BHERIVĀDA-JĀTAKA
Bherivādakajātaka (Ja 59)
“Jangan bertindak keterlaluan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang selalu mengikuti kehendak hatinya sendiri. Ketika ditanya oleh Sang Guru apakah laporan bahwa ia selalu mengikuti kehendaknya sendiri benar adanya, bhikkhu itu menjawab bahwa hal tersebut adalah benar adanya. “Ini bukan pertama kalinya, Bhikkhu,” kata Sang Guru, “engkau menunjukkan bahwa dirimu selalu bertindak sesuka hatimu; engkau juga melakukan hal yang sama di kelahiran yang lalu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang pemukul genderang yang menetap di sebuah desa. Mendengar bahwa akan diselenggarakan sebuah perayaan di Benares, ia berharap mendapatkan sedikit uang dengan memainkan genderang di keramaian hari libur tersebut, maka ia melakukan perjalanan ke kota bersama putranya. Di sana ia memainkan genderangnya dan mendapatkan sejumlah uang. Dalam perjalanan pulang membawa uang yang mereka dapatkan, mereka harus melalui sebuah hutan yang dikuasai oleh perampok; Anak lelaki tersebut memainkan genderang di sepanjang jalan tanpa henti. Bodhisatta berusaha menghentikannya dengan berkata, “Jangan memukul seperti itu, pukul sebentar lalu berhenti, — lakukan seakan-akan seorang raja yang hebat sedang lewat.”
Namun ia menentang permintaan ayahnya, menurut anak tersebut, cara terbaik untuk menakut-nakuti para penjahat adalah dengan memukul genderang secara terus menerus.
Awalnya suara genderang tersebut membuat para penjahat kabur, karena mengira ada seorang raja hebat yang sedang lewat. Namun mendengar suara genderang tersebut berbunyi tanpa henti, mereka mengetahui mereka telah salah duga, dan mereka kembali untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Melihat hanya ada dua orang yang sedang melewati tempat tersebut, mereka memukuli dan merampok mereka.
“Aduh!” seru Bodhisatta, “karena genderang yang kamu pukul terus menerus, kamu telah membuat kita kehilangan semua pendapatan yang kita peroleh dengan susah payah!” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini:
Jangan bertindak keterlaluan, belajarlah untuk
tidak melakukan sesuatu secara berlebihan;
Karena memukul genderang secara berlebihan
menyebabkan kehilangan apa yang (tadi) diperoleh
dari memukul genderang. [284]
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang bertindak sesuka hati ini adalah anak lelaki di masa itu, dan Saya sendiri adalah ayahnya.”
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang pemukul genderang yang menetap di sebuah desa. Mendengar bahwa akan diselenggarakan sebuah perayaan di Benares, ia berharap mendapatkan sedikit uang dengan memainkan genderang di keramaian hari libur tersebut, maka ia melakukan perjalanan ke kota bersama putranya. Di sana ia memainkan genderangnya dan mendapatkan sejumlah uang. Dalam perjalanan pulang membawa uang yang mereka dapatkan, mereka harus melalui sebuah hutan yang dikuasai oleh perampok; Anak lelaki tersebut memainkan genderang di sepanjang jalan tanpa henti. Bodhisatta berusaha menghentikannya dengan berkata, “Jangan memukul seperti itu, pukul sebentar lalu berhenti, — lakukan seakan-akan seorang raja yang hebat sedang lewat.”
Namun ia menentang permintaan ayahnya, menurut anak tersebut, cara terbaik untuk menakut-nakuti para penjahat adalah dengan memukul genderang secara terus menerus.
Awalnya suara genderang tersebut membuat para penjahat kabur, karena mengira ada seorang raja hebat yang sedang lewat. Namun mendengar suara genderang tersebut berbunyi tanpa henti, mereka mengetahui mereka telah salah duga, dan mereka kembali untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Melihat hanya ada dua orang yang sedang melewati tempat tersebut, mereka memukuli dan merampok mereka.
“Aduh!” seru Bodhisatta, “karena genderang yang kamu pukul terus menerus, kamu telah membuat kita kehilangan semua pendapatan yang kita peroleh dengan susah payah!” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini:
Jangan bertindak keterlaluan, belajarlah untuk
tidak melakukan sesuatu secara berlebihan;
Karena memukul genderang secara berlebihan
menyebabkan kehilangan apa yang (tadi) diperoleh
dari memukul genderang. [284]
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang bertindak sesuka hati ini adalah anak lelaki di masa itu, dan Saya sendiri adalah ayahnya.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com