TAKKA-JĀTAKA
Takkapaṇḍitajātaka (Ja 63)
“Wanita dipenuhi oleh kemarahan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu lain yang merasa gelisah karena nafsu indriawinya. Ketika ditanyai, bhikkhu itu mengakui kalau ia merasa gelisah karena nafsu indriawinya. Sang Guru berkata, “Wanita adalah makhluk yang tidak tahu berterima kasih dan curang; Mengapa engkau merasa gelisah dikarenakan nafsu indriawi terhadap mereka?” Dan Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta yang telah memilih hidup sebagai petapa, ia membangun sebuah tempat pertapaan di tepi Sungai Gangga, di sana ia memperoleh pencapaian dan kemampuan batin luar biasa, dan menetap dalam kebahagiaan jhana. Pada masa itu, Saudagar Benares mempunyai seorang anak perempuan yang galak dan kejam, yang dikenal dengan sebutan Wanita Jahat, ia selalu memaki dan memukul para pelayan dan budaknya. Suatu hari, mereka membawa nyonya muda [296] mereka untuk menyenangkan diri di Sungai Gangga; Gadis itu sedang bermain dalam air, ketika matahari terbenam dan sebuah kilat besar menyambar ke arah mereka. Para penduduk berhamburan pergi, dan pendamping gadis tersebut, berseru, “Sekarang saat terakhir kalinya kita melihat makhluk ini!” Mereka melemparkannya tepat ke dalam sungai dan bergegas pergi. Hujan turun dengan derasnya, matahari terbenam dan hari mulai gelap. Saat para pendampingnya tiba di rumah tanpa nyonya muda mereka, dan ditanyai dimana ia berada, mereka menjawab bahwa ia telah keluar dari Sungai Gangga, mereka tidak mengetahui ke mana ia pergi. Pencarian dilakukan oleh keluarganya, namun tidak ada satu jejak pun yang ditemukan dari gadis yang hilang itu.
Sementara itu ia berteriak dengan keras, terseret dalam gelombang sungai, dan di tengah malam, ia tiba di tempat dimana Bodhisatta tinggal di tempat pertapaannya. Mendengar suara tangisannya, Bodhisatta berpikir, “Ada suara tangis wanita, saya harus menolongnya dari dalam air.” Ia membawa sebuah obor; dengan sinar obor tersebut, ia menghampiri gadis yang berada di sungai tersebut. “Jangan takut, jangan takut!” ia berseru menenangkan, mengarungi sungai dan berterima kasih pada tenaganya yang sangat kuat, seperti seekor gajah, ia membawa gadis itu dengan selamat ke daratan. Kemudian ia menyalakan perapian untuknya di tempat pertapaannya, dan menyiapkan beragam buah-buahan yang sangat lezat di hadapan gadis itu. Setelah gadis itu selesai makan ia baru bertanya, “Dimanakah rumahmu, dan bagaimana sampai engkau jatuh ke dalam sungai?” Gadis tersebut menceritakan semua hal yang menimpanya pada Bodhisatta. “Tinggallah di sini saat ini,” katanya, dan menempatkannya di tempat pertapaannya, sementara ia sendiri tinggal di udara terbuka. Akhirnya ia meminta gadis itu untuk pulang, namun gadis itu memilih menunggu hingga ia berhasil membuat petapa itu jatuh cinta kepadanya; ia tidak mau pergi. Dengan berlalunya waktu, ia membuat petapa itu gelisah dengan keanggunan dan tipu muslihat seorang wanita sehingga akhirnya ia kehilangan pencerahannya. Ia tinggal bersama gadis itu di dalam hutan. Namun gadis itu tidak suka tinggal di tempat yang terpencil, ia ingin tinggal di antara orang banyak. Menyerah pada desakannya, brahmana itu membawanya ke pinggir desa, tempat ia menyokong kehidupan mereka dengan menjual susu mentega (takka). Ia dipanggil Pendeta Takka. Para penduduk di sana membayarnya untuk mengajari mereka kapan musim yang baik dan buruk, memberikan sebuah pondok sebagai tempat tinggalnya di jalan masuk menuju desa mereka.
Suatu saat, pinggiran desa itu diganggu oleh perampok dari gunung. Mereka menyerang [297] desa yang dihuni oleh pasangan tersebut, dan merampok di sana. Membuat para penduduk yang malang itu mengepak barang-barang mereka, dan berangkat bersama mereka — dengan putri saudagar itu di antara mereka — menuju tempat tinggal para perampok itu. Setiba di sana, mereka membebaskan semua orang, kecuali gadis itu, karena kecantikannya, ia dijadikan istri oleh kepala perampok itu.
Saat Bodhisatta mengetahui hal ini, ia berpikir, “Ia tidak akan tahan untuk hidup jauh dari saya. Ia akan melarikan diri dan kembali lagi kepada saya.” Demikianlah cara ia melanjutkan hidup, menanti gadis itu kembali kepadanya. Saat yang sama, gadis itu merasa bahagia hidup dengan para perampok itu, ia hanya merasa khawatir kalau-kalau Pendeta Takka itu akan datang untuk membawanya pergi. “Saya hanya akan merasa aman,” pikirnya, “jika ia mati. Saya harus mengirim pesan kepadanya, pura-pura cinta padanya dan membujuknya kemari, menuju kematiannya.” Maka ia mengirim seorang pembawa pesan kepadanya, dengan isi bahwa ia merasa tidak bahagia, dan ia ingin agar Pendeta Takka datang untuk membawanya pergi.
Dan ia, yang percaya padanya, segera pergi ke sana, tiba di gerbang desa para perampok, tempat dimana ia mengirim sebuah pesan untuk gadis tersebut. “Jika kita kabur sekarang, Suamiku,” katanya, “hanya akan membuat kita jatuh ke tangan kepala perampok, yang akan membunuh kita berdua. Mari kita tunda pelarian ini hingga malam.” Maka ia membawa dan menyembunyikannya di sebuah kamar; Saat perampok itu pulang di waktu malam dan dibakar oleh minuman keras, gadis itu berkata kepadanya, “Katakan padaku, Tuan, apa yang akan kamu lakukan jika sainganmu berada dalam kekuasaanmu?”
Perampok itu berkata ia akan melakukan ini dan itu pada lelaki tersebut.
“Barangkali ia tidak berada sejauh yang engkau bayangkan,” katanya, “ia berada di ruangan sebelah.”
Meraih sebuah obor, perampok itu menerjang masuk dan menangkap Bodhisatta. Kemudian memukuli kepala dan badannya hingga organ dalamnya. Bodhisatta tidak menangis di antara pukulan-pukulan itu, ia hanya bergumam, “Makhluk tidak tahu berterima kasih yang kejam! Pengkhianat yang juga tukang fitnah!” Hanya ini kata-kata yang ia ucapkan. Setelah memukul, ia mengikat dan membaringkan Bodhisatta dengan posisi miring. Perampok itu menghabiskan makan malamnya dan berbaring untuk tidur. Pagi harinya, setelah tidur yang menghilangkan efek pesta pora semalam suntuknya, ia berniat memukuli Bodhisatta lagi, yang tetap tidak menangis, ia hanya mengulangi kata-kata yang sama. Perampok itu berhenti dan bertanya mengapa, saat dipukuli, ia terus mengucapkan kata-kata tersebut. [298]
“Dengarkanlah,” kata Pendeta Takka, “dan engkau harus memperhatikannya. Dulu saya adalah seorang petapa yang menetap di tempat yang terpencil di hutan dan mencapai pencerahan di sana. Lalu saya menolong gadis ini dari Sungai Gangga dan membantunya memenuhi kebutuhannya. Karena daya pikatnya, saya jatuh dari tingkat hidup saya. Kemudian saya meninggalkan hutan dan mendukung kehidupannya di desa, tempat darimana ia dibawa pergi oleh para perampok. Dan ia mengirim sebuah pesan kepadaku menyampaikan bahwa ia tidak bahagia, memohon agar saya datang dan membawanya pergi. Sekarang, ia membuat saya jatuh ke tanganmu. Itulah mengapa saya mengulangi kata-kata itu.”
Hal ini membuat perampok itu berpikir lagi, ia merenungkan, “Jika ia hanya mempunyai sedikit perasaan pada orang yang begitu baik dan telah melakukan begitu banyak hal untuknya. Kira-kira apa yang tidak bisa ia lakukan padaku? Ia harus mati.” Setelah menenangkan Bodhisatta dan membangunkan wanita tersebut, ia menghunuskan pedang di tangannya, berpura-pura di hadapan gadis itu bahwa ia akan membunuh Bodhisatta di luar desa. Kemudian meminta gadis itu memegang Pendeta Takka saat ia menarik pedangnya, dengan gaya seperti akan membunuh guru itu, ia memotong wanita itu menjadi dua bagian. Kemudian perampok itu memandikan Pendeta Takka dari rambut hingga ke ujung kakinya, dan selama beberapa hari ia memberinya makanan pilihan untuk memulihkan organ dalam Bodhisatta.
“Kemanakah engkau akan pergi sekarang?” tanya perampok itu akhirnya.
“Keduniawian,” jawab guru tersebut, “tidak memberikan kesenangan padaku lagi. Saya akan kembali menjadi seorang petapa dan menetap di lingkungan saya sebelumnya di dalam hutan.”
“Saya juga akan menjadi petapa,” seru perampok itu. Maka mereka berdua bersama-sama menjadi petapa dan menetap di tempat pertapaan di hutan, tempat dimana mereka memperoleh kemampuan batin luar biasa dan pencapaian (meditasi), dan membuat mereka memenuhi syarat terlahir kembali di alam brahma setelah meninggal dunia.
Setelah menceritakan kedua kisah ini, Sang Guru mempertautkan, dan membacakan, sebagai seorang Buddha, syair berikut ini : —
Wanita dipenuhi oleh kemarahan, tukang fitnah
dan tidak tahu berterima kasih,
penabur bibit pertikaian dan menimbulkan percekcokan!
Lalu, Bhikkhu, tempuhlah jalan kesucian
Di sanalah kebahagiaan tidak akan gagal engkau temukan.
[299] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru membabarkan Dhamma, pada akhir khotbah bhikkhu yang merasa gelisah karena nafsu indriawinya itu mencapai phala tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru juga menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah kepala perampok di masa itu, dan Saya sendiri adalah Pendeta Takka.”
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta yang telah memilih hidup sebagai petapa, ia membangun sebuah tempat pertapaan di tepi Sungai Gangga, di sana ia memperoleh pencapaian dan kemampuan batin luar biasa, dan menetap dalam kebahagiaan jhana. Pada masa itu, Saudagar Benares mempunyai seorang anak perempuan yang galak dan kejam, yang dikenal dengan sebutan Wanita Jahat, ia selalu memaki dan memukul para pelayan dan budaknya. Suatu hari, mereka membawa nyonya muda [296] mereka untuk menyenangkan diri di Sungai Gangga; Gadis itu sedang bermain dalam air, ketika matahari terbenam dan sebuah kilat besar menyambar ke arah mereka. Para penduduk berhamburan pergi, dan pendamping gadis tersebut, berseru, “Sekarang saat terakhir kalinya kita melihat makhluk ini!” Mereka melemparkannya tepat ke dalam sungai dan bergegas pergi. Hujan turun dengan derasnya, matahari terbenam dan hari mulai gelap. Saat para pendampingnya tiba di rumah tanpa nyonya muda mereka, dan ditanyai dimana ia berada, mereka menjawab bahwa ia telah keluar dari Sungai Gangga, mereka tidak mengetahui ke mana ia pergi. Pencarian dilakukan oleh keluarganya, namun tidak ada satu jejak pun yang ditemukan dari gadis yang hilang itu.
Sementara itu ia berteriak dengan keras, terseret dalam gelombang sungai, dan di tengah malam, ia tiba di tempat dimana Bodhisatta tinggal di tempat pertapaannya. Mendengar suara tangisannya, Bodhisatta berpikir, “Ada suara tangis wanita, saya harus menolongnya dari dalam air.” Ia membawa sebuah obor; dengan sinar obor tersebut, ia menghampiri gadis yang berada di sungai tersebut. “Jangan takut, jangan takut!” ia berseru menenangkan, mengarungi sungai dan berterima kasih pada tenaganya yang sangat kuat, seperti seekor gajah, ia membawa gadis itu dengan selamat ke daratan. Kemudian ia menyalakan perapian untuknya di tempat pertapaannya, dan menyiapkan beragam buah-buahan yang sangat lezat di hadapan gadis itu. Setelah gadis itu selesai makan ia baru bertanya, “Dimanakah rumahmu, dan bagaimana sampai engkau jatuh ke dalam sungai?” Gadis tersebut menceritakan semua hal yang menimpanya pada Bodhisatta. “Tinggallah di sini saat ini,” katanya, dan menempatkannya di tempat pertapaannya, sementara ia sendiri tinggal di udara terbuka. Akhirnya ia meminta gadis itu untuk pulang, namun gadis itu memilih menunggu hingga ia berhasil membuat petapa itu jatuh cinta kepadanya; ia tidak mau pergi. Dengan berlalunya waktu, ia membuat petapa itu gelisah dengan keanggunan dan tipu muslihat seorang wanita sehingga akhirnya ia kehilangan pencerahannya. Ia tinggal bersama gadis itu di dalam hutan. Namun gadis itu tidak suka tinggal di tempat yang terpencil, ia ingin tinggal di antara orang banyak. Menyerah pada desakannya, brahmana itu membawanya ke pinggir desa, tempat ia menyokong kehidupan mereka dengan menjual susu mentega (takka). Ia dipanggil Pendeta Takka. Para penduduk di sana membayarnya untuk mengajari mereka kapan musim yang baik dan buruk, memberikan sebuah pondok sebagai tempat tinggalnya di jalan masuk menuju desa mereka.
Suatu saat, pinggiran desa itu diganggu oleh perampok dari gunung. Mereka menyerang [297] desa yang dihuni oleh pasangan tersebut, dan merampok di sana. Membuat para penduduk yang malang itu mengepak barang-barang mereka, dan berangkat bersama mereka — dengan putri saudagar itu di antara mereka — menuju tempat tinggal para perampok itu. Setiba di sana, mereka membebaskan semua orang, kecuali gadis itu, karena kecantikannya, ia dijadikan istri oleh kepala perampok itu.
Saat Bodhisatta mengetahui hal ini, ia berpikir, “Ia tidak akan tahan untuk hidup jauh dari saya. Ia akan melarikan diri dan kembali lagi kepada saya.” Demikianlah cara ia melanjutkan hidup, menanti gadis itu kembali kepadanya. Saat yang sama, gadis itu merasa bahagia hidup dengan para perampok itu, ia hanya merasa khawatir kalau-kalau Pendeta Takka itu akan datang untuk membawanya pergi. “Saya hanya akan merasa aman,” pikirnya, “jika ia mati. Saya harus mengirim pesan kepadanya, pura-pura cinta padanya dan membujuknya kemari, menuju kematiannya.” Maka ia mengirim seorang pembawa pesan kepadanya, dengan isi bahwa ia merasa tidak bahagia, dan ia ingin agar Pendeta Takka datang untuk membawanya pergi.
Dan ia, yang percaya padanya, segera pergi ke sana, tiba di gerbang desa para perampok, tempat dimana ia mengirim sebuah pesan untuk gadis tersebut. “Jika kita kabur sekarang, Suamiku,” katanya, “hanya akan membuat kita jatuh ke tangan kepala perampok, yang akan membunuh kita berdua. Mari kita tunda pelarian ini hingga malam.” Maka ia membawa dan menyembunyikannya di sebuah kamar; Saat perampok itu pulang di waktu malam dan dibakar oleh minuman keras, gadis itu berkata kepadanya, “Katakan padaku, Tuan, apa yang akan kamu lakukan jika sainganmu berada dalam kekuasaanmu?”
Perampok itu berkata ia akan melakukan ini dan itu pada lelaki tersebut.
“Barangkali ia tidak berada sejauh yang engkau bayangkan,” katanya, “ia berada di ruangan sebelah.”
Meraih sebuah obor, perampok itu menerjang masuk dan menangkap Bodhisatta. Kemudian memukuli kepala dan badannya hingga organ dalamnya. Bodhisatta tidak menangis di antara pukulan-pukulan itu, ia hanya bergumam, “Makhluk tidak tahu berterima kasih yang kejam! Pengkhianat yang juga tukang fitnah!” Hanya ini kata-kata yang ia ucapkan. Setelah memukul, ia mengikat dan membaringkan Bodhisatta dengan posisi miring. Perampok itu menghabiskan makan malamnya dan berbaring untuk tidur. Pagi harinya, setelah tidur yang menghilangkan efek pesta pora semalam suntuknya, ia berniat memukuli Bodhisatta lagi, yang tetap tidak menangis, ia hanya mengulangi kata-kata yang sama. Perampok itu berhenti dan bertanya mengapa, saat dipukuli, ia terus mengucapkan kata-kata tersebut. [298]
“Dengarkanlah,” kata Pendeta Takka, “dan engkau harus memperhatikannya. Dulu saya adalah seorang petapa yang menetap di tempat yang terpencil di hutan dan mencapai pencerahan di sana. Lalu saya menolong gadis ini dari Sungai Gangga dan membantunya memenuhi kebutuhannya. Karena daya pikatnya, saya jatuh dari tingkat hidup saya. Kemudian saya meninggalkan hutan dan mendukung kehidupannya di desa, tempat darimana ia dibawa pergi oleh para perampok. Dan ia mengirim sebuah pesan kepadaku menyampaikan bahwa ia tidak bahagia, memohon agar saya datang dan membawanya pergi. Sekarang, ia membuat saya jatuh ke tanganmu. Itulah mengapa saya mengulangi kata-kata itu.”
Hal ini membuat perampok itu berpikir lagi, ia merenungkan, “Jika ia hanya mempunyai sedikit perasaan pada orang yang begitu baik dan telah melakukan begitu banyak hal untuknya. Kira-kira apa yang tidak bisa ia lakukan padaku? Ia harus mati.” Setelah menenangkan Bodhisatta dan membangunkan wanita tersebut, ia menghunuskan pedang di tangannya, berpura-pura di hadapan gadis itu bahwa ia akan membunuh Bodhisatta di luar desa. Kemudian meminta gadis itu memegang Pendeta Takka saat ia menarik pedangnya, dengan gaya seperti akan membunuh guru itu, ia memotong wanita itu menjadi dua bagian. Kemudian perampok itu memandikan Pendeta Takka dari rambut hingga ke ujung kakinya, dan selama beberapa hari ia memberinya makanan pilihan untuk memulihkan organ dalam Bodhisatta.
“Kemanakah engkau akan pergi sekarang?” tanya perampok itu akhirnya.
“Keduniawian,” jawab guru tersebut, “tidak memberikan kesenangan padaku lagi. Saya akan kembali menjadi seorang petapa dan menetap di lingkungan saya sebelumnya di dalam hutan.”
“Saya juga akan menjadi petapa,” seru perampok itu. Maka mereka berdua bersama-sama menjadi petapa dan menetap di tempat pertapaan di hutan, tempat dimana mereka memperoleh kemampuan batin luar biasa dan pencapaian (meditasi), dan membuat mereka memenuhi syarat terlahir kembali di alam brahma setelah meninggal dunia.
Setelah menceritakan kedua kisah ini, Sang Guru mempertautkan, dan membacakan, sebagai seorang Buddha, syair berikut ini : —
Wanita dipenuhi oleh kemarahan, tukang fitnah
dan tidak tahu berterima kasih,
penabur bibit pertikaian dan menimbulkan percekcokan!
Lalu, Bhikkhu, tempuhlah jalan kesucian
Di sanalah kebahagiaan tidak akan gagal engkau temukan.
[299] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru membabarkan Dhamma, pada akhir khotbah bhikkhu yang merasa gelisah karena nafsu indriawinya itu mencapai phala tingkat kesucian Sotāpanna. Sang Guru juga menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Ānanda adalah kepala perampok di masa itu, dan Saya sendiri adalah Pendeta Takka.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com