VARAṆA-JĀTAKA
Varuṇajātaka (Ja 71)
[316] “Belajarlah engkau dari dia,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang Thera yang bernama Tissa, Putra Tuan Tanah. Menurut kisah yang disampaikan secara turun-temurun; suatu hari, tiga puluh pemuda Sawatthi yang merupakan sahabat satu sama lain, membawa wewangian, bunga, dan jubah, berangkat dalam satu rombongan besar ke Jetawana untuk mendengar wejangan Sang Guru. Setibanya di Jetawana, mereka duduk sejenak di beberapa tempat berpagar— di tempat yang dikelilingi pohon-pohon kayu besi, 136 di tempat yang dikelilingi pohon-pohon Sala,137 dan seterusnya,—hingga sore hari, Sang Guru keluar dari Gandhakutinya138 yang sangat harum menuju Balai Kebenaran, dan mengambil tempat di tempat duduk untuk Buddha yang berwarna indah. Kemudian, bersama pengikut mereka, para pemuda ini menuju Balai Kebenaran, mempersembahkan wewangian dan bunga, bersujud kepada beliau — di depan sepasang kaki yang penuh berkah dan agung bagaikan bungai teratai yang mekar dengan sempurna, dan di kedua tapak kakinya, terdapat simbol berbentuk roda.139 Setelah mengambil tempat duduk, mereka mendengarkan khotbah Dhamma. Kemudian muncul pemikiran di dalam diri mereka, “Mari kita mengucapkan sumpah, sejauh kita memahami Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Guru.” Karena itu, saat Bhagawan meninggalkan Balai Kebenaran, mereka menghampiri beliau dan dengan penuh hormat memohon agar diterima menjadi anggota Sanggha; dan Sang Guru menerima mereka dalam Sanggha. Setelah mendapatkan bantuan dari upajjhaya (upajjhāya) 140 dan acariya (ācariya) 141 mereka, mereka ditahbiskan secara penuh menjadi anggota Sanggha. Setelah lima tahun tinggal bersama upajjhaya dan acariya mereka, mereka menguasai dua ikhtisar, mengetahui apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, mempelajari tiga cara untuk menunjukkan rasa terima kasih, serta bisa menjahit dan mencelup jubah. Pada tahap ini, karena berharap untuk hidup menyendiri sebagai petapa, setelah mendapat izin dari upajjhaya dan acariya mereka, mereka menghampiri Sang Guru. Setelah memberi penghormatan kepada beliau, mereka duduk dan berkata, “Bhante, kami menyadari betapa berbahayanya kelahiran yang berulang-ulang, cemas akan kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian; berikanlah sebuah objek perenungan kepada kami, agar dengan merenungkannya kami bisa terbebas dari penyebab kelahiran yang berulang-ulang.” Sang Guru memikirkan tiga puluh delapan objek perenungan, dan kemudian memilih satu yang sesuai untuk diuraikan kepada mereka. Setelah mendapatkan objek perenungan yang sesuai dari Sang Guru, mereka memberikan penghormatan, beranjak pergi sambil tetap mengarahkan sisi kanan badan pada beliau (berpradaksina),142 kembali ke bilik mereka. Setelah menemui upajjhaya dan acariya mereka, mereka pergi dengan membawa patta dan jubah (luar) untuk hidup menyendiri sebagai petapa.
Di antara mereka, terdapat seorang bhikkhu yang bernama Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, seorang lelaki yang lamban dan tidak tegas, seorang budak kesenangan akan rasa. Ia berpikir, “Saya tidak akan pernah bisa hidup di hutan, untuk berjuang dengan penuh semangat, dan hidup dari makanan hasil derma. Apa bagusnya saya pergi? Saya akan kembali.” Maka ia menyerah. Setelah mendampingi bhikkhu-bhikkhu itu sampai di suatu tempat, ia kembali. Sementara bhikkhu-bhikkhu yang lain, saat berpindapata melalui Kosala, tiba di sebuah pinggir desa, [317] dekat sebuah tempat yang penuh pepohonan, melewatkan wassa (vassa, masa musim hujan) di sana. Setelah tiga bulan berjuang keras, mereka memperoleh pandangan terang dan mencapai Arahat, membuat bumi berseru gembira. Pada akhir wassa, setelah merayakan Pawarana (Pavāranā), 143 mereka kemudian berangkat untuk menyampaikan kepada Sang Guru tentang pencapaian yang telah mereka menangkan, dan secara berangsur-angsur akhirnya tiba di Jetawana. Setelah meletakkan patta dan jubah (luar), mereka mengunjungi upajjhaya dan acariya mereka. Karena sangat ingin menjumpai Bhagawan, mereka menemui beliau dan dengan penuh hormat, mengambil tempat duduk. Sang Guru menyapa mereka dengan ramah. Kemudian mereka menyampaikan kepada Bhagawan tentang pencapaian yang telah mereka menangkan, dan mendapat pujian dari beliau. Mendengar Sang Guru memuji mereka, Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, dipenuhi dengan keinginan untuk menjalani kehidupan sebagai petapa seorang diri saja. Demikianlah, para bhikkhu itu memohon dan menerima izin dari Sang Guru untuk kembali menetap di tempat semula di dalam hutan. Dengan penuh hormat mereka kembali ke bilik mereka.
Kemudian Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, pada malam itu terpacu oleh keinginan yang sangat kuat untuk segera memulai kehidupan yang keras. Sementara itu, berlatih dengan semangat yang berlebihan cara hidup seorang petapa dan tidur dengan posisi tubuh tegak di pinggir tempat tidur papannya. Saat tengah malam, ia tertidur dan jatuh dari tempat tidur, sehingga tulang pahanya patah. Ia menderita kesakitan hebat, sehingga para bhikkhu lainnya harus merawatnya dan tertunda keberangkatan mereka.
Karenanya, sewaktu mereka muncul pada saat mengunjungi Buddha Yang Mahamulia, beliau bertanya kepada mereka bukankah kemarin mereka telah meminta izin untuk berangkat pada keesokan harinya.
“Benar, Bhante; tetapi teman kami, Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, saat berlatih cara hidup seorang petapa dengan semangat yang berlebihan, tertidur dan jatuh dari tempat tidur, sehingga tulang pahanya patah. Karena itulah keberangkatan kami tertunda.” “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “penyerahan dirinya menyebabkannya berupaya kembali dengan semangat yang berlebihan, sehingga menunda keberangkatan kalian; ia juga menunda keberangkatan kalian pada kehidupan yang lampau.” Setelah itu, atas permintaan mereka, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Pada suatu ketika di Takkasilā, di kerajaan Gandhāra, Bodhisatta adalah seorang guru yang sangat terkenal, dengan lima ratus orang brahmana muda sebagai muridnya. Suatu hari, murid-muridnya pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar untuk guru mereka, dan menyibukkan diri memungut ranting-ranting. Di antara mereka, ada satu orang pemalas yang tiba di sebuah pohon hutan yang besar, yang ia anggap telah kering dan busuk. Ia berpikir bahwa ia bisa tidur siang dengan tenang sejenak, dan setelah itu baru memanjat [318] dan mematahkan beberapa cabang pohon untuk dibawa pulang. Karena itu, ia membentangkan jubah luarnya dan tidur; mendengkur dengan kerasnya. Semua brahmana muda lainnya sedang dalam perjalanan pulang dengan membawa kayu yang diikatkan menjadi satu, dan menemukan tukang tidur itu. Setelah menyepak punggungnya hingga ia bangun, mereka meninggalkannya dan meneruskan perjalanan mereka. Ia melompat bangun dan menggosok matanya beberapa saat. Kemudian, dengan keadaan masih setengah tidur, ia mulai memanjat pohon tersebut. Tetapi sebuah cabang yang sedang ditariknya terputus sebagian. Saat cabang tersebut terlempar, ujungnya mengenai mata brahmana itu. Setelah menutup matanya yang terluka dengan sebelah tangannya, ia mengumpulkan cabang yang masih hijau dengan menggunakan sebelah tangannya yang lain. Kemudian turun dari pohon, mengikat kayu bakarnya dan bergegas pulang membawa kayu tersebut, melemparkan kayu-kayu yang masih hijau itu di atas tumpukan kayu bakar lainnya.
Kebetulan pada hari yang sama ada sebuah keluarga dari desa yang mengundang guru tersebut untuk mengunjungi mereka keesokan harinya, agar mereka dapat mempersembahkan perjamuan brahmana untuknya. Maka guru tersebut memanggil semua muridnya, dan memberitahukan mereka tentang perjalanan yang akan mereka lakukan untuk mengunjungi desa tersebut keesokan harinya, mengatakan bahwa mereka tidak bisa pergi tanpa makan terlebih dulu. “Jadi, masaklah sedikit bubur nasi pagi-pagi sekali,” katanya, “dan makanlah sebelum berangkat. Di sana kalian akan mendapatkan makanan yang diberikan untuk kalian dan satu bagian untuk saya. Bawalah semua itu pulang dengan kalian.”
Mereka bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya dan membangunkan seorang pelayan untuk menyiapkan sarapan mereka tepat pada waktunya. Pelayan wanita itu segera mengambil kayu untuk membuat api. Kayu yang masih hijau itu berada di atas tumpukan, dan ia menyalakan api dengan menggunakan kayu tersebut. Ia meniup dan meniup, namun tidak bisa menyalakan api, sampai akhirnya matahari terbit. “Sekarang hari sudah terang,” kata mereka, “sudah terlalu siang untuk pergi.” Mereka segera menemui guru mereka.
“Apa? Kalian masih belum memulai perjalanan, Anakanakku?” tanyanya. “Belum, Guru. Kami belum berangkat.” “Mengapa?” “Karena pemalas itu, ketika mengumpulkan kayu bakar bersama kami, tidur di bawah sebatang pohon hutan; dan untuk mengejar waktu yang hilang, ia memanjat sebatang pohon dengan terburu-buru, yang menyebabkan matanya terluka, dan membawa pulang sejumlah kayu yang masih hijau, yang dilemparkannya ke atas ikatan kayu bakar kami. Saat pelayan wanita yang akan memasak bubur nasi kami pergi ke tumpukan kayu bakar itu, ia mengambil kayunya yang berwarna hijau, mengira kayu itu tentunya kayu yang telah kering; namun tidak ada api yang menyala sebelum matahari terbit. Hal inilah yang membuat kami tidak bisa pergi.”
Mendengar apa yang telah dilakukan oleh brahmana muda itu, guru tersebut berseru bahwa perbuatan bodoh dari satu orang telah mencelakakan semua orang, dan mengulangi syair berikut ini :
[319] Belajarlah engkau dari dia yang mematahkan cabang-
Cabang yang masih hijau,
Pekerjaan-pekerjaan yang tertunda akan membawa air
Mata pada akhirnya.
Demikianlah komentar Bodhisatta mengenai masalah itu kepada murid-muridnya. Pada akhir hidupnya yang penuh dengan praktik derma dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatannya.
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, bahwa orang ini telah menunda (keberangkatan) kalian; Ia juga melakukan hal yang sama pada kelahiran yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Bhikkhu yang tulang pahanya patah adalah brahmana muda yang matanya terluka pada masa itu; para pengikut Buddha adalah keseluruhan brahmana lainnya, dan saya sendiri adalah brahmana yang merupakan guru mereka.”
Catatan kaki :
136 Nama Latinnya Eusideroxylon zwageri, disebut juga kayu ulin.
137 Nama Latinnya Shorea robusta.
138 Gandhakuṭī , kamar yang sangat harum yang diperuntukkan dan ditempati Buddha.
139 Merupakan simbol dari Dhamma-cakka, yang artinya Roda Dhamma, simbol dari kemampuan untuk menaklukkan (penderitaan, yaitu usia tua, sakit, dan meninggal), atau mengandung kebahagiaan di dalam Dhamma/ajaran.
140 Guru yang melantik seseorang menjadi bhikkhu, guru pemberi sila kebhikkhuan.
141 Ada empat jenis guru : guru pabbajjā (yang menahbiskan seseorang menjadi sāmaṇera dengan memberinya sepuluh sila); d guru upasampadā atau kammavācācariya (yang membacakan mosi/usul dan keputusan dalam upacara upasampadā); e guru Dhamma (yang mengajarkan bahasa Pali dan kitab suci); f guru nissaya (yang kepadanya seseorang hidup bersandar).
142 Padakkhiṇa atau pradaksina: berjalan sambil tetap mengarahkan sisi kanan badan pada objek yang dihormati.
143 Menurut kamus elektronik Pali-Inggris di Kitab Pali Chattha Sangayana CD, bahwa pavāranā adalah nama sebuah perayaan yang diadakan setelah selesainya masa wassa.
Di antara mereka, terdapat seorang bhikkhu yang bernama Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, seorang lelaki yang lamban dan tidak tegas, seorang budak kesenangan akan rasa. Ia berpikir, “Saya tidak akan pernah bisa hidup di hutan, untuk berjuang dengan penuh semangat, dan hidup dari makanan hasil derma. Apa bagusnya saya pergi? Saya akan kembali.” Maka ia menyerah. Setelah mendampingi bhikkhu-bhikkhu itu sampai di suatu tempat, ia kembali. Sementara bhikkhu-bhikkhu yang lain, saat berpindapata melalui Kosala, tiba di sebuah pinggir desa, [317] dekat sebuah tempat yang penuh pepohonan, melewatkan wassa (vassa, masa musim hujan) di sana. Setelah tiga bulan berjuang keras, mereka memperoleh pandangan terang dan mencapai Arahat, membuat bumi berseru gembira. Pada akhir wassa, setelah merayakan Pawarana (Pavāranā), 143 mereka kemudian berangkat untuk menyampaikan kepada Sang Guru tentang pencapaian yang telah mereka menangkan, dan secara berangsur-angsur akhirnya tiba di Jetawana. Setelah meletakkan patta dan jubah (luar), mereka mengunjungi upajjhaya dan acariya mereka. Karena sangat ingin menjumpai Bhagawan, mereka menemui beliau dan dengan penuh hormat, mengambil tempat duduk. Sang Guru menyapa mereka dengan ramah. Kemudian mereka menyampaikan kepada Bhagawan tentang pencapaian yang telah mereka menangkan, dan mendapat pujian dari beliau. Mendengar Sang Guru memuji mereka, Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, dipenuhi dengan keinginan untuk menjalani kehidupan sebagai petapa seorang diri saja. Demikianlah, para bhikkhu itu memohon dan menerima izin dari Sang Guru untuk kembali menetap di tempat semula di dalam hutan. Dengan penuh hormat mereka kembali ke bilik mereka.
Kemudian Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, pada malam itu terpacu oleh keinginan yang sangat kuat untuk segera memulai kehidupan yang keras. Sementara itu, berlatih dengan semangat yang berlebihan cara hidup seorang petapa dan tidur dengan posisi tubuh tegak di pinggir tempat tidur papannya. Saat tengah malam, ia tertidur dan jatuh dari tempat tidur, sehingga tulang pahanya patah. Ia menderita kesakitan hebat, sehingga para bhikkhu lainnya harus merawatnya dan tertunda keberangkatan mereka.
Karenanya, sewaktu mereka muncul pada saat mengunjungi Buddha Yang Mahamulia, beliau bertanya kepada mereka bukankah kemarin mereka telah meminta izin untuk berangkat pada keesokan harinya.
“Benar, Bhante; tetapi teman kami, Tissa Thera, Putra Tuan Tanah, saat berlatih cara hidup seorang petapa dengan semangat yang berlebihan, tertidur dan jatuh dari tempat tidur, sehingga tulang pahanya patah. Karena itulah keberangkatan kami tertunda.” “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “penyerahan dirinya menyebabkannya berupaya kembali dengan semangat yang berlebihan, sehingga menunda keberangkatan kalian; ia juga menunda keberangkatan kalian pada kehidupan yang lampau.” Setelah itu, atas permintaan mereka, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Pada suatu ketika di Takkasilā, di kerajaan Gandhāra, Bodhisatta adalah seorang guru yang sangat terkenal, dengan lima ratus orang brahmana muda sebagai muridnya. Suatu hari, murid-muridnya pergi ke hutan untuk mengumpulkan kayu bakar untuk guru mereka, dan menyibukkan diri memungut ranting-ranting. Di antara mereka, ada satu orang pemalas yang tiba di sebuah pohon hutan yang besar, yang ia anggap telah kering dan busuk. Ia berpikir bahwa ia bisa tidur siang dengan tenang sejenak, dan setelah itu baru memanjat [318] dan mematahkan beberapa cabang pohon untuk dibawa pulang. Karena itu, ia membentangkan jubah luarnya dan tidur; mendengkur dengan kerasnya. Semua brahmana muda lainnya sedang dalam perjalanan pulang dengan membawa kayu yang diikatkan menjadi satu, dan menemukan tukang tidur itu. Setelah menyepak punggungnya hingga ia bangun, mereka meninggalkannya dan meneruskan perjalanan mereka. Ia melompat bangun dan menggosok matanya beberapa saat. Kemudian, dengan keadaan masih setengah tidur, ia mulai memanjat pohon tersebut. Tetapi sebuah cabang yang sedang ditariknya terputus sebagian. Saat cabang tersebut terlempar, ujungnya mengenai mata brahmana itu. Setelah menutup matanya yang terluka dengan sebelah tangannya, ia mengumpulkan cabang yang masih hijau dengan menggunakan sebelah tangannya yang lain. Kemudian turun dari pohon, mengikat kayu bakarnya dan bergegas pulang membawa kayu tersebut, melemparkan kayu-kayu yang masih hijau itu di atas tumpukan kayu bakar lainnya.
Kebetulan pada hari yang sama ada sebuah keluarga dari desa yang mengundang guru tersebut untuk mengunjungi mereka keesokan harinya, agar mereka dapat mempersembahkan perjamuan brahmana untuknya. Maka guru tersebut memanggil semua muridnya, dan memberitahukan mereka tentang perjalanan yang akan mereka lakukan untuk mengunjungi desa tersebut keesokan harinya, mengatakan bahwa mereka tidak bisa pergi tanpa makan terlebih dulu. “Jadi, masaklah sedikit bubur nasi pagi-pagi sekali,” katanya, “dan makanlah sebelum berangkat. Di sana kalian akan mendapatkan makanan yang diberikan untuk kalian dan satu bagian untuk saya. Bawalah semua itu pulang dengan kalian.”
Mereka bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya dan membangunkan seorang pelayan untuk menyiapkan sarapan mereka tepat pada waktunya. Pelayan wanita itu segera mengambil kayu untuk membuat api. Kayu yang masih hijau itu berada di atas tumpukan, dan ia menyalakan api dengan menggunakan kayu tersebut. Ia meniup dan meniup, namun tidak bisa menyalakan api, sampai akhirnya matahari terbit. “Sekarang hari sudah terang,” kata mereka, “sudah terlalu siang untuk pergi.” Mereka segera menemui guru mereka.
“Apa? Kalian masih belum memulai perjalanan, Anakanakku?” tanyanya. “Belum, Guru. Kami belum berangkat.” “Mengapa?” “Karena pemalas itu, ketika mengumpulkan kayu bakar bersama kami, tidur di bawah sebatang pohon hutan; dan untuk mengejar waktu yang hilang, ia memanjat sebatang pohon dengan terburu-buru, yang menyebabkan matanya terluka, dan membawa pulang sejumlah kayu yang masih hijau, yang dilemparkannya ke atas ikatan kayu bakar kami. Saat pelayan wanita yang akan memasak bubur nasi kami pergi ke tumpukan kayu bakar itu, ia mengambil kayunya yang berwarna hijau, mengira kayu itu tentunya kayu yang telah kering; namun tidak ada api yang menyala sebelum matahari terbit. Hal inilah yang membuat kami tidak bisa pergi.”
Mendengar apa yang telah dilakukan oleh brahmana muda itu, guru tersebut berseru bahwa perbuatan bodoh dari satu orang telah mencelakakan semua orang, dan mengulangi syair berikut ini :
[319] Belajarlah engkau dari dia yang mematahkan cabang-
Cabang yang masih hijau,
Pekerjaan-pekerjaan yang tertunda akan membawa air
Mata pada akhirnya.
Demikianlah komentar Bodhisatta mengenai masalah itu kepada murid-muridnya. Pada akhir hidupnya yang penuh dengan praktik derma dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatannya.
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, bahwa orang ini telah menunda (keberangkatan) kalian; Ia juga melakukan hal yang sama pada kelahiran yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Bhikkhu yang tulang pahanya patah adalah brahmana muda yang matanya terluka pada masa itu; para pengikut Buddha adalah keseluruhan brahmana lainnya, dan saya sendiri adalah brahmana yang merupakan guru mereka.”
Catatan kaki :
136 Nama Latinnya Eusideroxylon zwageri, disebut juga kayu ulin.
137 Nama Latinnya Shorea robusta.
138 Gandhakuṭī , kamar yang sangat harum yang diperuntukkan dan ditempati Buddha.
139 Merupakan simbol dari Dhamma-cakka, yang artinya Roda Dhamma, simbol dari kemampuan untuk menaklukkan (penderitaan, yaitu usia tua, sakit, dan meninggal), atau mengandung kebahagiaan di dalam Dhamma/ajaran.
140 Guru yang melantik seseorang menjadi bhikkhu, guru pemberi sila kebhikkhuan.
141 Ada empat jenis guru : guru pabbajjā (yang menahbiskan seseorang menjadi sāmaṇera dengan memberinya sepuluh sila); d guru upasampadā atau kammavācācariya (yang membacakan mosi/usul dan keputusan dalam upacara upasampadā); e guru Dhamma (yang mengajarkan bahasa Pali dan kitab suci); f guru nissaya (yang kepadanya seseorang hidup bersandar).
142 Padakkhiṇa atau pradaksina: berjalan sambil tetap mengarahkan sisi kanan badan pada objek yang dihormati.
143 Menurut kamus elektronik Pali-Inggris di Kitab Pali Chattha Sangayana CD, bahwa pavāranā adalah nama sebuah perayaan yang diadakan setelah selesainya masa wassa.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com