pasti dibayar untuk mengucapkan kata-kata ini.”
“Tidak, saya tidak,” jawabnya; “saya menyampaikan hal yang benar. Jika paduka meragukan saya, kirim seseorang untuk melakukan pembunuhan di sebuah desa di pinggir kerajaan, lihat saat pelakunya ditangkap dan dibawa kehadapannya, raja tidak hanya membiarkan mereka tanpa hukuman, namun juga memberikan hadiah kepada mereka.”
“Ia menunjukkan gambaran yang jelas akan pernyataannya,” pikir raja tersebut, “saya akan segera menguji nasihatnya [263].” Karena itu ia mengirim beberapa orang untuk merusak desa di seberang Kerajaan Benares. Para penjahat tertangkap dan dibawa menghadap Raja Benares, yang bertanya kepada mereka, “Anak-anakku, mengapa kalian membunuh penduduk desa saya?”
“Karena kami tidak mempunyai mata pencaharian,” jawab mereka.
“Mengapa kalian tidak datang padaku?” tanya Raja, “sehingga kalian tidak akan melakukan hal seperti ini.”
Ia memberikan hadiah kepada mereka dan mengirim mereka pergi. Sekembalinya mereka dari Benares, mereka menceritakan hal tersebut kepada Raja Kosala. Namun bukti itu kurang cukup untuk membuat ia berani melakukan perjalanan merampas kerajaan itu. Kelompok yang lain dikirim untuk merusak desa yang lain, kali ini letaknya di pusat kerajaan. Kelompok ini juga dikirim pergi dengan membawa hadiah oleh Raja Benares. Namun, bukti ini juga masih kurang kuat, dan kelompok ketiga dikirim untuk merampas di jalan-jalan utama Kota Benares! Dan kelompok ini, sama seperti kelompok sebelumnya, juga dikirim pergi dengan membawa hadiah! Akhirnya ia merasa yakin bahwa Raja Benares benar-benar adalah raja yang baik. Raja Kosala menetapkan hati untuk merampas kerajaannya, dan berangkat untuk melawannya dengan membawa pasukan dan gajah-gajah.
Pada masa itu, Raja Benares memiliki seribu orang pejuang yang gagah berani, yang akan menghadapi serangan tersebut, sekalipun harus menghadapi gajah yang kejam, — gajah yang tidak takut akan kilat halilintar Indra, — mereka adalah kelompok yang tiada tandingannya, para pahlawan yang tidak terkalahkan, yang siap menerima perintah raja untuk menempatkan seluruh India di bawah kekuasaan raja! Mereka, saat mendengar kabar bahwa Raja Kosala akan datang untuk mengambil alih Kerajaan Benares, datang menghadap penguasa mereka dengan membawa berita tersebut, dan memohon agar mereka dapat dikirim untuk melawan para penyerbu. “Kami akan mengalahkan dan menangkapnya, Paduka,” kata mereka, “sebelum ia sempat menginjakkan kaki di perbatasan kota.”
“Jangan begitu, Anak-anakku,” kata Raja. “jangan sampai ada yang menderita karena saya. Biarkan mereka yang menginginkan kerajaan ini menangkapku jika mereka mau.” Dan melarang mereka untuk bertempur dengan para penyerbu itu.
Raja Kosala telah melewati batas desa dan tiba di bagian tengah negeri tersebut. Para menteri kembali menghadap raja untuk mengulangi permohonan mendesak tersebut. Namun, raja tetap menolaknya. Sekarang, Raja Kosala telah sampai di bagian luar kota, dan mengirimkan pesan kepada raja, memberi perintah agar ia menyerahkan kerajaannya atau berperang. “Saya tidak akan berperang,” begitulah balasan pesan dari Raja Benares; “Biarkan ia mengambil alih kerajaanku.”
Untuk ketiga kalinya para menteri menghadap dan memohon kepada raja agar tidak membiarkan Raja Kosala masuk ke dalam kota, sebaliknya memberi izin kepada mereka untuk menjatuhkan dan menangkapnya sebelum ia mencapai kota. Raja tetap menolak dan memerintahkan agar gerbang kota dibuka, [264] ia duduk tinggi di atas singgasananya dengan seribu orang menteri berada di sekelilingnya.
Masuk ke dalam kota tanpa ada yang menghalanginya, Raja Kosala bersama para pasukannya langsung maju ke istana kerajaan. Gerbang istana terbuka lebar; dan di singgasana yang mewah, dengan seribu orang menteri berada di sekelilingnya, duduklah Raja Kebaikan dengan kebesarannya. “Tangkap mereka semua,” seru Raja Kosala, “ikat tangan mereka ke belakang dengan kuat, dan giring mereka ke pemakaman! Gali sebuah lubang besar dan kubur mereka hidup-hidup sebatas leher. Dengan demikian, mereka tidak bisa menggerakkan tangan maupun kaki mereka. Serigala akan ke sana di waktu malam dan memberikan penguburan untuk mereka!”
Atas perintah raja yang lalim itu, para pengikutnya mengikat Raja Benares dan para menterinya, dan menggiring mereka pergi. Sampai saat itu, tidak sedikit pun kemarahan yang timbul dalam diri Raja Kebaikan yang agung terhadap raja yang lalim itu. Tidak ada seorang pun di antara para menterinya, meskipun dibawa pergi dalam keadaan terikat, yang melanggar perintah raja, — begitu sempurnanya kedisiplinan para pengikut Raja Kebaikan.
Raja Kebaikan dan para menterinya dibawa dan dikuburkan sebatas leher di pemakaman, — Raja tersebut berada di tengah dan para menterinya tersebar di sisi-sisi lainnya. Tanah di atas mereka diinjak-injak, kemudian mereka ditinggalkan di sana. Dengan hati yang lembut dan bebas dari kemarahan terhadap orang yang menginjak-injak mereka, Raja Kebaikan menasihati mereka yang mendampinginya dengan berkata, “Jangan isi hatimu dengan apa-apa selain rasa cinta kasih dan belas kasih, Anak-anakku.”
Tengah malam adalah saat kawanan serigala melintas untuk berpesta pora dengan daging manusia. Begitu melihat kawanan binatang buas tersebut, raja dan para pendampingnya berteriak bersama dengan suara yang sangat keras, membuat serigala-serigala itu melarikan diri dengan ketakutan. Berhenti di sana, kawanan itu melihat ke belakang, kemudian kembali lagi. Teriakan yang kedua kalinya membuat mereka mundur lagi, namun kembali lagi seperti sebelumnya. Pada teriakan ketiga, melihat tidak ada orang di antara mereka yang mengejar, para serigala itu berpikir, “Mereka pasti orang-orang yang mendapat hukuman mati.” Kawanan serigala itu mendekat dengan berani walaupun suara teriakan itu masih terjadi, mereka tidak kabur lagi. Saat mendekat, masing-masing dari mereka memilih mangsanya sendiri, — pemimpin kawanan serigala itu mendapatkan raja sebagai korbannya, dan serigala-serigala lainnya mendapatkan para pendamping raja. [265] Raja yang panjang akal itu melihat kedatangan binatang buas itu, menjulurkan lehernya seperti bersiap-siap untuk menerima gigitan, namun kemudian dengan cepat menancapkan giginya ke kerongkongan serigala dengan cengeraman sekuat jepitan tang! Tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman yang kuat dari gigitan raja, dan takut akan kematian membuat serigala itu melolong dengan keras. Saat pimpinan serigala itu melolong kesakitan, kawanan yang lain menyadari bahwa pemimpin mereka pasti telah ditangkap oleh seorang manusia. Tanpa berniat untuk mendapatkan target mereka lagi, mereka semua berlari tungganglanggang untuk menyelamatkan diri.
Mencari cara untuk melepaskan diri dari gigi raja tersebut, serigala yang terjebak itu melompat secara serampangan ke depan maupun ke belakang, akibatnya, tanah di sekitar Raja berhamburan kemana-mana. Raja kemudian melepaskan serigala tersebut, dan berusaha sekuat tenaga untuk menarik satu sisi ke sisi yang lain, sehingga tangannya bebas dari ikatan! Kemudian, dengan memegang pinggiran lubang itu, ia menarik dirinya naik, dan naik ke atas seperti awan melayang dengan cepat mendahului angin. Meminta para pendampingnya untuk tetap semangat, ia mulai membebaskan tanah di sekitar mereka dan mengeluarkan mereka, hingga akhirnya semua menterinya terbebaskan dan berdiri di atas pemakaman itu sekali lagi.
Saat yang sama, ada satu mayat yang tidak ada pelindungnya lagi tergeletak di suatu bagian pemakaman, yang merupakan batas wilayah kekuasan di antara dua yaksa. Kedua yaksa itu sedang berselisih mengenai pembagian mayat itu.
“Kita tidak bisa membaginya sendiri,” kata mereka, “Raja Kebaikan ini sangat adil; Ia akan membagikannya untuk kita. Mari kita pergi menemuinya.” Maka mereka menyeret mayat itu dengan menarik kakinya menghadap raja, berkata, “Paduka, bagilah mayat ini dan berikanlah bagian kami masing-masing pada kami.” “Pasti akan saya lakukan, Teman,” kata raja, “namun, karena kotor, saya harus mandi terlebih dahulu.”
Seketika itu juga, dengan kekuatan gaib mereka, yaksayaksa itu membawa raja ke tempat pemandian yang wangi, yang dipersiapkan sebagai tempat pemandian perampas kekuasaan itu. Setelah mandi, mereka memberikannya sebuah jubah yang dipersiapkan untuk dipakai oleh perampas kekuasaan itu. Setelah raja memakai jubah tersebut, mereka membawakan sebuah kotak yang berisikan empat jenis wewangian kepadanya. Selesai mengharumkan diri, mereka membawakan beraneka macam bunga yang diletakkan di pot-pot yang berhiaskan permata, di dalam kotak emas. Setelah raja menghiasi diri dengan bunga-bunga tersebut, yaksa itu bertanya hal apa yang masih perlu mereka lakukannya. Raja memberikan pengertian [266] kepada mereka bahwa ia merasa lapar. Para yaksa itu pergi dan kembali dengan membawa nasi yang telah dibumbui dengan semua jenis bumbu pilihan, yang dipersiapkan di atas meja makan perampas kekuasaan itu. Raja yang telah selesai mandi dan wangi, berpakaian dan berdandan, menyantap makanan pilihan itu. Kemudian, para yaksa membawakan air yang wangi milik perampas kekuasaan untuk diminum oleh Raja Kebaikan, dengan menggunakan mangkuk emas milik perampas kekuasaan itu, tidak lupa mereka lengkapi dengan tutup emasnya. Selesai makan, raja membersihkan mulut dan tangannya. Mereka membawakannya sirih yang wangi untuk dikunyah olehnya. Kemudian bertanya apakah penguasa mereka masih mempunyai keinginan yang bisa mereka penuhi. “Ambillah untukku,” katanya, “dengan kekuatan gaib kalian, pedang kebesaran yang berada di bawah bantal perampas kekuasaan itu.” Seketika itu juga, pedang tersebut mereka bawakan untuknya. Raja mengambil mayat itu, membuatnya berdiri tegak lurus, dan membelahnya menjadi dua bagian, memberikan mereka masing-masing satu bagian. Setelah selesai, raja membersihkan pedang itu dan mempersiapkannya di sisinya.
Setelah menyantap makanan mereka, kedua yaksa yang merasa sangat senang hendak menunjukkan rasa terima kasih mereka. Mereka bertanya kepada raja apa lagi yang bisa mereka lakukan untuknya. “Kirim saya, dengan kekuatan gaib kalian,” kata Raja, “ke dalam kamar perampas kekuasaan itu, dan kirim semua menteri saya ke rumah mereka masing-masing.” “Tentu, Paduka,” jawab mereka; dan semua itu telah terpenuhi. Pada saat itu, perampas kekuasaan sedang terlelap di ranjang kerajaan dalam kamarnya di istana. Saat ia tertidur dengan tenangnya, raja menyerangnya dengan bagian pedang yang datar di perutnya. Dengan terkejut ia bangun, melalui cahaya lampu, perampas kekuasaan itu melihat penyerangnya adalah Raja Kebaikan. Dengan memberanikan diri ia bangkit dari ranjang dan berkata, “Paduka, saat malam, dengan para penjaga dan pintu yang terkunci, tidak ada yang bisa masuk. Bagaimana caramu sampai ke sisi ranjangku, dengan pedang di tangan dan memakai jubah yang begitu mewah?” Raja menceritakan dengan terperinci kisah pelariannya. Hati perampas kekuasaan itu tergerak, ia berseru, “Wahai Raja, saya, walaupun dikaruniai dengan sifat manusia, tidak mengetahui tentang kebaikanmu; Pengetahuan ini justru diberikan oleh yaksa yang buas dan kejam, yang makan daging dan darah. Mulai sekarang, saya, Paduka, [267] tidak akan merencanakan untuk melawan kebaikanmu yang agung selama engkau berkuasa.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan sumpah persahabatan di bawah pedangnya dan memohon pengampunan dari raja tersebut. Ia membuat Raja berbaring di ranjang istana, sementara ia sendiri berbaring di sebuah dipan kecil.
Keesokan paginya, saat matahari terbit, seluruh pasukannya dari semua pangkat dan derajat dikumpulkan dengan iringan bunyi genderang atas perintah dari perampas kekuasaan itu. Di hadapan mereka semua, ia memuji Raja Kebaikan, laksana purnama di ketinggian langit. Tepat di hadapan mereka semua, ia kembali memohon pengampunan raja dan mengembalikan kerajaan tersebut kepadanya, dan berkata, “Mulai sekarang, biarkan saya yang bertugas menghadapi para pemberontak; Engkau memimpin kerajaanmu, dan saya akan menjaga dan melindunginya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia menjatuhkan hukuman kepada pengkhianat yang merupakan tukang fitnah itu. Dengan diiringi pasukan dan gajah-gajahnya, ia kembali ke kerajaannya sendiri.
Duduk dalam keagungan dan kemegahan di bawah payung putih kerajaan di singgasana emas dengan kaki yang menyerupai kaki rusa, Raja Kebaikan yang agung merenungkan keagungan dirinya dan berpikir seperti ini, “Jika saya tidak gigih, saya tidak mungkin menikmati kemegahan ini, dan jumlah semua menteri saya yang masih hidup mungkin tidak mencapai seribu orang. Karena kegigihanlah saya mendapatkan kembali istana kerajaan yang telah lepas dari tangan saya, dan menyelamatkan nyawa seribu orang menteri saya. Sesungguhnya, kita harus berjuang terus menerus dengan gagah berani, karena telah melihat buah dari kegigihan itu ternyata begitu bagus.” Bersama itu, raja meluapkan perasaannya dengan mengucapkan :
Berusaha keraslah, Saudaraku;
tetap memegang harapan dengan pendirian yang teguh;
Jangan biarkan keberanianmu surut dan merasa lelah.
Saya sendiri telah melihat, setelah semua penderitaan saya berlalu,
siapa yang merupakan majikan dari hasrat hatiku.
Demikianlah yang diucapkan oleh Bodhisatta dalam luapan perasaannya, mengumumkan betapa pastinya keuntungan dari usaha yang baik setelah buahnya masak. Setelah menghabiskan hidup dengan melakukan hal yang benar, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya. [268]

Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru membabarkan Empat Kebenaran Mulia. Pada akhir khotbah, bhikkhu yang menyerah tersebut mencapai tingkat kesucian Arahat. Sang Guru kemudian mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah menteri pengkhianat di masa itu, para siswa Buddha adalah seribu menteri itu, dan Saya sendiri adalah Raja Kebaikan.”
[Catatan : Bandingkan dengan Volsung-Saga di Helden Sagen
iii.23, karya Hagen, dan Journ.of Philol.xii.120]

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com