RUKKHADHAMMA-JĀTAKA
Rukkhadhammajātaka (Ja 74)
“Bersatu, seperti pohon-pohon di hutan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai pertikaian karena masalah air yang membawa penderitaan kepada para kerabatnya. Mengetahui hal tersebut, beliau bergerak melalui udara, duduk bersila di atas Sungai Rohini (Rohinī), dan memancarkan cahaya di kegelapan; mengagetkan para kerabatnya. Kemudian setelah turun dari udara, beliau duduk di pinggir sungai dan menceritakan kisah ini berkenaan dengan pertikaian tersebut. (Hanya ringkasannya saja yang diberikan di sini; kisah selengkapnya terdapat di Kunāla-Jātaka).147 Dalam kesempatan ini, Sang Guru berkata kepada para kerabatnya, [328] “Sepantasnya, Maharaja, para kerabat tinggal bersama dalam kerukunan dan kesatuan. Karena, bila para kerabat bersatu, musuh tidak akan mendapat kesempatan. Jangankan manusia, bahkan pohon-pohon yang tidak berindra harus bersatu. Pada kehidupan yang lampau di Pegunungan Himalaya, badai menyerang Hutan Sala; namun karena pepohonan, semak belukar, dan tumbuh-tumbuhan menjalar lainnya di hutan tersebut terjalin erat satu sama lain, badai tersebut tidak bisa menumbangkan sebatang pohon pun, hanya berlalu tanpa membawa bahaya. Namun, sebatang pohon besar yang berdiri sendirian di halaman, walaupun pohon itu mempunyai banyak batang dan cabang, karena tidak bersatu dengan pohon lainnya, badai mencabut pohon tersebut dan melemparkannya ke tanah. Karena itu, sangat pantas jika kalian juga tinggal bersama dalam kerukunan dan kesatuan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permintaan mereka, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Raja Wessawana (Vessavaṇa)148 yang pertama meninggal, dan Sakka (raja para dewa) mengirim seorang raja baru untuk memerintah di wilayah tersebut. Setelah pergantian tersebut, Raja Wessawana yang baru mengirim pesan kepada seluruh pohon, semak belukar, rerumputan, dan tanaman, meminta agar masing-masing dewa pohon memilih pohon yang paling mereka sukai untuk ditempati. Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon di Hutan Sala di Pegunungan Himalaya. Nasehatnya kepada para kerabatnya dalam memilih tempat tinggal adalah menghindari pepohonan yang berdiri sendiri di lapangan terbuka, dan memilih tempat tinggal di sekeliling tempat tinggal di Hutan Sala yang telah dipilihnya. Kemudian para dewa pohon yang bijaksana, mengikuti nasihat Bodhisatta, mengambil tempat tinggal di sekitar pohon yang dihuni oleh Bodhisatta. Sementara sebagian dewa pohon yang dipenuhi oleh kebodohan berkata, “Mengapa kita harus bertempat tinggal di hutan? Lebih baik kita mencari tempat di sekitar perkampungan manusia, bertempat tinggal di pinggiran desa, kota kecil maupun kota besar. Karena para dewa pohon yang tinggal di tempat-tempat demikian menerima persembahan yang paling berharga dan mendapat pemujaan yang paling mulia.” Maka mereka pergi ke perkampungan manusia, dan bertempat tinggal di pohon-pohon besar yang tumbuh di lapangan terbuka.
Suatu hari, muncul sebuah badai besar yang menyapu negeri tersebut. Tidak ada gunanya bagi pohon-pohon yang tumbuh menyendiri, walaupun telah bertahun-tahun lamanya akar mereka tertancap sangat dalam di tanah dan mereka merupakan pohon-pohon yang besar. Cabang-cabang mereka patah; batang-batang mereka juga patah; dan pohon-pohon itu sendiri tercabut dan terlempar ke tanah oleh badai tersebut. Saat badai melanda Hutan Sala yang pepohonannya saling terjalin, amukan badai hanya sia-sia saja. Karena, serangan itu tidak mampu membuat sebatang pohon pun terlempar.
Para dewa pohon yang bersedih karena tempat tinggal mereka hancur, menggendong anak-anak mereka dan melakukan perjalanan ke Pegunungan Himalaya. Di sana, mereka menceritakan kesedihan mereka kepada para dewa pohon yang berada di Hutan Sala, [329] yang kemudian menceritakan kepada Bodhisatta mengapa mereka kembali dengan penuh kesedihan. “Hal itu terjadi karena mereka tidak mendengarkan nasihat dari para bijaksana, akibatnya mereka mengalami hal seperti ini,” kata Bodhisatta; dan ia memaparkan kebenaran dalam syair berikut :
Bersatu, seperti pohon-pohon di hutan, seharusnya
Dipertahankan para kerabat;
Karena badai merobohkan pohon yang berdiri sendiri.
Demikianlah yang diucapkan oleh Bodhisatta. Ketika usianya telah habis, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatannya.
Sang Guru berkata lebih lanjut, “Demikianlah, Maharaja, gambaran akan betapa pantasnya para kerabat bersatu dalam keadaan bagaimanapun, dan hidup bersama penuh kasih dalam kerukunan dan kesatuan.” Setelah uraiannya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut, “Para pengikut Buddha adalah para dewa pohon pada waktu itu, dan saya sendiri adalah dewa pohon yang bijaksana.”
Catatan kaki :
147 No. 536.
148 Sebuah nama dari Kuwera (Kuvera).
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Raja Wessawana (Vessavaṇa)148 yang pertama meninggal, dan Sakka (raja para dewa) mengirim seorang raja baru untuk memerintah di wilayah tersebut. Setelah pergantian tersebut, Raja Wessawana yang baru mengirim pesan kepada seluruh pohon, semak belukar, rerumputan, dan tanaman, meminta agar masing-masing dewa pohon memilih pohon yang paling mereka sukai untuk ditempati. Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir sebagai dewa pohon di Hutan Sala di Pegunungan Himalaya. Nasehatnya kepada para kerabatnya dalam memilih tempat tinggal adalah menghindari pepohonan yang berdiri sendiri di lapangan terbuka, dan memilih tempat tinggal di sekeliling tempat tinggal di Hutan Sala yang telah dipilihnya. Kemudian para dewa pohon yang bijaksana, mengikuti nasihat Bodhisatta, mengambil tempat tinggal di sekitar pohon yang dihuni oleh Bodhisatta. Sementara sebagian dewa pohon yang dipenuhi oleh kebodohan berkata, “Mengapa kita harus bertempat tinggal di hutan? Lebih baik kita mencari tempat di sekitar perkampungan manusia, bertempat tinggal di pinggiran desa, kota kecil maupun kota besar. Karena para dewa pohon yang tinggal di tempat-tempat demikian menerima persembahan yang paling berharga dan mendapat pemujaan yang paling mulia.” Maka mereka pergi ke perkampungan manusia, dan bertempat tinggal di pohon-pohon besar yang tumbuh di lapangan terbuka.
Suatu hari, muncul sebuah badai besar yang menyapu negeri tersebut. Tidak ada gunanya bagi pohon-pohon yang tumbuh menyendiri, walaupun telah bertahun-tahun lamanya akar mereka tertancap sangat dalam di tanah dan mereka merupakan pohon-pohon yang besar. Cabang-cabang mereka patah; batang-batang mereka juga patah; dan pohon-pohon itu sendiri tercabut dan terlempar ke tanah oleh badai tersebut. Saat badai melanda Hutan Sala yang pepohonannya saling terjalin, amukan badai hanya sia-sia saja. Karena, serangan itu tidak mampu membuat sebatang pohon pun terlempar.
Para dewa pohon yang bersedih karena tempat tinggal mereka hancur, menggendong anak-anak mereka dan melakukan perjalanan ke Pegunungan Himalaya. Di sana, mereka menceritakan kesedihan mereka kepada para dewa pohon yang berada di Hutan Sala, [329] yang kemudian menceritakan kepada Bodhisatta mengapa mereka kembali dengan penuh kesedihan. “Hal itu terjadi karena mereka tidak mendengarkan nasihat dari para bijaksana, akibatnya mereka mengalami hal seperti ini,” kata Bodhisatta; dan ia memaparkan kebenaran dalam syair berikut :
Bersatu, seperti pohon-pohon di hutan, seharusnya
Dipertahankan para kerabat;
Karena badai merobohkan pohon yang berdiri sendiri.
Demikianlah yang diucapkan oleh Bodhisatta. Ketika usianya telah habis, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatannya.
Sang Guru berkata lebih lanjut, “Demikianlah, Maharaja, gambaran akan betapa pantasnya para kerabat bersatu dalam keadaan bagaimanapun, dan hidup bersama penuh kasih dalam kerukunan dan kesatuan.” Setelah uraiannya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut, “Para pengikut Buddha adalah para dewa pohon pada waktu itu, dan saya sendiri adalah dewa pohon yang bijaksana.”
Catatan kaki :
147 No. 536.
148 Sebuah nama dari Kuwera (Kuvera).
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com