PUṆṆAPĀTI-JĀTAKA
Puṇṇapātijātaka (Ja 53)
“Apa? Ditinggalkan tanpa dicicipi,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai minuman keras yang telah dicampur dengan obat.
Sekali waktu, beberapa pemabuk dari Sawatthi berkumpul untuk berdiskusi, mereka berkata, “Kita tidak mempunyai uang yang cukup walaupun hanya untuk membeli satu botol minuman! Bagaimana cara kita mendapatkan uang?”
“Tenanglah!” kata salah seorang penjahat itu; “Saya mempunyai sebuah rencana.”
“Apa itu?” seru penjahat yang lain.
“Berhubungan dengan kebiasaan Anāthapiṇḍika,” kata orang tersebut, “memakai cincin-cincin dan pakaian yang berharga ketika ia menghadap raja. Mari kita memalsukan sejumlah minuman keras dengan obat bius, lalu kita tempatkan di tenda penjual minuman. Kita semua akan duduk-duduk di sana saat Anāthapiṇḍika melewati tempat tersebut. ‘Datang dan bergabunglah dengan kami, Tuan Saudagar’, kita akan berseru, dan memberikan minuman tersebut kepadanya hingga ia tidak sadar. Kemudian kita akan melepaskan cincin-cincin dan pakaiannya, dan memperoleh uang untuk membeli minuman.”
Rencana itu sangat memuaskan penjahat-penjahat lainnya, dan dilaksanakan sesuai apa yang telah mereka rancang. Saat Anāthapiṇḍika dalam perjalanan pulang, mereka menemui dan mengundangnya [269] untuk bergabung bersama mereka; karena mereka mempunyai sedikit minuman keras yang langka, ia harus mencicipinya sebelum pergi.
“Apa?” pikirnya, “dapatkah orang yang percaya, yang mengetahui tentang nibbana, menyentuh minuman keras? Bagaimanapun, walau saya bukan pecandu minuman keras, saya akan menyingkap kejahatan mereka.” Maka ia pergi ke tenda mereka, cara kerja mereka segera menunjukkan padanya bahwa minuman itu telah mereka beri obat; ia memutuskan untuk membuat penjahat-penjahat itu mengambil langkah seribu. Ia mendakwa mereka memalsukan minuman keras dengan tujuan membius orang asing, kemudian merampok mereka. “Kalian duduk di tenda yang kalian dirikan, memuji minuman tersebut,” kata Anāthapiṇḍika; “namun untuk meminumnya, tidak satu pun dari kalian yang berani melakukannya. Jika minuman itu benarbenar bebas dari obat, minumlah kalian!” Pemaparan uraian itu membuat para penjahat mengambil langkah seribu, dan Anāthapiṇḍika melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya. Berpikir baik baginya untuk menceritakan kejadian itu kepada Sang Buddha, ia pergi ke Jetawana dan menuturkan peristiwa tersebut.
“Kali ini, Perumah-tangga,” kata Sang Guru, “engkau yang coba mereka tipu. Di kehidupan yang lampau, mereka mencoba menipu ia yang bijaksana dan penuh kebaikan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan para pendengar-Nya, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai saudagar di kota tersebut. Demikian juga dengan gerombolan pemabuk itu. Mereka berkomplot bersama dengan perilaku yang sama, memberi obat dalam minuman keras, dan berjumpa dengannya dengan cara yang sama, serta menawarkan hal yang sama. Saudagar tersebut sama sekali tidak berniat untuk minum, meskipun demikian, ia pergi bersama mereka, hanya untuk membongkar kejahatan mereka. Melihat cara kerja mereka dan mencium gelagat mereka, ia ingin menakut-nakuti mereka hingga kabur, maka ia memberi gambaran akan merupakan kesalahan jika ia minum minuman keras sebelum menghadap raja. “Duduklah kalian di sini,” katanya, “setelah saya menemui Raja dan dalam perjalanan pulang, saya akan minum minuman tersebut.”
Dalam perjalanan pulang, para penjahat itu memanggilnya lagi, namun saudagar itu melihat pada mangkukmangkuk yang telah diberi obat, membuat mereka goyah dengan berkata, “Saya tidak suka dengan cara kalian. Mangkuk ini sepenuh saat saya meninggalkan kalian. Kalian memuji minuman tersebut setinggi langit, namun tidak setetes pun yang masuk ke mulut kalian. Mengapa, jika itu benar-benar minuman yang baik, kalian tentu telah menghabiskan bagian kalian. Minuman ini pasti telah diberi obat!” Dan ia mengulangi syair sebagai berikut : —
Apa? Ditinggalkan tanpa dicicipi minuman yang kalian sombongkan sangat langka?
Tidak, ini membuktikan minuman keras tersebut tidak murni. [270]
Setelah mengisi hidupnya dengan melakukan perbuatan baik, Bodhisatta meninggal dan terlahir di alam bahagia.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para penjahat di kehidupan ini juga merupakan penjahat di kehidupan yang lampau, dan Saya sendiri adalah saudagar dari Benares.”
Sekali waktu, beberapa pemabuk dari Sawatthi berkumpul untuk berdiskusi, mereka berkata, “Kita tidak mempunyai uang yang cukup walaupun hanya untuk membeli satu botol minuman! Bagaimana cara kita mendapatkan uang?”
“Tenanglah!” kata salah seorang penjahat itu; “Saya mempunyai sebuah rencana.”
“Apa itu?” seru penjahat yang lain.
“Berhubungan dengan kebiasaan Anāthapiṇḍika,” kata orang tersebut, “memakai cincin-cincin dan pakaian yang berharga ketika ia menghadap raja. Mari kita memalsukan sejumlah minuman keras dengan obat bius, lalu kita tempatkan di tenda penjual minuman. Kita semua akan duduk-duduk di sana saat Anāthapiṇḍika melewati tempat tersebut. ‘Datang dan bergabunglah dengan kami, Tuan Saudagar’, kita akan berseru, dan memberikan minuman tersebut kepadanya hingga ia tidak sadar. Kemudian kita akan melepaskan cincin-cincin dan pakaiannya, dan memperoleh uang untuk membeli minuman.”
Rencana itu sangat memuaskan penjahat-penjahat lainnya, dan dilaksanakan sesuai apa yang telah mereka rancang. Saat Anāthapiṇḍika dalam perjalanan pulang, mereka menemui dan mengundangnya [269] untuk bergabung bersama mereka; karena mereka mempunyai sedikit minuman keras yang langka, ia harus mencicipinya sebelum pergi.
“Apa?” pikirnya, “dapatkah orang yang percaya, yang mengetahui tentang nibbana, menyentuh minuman keras? Bagaimanapun, walau saya bukan pecandu minuman keras, saya akan menyingkap kejahatan mereka.” Maka ia pergi ke tenda mereka, cara kerja mereka segera menunjukkan padanya bahwa minuman itu telah mereka beri obat; ia memutuskan untuk membuat penjahat-penjahat itu mengambil langkah seribu. Ia mendakwa mereka memalsukan minuman keras dengan tujuan membius orang asing, kemudian merampok mereka. “Kalian duduk di tenda yang kalian dirikan, memuji minuman tersebut,” kata Anāthapiṇḍika; “namun untuk meminumnya, tidak satu pun dari kalian yang berani melakukannya. Jika minuman itu benarbenar bebas dari obat, minumlah kalian!” Pemaparan uraian itu membuat para penjahat mengambil langkah seribu, dan Anāthapiṇḍika melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya. Berpikir baik baginya untuk menceritakan kejadian itu kepada Sang Buddha, ia pergi ke Jetawana dan menuturkan peristiwa tersebut.
“Kali ini, Perumah-tangga,” kata Sang Guru, “engkau yang coba mereka tipu. Di kehidupan yang lampau, mereka mencoba menipu ia yang bijaksana dan penuh kebaikan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan para pendengar-Nya, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai saudagar di kota tersebut. Demikian juga dengan gerombolan pemabuk itu. Mereka berkomplot bersama dengan perilaku yang sama, memberi obat dalam minuman keras, dan berjumpa dengannya dengan cara yang sama, serta menawarkan hal yang sama. Saudagar tersebut sama sekali tidak berniat untuk minum, meskipun demikian, ia pergi bersama mereka, hanya untuk membongkar kejahatan mereka. Melihat cara kerja mereka dan mencium gelagat mereka, ia ingin menakut-nakuti mereka hingga kabur, maka ia memberi gambaran akan merupakan kesalahan jika ia minum minuman keras sebelum menghadap raja. “Duduklah kalian di sini,” katanya, “setelah saya menemui Raja dan dalam perjalanan pulang, saya akan minum minuman tersebut.”
Dalam perjalanan pulang, para penjahat itu memanggilnya lagi, namun saudagar itu melihat pada mangkukmangkuk yang telah diberi obat, membuat mereka goyah dengan berkata, “Saya tidak suka dengan cara kalian. Mangkuk ini sepenuh saat saya meninggalkan kalian. Kalian memuji minuman tersebut setinggi langit, namun tidak setetes pun yang masuk ke mulut kalian. Mengapa, jika itu benar-benar minuman yang baik, kalian tentu telah menghabiskan bagian kalian. Minuman ini pasti telah diberi obat!” Dan ia mengulangi syair sebagai berikut : —
Apa? Ditinggalkan tanpa dicicipi minuman yang kalian sombongkan sangat langka?
Tidak, ini membuktikan minuman keras tersebut tidak murni. [270]
Setelah mengisi hidupnya dengan melakukan perbuatan baik, Bodhisatta meninggal dan terlahir di alam bahagia.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para penjahat di kehidupan ini juga merupakan penjahat di kehidupan yang lampau, dan Saya sendiri adalah saudagar dari Benares.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com