VĀNARINDA-JĀTAKA
Vānarindajātaka (Ja 57)
“Siapa pun yang, wahai Raja Kera,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta yang hendak membunuh-Nya. Mendapatkan informasi mengenai niat Devadatta yang kejam, Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Devadatta mencari cara untuk membunuhku; Ia juga melakukan hal yang sama di kehidupan yang lampau, namun gagal melaksanakan niat jahatnya itu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seekor kera. Setelah dewasa, bentuk tubuhnya sebesar anak kuda yang dilahirkan oleh kuda betina, dan ia sangat kuat. Ia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai, di tengah sebuah pulau yang ditumbuhi dengan pohon mangga dan sukun, serta pohon buah lainnya. Di tengah sungai, antara separuh bagian pulau dan pinggir sungai itu, terdapat sebuah batu besar yang menyendiri muncul di permukaan air. Karena sekuat gajah, Bodhisatta selalu meloncat dari pinggir sungai ke batu ini, kemudian ke sisi pulau tersebut. Di sisi pulau ini, ia akan mengisi perutnya dengan buah-buahan yang tumbuh di sisi pulau itu. Kemudian kembali di sore harinya dengan cara yang sama seperti saat ia datang. Demikianlah pola hidupnya dari hari ke hari.
Pada masa itu, hiduplah seekor buaya dan pasangannya di sungai tersebut; buaya betina yang sedang mengandung bayi buaya tersebut, selalu melihat Bodhisatta saat ia pergi ke sana kemari, menaruh [279] minat untuk makan jantung kera tersebut. Maka ia memohon tuannya untuk menangkap kera tersebut untuknya. Berjanji untuk memenuhi keinginan buaya betina itu, ia pergi dan mengambil tempat di atas batu itu; bermaksud untuk menangkap kera tersebut saat ia akan pulang ke rumah di sore harinya.
Setelah menjelajahi pulau tersebut sepanjang hari, Bodhisatta melihat dengan cermat ke batu besar itu di sore harinya, dan merasa heran mengapa batu itu berada tinggi di atas air. Ia selalu menandai dengan tepat ketinggian air di sungai dan batu di sungai itu. Saat melihat walaupun ketinggian air tidak berubah, batu itu terlihat lebih tinggi di atas permukaan air, ia merasa curiga kalau buaya mungkin bersembunyi di sana untuk menangkapnya. Untuk mengetahui kebenarannya, ia berseru, seakan-akan menyapa batu tersebut, “Halo, Batu!” dan karena tidak ada balasan, ia berteriak tiga kali, “Halo, Batu!” Karena batu itu tetap diam, kera itu berseru, “Mengapa, Batu temanku, engkau tidak menjawab panggilanku hari ini?”
“Oh!” pikir buaya tersebut, “batu ini mempunyai kebiasaan untuk menjawab sapaannya. Saya harus mewakili batu untuk menjawab hari ini.” Karena itu, ia menjawab, “Ya, Kera; ada apa?” “Siapakah engkau?” tanya Bodhisatta. “Saya adalah buaya.” “Untuk apa engkau duduk di atas batu itu?” “Untuk menangkap dan menyantap jantungmu.” Karena tidak ada jalan kembali yang lain, satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah dengan mengecoh buaya tersebut. Maka Bodhisatta berseru, “Tidak ada cara lain selain menyerahkan diriku padamu. Buka mulutmu dan tangkap aku saat aku meloncat.”
Satu hal yang harus diketahui bahwa saat buaya membuka mulutnya, mata mereka akan terpejam107. Maka saat buaya tanpa curiga membuka mulutnya, matanya terpejam. Ia menanti di sana dengan mata tertutup dan rahang terbuka. Melihat hal itu, kera yang cerdik itu melompat ke atas kepala buaya dan secepat kilat mencapai pinggir sungai. Ketika kecerdikan tindakannya disadari oleh buaya, ia berkata, “Kera, ia yang di dunia ini [280] memiliki empat kualitas melampaui musuh-musuhnya. Dan kamu, saya duga, memiliki keempat hal tersebut.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :
Siapa pun yang, wahai Raja Kera, seperti dirimu,
memadukan ucapan benar, kebijaksanaan, semangat dan pelepasan,
dapat melihat musuh-musuhnya dan menemukan jalan membebaskan diri.
Dengan pujian ini terhadap Bodhisatta, buaya itu kembali ke tempat tinggalnya sendiri.
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Devadatta mencari cara untuk membunuh-Ku; Ia juga melakukan hal yang sama di kehidupan yang lampau.” Setelah mengakhiri uraian tersebut, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah buaya di masa itu, Brahmana Wanita Ciñca108 adalah buaya betina itu, dan Saya sendiri adalah Raja Kera tersebut.”
[Catatan : Bandingkan No.224 (Kumbhīla-Jātaka). Sebuah versi China diberikan oleh Beal di ‘Romantic Legend’ hal.231, dan versi Jepang di ‘Fairy Tales from Japan’ karya Griffin.]
Catatan kaki :
107 Pernyataan ini tidak berdasarkan pada kenyataan dari ilmu pengetahuan alam.
108 Identitasnya di sini adalah sebagai istri yang jahat dari buaya itu. Berkenaan dengan kenyataan Ciñca adalah seorang “petapa wanita dengan kecantikan yang langka”, yang disuap oleh musuh-musuh Gotama untuk berpura-pura hamil dan menuduh Beliau sebagai ayah dari bayinya. Bagaimana kejahatan itu terbongkar, diceritakan dalam Dhammapada, hal.338-340.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seekor kera. Setelah dewasa, bentuk tubuhnya sebesar anak kuda yang dilahirkan oleh kuda betina, dan ia sangat kuat. Ia tinggal sendirian di tepi sebuah sungai, di tengah sebuah pulau yang ditumbuhi dengan pohon mangga dan sukun, serta pohon buah lainnya. Di tengah sungai, antara separuh bagian pulau dan pinggir sungai itu, terdapat sebuah batu besar yang menyendiri muncul di permukaan air. Karena sekuat gajah, Bodhisatta selalu meloncat dari pinggir sungai ke batu ini, kemudian ke sisi pulau tersebut. Di sisi pulau ini, ia akan mengisi perutnya dengan buah-buahan yang tumbuh di sisi pulau itu. Kemudian kembali di sore harinya dengan cara yang sama seperti saat ia datang. Demikianlah pola hidupnya dari hari ke hari.
Pada masa itu, hiduplah seekor buaya dan pasangannya di sungai tersebut; buaya betina yang sedang mengandung bayi buaya tersebut, selalu melihat Bodhisatta saat ia pergi ke sana kemari, menaruh [279] minat untuk makan jantung kera tersebut. Maka ia memohon tuannya untuk menangkap kera tersebut untuknya. Berjanji untuk memenuhi keinginan buaya betina itu, ia pergi dan mengambil tempat di atas batu itu; bermaksud untuk menangkap kera tersebut saat ia akan pulang ke rumah di sore harinya.
Setelah menjelajahi pulau tersebut sepanjang hari, Bodhisatta melihat dengan cermat ke batu besar itu di sore harinya, dan merasa heran mengapa batu itu berada tinggi di atas air. Ia selalu menandai dengan tepat ketinggian air di sungai dan batu di sungai itu. Saat melihat walaupun ketinggian air tidak berubah, batu itu terlihat lebih tinggi di atas permukaan air, ia merasa curiga kalau buaya mungkin bersembunyi di sana untuk menangkapnya. Untuk mengetahui kebenarannya, ia berseru, seakan-akan menyapa batu tersebut, “Halo, Batu!” dan karena tidak ada balasan, ia berteriak tiga kali, “Halo, Batu!” Karena batu itu tetap diam, kera itu berseru, “Mengapa, Batu temanku, engkau tidak menjawab panggilanku hari ini?”
“Oh!” pikir buaya tersebut, “batu ini mempunyai kebiasaan untuk menjawab sapaannya. Saya harus mewakili batu untuk menjawab hari ini.” Karena itu, ia menjawab, “Ya, Kera; ada apa?” “Siapakah engkau?” tanya Bodhisatta. “Saya adalah buaya.” “Untuk apa engkau duduk di atas batu itu?” “Untuk menangkap dan menyantap jantungmu.” Karena tidak ada jalan kembali yang lain, satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah dengan mengecoh buaya tersebut. Maka Bodhisatta berseru, “Tidak ada cara lain selain menyerahkan diriku padamu. Buka mulutmu dan tangkap aku saat aku meloncat.”
Satu hal yang harus diketahui bahwa saat buaya membuka mulutnya, mata mereka akan terpejam107. Maka saat buaya tanpa curiga membuka mulutnya, matanya terpejam. Ia menanti di sana dengan mata tertutup dan rahang terbuka. Melihat hal itu, kera yang cerdik itu melompat ke atas kepala buaya dan secepat kilat mencapai pinggir sungai. Ketika kecerdikan tindakannya disadari oleh buaya, ia berkata, “Kera, ia yang di dunia ini [280] memiliki empat kualitas melampaui musuh-musuhnya. Dan kamu, saya duga, memiliki keempat hal tersebut.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :
Siapa pun yang, wahai Raja Kera, seperti dirimu,
memadukan ucapan benar, kebijaksanaan, semangat dan pelepasan,
dapat melihat musuh-musuhnya dan menemukan jalan membebaskan diri.
Dengan pujian ini terhadap Bodhisatta, buaya itu kembali ke tempat tinggalnya sendiri.
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Devadatta mencari cara untuk membunuh-Ku; Ia juga melakukan hal yang sama di kehidupan yang lampau.” Setelah mengakhiri uraian tersebut, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah buaya di masa itu, Brahmana Wanita Ciñca108 adalah buaya betina itu, dan Saya sendiri adalah Raja Kera tersebut.”
[Catatan : Bandingkan No.224 (Kumbhīla-Jātaka). Sebuah versi China diberikan oleh Beal di ‘Romantic Legend’ hal.231, dan versi Jepang di ‘Fairy Tales from Japan’ karya Griffin.]
Catatan kaki :
107 Pernyataan ini tidak berdasarkan pada kenyataan dari ilmu pengetahuan alam.
108 Identitasnya di sini adalah sebagai istri yang jahat dari buaya itu. Berkenaan dengan kenyataan Ciñca adalah seorang “petapa wanita dengan kecantikan yang langka”, yang disuap oleh musuh-musuh Gotama untuk berpura-pura hamil dan menuduh Beliau sebagai ayah dari bayinya. Bagaimana kejahatan itu terbongkar, diceritakan dalam Dhammapada, hal.338-340.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com