TAYODHAMMA-JATAKA
Tayodhammajātaka (Ja 58)
“Siapa pun yang, seperti dirimu,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai percobaan pembunuhan (oleh Devadatta).
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Devadatta terlahir sebagai seekor kera, yang menetap di dekat Pegunungan Himalaya sebagai pimpinan dari bangsa kera yang semuanya merupakan keturunannya sendiri. Dipengaruhi oleh ramalan bahwa keturunan lelakinya setelah dewasa akan mengusirnya dari takhta kerajaannya, ia selalu mengebiri [281] mereka dengan menggunakan giginya sendiri. Bodhisatta merupakan keturunan dari kera ini; dan ibunya, demi menyelamatkan anaknya yang belum lahir, melarikan diri ke sebuah hutan di kaki pegunungan, dan pada musim itu juga ia melahirkan Bodhisatta. Setelah tumbuh besar mencapai usia yang dapat menerima penjelasan, ia diberkahi dengan kekuatan yang luar biasa.
“Dimanakah ayahku?” ia bertanya pada ibunya pada suatu hari. “Ia tinggal di kaki suatu pegunungan, Anakku,” jawab ibunya, “dan ia merupakan raja dari bangsa kera.” “Bawalah saya untuk menemuinya, Bu.” “Tidak bisa, Anakku, ayahmu sangat takut posisinya digantikan oleh anak lelakinya, sehingga ia mengebiri mereka semua dengan menggunakan giginya sendiri.” “Tidak masalah, bawa saya ke sana, Bu,” kata Bodhisatta; “Saya tahu apa yang harus saya lakukan.” Maka ibunya membawanya menemui kera tua itu. Begitu melihat putranya, kera tua itu mempunyai keyakinan bahwa setelah dewasa Bodhisatta akan menggantikannya. Ia memutuskan untuk berpura-pura merangkulnya dengan tujuan meremukkan tulang Bodhisatta. “Ah,, Anakku!” ia berseru; “Dimanakah engkau selama ini?” Sambil melakukan pertunjukan merangkul Bodhisatta, ia memeluknya seperti sebuah jepitan. Namun Bodhisatta yang sekuat gajah, memeluknya kembali dengan erat sehingga tulung rusuk ayahnya seperti akan patah.
Kera tua ini berpikir, “Anakku ini, jika tumbuh dewasa, pasti akan membunuhku.” Ia mencari-cari cara untuk membunuh Bodhisatta. Ia mengingatkan pada dirinya sendiri akan keberadaan sebuah kolam di dekat sana, yang dihuni oleh seorang raksasa yang mungkin akan memangsa anaknya. Ia berkata pada Bodhisatta, “Saya telah tua, Anakku, dan akan segera mewariskan bangsa kera ini padamu; hari ini engkau akan dinobatkan menjadi raja. Di dekat sini, ada sebuah kolam yang ditumbuhi oleh dua jenis teratai air, tiga jenis teratai biru, dan lima jenis teratai putih. Pergi dan petiklah beberapa tangkai untukku.” “Baik, Ayah,” jawab Bodhisatta; ia segera berangkat. Bodhisatta mendekat pada kolam tersebut dengan penuh kewaspadaan, ia melihat jejak-jejak kaki di kolam, mengamati bagaimana semua jejak itu menuruni kolam tersebut, namun tidak ditemui adanya jejak yang naik kembali. Menyadari bahwa kolam tersebut dihuni oleh raksasa, ia memprediksikan ayahnya yang tidak mampu membunuhnya sendiri, berharap agar ia dibunuh [282] oleh raksasa itu. “Namun, saya akan mengambilkan teratai-teratai tersebut,” katanya, “tanpa masuk ke dalam kolam sama sekali.” Ia pergi ke tempat yang kering, berlari sambil meloncat dari pinggir sungai. Dalam loncatan tersebut, saat melewati kolam, ia memetik dua kuntum bunga yang tumbuh di permukaan air, dan mendarat dengan membawa bunga-bunga tersebut di seberang kolam. Saat kembali, ia mengambil dua kuntum lagi dengan cara yang sama, saat ia melompat. Dengan demikian, ia membuat tumpukan di masingmasing sisi kolam, — namun ia selalu menjaga agar tidak melewati wilayah air yang merupakan daerah kekuasaan raksasa. Setelah memetik bunga secukup yang bisa ia bawa untuk menyeberang, dan sedang mengumpulkan semua bunga-bunga itu di pinggir kolam, raksasa yang merasa heran itu berseru, “Saya telah hidup cukup lama di kolam ini, namun tidak pernah melihat, termasuk manusia, ada yang memiliki kepintaran yang demikian mengagumkan! Di sini ada seekor kera yang memetik semua bunga yang ia inginkan, dan tetap aman dari wilayah kekuasaanku.” Meninggalkan kolam dengan air yang bergelom-bang, raksasa itu keluar dari kolam menuju ke tempat Bodhisatta berdiri, dan menyapa, “Wahai Raja Kera, ia yang memiliki tiga keahlian dapat menguasai semua musuhnya; dan kamu, saya duga, memiliki ketiganya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini sebagai pujian kepada Bodhisatta : —
Siapa pun yang seperti dirimu, wahai Raja Kera,
menggabungkan ketangkasan, keberanian dan akal,
dapat melihat musuh-musuhnya berbalik dan
menemukan jalan membebaskan diri.
Setelah menyelesaikan pujian tersebut, ia bertanya pada Bodhisatta mengapa ia mengumpulkan bunga-bunga tersebut.
“Ayah saya ingin menjadikan saya sebagai raja bangsa kera,” kata Bodhisatta, “untuk itulah saya mengumpulkan bungabunga ini.”
“Makhluk tanpa tandingan seperti dirimu tidak seharusnya membawa bunga-bunga ini,” seru raksasa tersebut; “Saya akan membawakannya untukmu.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia memungut bunga-bunga itu dan mengikuti Bodhisatta dari belakang.
Melihat kejadian tersebut dari jauh, ayah Bodhisatta tahu rencananya telah gagal. “Saya ingin mengirim anak itu untuk menjadi umpan raksasa, dan sekarang ia kembali dengan sehat dan selamat, bersama raksasa yang merendahkan diri membawakan bunga untuknya! Saya telah dihancurkannya!” teriak kera tua itu, dan jantungnya hancur berantakan [283] dalam tujuh potongan. Ia mati di sana saat itu juga. Semua kera berkumpul bersama, memilih Bodhisatta menjadi raja mereka.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah raja kera itu, dan Saya sendiri adalah anaknya.”
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Devadatta terlahir sebagai seekor kera, yang menetap di dekat Pegunungan Himalaya sebagai pimpinan dari bangsa kera yang semuanya merupakan keturunannya sendiri. Dipengaruhi oleh ramalan bahwa keturunan lelakinya setelah dewasa akan mengusirnya dari takhta kerajaannya, ia selalu mengebiri [281] mereka dengan menggunakan giginya sendiri. Bodhisatta merupakan keturunan dari kera ini; dan ibunya, demi menyelamatkan anaknya yang belum lahir, melarikan diri ke sebuah hutan di kaki pegunungan, dan pada musim itu juga ia melahirkan Bodhisatta. Setelah tumbuh besar mencapai usia yang dapat menerima penjelasan, ia diberkahi dengan kekuatan yang luar biasa.
“Dimanakah ayahku?” ia bertanya pada ibunya pada suatu hari. “Ia tinggal di kaki suatu pegunungan, Anakku,” jawab ibunya, “dan ia merupakan raja dari bangsa kera.” “Bawalah saya untuk menemuinya, Bu.” “Tidak bisa, Anakku, ayahmu sangat takut posisinya digantikan oleh anak lelakinya, sehingga ia mengebiri mereka semua dengan menggunakan giginya sendiri.” “Tidak masalah, bawa saya ke sana, Bu,” kata Bodhisatta; “Saya tahu apa yang harus saya lakukan.” Maka ibunya membawanya menemui kera tua itu. Begitu melihat putranya, kera tua itu mempunyai keyakinan bahwa setelah dewasa Bodhisatta akan menggantikannya. Ia memutuskan untuk berpura-pura merangkulnya dengan tujuan meremukkan tulang Bodhisatta. “Ah,, Anakku!” ia berseru; “Dimanakah engkau selama ini?” Sambil melakukan pertunjukan merangkul Bodhisatta, ia memeluknya seperti sebuah jepitan. Namun Bodhisatta yang sekuat gajah, memeluknya kembali dengan erat sehingga tulung rusuk ayahnya seperti akan patah.
Kera tua ini berpikir, “Anakku ini, jika tumbuh dewasa, pasti akan membunuhku.” Ia mencari-cari cara untuk membunuh Bodhisatta. Ia mengingatkan pada dirinya sendiri akan keberadaan sebuah kolam di dekat sana, yang dihuni oleh seorang raksasa yang mungkin akan memangsa anaknya. Ia berkata pada Bodhisatta, “Saya telah tua, Anakku, dan akan segera mewariskan bangsa kera ini padamu; hari ini engkau akan dinobatkan menjadi raja. Di dekat sini, ada sebuah kolam yang ditumbuhi oleh dua jenis teratai air, tiga jenis teratai biru, dan lima jenis teratai putih. Pergi dan petiklah beberapa tangkai untukku.” “Baik, Ayah,” jawab Bodhisatta; ia segera berangkat. Bodhisatta mendekat pada kolam tersebut dengan penuh kewaspadaan, ia melihat jejak-jejak kaki di kolam, mengamati bagaimana semua jejak itu menuruni kolam tersebut, namun tidak ditemui adanya jejak yang naik kembali. Menyadari bahwa kolam tersebut dihuni oleh raksasa, ia memprediksikan ayahnya yang tidak mampu membunuhnya sendiri, berharap agar ia dibunuh [282] oleh raksasa itu. “Namun, saya akan mengambilkan teratai-teratai tersebut,” katanya, “tanpa masuk ke dalam kolam sama sekali.” Ia pergi ke tempat yang kering, berlari sambil meloncat dari pinggir sungai. Dalam loncatan tersebut, saat melewati kolam, ia memetik dua kuntum bunga yang tumbuh di permukaan air, dan mendarat dengan membawa bunga-bunga tersebut di seberang kolam. Saat kembali, ia mengambil dua kuntum lagi dengan cara yang sama, saat ia melompat. Dengan demikian, ia membuat tumpukan di masingmasing sisi kolam, — namun ia selalu menjaga agar tidak melewati wilayah air yang merupakan daerah kekuasaan raksasa. Setelah memetik bunga secukup yang bisa ia bawa untuk menyeberang, dan sedang mengumpulkan semua bunga-bunga itu di pinggir kolam, raksasa yang merasa heran itu berseru, “Saya telah hidup cukup lama di kolam ini, namun tidak pernah melihat, termasuk manusia, ada yang memiliki kepintaran yang demikian mengagumkan! Di sini ada seekor kera yang memetik semua bunga yang ia inginkan, dan tetap aman dari wilayah kekuasaanku.” Meninggalkan kolam dengan air yang bergelom-bang, raksasa itu keluar dari kolam menuju ke tempat Bodhisatta berdiri, dan menyapa, “Wahai Raja Kera, ia yang memiliki tiga keahlian dapat menguasai semua musuhnya; dan kamu, saya duga, memiliki ketiganya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini sebagai pujian kepada Bodhisatta : —
Siapa pun yang seperti dirimu, wahai Raja Kera,
menggabungkan ketangkasan, keberanian dan akal,
dapat melihat musuh-musuhnya berbalik dan
menemukan jalan membebaskan diri.
Setelah menyelesaikan pujian tersebut, ia bertanya pada Bodhisatta mengapa ia mengumpulkan bunga-bunga tersebut.
“Ayah saya ingin menjadikan saya sebagai raja bangsa kera,” kata Bodhisatta, “untuk itulah saya mengumpulkan bungabunga ini.”
“Makhluk tanpa tandingan seperti dirimu tidak seharusnya membawa bunga-bunga ini,” seru raksasa tersebut; “Saya akan membawakannya untukmu.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia memungut bunga-bunga itu dan mengikuti Bodhisatta dari belakang.
Melihat kejadian tersebut dari jauh, ayah Bodhisatta tahu rencananya telah gagal. “Saya ingin mengirim anak itu untuk menjadi umpan raksasa, dan sekarang ia kembali dengan sehat dan selamat, bersama raksasa yang merendahkan diri membawakan bunga untuknya! Saya telah dihancurkannya!” teriak kera tua itu, dan jantungnya hancur berantakan [283] dalam tujuh potongan. Ia mati di sana saat itu juga. Semua kera berkumpul bersama, memilih Bodhisatta menjadi raja mereka.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah raja kera itu, dan Saya sendiri adalah anaknya.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com