MUDULAKKHAṆA-JĀTAKA
Mudulakkhaṇajātaka (Ja 66)
“Sampai Hati Lembut menjadi milikku,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai bahaya nafsu. Menurut kisah yang disampaikan secara turun-temurun; ada seorang pemuda dari Sawatthi, [303] saat mendengar Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Guru, ia menjadi sangat kagum pada ajaran dari Ti-Ratana. Setelah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tidak berumah tangga sebagai seorang bhikkhu, ia tekun berjalan di jalan kesucian (ariyamagga), berlatih meditasi, dan tidak pernah kendor dalam perenungannya terhadap objek utama yang telah dipilih untuk direnungkan. Suatu hari, saat sedang berkeliling untuk berpindapata melalui Sawatthi, ia melihat dari kejauhan seorang gadis yang berpakaian cantik; dan untuk kesenangan indriawi, melanggar moralitas yang lebih tinggi dan memandang gadis itu. Nafsu berkobar dalam dirinya, ia bagaikan pohon ara yang ditumbangkan oleh kapak. Sejak hari itu, karena dikuasai nafsu, kemauan pikirannya sama dengan tubuhnya, kehilangan semua semangatnya; seperti seorang yang kejam dan kasar, ia tidak merasakan kebahagiaan lagi terhadap ajaran nan mulia, dan membiarkan kuku serta rambutnya tumbuh panjang, dan jubahnya menjadi kotor.
Ketika teman-temannya sesama anggota Sanggha menyadari masalah pikirannya, berkata, “Mengapa, Awuso (āvuso), 112 kualitas tingkah laku Anda lain dari biasanya?” “Kebahagiaanku telah hilang, Awuso,” jawabnya. Lantas mereka membawanya menemui Sang Guru, yang menanyai mereka mengapa membawa bhikkhu yang tidak berdasarkan keinginannya menghadap. “Karena, Bhante, kebahagiaannya telah hilang.” “Benarkah, Bhikkhu?” “Benar, Bhagawan.” “Siapa yang telah membuat pikiranmu kalut?” “Bhante, saat saya sedang berkeliling untuk berpindapata, dengan melanggar moralitas yang lebih tinggi, saya memandang seorang wanita; dan nafsu berkobar dalam diri saya. Itulah sebabnya pikiran saya menjadi kalut.” Lalu Sang Guru berkata, “Tidak mengherankan, Bhikkhu, bahwa saat melanggar moralitas, Anda memandang untuk kesenangan indriawi pada sebuah objek yang luar biasa, Anda dipengaruhi oleh nafsu yang berkobar. Mengapa? Karena pada kehidupan yang lampau, bahkan mereka yang telah memiliki lima pengetahuan istimewa 113 dan delapan pencapaian, 114 mereka yang karena kekuatan jhana 115 telah memadamkan nafsu mereka, yang batinnya telah termurnikan dan yang mampu melayang di udara, bahkan Bodhisatta, karena melanggar moralitas dengan memandang pada sebuah objek yang luar biasa, kehilangan kekuatan jhana mereka, nafsu mereka berkobar, dan mengalami penderitaan yang hebat. Sedikit kecerobohan saja, angin bisa menjatuhkan Gunung Sineru, apalagi sebuah bukit kecil yang gundul, yang tidak lebih besar dari seekor gajah; sedikit kecerobohan saja, angin bisa menjatuhkan sebatang pohon jambu yang sangat kuat, apalagi semak-semak di permukaan tebing yang curam; dan sedikit kecerobohan saja, angin bisa mengeringkan samudera yang luas, apalagi sebuah kolam yang kecil. Jika nafsu bisa menyebabkan kebodohan dalam diri Bodhisatta yang mempunyai pengetahuan yang luar biasa dan batin yang termurnikan, mungkinkah nafsu tidak mempermalukanmu? Karena, bahkan makhluk yang termurnikan pun dapat disesatkan oleh nafsu, demikian juga mereka yang telah mencapai kehormatan tertinggi, menjadi malu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga brahmana kaya di negeri Kasi (Kāsi). Ketika ia dewasa dan setelah menyelesaikan pendidikannya, ia membuang semua nafsu dan meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tidak berumah tangga sebagai petapa, pergi untuk hidup di sebuah tempat yang sunyi di Pegunungan Himalaya. Di sana, dengan melaksanakan semua bentuk-bentuk meditasi pendahuluan yang sesuai, dengan perenungan ia mencapai lima pengetahuan istimewa dan delapan pencapaian; dan berdiam dalam kebahagiaan jhana.
[304] Karena kehabisan garam dan cuka, ia pergi ke Benares pada suatu hari, dan bertempat tinggal sementara di taman peristirahatan raja. Keesokan harinya, untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, setelah melipat setelan merah dari jangat kayu yang biasanya ia pakai, menyampirkan kulit antelop di salah satu bahunya, mengikat rambutnya yang kusut menjadi sebuah gulungan di kepalanya, dan dengan sebuah kuk di punggungnya yang tergantung dua buah keranjang, ia berkeliling untuk berpindapata. Setelah tiba di gerbang istana dalam perjalanannya, sikapnya yang begitu terpuji membuat raja mengundangnya masuk. Petapa itu dipersilakan duduk di sebuah kursi yang sangat megah dan disuguhi dengan makanan mewah nan lezat. Saat mengucapkan terima kasih kepada raja, ia diundang untuk menetap di taman peristirahatan. Petapa itu menerima tawaran tersebut, dan selama enam belas tahun menetap di taman peristirahatan itu, mewejang semua anggota rumah tangga kerajaan dan menerima makanan dari kerajaan.
Pada suatu hari, raja harus pergi ke perbatasan untuk memadamkan pemberontakan. Tetapi, sebelum memulai perjalanan, ia memberi tugas kepada istrinya, yang bernama Hati Lembut, untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang suci itu. Maka, setelah raja berangkat, Bodhisatta tetap mengunjungi istana saat ia ingin ke sana.
Suatu hari, Ratu Hati Lembut mempersiapkan makanan untuk Bodhisatta; tetapi, karena petapa itu datang terlambat, ratu pergi ke kamar mandi pribadinya. Setelah mandi dengan air yang telah diberi wewangian, ia memakai pakaian yang sangat bagus dan berbaring, sambil menunggu kedatangan petapa tersebut, di sebuah dipan kecil di kamarnya yang luas.
Setelah bangkit dari kebahagiaan jhana, dan melihat sudah hampir siang, Bodhisatta bergerak melalui udara ke istana. Mendengar desiran jubah jangat kayunya, ratu terbangun dengan buru-buru untuk menyambutnya. Saat terburu-buru berdiri, bajunya merosot, sehingga kecantikan ratu terlihat oleh petapa tersebut saat ia masuk melalui jendela; dan segera setelah melihatnya, dengan melanggar moralitas, untuk kesenangan indriawi ia memandang kecantikan ratu yang mengagumkan. Nafsu berkobar dalam dirinya; ia seperti pohon yang ditumbangkan dengan kapak. Seketika itu juga pengetahuan yang telah didapat lenyap, ia berubah seperti gagak yang sayapnya terpotong. Sambil memegang makanannya, dengan tetap berdiri, ia tidak makan, tetapi berjalan dengan seluruh tubuh yang bergetar karena nafsu, dari istana menuju ke pondoknya di taman peristirahatan. Kemudian ia terduduk di kursi kayunya, dan berbaring selama tujuh hari penuh, tersiksa oleh rasa lapar dan haus, diperbudak oleh kecantikan ratu, hatinya terbakar oleh nafsu.
Pada hari ketujuh, raja kembali setelah mendamaikan perbatasan. Setelah mengelilingi kota dengan prosesi yang khidmat, ia memasuki istananya. [305] Kemudian, berharap untuk menjumpai petapa itu, ia menuju ke taman peristirahatan, dan di bilik itu, menemukan Bodhisatta terbaring di kursinya. Mengira orang mulia itu sedang sakit, raja, setelah terlebih dahulu menyuruh agar bilik itu dibersihkan, bertanya, saat ia mengusap kaki penderita, apa yang membuatnya sakit. “Maharaja, hati saya terbelenggu oleh nafsu; itu satu-satunya penyakit saya.” “Terbelenggu nafsu pada siapa?” “Pada Hati Lembut, Maharaja.” “Kalau begitu, ia milikmu; saya berikan ia kepadamu,” kata raja. Kemudian ia berlalu bersama petapa tersebut ke istana, dan meminta ratu menghiasi dirinya dengan semua kemegahan miliknya, dan memberikan ratu kepada Bodhisatta. Tetapi, saat memberikannya, raja secara diam-diam memberikan tugas kepada ratu untuk berusaha keras menyelamatkan orang mulia tersebut.
“Jangan khawatir, Maharaja,” kata ratu, “saya akan menyelamatkannya.” Bersama ratu, petapa itu keluar dari istana. Tetapi, saat melewati gerbang utama, ratu berseru bahwa mereka harus mempunyai sebuah rumah sebagai tempat tinggal, dan ia harus kembali menghadap raja untuk meminta sebuah rumah. Maka petapa itu kembali untuk meminta kepada raja sebuah rumah sebagai tempat tinggal, dan raja memberikan kepada mereka sebuah tempat tinggal yang hampir roboh, yang digunakan oleh para pengembara sebagai tempat membuang kotoran. Ke tempat itulah petapa tersebut membawa ratu; tetapi ratu menolak untuk masuk, karena tempat itu sangat kotor.
“Apa yang harus saya lakukan?” serunya. “Tentu saja membersihkannya,” kata ratu. Ratu menyuruhnya menghadap raja untuk meminta sebuah sekop dan keranjang, menyuruhnya membuang semua kotoran dan debu, dan menambal dinding tempat itu dengan kotoran sapi, yang harus ia dapatkan. Setelah selesai, ratu menyuruhnya untuk mendapatkan sebuah tempat tidur, sebuah bangku, sebuah permadani, sebuah kendi air, dan sebuah cangkir; menyuruhnya mengambil satu macam barang untuk setiap kali pergi. Selanjutnya, ratu memintanya untuk mendapatkan air dan ratusan barang lainnya. Maka ia pergi mendapatkan air, mengisi kendi air, mencari air untuk mandi, dan merapikan tempat tidur. Dan, saat duduk bersama ratu di tempat tidur, ratu memegang janggutnya dan menariknya sehingga mereka saling berhadapan, kemudian berkata, “Apakah Anda sudah lupa bahwa Anda adalah orang mulia dan seorang brahmana?”
Akhirnya ia sadar setelah sempat menjadi orang bodoh dan kehilangan kecerdasan.
(Di sini, seharusnya diulang teks awal, “Demikianlah rintangan dari nafsu dan keinginan disebut sebagai kejahatan, karena bersumber dari ketidaktahuan, Bhikkhu; [306] bahwa apa yang bersumber dari ketidaktahuan akan menciptakan kegelapan batin.”)
Setelah sadar, agar menjadi lebih kuat dan lebih kuat lagi, ia mengingatkan dirinya, bagaimana haus-damba yang parah ini dapat menyebabkannya terlahir kembali di empat alam celaka.116 “Hari ini juga,” ia berseru, “saya akan mengembalikan wanita ini kepada Raja dan terbang ke pegunungan.” Maka ia berdiri bersama ratu di hadapan raja dan berkata, “Maharaja, saya tidak menginginkan Ratu lagi; hanya karena dirinyalah haus-damba timbul dalam diriku.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini:
Sampai Hati Lembut menjadi milikku, satu-satunya nafsu
Yang saya miliki—untuk mendapatkannya.
Ketika Kecantikannya membelenggu saya, Maharaja,
Nafsu muncul dan muncul lagi.
Dengan segera kekuatan jhana kembali lagi kepadanya. Setelah terbang dari tanah dan duduk bersila di udara, ia membabarkan Dhamma kepada raja; dan tanpa menyentuh tanah, ia berlalu melalui udara menuju Pegunungan Himalaya. Ia tidak pernah kembali ke lingkungan manusia lagi; tetapi, dengan mengembangkan brahma-wihara (brahmavihāra) 117 dalam dirinya, hingga mencapai kondisi jhana yang tidak terputus. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Setelah uraiannya berakhir, Sang Guru membabarkan Dhamma, dan pada akhir khotbah tersebut, bhikkhu itu memenangkan tingkat kesucian Arahat 118 dengan sendirinya. Sang Guru juga mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Ananda (Ānanda) adalah Raja pada masa itu, Uppalawanna (Uppalavaṇṇā) adalah Hati Lembut, dan saya adalah petapa tersebut.”
Catatan kaki :
112 Menurut penjelasan di Vinaya Piṭaka volume I, Edisi II (Revisi), (Suttavibhaṅga), versi bahasa Indonesia, yang diterjemahkan oleh Bhikkhu Ṭhitayañño, dan diterbitkan oleh Indonesia Tipitaka Center, hlm. 42, pada catatan kaki no. 32, bahwa awuso adalah panggilan keakraban sesama bhikkhu, terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior; atau panggilan akrab bhikkhu kepada seorang umat atau dayaka-nya (penyokongnya). Awuso bisa berarti sahabat, atau tuan, atau saudara.
113 (1) Iddhi atau daya gaib (misalnya terbang di udara); (2) Mata dewa; (3) Telinga dewa; (4) Kemampuan untuk mengetahui pikiran pihak lain; (5) kemampuan untuk mengingat kelahiran lampau.
114 Menurut penjelasan di The Pali Text Society’s Pali-English Dictionary, yang disusun oleh Mr. Thomas William Rhys Davids dan Mr. William Stede, bahwa delapan pencapaian terdiri dari empat jhana, keadaan dari konsepsi ruang tanpa batas, keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas, keadaan dari konsepsi kekosongan, keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
115 Menurut penjelasan yang diberikan oleh Buddhaghosa di Vism. 150, bahwa jhana adalah hasil yang dicapai dari meditasi tentang objek-objek dan penyingkiran hal-hal yang tidak baik.
116 Neraka, alam binatang, alam setan kelaparan, dan alam raksasa.
117 Empat sifat baik, yang terdiri dari metta (mettā, cinta kasih), karuna (karuṇā, belas kasihan), mudita (muditā, simpati), upekkha (upekkhā, ketenangan batin).
118 Orang yang telah mencapai tingkat kesucian keempat, yang tertinggi, yang sudah terbebas dari tumimbal lahir.
Ketika teman-temannya sesama anggota Sanggha menyadari masalah pikirannya, berkata, “Mengapa, Awuso (āvuso), 112 kualitas tingkah laku Anda lain dari biasanya?” “Kebahagiaanku telah hilang, Awuso,” jawabnya. Lantas mereka membawanya menemui Sang Guru, yang menanyai mereka mengapa membawa bhikkhu yang tidak berdasarkan keinginannya menghadap. “Karena, Bhante, kebahagiaannya telah hilang.” “Benarkah, Bhikkhu?” “Benar, Bhagawan.” “Siapa yang telah membuat pikiranmu kalut?” “Bhante, saat saya sedang berkeliling untuk berpindapata, dengan melanggar moralitas yang lebih tinggi, saya memandang seorang wanita; dan nafsu berkobar dalam diri saya. Itulah sebabnya pikiran saya menjadi kalut.” Lalu Sang Guru berkata, “Tidak mengherankan, Bhikkhu, bahwa saat melanggar moralitas, Anda memandang untuk kesenangan indriawi pada sebuah objek yang luar biasa, Anda dipengaruhi oleh nafsu yang berkobar. Mengapa? Karena pada kehidupan yang lampau, bahkan mereka yang telah memiliki lima pengetahuan istimewa 113 dan delapan pencapaian, 114 mereka yang karena kekuatan jhana 115 telah memadamkan nafsu mereka, yang batinnya telah termurnikan dan yang mampu melayang di udara, bahkan Bodhisatta, karena melanggar moralitas dengan memandang pada sebuah objek yang luar biasa, kehilangan kekuatan jhana mereka, nafsu mereka berkobar, dan mengalami penderitaan yang hebat. Sedikit kecerobohan saja, angin bisa menjatuhkan Gunung Sineru, apalagi sebuah bukit kecil yang gundul, yang tidak lebih besar dari seekor gajah; sedikit kecerobohan saja, angin bisa menjatuhkan sebatang pohon jambu yang sangat kuat, apalagi semak-semak di permukaan tebing yang curam; dan sedikit kecerobohan saja, angin bisa mengeringkan samudera yang luas, apalagi sebuah kolam yang kecil. Jika nafsu bisa menyebabkan kebodohan dalam diri Bodhisatta yang mempunyai pengetahuan yang luar biasa dan batin yang termurnikan, mungkinkah nafsu tidak mempermalukanmu? Karena, bahkan makhluk yang termurnikan pun dapat disesatkan oleh nafsu, demikian juga mereka yang telah mencapai kehormatan tertinggi, menjadi malu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga brahmana kaya di negeri Kasi (Kāsi). Ketika ia dewasa dan setelah menyelesaikan pendidikannya, ia membuang semua nafsu dan meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tidak berumah tangga sebagai petapa, pergi untuk hidup di sebuah tempat yang sunyi di Pegunungan Himalaya. Di sana, dengan melaksanakan semua bentuk-bentuk meditasi pendahuluan yang sesuai, dengan perenungan ia mencapai lima pengetahuan istimewa dan delapan pencapaian; dan berdiam dalam kebahagiaan jhana.
[304] Karena kehabisan garam dan cuka, ia pergi ke Benares pada suatu hari, dan bertempat tinggal sementara di taman peristirahatan raja. Keesokan harinya, untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya, setelah melipat setelan merah dari jangat kayu yang biasanya ia pakai, menyampirkan kulit antelop di salah satu bahunya, mengikat rambutnya yang kusut menjadi sebuah gulungan di kepalanya, dan dengan sebuah kuk di punggungnya yang tergantung dua buah keranjang, ia berkeliling untuk berpindapata. Setelah tiba di gerbang istana dalam perjalanannya, sikapnya yang begitu terpuji membuat raja mengundangnya masuk. Petapa itu dipersilakan duduk di sebuah kursi yang sangat megah dan disuguhi dengan makanan mewah nan lezat. Saat mengucapkan terima kasih kepada raja, ia diundang untuk menetap di taman peristirahatan. Petapa itu menerima tawaran tersebut, dan selama enam belas tahun menetap di taman peristirahatan itu, mewejang semua anggota rumah tangga kerajaan dan menerima makanan dari kerajaan.
Pada suatu hari, raja harus pergi ke perbatasan untuk memadamkan pemberontakan. Tetapi, sebelum memulai perjalanan, ia memberi tugas kepada istrinya, yang bernama Hati Lembut, untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang suci itu. Maka, setelah raja berangkat, Bodhisatta tetap mengunjungi istana saat ia ingin ke sana.
Suatu hari, Ratu Hati Lembut mempersiapkan makanan untuk Bodhisatta; tetapi, karena petapa itu datang terlambat, ratu pergi ke kamar mandi pribadinya. Setelah mandi dengan air yang telah diberi wewangian, ia memakai pakaian yang sangat bagus dan berbaring, sambil menunggu kedatangan petapa tersebut, di sebuah dipan kecil di kamarnya yang luas.
Setelah bangkit dari kebahagiaan jhana, dan melihat sudah hampir siang, Bodhisatta bergerak melalui udara ke istana. Mendengar desiran jubah jangat kayunya, ratu terbangun dengan buru-buru untuk menyambutnya. Saat terburu-buru berdiri, bajunya merosot, sehingga kecantikan ratu terlihat oleh petapa tersebut saat ia masuk melalui jendela; dan segera setelah melihatnya, dengan melanggar moralitas, untuk kesenangan indriawi ia memandang kecantikan ratu yang mengagumkan. Nafsu berkobar dalam dirinya; ia seperti pohon yang ditumbangkan dengan kapak. Seketika itu juga pengetahuan yang telah didapat lenyap, ia berubah seperti gagak yang sayapnya terpotong. Sambil memegang makanannya, dengan tetap berdiri, ia tidak makan, tetapi berjalan dengan seluruh tubuh yang bergetar karena nafsu, dari istana menuju ke pondoknya di taman peristirahatan. Kemudian ia terduduk di kursi kayunya, dan berbaring selama tujuh hari penuh, tersiksa oleh rasa lapar dan haus, diperbudak oleh kecantikan ratu, hatinya terbakar oleh nafsu.
Pada hari ketujuh, raja kembali setelah mendamaikan perbatasan. Setelah mengelilingi kota dengan prosesi yang khidmat, ia memasuki istananya. [305] Kemudian, berharap untuk menjumpai petapa itu, ia menuju ke taman peristirahatan, dan di bilik itu, menemukan Bodhisatta terbaring di kursinya. Mengira orang mulia itu sedang sakit, raja, setelah terlebih dahulu menyuruh agar bilik itu dibersihkan, bertanya, saat ia mengusap kaki penderita, apa yang membuatnya sakit. “Maharaja, hati saya terbelenggu oleh nafsu; itu satu-satunya penyakit saya.” “Terbelenggu nafsu pada siapa?” “Pada Hati Lembut, Maharaja.” “Kalau begitu, ia milikmu; saya berikan ia kepadamu,” kata raja. Kemudian ia berlalu bersama petapa tersebut ke istana, dan meminta ratu menghiasi dirinya dengan semua kemegahan miliknya, dan memberikan ratu kepada Bodhisatta. Tetapi, saat memberikannya, raja secara diam-diam memberikan tugas kepada ratu untuk berusaha keras menyelamatkan orang mulia tersebut.
“Jangan khawatir, Maharaja,” kata ratu, “saya akan menyelamatkannya.” Bersama ratu, petapa itu keluar dari istana. Tetapi, saat melewati gerbang utama, ratu berseru bahwa mereka harus mempunyai sebuah rumah sebagai tempat tinggal, dan ia harus kembali menghadap raja untuk meminta sebuah rumah. Maka petapa itu kembali untuk meminta kepada raja sebuah rumah sebagai tempat tinggal, dan raja memberikan kepada mereka sebuah tempat tinggal yang hampir roboh, yang digunakan oleh para pengembara sebagai tempat membuang kotoran. Ke tempat itulah petapa tersebut membawa ratu; tetapi ratu menolak untuk masuk, karena tempat itu sangat kotor.
“Apa yang harus saya lakukan?” serunya. “Tentu saja membersihkannya,” kata ratu. Ratu menyuruhnya menghadap raja untuk meminta sebuah sekop dan keranjang, menyuruhnya membuang semua kotoran dan debu, dan menambal dinding tempat itu dengan kotoran sapi, yang harus ia dapatkan. Setelah selesai, ratu menyuruhnya untuk mendapatkan sebuah tempat tidur, sebuah bangku, sebuah permadani, sebuah kendi air, dan sebuah cangkir; menyuruhnya mengambil satu macam barang untuk setiap kali pergi. Selanjutnya, ratu memintanya untuk mendapatkan air dan ratusan barang lainnya. Maka ia pergi mendapatkan air, mengisi kendi air, mencari air untuk mandi, dan merapikan tempat tidur. Dan, saat duduk bersama ratu di tempat tidur, ratu memegang janggutnya dan menariknya sehingga mereka saling berhadapan, kemudian berkata, “Apakah Anda sudah lupa bahwa Anda adalah orang mulia dan seorang brahmana?”
Akhirnya ia sadar setelah sempat menjadi orang bodoh dan kehilangan kecerdasan.
(Di sini, seharusnya diulang teks awal, “Demikianlah rintangan dari nafsu dan keinginan disebut sebagai kejahatan, karena bersumber dari ketidaktahuan, Bhikkhu; [306] bahwa apa yang bersumber dari ketidaktahuan akan menciptakan kegelapan batin.”)
Setelah sadar, agar menjadi lebih kuat dan lebih kuat lagi, ia mengingatkan dirinya, bagaimana haus-damba yang parah ini dapat menyebabkannya terlahir kembali di empat alam celaka.116 “Hari ini juga,” ia berseru, “saya akan mengembalikan wanita ini kepada Raja dan terbang ke pegunungan.” Maka ia berdiri bersama ratu di hadapan raja dan berkata, “Maharaja, saya tidak menginginkan Ratu lagi; hanya karena dirinyalah haus-damba timbul dalam diriku.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini:
Sampai Hati Lembut menjadi milikku, satu-satunya nafsu
Yang saya miliki—untuk mendapatkannya.
Ketika Kecantikannya membelenggu saya, Maharaja,
Nafsu muncul dan muncul lagi.
Dengan segera kekuatan jhana kembali lagi kepadanya. Setelah terbang dari tanah dan duduk bersila di udara, ia membabarkan Dhamma kepada raja; dan tanpa menyentuh tanah, ia berlalu melalui udara menuju Pegunungan Himalaya. Ia tidak pernah kembali ke lingkungan manusia lagi; tetapi, dengan mengembangkan brahma-wihara (brahmavihāra) 117 dalam dirinya, hingga mencapai kondisi jhana yang tidak terputus. Setelah meninggal, ia terlahir kembali di alam brahma.
____________________
Setelah uraiannya berakhir, Sang Guru membabarkan Dhamma, dan pada akhir khotbah tersebut, bhikkhu itu memenangkan tingkat kesucian Arahat 118 dengan sendirinya. Sang Guru juga mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Ananda (Ānanda) adalah Raja pada masa itu, Uppalawanna (Uppalavaṇṇā) adalah Hati Lembut, dan saya adalah petapa tersebut.”
Catatan kaki :
112 Menurut penjelasan di Vinaya Piṭaka volume I, Edisi II (Revisi), (Suttavibhaṅga), versi bahasa Indonesia, yang diterjemahkan oleh Bhikkhu Ṭhitayañño, dan diterbitkan oleh Indonesia Tipitaka Center, hlm. 42, pada catatan kaki no. 32, bahwa awuso adalah panggilan keakraban sesama bhikkhu, terutama bhikkhu senior terhadap bhikkhu junior; atau panggilan akrab bhikkhu kepada seorang umat atau dayaka-nya (penyokongnya). Awuso bisa berarti sahabat, atau tuan, atau saudara.
113 (1) Iddhi atau daya gaib (misalnya terbang di udara); (2) Mata dewa; (3) Telinga dewa; (4) Kemampuan untuk mengetahui pikiran pihak lain; (5) kemampuan untuk mengingat kelahiran lampau.
114 Menurut penjelasan di The Pali Text Society’s Pali-English Dictionary, yang disusun oleh Mr. Thomas William Rhys Davids dan Mr. William Stede, bahwa delapan pencapaian terdiri dari empat jhana, keadaan dari konsepsi ruang tanpa batas, keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas, keadaan dari konsepsi kekosongan, keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
115 Menurut penjelasan yang diberikan oleh Buddhaghosa di Vism. 150, bahwa jhana adalah hasil yang dicapai dari meditasi tentang objek-objek dan penyingkiran hal-hal yang tidak baik.
116 Neraka, alam binatang, alam setan kelaparan, dan alam raksasa.
117 Empat sifat baik, yang terdiri dari metta (mettā, cinta kasih), karuna (karuṇā, belas kasihan), mudita (muditā, simpati), upekkha (upekkhā, ketenangan batin).
118 Orang yang telah mencapai tingkat kesucian keempat, yang tertinggi, yang sudah terbebas dari tumimbal lahir.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com