PHALA-JĀTAKA
Kiṃphalajātaka (Ja 54)
“Jika di dekat sebuah desa,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang upasaka yang ahli dalam hal buah-buahan. Hal ini terjadi saat seorang penjaga Kota Sawatthi mengundang Sanggha dengan Buddha sebagai guru mereka, menempatkan mereka di taman peristirahatannya, dimana mereka disuguhi bubur beras dan kue. Kemudian ia meminta tukang kebunnya berkeliling bersama para bhikkhu, dan mempersembahkan bunga dan buah-buahan lainnya kepada Yang Mulia. Patuh pada perintah tersebut, lelaki itu berjalan di taman bersama para bhikkhu; dengan sekilas pandang, ia mampu menjelaskan buah apa yang masih mentah, yang hampir masak dan yang telah masak, demikian seterusnya. Apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Saat para bhikkhu menemui Sang Buddha, mereka menyinggung betapa ahlinya tukang kebun itu, dengan berdiri di tanah, ia bisa mengatakan dengan jelas kondisi buah-buahan yang tergantung tinggi di pohon. “Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “tukang kebun ini bukan satu-satunya orang yang mempunyai pengetahuan tentang buah-buahan. Pengetahuan yang sama juga ditunjukkan oleh ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga pedagang. Setelah dewasa, ia melakukan transaksi dagang dengan lima ratus buah gerobak. Suatu hari ia tiba di jalan yang mengarah ke dalam sebuah hutan yang lebat. [271] Berhenti di pinggir, ia mengumpulkan semua gerobak dan mengatakan hal berikut ini : — “Hutan ini ditumbuhi pohon-pohon beracun. Perhatikan untuk tidak mencicipi daun, bunga atau buah yang asing bagi kalian tanpa bertanya terlebih dahulu padaku.” Semua pengikutnya berjanji untuk memperhatikan hal itu; dan perjalanan masuk ke dalam hutan pun dimulai. Di pinggir hutan, terdapat sebuah desa, dan tepat di luar desa tersebut tumbuh Pohon Kiṃphala (“Buah Apa”). Pohon ini mirip dengan pohon mangga, baik batang, cabang, daun, bunga maupun buahnya. Tidak hanya bentuk luarnya, rasa dan baunya juga sama, buah tersebut — masak maupun mentah — meniru bentuk buah mangga. Jika termakan, benar-benar beracun dan dapat menimbulkan kematian.
Beberapa pengikutnya yang serakah, yang berada di barisan depan, mendekati pohon ini dan mengiranya sebagai mangga, segera makan buah tersebut. Sementara yang lain berkata, “Mari kita bertanya kepada pemimpin kita sebelum ikut makan.” Mereka berhenti di bawah pohon, dengan buah di tangan, menanti kedatangannya. Merasa buah itu bukan buah mangga, ia berkata, “ ‘Mangga’ ini adalah buah dari Pohon Kiṃphala. Jangan sentuh buahnya.”
Setelah mencegah mereka makan buah tersebut, Bodhisatta mengalihkan perhatiannya pada mereka yang telah makan buah tersebut. Mula-mula ia memberikan obat yang membuat mereka muntah, kemudian memberikan empat jenis makanan yang manis untuk dimakan oleh mereka; akhirnya mereka sembuh.
Pada kejadian sebelum ini, beberapa gerobak berhenti di bawah pohon tersebut, dan mereka meninggal karena makan buah beracun ini, yang mereka duga sebagai buah mangga. Keesokan paginya, para penduduk desa datang. Melihat ada mayat-mayat di sana, mereka segera membuangnya di suatu tempat rahasia, kemudian pergi dengan membawa semua barang di gerobak, gerobak itu sendiri serta semua barang lain yang bisa mereka ambil.
Saat cerita ini terjadi, para penduduk muncul dengan segera di pagi hari menuju tempat pohon tersebut berada untuk mendapatkan barang rampasan yang telah mereka harapkan. “Sapi-sapi itu adalah milik kami,” kata beberapa orang. “Gerobaknya adalah kepunyaan kami,” kata yang lain; sementara beberapa lagi mengatakan bahwa barang-barang di gerobak adalah bagian mereka. Namun, saat mereka tiba dengan terengah-engah, semua orang dalam rombongan gerobak tersebut masih hidup dan dalam keadaan sehat!
“Bagaimana kalian bisa tahu kalau ini bukan buah mangga?” tuntut penduduk desa yang merasa kecewa itu. “Kami tidak tahu,” jawab orang dalam rombongan gerobak itu; “pemimpin kami yang mengetahuinya.”
Maka mereka mendatangi Bodhisatta dan bertanya, “Orang yang bijaksana, apa yang kamu lakukan sehingga kamu bisa tahu bahwa pohon ini bukan pohon mangga?”
“Ada hal-hal yang membuat aku tahu,” jawab Bodhisatta, dan ia mengulangi syair berikut ini : — [272]
Jika di dekat sebuah desa tumbuh sebatang pohon
yang tidak sulit untuk dipanjat, menjadi jelas bagiku,
tidak perlu aku buktikan lebih jauh untuk mengetahui,
— Tidak ada buah bermanfaat yang bisa tumbuh!
Setelah mengajarkan kebenaran kepada kumpulan orang bijak itu, ia mengakhiri perjalanannya dengan selamat.
“Demikianlah, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “di kehidupan yang lampau ia yang bijaksana dan penuh kebaikan sangat ahli dalam hal buah-buahan.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Para pengikut Buddha adalah orang-orang dalam rombongan gerobak itu, dan Saya sendiri adalah pemimpin gerobak tersebut.”
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga pedagang. Setelah dewasa, ia melakukan transaksi dagang dengan lima ratus buah gerobak. Suatu hari ia tiba di jalan yang mengarah ke dalam sebuah hutan yang lebat. [271] Berhenti di pinggir, ia mengumpulkan semua gerobak dan mengatakan hal berikut ini : — “Hutan ini ditumbuhi pohon-pohon beracun. Perhatikan untuk tidak mencicipi daun, bunga atau buah yang asing bagi kalian tanpa bertanya terlebih dahulu padaku.” Semua pengikutnya berjanji untuk memperhatikan hal itu; dan perjalanan masuk ke dalam hutan pun dimulai. Di pinggir hutan, terdapat sebuah desa, dan tepat di luar desa tersebut tumbuh Pohon Kiṃphala (“Buah Apa”). Pohon ini mirip dengan pohon mangga, baik batang, cabang, daun, bunga maupun buahnya. Tidak hanya bentuk luarnya, rasa dan baunya juga sama, buah tersebut — masak maupun mentah — meniru bentuk buah mangga. Jika termakan, benar-benar beracun dan dapat menimbulkan kematian.
Beberapa pengikutnya yang serakah, yang berada di barisan depan, mendekati pohon ini dan mengiranya sebagai mangga, segera makan buah tersebut. Sementara yang lain berkata, “Mari kita bertanya kepada pemimpin kita sebelum ikut makan.” Mereka berhenti di bawah pohon, dengan buah di tangan, menanti kedatangannya. Merasa buah itu bukan buah mangga, ia berkata, “ ‘Mangga’ ini adalah buah dari Pohon Kiṃphala. Jangan sentuh buahnya.”
Setelah mencegah mereka makan buah tersebut, Bodhisatta mengalihkan perhatiannya pada mereka yang telah makan buah tersebut. Mula-mula ia memberikan obat yang membuat mereka muntah, kemudian memberikan empat jenis makanan yang manis untuk dimakan oleh mereka; akhirnya mereka sembuh.
Pada kejadian sebelum ini, beberapa gerobak berhenti di bawah pohon tersebut, dan mereka meninggal karena makan buah beracun ini, yang mereka duga sebagai buah mangga. Keesokan paginya, para penduduk desa datang. Melihat ada mayat-mayat di sana, mereka segera membuangnya di suatu tempat rahasia, kemudian pergi dengan membawa semua barang di gerobak, gerobak itu sendiri serta semua barang lain yang bisa mereka ambil.
Saat cerita ini terjadi, para penduduk muncul dengan segera di pagi hari menuju tempat pohon tersebut berada untuk mendapatkan barang rampasan yang telah mereka harapkan. “Sapi-sapi itu adalah milik kami,” kata beberapa orang. “Gerobaknya adalah kepunyaan kami,” kata yang lain; sementara beberapa lagi mengatakan bahwa barang-barang di gerobak adalah bagian mereka. Namun, saat mereka tiba dengan terengah-engah, semua orang dalam rombongan gerobak tersebut masih hidup dan dalam keadaan sehat!
“Bagaimana kalian bisa tahu kalau ini bukan buah mangga?” tuntut penduduk desa yang merasa kecewa itu. “Kami tidak tahu,” jawab orang dalam rombongan gerobak itu; “pemimpin kami yang mengetahuinya.”
Maka mereka mendatangi Bodhisatta dan bertanya, “Orang yang bijaksana, apa yang kamu lakukan sehingga kamu bisa tahu bahwa pohon ini bukan pohon mangga?”
“Ada hal-hal yang membuat aku tahu,” jawab Bodhisatta, dan ia mengulangi syair berikut ini : — [272]
Jika di dekat sebuah desa tumbuh sebatang pohon
yang tidak sulit untuk dipanjat, menjadi jelas bagiku,
tidak perlu aku buktikan lebih jauh untuk mengetahui,
— Tidak ada buah bermanfaat yang bisa tumbuh!
Setelah mengajarkan kebenaran kepada kumpulan orang bijak itu, ia mengakhiri perjalanannya dengan selamat.
“Demikianlah, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “di kehidupan yang lampau ia yang bijaksana dan penuh kebaikan sangat ahli dalam hal buah-buahan.” Setelah uraian tersebut berakhir, Beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Para pengikut Buddha adalah orang-orang dalam rombongan gerobak itu, dan Saya sendiri adalah pemimpin gerobak tersebut.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com