SACCAṀKIRA-JĀTAKA
Saccaṃkirajātaka (Ja 73)
“Mereka mengetahui dunia ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai usaha untuk membunuh. Saat duduk di Balai Kebenaran, para bhikkhu sedang membicarakan kejahatan Dewadatta, “Awuso, Dewadatta tidak mengetahui kebaikan dari Sang Guru; ia benar-benar berusaha membunuh beliau.” Saat itu, Sang Guru memasuki Balai Kebenaran dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. [323] Mendengar penjelasan mereka, beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, bahwa Dewadatta berusaha membunuh saya; ia juga melakukannya pada kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ia mempunyai seorang putra yang bernama Pangeran Jahat. Ia sangat galak dan kejam, seperti seekor ular yang bisa melukai. Ia berbicara pada setiap orang dengan makian dan pukulan. Pangeran ini seperti sebutir pasir di mata setiap orang, baik yang berada di dalam maupun di luar istana, atau seperti raksasa yang kelaparan, — begitu menakutkan dan berbahayanya dia.
Suatu hari, karena ingin menyenangkan diri di sungai, ia berangkat dengan rombongan besar ke tepi sungai. Muncul badai, dan kegelapan pun terjadi di sana. “Hei, kalian,” serunya kepada para pelayannya, “bawa saya ke tengah sungai, mandikan saya di sana, lalu bawa saya kembali ke tepi.” Maka mereka membawanya ke tengah sungai sambil berunding, “Apa yang bisa dilakukan Raja kepada kita? Ayo kita bunuh penjahat keji ini di sini sekarang juga! Tenggelamlah engkau, dasar pengganggu!” seru mereka, sambil melemparkannya ke dalam air. Saat kembali ke tepi, mereka ditanya ke manakah pangeran tersebut, dan mereka menjawab, “Kami tidak melihatnya; melihat munculnya badai, ia pasti sudah keluar dari sungai dan pulang mendahului kita.”
Para anggota istana ini menuju ke kediaman raja, dan raja bertanya di mana putranya. “Kami tidak tahu, Maharaja,” jawab mereka, “muncul badai, dan kami kembali dengan keyakinan bahwa ia pasti sudah pulang duluan.” Saat itu juga raja memerintahkan agar gerbang kerajaan dibuka; ia segera menuju ke tepi sungai dan meminta agar pencarian dilakukan secara teliti, baik di atas maupun di bawah, untuk mencari pangeran yang hilang. Namun tidak ada satu pun jejak yang ditemukan. Sebab, dalam kegelapan akibat badai, ia telah tersapu oleh arus. Ia menemukan sebatang pohon dan menaikinya, dan terhanyut ke hilir sungai, menangis dengan keras dalam luapan ketakutan jika tenggelam.
Pada waktu itu, ada seorang saudagar kaya di Benares yang mati meninggalkan kekayaan sebesar empat ratus juta terkubur di tepi sungai yang sama. Karena kemelekatan akan harta bendanya, ia terlahir kembali sebagai seekor ular di tempat hartanya terkubur. Di tempat yang sama, seorang lelaki yang lain juga menyembunyikan kekayaan sebesar tiga ratus juta, dan karena kemelekatan akan hartanya, terlahir kembali sebagai seekor tikus di tempat tersebut. Saat air menerjang tempat tinggal mereka, kedua hewan itu melarikan diri melalui arus air, mencari jalan menyeberangi sungai tersebut. Ketika mereka secara kebetulan menemukan batang pohon yang dipegang oleh pangeran itu, [324] ular itu naik ke ujung satu sisi batang pohon, dan tikus itu naik ke sisi yang lain; dengan cara demikian, kedua hewan itu berpijak pada batang pohon tersebut bersama pangeran itu.
Di pinggir sungai tersebut tumbuh sebatang pohon Simbali,146 yang dihuni oleh seekor burung kakak tua yang masih muda; dan pohon ini, tercabut oleh gelombang air yang cukup besar dan jatuh ke dalam sungai. Hujan yang deras menjatuhkan burung kakak tua tersebut saat mencoba untuk terbang. Saat terjatuh itulah ia hinggap di batang pohon yang sama, sehingga ada empat makhluk yang bersama-sama hanyut di sungai di atas batang pohon tersebut.
Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana di negeri Barat Laut. Setelah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan sebagai petapa hingga dewasa, ia membangun sebuah pertapaan untuk dirinya sendiri di belokan sebuah sungai; di sanalah ia menetap. Ketika sedang melangkah bolak-balik di tengah malam, ia mendengar tangisan yang cukup keras dari pangeran tersebut, dan berpikir, “Makhluk ini tidak boleh binasa di depan mata seorang petapa yang penuh cinta kasih dan belas kasihan seperti saya. Saya akan menolongnya ke luar dari air dan menyelamatkan nyawanya.” Maka ia berseru untuk menenangkannya, “Jangan takut! Jangan takut!” dan terjun ke dalam sungai, menangkap batang pohon itu di satu sisi, dan dengan kekuatan bagaikan seekor gajah, menarik batang pohon tersebut ke pinggir sungai dengan satu tarikan saja, membuat pangeran itu aman dan selamat di pinggir sungai. Menyadari adanya ular, tikus, dan burung kakak tua itu, ia membawa mereka ke pertapaannya. Di sana setelah menyalakan api, menghangatkan hewan-hewan itu terlebih dahulu, karena mereka makhluk yang lebih lemah, lalu mengurus pangeran tersebut. Setelah selesai, ia membawakan berbagai jenis buah-buahan dan menyuguhkannya kepada mereka, melayani hewan-hewan itu terlebih dahulu sebelum melayani pangeran. Hal itu membuat pangeran muda ini marah, dan berkata dalam hati, “Petapa kurang ajar ini tidak menghormatiku sebagai keturunan raja, ia lebih mengutamakan makhlukmakhluk kasar ini daripada saya.” Ia menaruh kebencian kepada Bodhisatta.
Beberapa hari kemudian, ketika keempat makhluk itu telah mendapatkan kembali kekuatan mereka, dan air sungai telah surut, ular menyampaikan perpisahan kepada petapa tersebut dengan kata-kata berikut, “Ayah, Anda telah melayani saya dengan baik. Saya tidaklah miskin, karena saya mempunyai kekayaan sebesar empat ratus juta tersimpan di suatu tempat. Jika Anda membutuhkan uang, semua peninggalan saya akan menjadi milikmu. Anda hanya perlu datang dan memanggil ‘Ular’.” Selanjutnya, tikus meninggalkan tempat itu dengan janji yang sama kepada petapa tersebut akan hartanya, meminta petapa tersebut datang dan memanggil ‘Tikus’. [325] Kemudian, burung kakak tua mengucapkan perpisahan dengan berkata, “Ayah, saya tidak memiliki emas maupun perak, namun jika Anda menginginkan beras pilihan, datanglah ke tempat tinggal saya dan panggillah ‘Burung Kakak Tua’; dan saya dibantu dengan semua kerabat saya akan memberikan banyak gerobak beras kepadamu.” Terakhir giliran pangeran itu. Di dalam hatinya yang didasari tidak tahu berterima kasih dan memutuskan akan membunuh penolongnya, jika Bodhisatta datang mengunjunginya. Namun, menyembunyikan niatnya, ia berkata, “Datanglah, Ayah, untuk menemuiku saat aku menjadi raja, dan saya akan menganugerahi empat kebutuhan kepadamu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia beranjak pergi, dan tak lama kemudian, mewarisi takhta kerajaan.
Timbul niat Bodhisatta untuk menguji pernyataan mereka. Mula-mula ia mendatangi ular, berdiri di dekat tempat tinggalnya, dan memanggil ‘Ular’. Begitu ia mengucapkan kata tersebut, ular itu muncul dengan cepat dan penuh hormat berkata, “Ayah, di tempat ini terdapat kekayaan sebesar empat ratus juta. Gali dan ambillah semuanya.” “Baik,” kata Bodhisatta, “jika saya memerlukannya, saya tidak akan melupakannya.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia pergi ke tempat tinggal tikus, dan memanggil ‘Tikus’. Tikus juga melakukan apa yang dilakukan oleh ular. Selanjutnya ia mengunjungi burung kakak tua, dan memanggil ‘Burung Kakak Tua’, burung tersebut segera terbang turun dari puncak pohon saat ia memanggilnya; dan dengan penuh hormat bertanya apakah Bodhisatta menginginkan ia dibantu oleh para kerabatnya mengumpulkan padi-padian dari wilayah di sekitar Pegunungan Himalaya untuk Bodhisatta. Bodhisatta menolak tawaran burung tersebut dengan mengatakan, jika ia membutuhkannya, ia tidak akan melupakan tawaran burung tersebut. Akhirnya Bodhisatta teringat untuk menguji raja tersebut. Ia menuju taman peristirahatan kerajaan. Pada hari kedatangannya, setelah berpakaian dengan cermat, memasuki kota untuk berpindapata. Pada saat yang sama, raja yang tidak tahu berterima kasih itu duduk dengan segala kemegahannya di punggung gajah kerajaan, mengelilingi kota dengan iring-iringan yang khidmat diikuti oleh satu rombongan besar. Setelah melihat Bodhisatta dari kejauhan, ia berpikir, “Itu dia petapa kurang ajar, datang untuk tinggal dan makan makanan saya. Saya akan memenggal kepalanya sebelum ia mengumumkan bantuan yang pernah ia berikan kepadaku ke seluruh dunia.” Dengan niat tersebut, ia memberi isyarat kepada pelayannya, dan saat mereka menanyakan apa yang ia inginkan, berkata, “Saya duga petapa kurang ajar yang berada di sana datang kemari untuk mendesak saya. Jaga agar pengganggu itu tidak mendekati saya, sergap dan ikat dia; [326] cambuk dia di setiap sudut jalan; kemudian giring ia ke luar kota dan penggal kepalanya di tempat hukuman mati, lalu pancangkan tubuhnya di kayu pancang.”
Mematuhi perintah raja, para pelayannya mengikat makhluk agung yang tidak bersalah itu dan mencambuknya di setiap sudut jalan dalam perjalanan menuju ke tempat hukuman mati. Namun semua cambukan mereka gagal mengubah pendirian Bodhisatta ataupun memaksanya menjerit, “Oh, Ibu dan Ayah!” Ia hanya mengulangi syair berikut ini : —
Mereka mengetahui dunia ini, yang menyatakan
Kebenaran ini —
‘Penyelamatan lebih didapatkan dari sebatang kayu
Daripada beberapa manusia.”
Baris-baris syair ini ia ulangi setiap kali ia dicambuk, hingga akhirnya seorang yang bijaksana di antara para penonton bertanya kepada petapa tersebut bantuan apa yang telah ia berikan kepada raja mereka. Lalu Bodhisatta menceritakan keseluruhan kejadian itu, diakhiri dengan kata, “Tiba saatnya untuk menilai bahwa dengan menyelamatkannya dari arus air yang deras, saya membawa semua kesengsaraan ini kepada diri saya sendiri. Dan ketika saya berpikir bahwa saya tidak menuruti kata-kata bijak dari mereka yang lebih tua, saya mengucapkan apa yang telah kalian dengar.”
Dipenuhi dengan kemarahan saat mendengar cerita tersebut, para bangsawan dan brahmana serta semua kelompok masyarakat dengan suara bulat berseru, “Raja yang tidak tahu berterima kasih itu tidak mengenali kebaikan orang baik ini, yang telah menyelamatkan nyawanya. Bagaimana kita bisa memperoleh keuntungan dari raja ini? Tangkap raja zalim itu!” Dalam kemarahan, mereka menyerbu raja tersebut dari segala penjuru, saat ia mengendarai gajahnya, dan membunuhnya di sana pada saat itu juga, dengan menggunakan panah, tombak, batu, alat pemukul, dan senjata-senjata lainnya yang mereka dapatkan. Mayat raja itu mereka seret dengan memegang kakinya menuju ke sebuah parit, lalu mereka lemparkan ke dalam parit tersebut. Kemudian mereka melakukan upacara penobatan untuk mengangkat Bodhisatta menjadi raja dan memerintah mereka.
Setelah menjadi raja yang memerintah dengan penuh keadilan, suau hari [327] timbul niat Bodhisatta untuk menguji ular, tikus, dan burung kakak tua itu lagi; dengan diikuti satu rombongan besar, ia tiba di tempat tinggal ular. Saat ia memanggil ‘Ular’, ular tersebut segera keluar dari lubang dan dengan penuh hormat berkata, “Di sini, Tuanku, terdapat hartaku; bawalah.” Lalu raja menyerahkan kekayaan sebesar empat ratus juta itu kepada para pelayannya, dan melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal tikus, memanggil ‘Tikus’. Tikus tersebut segera keluar, memberi penghormatan kepada raja, dan memberikan tiga ratus juta uangnya. Setelah menyerahkan harta tersebut ke tangan pelayannya, raja melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal burung kakak tua itu, dan memanggil ‘Burung Kakak Tua’. Dengan cara yang sama burung tersebut datang, membungkuk memberi hormat di kaki raja dan menanyakan apakah sudah saatnya untuk mengumpulkan beras untuk raja. “Kami tidak akan merepotkanmu,” kata raja tersebut, “hingga beras dibutuhkan oleh kami. Sekarang kami akan pergi.” Maka dengan membawa kekayaan sebesar tujuh ratus juta, dan bersama dengan ular, tikus, serta burung kakak tua itu, raja menempuh perjalanan pulang ke kota. Di sini, di istana yang megah, di loteng kerajaan tempat ia mengumpulkan seluruh hartanya, ia menyuruh agar harta tersebut disimpan dan dijaga. Ia menyuruh agar membuat sebuah pipa emas sebagai tempat tinggal bagi ular, sebuah peti kristal sebagai rumah bagi tikus, dan sebuah sangkar emas untuk burung kakak tua. Setiap hari, atas perintah raja, makanan disajikan kepada ketiga makhluk tersebut dalam wadah emas, — jagung panggang yang manis untuk burung kakak tua dan ular, dan beras wangi untuk tikus. Raja sangat berlimpah dalam amal dan perbuatan baiknya. Demikianlah dalam kerukunan dan kebaikan terhadap satu sama lainnya, keempat makhluk itu menghabiskan hidup mereka. Saat akhir hidup mereka tiba, mereka meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatan mereka.
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Dewadatta berusaha membunuh saya; ia juga melakukan hal yang sama pada kelahiran yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut, “Dewadatta adalah Raja Jahat pada waktu itu, Sariputta adalah ular, Moggallana (Moggallāna) adalah tikus, Ananda adalah burung kakak tua, dan saya sendiri adalah raja yang adil, yang mendapatkan sebuah kerajaan.”
Catatan kaki :
146 Nama Latinnya Bombax heptaphyllum, sejenis pohon kapuk.
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, ia mempunyai seorang putra yang bernama Pangeran Jahat. Ia sangat galak dan kejam, seperti seekor ular yang bisa melukai. Ia berbicara pada setiap orang dengan makian dan pukulan. Pangeran ini seperti sebutir pasir di mata setiap orang, baik yang berada di dalam maupun di luar istana, atau seperti raksasa yang kelaparan, — begitu menakutkan dan berbahayanya dia.
Suatu hari, karena ingin menyenangkan diri di sungai, ia berangkat dengan rombongan besar ke tepi sungai. Muncul badai, dan kegelapan pun terjadi di sana. “Hei, kalian,” serunya kepada para pelayannya, “bawa saya ke tengah sungai, mandikan saya di sana, lalu bawa saya kembali ke tepi.” Maka mereka membawanya ke tengah sungai sambil berunding, “Apa yang bisa dilakukan Raja kepada kita? Ayo kita bunuh penjahat keji ini di sini sekarang juga! Tenggelamlah engkau, dasar pengganggu!” seru mereka, sambil melemparkannya ke dalam air. Saat kembali ke tepi, mereka ditanya ke manakah pangeran tersebut, dan mereka menjawab, “Kami tidak melihatnya; melihat munculnya badai, ia pasti sudah keluar dari sungai dan pulang mendahului kita.”
Para anggota istana ini menuju ke kediaman raja, dan raja bertanya di mana putranya. “Kami tidak tahu, Maharaja,” jawab mereka, “muncul badai, dan kami kembali dengan keyakinan bahwa ia pasti sudah pulang duluan.” Saat itu juga raja memerintahkan agar gerbang kerajaan dibuka; ia segera menuju ke tepi sungai dan meminta agar pencarian dilakukan secara teliti, baik di atas maupun di bawah, untuk mencari pangeran yang hilang. Namun tidak ada satu pun jejak yang ditemukan. Sebab, dalam kegelapan akibat badai, ia telah tersapu oleh arus. Ia menemukan sebatang pohon dan menaikinya, dan terhanyut ke hilir sungai, menangis dengan keras dalam luapan ketakutan jika tenggelam.
Pada waktu itu, ada seorang saudagar kaya di Benares yang mati meninggalkan kekayaan sebesar empat ratus juta terkubur di tepi sungai yang sama. Karena kemelekatan akan harta bendanya, ia terlahir kembali sebagai seekor ular di tempat hartanya terkubur. Di tempat yang sama, seorang lelaki yang lain juga menyembunyikan kekayaan sebesar tiga ratus juta, dan karena kemelekatan akan hartanya, terlahir kembali sebagai seekor tikus di tempat tersebut. Saat air menerjang tempat tinggal mereka, kedua hewan itu melarikan diri melalui arus air, mencari jalan menyeberangi sungai tersebut. Ketika mereka secara kebetulan menemukan batang pohon yang dipegang oleh pangeran itu, [324] ular itu naik ke ujung satu sisi batang pohon, dan tikus itu naik ke sisi yang lain; dengan cara demikian, kedua hewan itu berpijak pada batang pohon tersebut bersama pangeran itu.
Di pinggir sungai tersebut tumbuh sebatang pohon Simbali,146 yang dihuni oleh seekor burung kakak tua yang masih muda; dan pohon ini, tercabut oleh gelombang air yang cukup besar dan jatuh ke dalam sungai. Hujan yang deras menjatuhkan burung kakak tua tersebut saat mencoba untuk terbang. Saat terjatuh itulah ia hinggap di batang pohon yang sama, sehingga ada empat makhluk yang bersama-sama hanyut di sungai di atas batang pohon tersebut.
Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir kembali sebagai seorang brahmana di negeri Barat Laut. Setelah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan sebagai petapa hingga dewasa, ia membangun sebuah pertapaan untuk dirinya sendiri di belokan sebuah sungai; di sanalah ia menetap. Ketika sedang melangkah bolak-balik di tengah malam, ia mendengar tangisan yang cukup keras dari pangeran tersebut, dan berpikir, “Makhluk ini tidak boleh binasa di depan mata seorang petapa yang penuh cinta kasih dan belas kasihan seperti saya. Saya akan menolongnya ke luar dari air dan menyelamatkan nyawanya.” Maka ia berseru untuk menenangkannya, “Jangan takut! Jangan takut!” dan terjun ke dalam sungai, menangkap batang pohon itu di satu sisi, dan dengan kekuatan bagaikan seekor gajah, menarik batang pohon tersebut ke pinggir sungai dengan satu tarikan saja, membuat pangeran itu aman dan selamat di pinggir sungai. Menyadari adanya ular, tikus, dan burung kakak tua itu, ia membawa mereka ke pertapaannya. Di sana setelah menyalakan api, menghangatkan hewan-hewan itu terlebih dahulu, karena mereka makhluk yang lebih lemah, lalu mengurus pangeran tersebut. Setelah selesai, ia membawakan berbagai jenis buah-buahan dan menyuguhkannya kepada mereka, melayani hewan-hewan itu terlebih dahulu sebelum melayani pangeran. Hal itu membuat pangeran muda ini marah, dan berkata dalam hati, “Petapa kurang ajar ini tidak menghormatiku sebagai keturunan raja, ia lebih mengutamakan makhlukmakhluk kasar ini daripada saya.” Ia menaruh kebencian kepada Bodhisatta.
Beberapa hari kemudian, ketika keempat makhluk itu telah mendapatkan kembali kekuatan mereka, dan air sungai telah surut, ular menyampaikan perpisahan kepada petapa tersebut dengan kata-kata berikut, “Ayah, Anda telah melayani saya dengan baik. Saya tidaklah miskin, karena saya mempunyai kekayaan sebesar empat ratus juta tersimpan di suatu tempat. Jika Anda membutuhkan uang, semua peninggalan saya akan menjadi milikmu. Anda hanya perlu datang dan memanggil ‘Ular’.” Selanjutnya, tikus meninggalkan tempat itu dengan janji yang sama kepada petapa tersebut akan hartanya, meminta petapa tersebut datang dan memanggil ‘Tikus’. [325] Kemudian, burung kakak tua mengucapkan perpisahan dengan berkata, “Ayah, saya tidak memiliki emas maupun perak, namun jika Anda menginginkan beras pilihan, datanglah ke tempat tinggal saya dan panggillah ‘Burung Kakak Tua’; dan saya dibantu dengan semua kerabat saya akan memberikan banyak gerobak beras kepadamu.” Terakhir giliran pangeran itu. Di dalam hatinya yang didasari tidak tahu berterima kasih dan memutuskan akan membunuh penolongnya, jika Bodhisatta datang mengunjunginya. Namun, menyembunyikan niatnya, ia berkata, “Datanglah, Ayah, untuk menemuiku saat aku menjadi raja, dan saya akan menganugerahi empat kebutuhan kepadamu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia beranjak pergi, dan tak lama kemudian, mewarisi takhta kerajaan.
Timbul niat Bodhisatta untuk menguji pernyataan mereka. Mula-mula ia mendatangi ular, berdiri di dekat tempat tinggalnya, dan memanggil ‘Ular’. Begitu ia mengucapkan kata tersebut, ular itu muncul dengan cepat dan penuh hormat berkata, “Ayah, di tempat ini terdapat kekayaan sebesar empat ratus juta. Gali dan ambillah semuanya.” “Baik,” kata Bodhisatta, “jika saya memerlukannya, saya tidak akan melupakannya.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia pergi ke tempat tinggal tikus, dan memanggil ‘Tikus’. Tikus juga melakukan apa yang dilakukan oleh ular. Selanjutnya ia mengunjungi burung kakak tua, dan memanggil ‘Burung Kakak Tua’, burung tersebut segera terbang turun dari puncak pohon saat ia memanggilnya; dan dengan penuh hormat bertanya apakah Bodhisatta menginginkan ia dibantu oleh para kerabatnya mengumpulkan padi-padian dari wilayah di sekitar Pegunungan Himalaya untuk Bodhisatta. Bodhisatta menolak tawaran burung tersebut dengan mengatakan, jika ia membutuhkannya, ia tidak akan melupakan tawaran burung tersebut. Akhirnya Bodhisatta teringat untuk menguji raja tersebut. Ia menuju taman peristirahatan kerajaan. Pada hari kedatangannya, setelah berpakaian dengan cermat, memasuki kota untuk berpindapata. Pada saat yang sama, raja yang tidak tahu berterima kasih itu duduk dengan segala kemegahannya di punggung gajah kerajaan, mengelilingi kota dengan iring-iringan yang khidmat diikuti oleh satu rombongan besar. Setelah melihat Bodhisatta dari kejauhan, ia berpikir, “Itu dia petapa kurang ajar, datang untuk tinggal dan makan makanan saya. Saya akan memenggal kepalanya sebelum ia mengumumkan bantuan yang pernah ia berikan kepadaku ke seluruh dunia.” Dengan niat tersebut, ia memberi isyarat kepada pelayannya, dan saat mereka menanyakan apa yang ia inginkan, berkata, “Saya duga petapa kurang ajar yang berada di sana datang kemari untuk mendesak saya. Jaga agar pengganggu itu tidak mendekati saya, sergap dan ikat dia; [326] cambuk dia di setiap sudut jalan; kemudian giring ia ke luar kota dan penggal kepalanya di tempat hukuman mati, lalu pancangkan tubuhnya di kayu pancang.”
Mematuhi perintah raja, para pelayannya mengikat makhluk agung yang tidak bersalah itu dan mencambuknya di setiap sudut jalan dalam perjalanan menuju ke tempat hukuman mati. Namun semua cambukan mereka gagal mengubah pendirian Bodhisatta ataupun memaksanya menjerit, “Oh, Ibu dan Ayah!” Ia hanya mengulangi syair berikut ini : —
Mereka mengetahui dunia ini, yang menyatakan
Kebenaran ini —
‘Penyelamatan lebih didapatkan dari sebatang kayu
Daripada beberapa manusia.”
Baris-baris syair ini ia ulangi setiap kali ia dicambuk, hingga akhirnya seorang yang bijaksana di antara para penonton bertanya kepada petapa tersebut bantuan apa yang telah ia berikan kepada raja mereka. Lalu Bodhisatta menceritakan keseluruhan kejadian itu, diakhiri dengan kata, “Tiba saatnya untuk menilai bahwa dengan menyelamatkannya dari arus air yang deras, saya membawa semua kesengsaraan ini kepada diri saya sendiri. Dan ketika saya berpikir bahwa saya tidak menuruti kata-kata bijak dari mereka yang lebih tua, saya mengucapkan apa yang telah kalian dengar.”
Dipenuhi dengan kemarahan saat mendengar cerita tersebut, para bangsawan dan brahmana serta semua kelompok masyarakat dengan suara bulat berseru, “Raja yang tidak tahu berterima kasih itu tidak mengenali kebaikan orang baik ini, yang telah menyelamatkan nyawanya. Bagaimana kita bisa memperoleh keuntungan dari raja ini? Tangkap raja zalim itu!” Dalam kemarahan, mereka menyerbu raja tersebut dari segala penjuru, saat ia mengendarai gajahnya, dan membunuhnya di sana pada saat itu juga, dengan menggunakan panah, tombak, batu, alat pemukul, dan senjata-senjata lainnya yang mereka dapatkan. Mayat raja itu mereka seret dengan memegang kakinya menuju ke sebuah parit, lalu mereka lemparkan ke dalam parit tersebut. Kemudian mereka melakukan upacara penobatan untuk mengangkat Bodhisatta menjadi raja dan memerintah mereka.
Setelah menjadi raja yang memerintah dengan penuh keadilan, suau hari [327] timbul niat Bodhisatta untuk menguji ular, tikus, dan burung kakak tua itu lagi; dengan diikuti satu rombongan besar, ia tiba di tempat tinggal ular. Saat ia memanggil ‘Ular’, ular tersebut segera keluar dari lubang dan dengan penuh hormat berkata, “Di sini, Tuanku, terdapat hartaku; bawalah.” Lalu raja menyerahkan kekayaan sebesar empat ratus juta itu kepada para pelayannya, dan melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal tikus, memanggil ‘Tikus’. Tikus tersebut segera keluar, memberi penghormatan kepada raja, dan memberikan tiga ratus juta uangnya. Setelah menyerahkan harta tersebut ke tangan pelayannya, raja melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal burung kakak tua itu, dan memanggil ‘Burung Kakak Tua’. Dengan cara yang sama burung tersebut datang, membungkuk memberi hormat di kaki raja dan menanyakan apakah sudah saatnya untuk mengumpulkan beras untuk raja. “Kami tidak akan merepotkanmu,” kata raja tersebut, “hingga beras dibutuhkan oleh kami. Sekarang kami akan pergi.” Maka dengan membawa kekayaan sebesar tujuh ratus juta, dan bersama dengan ular, tikus, serta burung kakak tua itu, raja menempuh perjalanan pulang ke kota. Di sini, di istana yang megah, di loteng kerajaan tempat ia mengumpulkan seluruh hartanya, ia menyuruh agar harta tersebut disimpan dan dijaga. Ia menyuruh agar membuat sebuah pipa emas sebagai tempat tinggal bagi ular, sebuah peti kristal sebagai rumah bagi tikus, dan sebuah sangkar emas untuk burung kakak tua. Setiap hari, atas perintah raja, makanan disajikan kepada ketiga makhluk tersebut dalam wadah emas, — jagung panggang yang manis untuk burung kakak tua dan ular, dan beras wangi untuk tikus. Raja sangat berlimpah dalam amal dan perbuatan baiknya. Demikianlah dalam kerukunan dan kebaikan terhadap satu sama lainnya, keempat makhluk itu menghabiskan hidup mereka. Saat akhir hidup mereka tiba, mereka meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatan mereka.
Sang Guru berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Dewadatta berusaha membunuh saya; ia juga melakukan hal yang sama pada kelahiran yang lampau.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau mempertautkan dan menjelaskan kelahiran tersebut, “Dewadatta adalah Raja Jahat pada waktu itu, Sariputta adalah ular, Moggallana (Moggallāna) adalah tikus, Ananda adalah burung kakak tua, dan saya sendiri adalah raja yang adil, yang mendapatkan sebuah kerajaan.”
Catatan kaki :
146 Nama Latinnya Bombax heptaphyllum, sejenis pohon kapuk.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com