ILLĪSA-JĀTAKA
Illisajātaka (Ja 78)
“Keduanya juling,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang Tuan Bendahara Besar yang kikir. Di dekat Kota Rajagaha (Rājagaha), sebagaimana diceritakan, terdapat sebuah kota yang bernama Gula Merah (Jagghery), dan di sini tinggallah seorang Tuan Bendahara Besar, yang dikenal sebagai Jutawan Kikir, yang mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta. Tidak lebih dari setetes kecil minyak yang diteteskan di atas sehelai rumput, seperti itulah kekayaan yang ia dermakan ataupun gunakan untuk kesenangannya sendiri. Maka semua kekayaannya tidak berguna baik untuk keluarganya maupun untuk para guru dan brahmana : harta itu dibiarkan tidak dinikmati,—seperti kolam yang dijaga oleh siluman. Suatu hari, Sang Guru bangun pada waktu subuh, dan digerakkan oleh rasa belas kasihan yang besar, (dengan kesaktiannya yang luar biasa,) saat mengamati mereka yang telah siap untuk menerima ajarannya di dunia ini, beliau mengetahui bahwa seorang Bendahara dan istrinya yang berada sekitar empat ratus mil jauhnya telah siap untuk mencapai kesucian Sotāpanna.
Sehari sebelumnya, Tuan Bendahara Besar itu pergi ke istana untuk bertemu dengan raja, dan dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat seorang penduduk dusun yang tidak terpelajar, sedang makan sepotong kue yang diisi dengan bubur. Pandangan sekilas itu membangkitkan keinginan yang sangat kuat untuk makan kue tersebut dalam dirinya. Tetapi, saat tiba di rumahnya, [346] ia berpikir, “Jika saya mengatakan saya menginginkan sepotong kue isi, semua orang akan meminta bagian atas makananku; hal itu berarti menghabiskan begitu banyak beras, gi, dan gula milikku. Saya tidak boleh mengatakan apa-apa pada siapa pun.” Maka ia berjalan tanpa tujuan, berjuang melawan keinginannya yang begitu kuat. Jam demi jam berlalu, ia menjadi semakin pucat pasi, dan urat nadi di sekujur tubuhnya yang kurus tampak jelas. Tidak mampu menahan lebih lama lagi, akhirnya ia pergi ke kamarnya dan bertelungkup di tempat tidurnya. Namun, tidak sepatah kata pun yang ia ucapkan karena takut menghabiskan kekayaannya. Istrinya menemuinya, mengusap punggunggnya, dan berkata, “Ada masalah apa, Suamiku?”
“Tidak ada apa-apa,” katanya. “Mungkinkah Raja marah kepadamu?” “Tidak, Raja tidak marah.” “Apakah anak-anak atau para pelayan kita melakukan sesuatu yang mengganggumu?” “Bukan hal itu juga.” “Baiklah, apakah kamu mengidamkan sesuatu?” Namun, ia tetap bungkam,—semua itu karena ketakutannya yang tidak masuk akal bahwa ia mungkin menghabiskan kekayaannya; ia tetap berbaring di tempat tidurnya tanpa mengatakan apa-apa. “Katakanlah, Suamiku,” kata istrinya, “beritahukanlah apa yang engkau idamkan.” “Ya,” katanya sambil menelan ludah, “saya mengidamkan sesuatu.” “Dan apakah itu, Suamiku?” “Saya ingin makan kue isi.” “Lo, mengapa tidak mengatakannya sejak awal? Engkau kan cukup kaya. Saya akan masak kue yang cukup banyak untuk menjamu seluruh Kota Gula Merah.” “Mengapa memusingkan mereka? Mereka harus bekerja untuk mendapatkan makanan mereka sendiri.” “Baiklah, saya akan masak hanya cukup untuk orangorang yang tinggal di jalan yang sama dengan kita.” “Betapa kayanya engkau!” “Kalau begitu, saya akan masak hanya cukup untuk semua anggota rumah tangga kita.” “Betapa borosnya engkau!” “Baiklah, saya akan masak hanya cukup untuk anakanak kita.” “Mengapa memikirkan mereka?” “Baiklah kalau demikian, saya hanya akan sediakan untuk kita berdua.” “Mengapa engkau harus ikut makan?” “Kalau begitu, saya akan memasaknya hanya cukup untuk engkau sendiri,” kata istrinya.
“Pelan-pelan,” kata Tuan Bendahara Besar itu, “ada banyak orang yang mengintai aktivitas masak-memasak di tempat ini. Pilih beras pecah,157—hati-hati untuk menyisakan beras utuh— bawa sebuah kompor arang, belanga, sedikit saja susu, gi, madu, dan air gula; kemudian bawa semua itu bersamamu ke lantai tujuh rumah ini dan masaklah di sana, saya akan duduk di sana sendirian dan makan tanpa diganggu.”
Patuh pada perintah suaminya, istrinya membawa semua barang yang dibutuhkan, menaikkan semuanya seorang diri, menyuruh semua pelayannya pergi, dan menyuruh Bendahara itu naik. Bendahara itu pun naik, menutup dan memalang pintu demi pintu yang ia lalui, hingga akhirnya tiba di lantai tujuh, pintu itu juga ia tutup dengan rapat. Lalu ia duduk. Istrinya menyalakan api di kompor arang tersebut, meletakkan belanga di atasnya, dan mulai memasak kue itu.
Pagi-pagi sekali Sang Guru berkata kepada Mahamoggallana (Mahāmoggallāna) Thera, “Moggallana, Jutawan Kikir [347] di Kota Gula Merah dekat Rajagaha, ingin makan kue seorang diri, begitu takut orang lain mengetahuinya, sehingga ia menyuruh agar kue itu dimasak untuk dirinya saja di lantai tujuh rumahnya. Pergilah ke sana; yakinkan agar ia mengorbankan kepentingannya, dan dengan kekuatan gaib, angkutlah suami istri, kue, susu, gi, dan semuanya ke sini ke Jetawana. Hari ini, saya dan lima ratus orang bhikkhu akan tinggal di sini, dan saya akan menjadikan kue-kue yang disediakan mereka sebagai makanan.”
Patuh pada petunjuk Sang Guru, Moggallana Thera dengan daya supramanusia tiba di Kota Gula Merah, berhenti di tengah udara di depan jendela kamar itu, dengan jubah dalam dan jubah luar yang dikenakan sebagaimana mestinya, bersinar bagaikan patung yang dihiasi permata. Penampakan diri Sang Thera yang tiba-tiba membuat Bendahara itu gemetar ketakutan.
Ia berpikir, “Untuk menghindari pengunjunglah maka saya naik ke sini; dan sekarang, datang salah seorang dari mereka di jendela.” Gagal menyadari pemahaman yang perlu ia pahami, ia menggerutu dengan gusar, seperti gula dan garam yang dilemparkan ke api, ia keluar sambil berkata, “Guru, apa yang akan engkau dapatkan, dengan hanya berdiri di tengah udara? Oh, meskipun engkau bisa mondar-mandir hingga membentuk sebuah jalur di udara yang tidak berjalur,—engkau tetap tidak akan mendapatkan apa pun.”
Sang Thera pun mulai mondar-mandir di udara. “Apa yang akan engkau dapatkan dengan mondar-mandir di udara?” kata saudagar kaya itu, “Meskipun engkau bisa duduk bersila bermeditasi di udara,—namun, engkau tetap tidak akan mendapatkan apa pun.” Sang Thera pun duduk dengan kaki bersila di udara. Lalu Bendahara itu berkata, “Apa yang akan engkau dapatkan dengan duduk di sana? Meskipun engkau bisa datang dan berdiri di ambang jendela; namun, engkau tetap tidak akan mendapatkan apa pun.” Sang Thera pun berdiri di ambang jendela. “Apa yang akan engkau dapatkan dengan berdiri di ambang jendela? Oh, meskipun engkau bisa menyemburkan asap, tetap tidak akan mendapatkan apa pun,” kata Bendahara itu. Lalu Sang Thera pun menyemburkan asap tanpa henti hingga seluruh tempat itu dipenuhi asap. Mata Bendahara itu mulai terasa sakit seakan-akan ditusuk dengan jarum; dan khawatir kalau akhirnya rumahnya akan terbakar, ia menambahkan, “Engkau tidak akan mendapatkan apa pun bahkan jika engkau terbakar.” Ia berpikir, “Thera ini sangat keras hati. Ia tidak akan pergi dengan tangan kosong. Saya harus memberikan satu kue saja kepadanya.” Maka ia berkata kepada istrinya, “Sayangku, masaklah satu potong kecil kue dan berikan pada guru itu agar kita bisa terbebas darinya.”
Maka istrinya mencampur sedikit adonan dalam belanga. Namun adonan itu terus bertambah banyak hingga memenuhi seluruh belanga itu, dan berkembang menjadi sebuah kue yang sangat besar. “Pasti engkau telah menggunakan bahan yang banyak,” seru Bendahara itu saat melihatnya. Dan ia sendiri dengan menggunakan ujung sendok mengambil secuil adonan itu, dan memasukkannya ke dalam tungku untuk dipanggang. Namun, secuil adonan yang diambilnya itu berkembang menjadi begitu besar. Satu per satu, setiap adonan yang diambilnya berkembang menjadi begitu besar. Dengan putus asa, akhirnya ia berkata kepada istrinya, “Berikan sepotong kue kepadanya, Sayang.” Namun, saat ia mengambil sepotong kue dari keranjang, seketika itu juga kue-kue yang lain menempel pada kue itu. Maka ia berseru kepada suaminya bahwa semua kue itu menempel sekaligus, dan ia tidak bisa memisahkannya. “Oh, saya akan segera pisahkan kue-kue itu,” kata Bendahara itu. Namun, ternyata ia tidak bisa melakukannya.
Lalu kedua suami istri itu memegang gumpalan besar kue itu di sudutnya, dan mencoba untuk memisahkannya. Namun, menarik sebisa mereka, mereka tidak bisa memberikan pengaruh lebih secara bersama, maka mereka lakukan secara terpisah terhadap gumpalan besar kue itu. Saat saudagar kaya itu menarik kue-kue tersebut, ia dipenuhi oleh keringat, dan keinginannya untuk memakan kue itu sirna. Lalu ia berkata kepada istrinya, “Saya tidak menginginkan kue-kue itu lagi; [348] berikan kue-kue itu, keranjang, dan semuanya kepada petapa ini.” Istrinya menghampiri Sang Thera dengan keranjang di tangannya. Lalu Sang Thera mewejang Dhamma kepada pasangan tersebut, dan memberitahukan kemuliaan Ti Ratana (Buddha, Dhamma, dan Sanggha). Mengajarkan bahwa dengan memberikan derma secara benar, ia membuat hasil dari pemberian derma dan kebajikan-kebajikan lainnya bersinar laksana bulan purnama di langit. Merasa senang setelah mendengar kata-kata Sang Thera, Bendahara itu berkata, “Bhante, datanglah ke sini dan duduklah di dipan ini untuk makan kue.”
“Tuan Bendahara Besar,” kata Sang Thera, “Buddha Yang Mahabijaksana bersama lima ratus orang bhikkhu sedang duduk di wihara menunggu makanan kue ini. Jika ini memberikan kegembiraan kepada Anda, saya akan meminta Anda membawa istri dan kue-kue itu bersamamu, dan kita pergi menghadap Sang Guru.” “Namun Bhante, di manakah Sang Guru berada saat ini?” “Empat puluh lima yojana dari sini, di wihara di Jetawana.” “Bagaimana cara kita semua pergi ke sana, Bhante, tanpa kehilangan waktu yang lama dalam perjalanan?” “Jika ini memberikan kegembiraan kepada Anda, Tuan Bendahara Besar, saya akan membawa kalian ke sana dengan kekuatan gaibku. Puncak tangga rumahmu akan tetap berada di tempatnya, namun bagian bawahnya akan berada di gerbang utama Jetawana. Dengan cara inilah saya akan membawa kalian menghadap Sang Guru, saat tiba di bawah.” “Kalau begitu, lakukanlah, Bhante,” kata Bendahara itu.
Lalu Sang Thera membiarkan puncak tangga tetap berada di tempatnya, memerintahkan, “Jadilah kaki tangga rumah ini berada di gerbang utama Jetawana.” Dan itulah yang terjadi. Dengan cara demikian Sang Thera membawa Bendahara dan istrinya ke Jetawana, lebih cepat dari waktu yang mereka butuhkan untuk menuruni tangga.
Lalu suami istri itu menghadap Sang Guru dan mengatakan bahwa waktu makan telah tiba. Sang Guru masuk ke dalam ruang makan, dan duduk di tempat duduk Buddha yang telah dipersiapkan untuknya, dengan Bhikkhu Sanggha berada di sekelilingnya. Lalu Tuan Bendahara Besar menuangkan air derma 158 ke tangan (kanan) Buddha Yang Mahamulia yang mengepalai Bhikkhu Sanggha, sementara istrinya memasukkan sepotong kue ke dalam patta Bhagawan. Dengan ini, beliau mengambil apa yang dibutuhkan untuk menyokong hidupnya, demikian juga dengan kelima ratus orang bhikkhu itu. Selanjutnya, Bendahara itu berkeliling memberikan susu yang dicampur dengan gi, madu, dan gula merah. Sang Guru dan para bhikkhu menyudahi acara makan mereka. Lalu Bendahara itu dan istrinya makan sekenyang-kenyangnya. Namun, tetap kelihatan kue-kue itu tidak ada habis-habisnya. Bahkan ketika semua bhikkhu dan orang-orang dari luar wihara yang memakan makanan yang disisakan telah mendapatkan bagian mereka, masih belum terlihat tanda-tanda bahwa kue-kue itu akan habis. Mereka kemudian menyampaikan hal tersebut kepada Sang Guru, “Bhante, persediaan kue-kue itu tetap tidak berkurang.” “Kalau begitu, buanglah kue-kue itu dekat gerbang utama wihara.”
Maka mereka membuang kue-kue itu ke dalam gua yang berada tidak jauh dari pintu gerbang; dan hari itu, sebuah tempat yang disebut “Kue Belanga” terlihat di ujung gua tersebut.
Tuan Bendahara Besar dan istrinya menghampiri dan berdiri di hadapan Bhagawan, yang membalas kemurahan hati mereka dengan ucapan terima kasih; dan pada akhir ucapan terima kasih tersebut, pasangan itu mencapai Buah Kesucian Pertama (Sotāpanna). Setelah pamit pada Sang Guru, mereka berdua menaiki tangga di gerbang utama dan menemukan mereka telah kembali ke rumah mereka. [349] Sejak itu, Tuan Bendahara Besar itu banyak memberikan derma dari kekayaannya yang berjumlah delapan ratus juta hanya pada ajaran Buddha Yang Mahamulia.
Keesokan harinya, ketika Buddha Yang Mahasempurna kembali ke Jetawana setelah berpindapata di Sawatthi, membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebelum beristirahat di Gandhakutinya yang harum. Pada waktu sore, para bhikkhu berkumpul bersama di Balai Kebenaran, dan berseru, “Betapa hebatnya kekuatan Moggallana Thera. Dalam sekejab ia berhasil meyakinkan seseorang yang begitu pelit menjadi murah hati, membawanya bersama kue-kue itu ke Jetawana, membawanya ke hadapan Sang Guru, dan memantapkannya dalam kesucian. Betapa mengagumkan kekuatan Thera tersebut.” Saat mereka duduk membicarakan kebaikan Thera tersebut, Sang Guru masuk ke Balai Kebenaran, setelah meminta keterangan, mereka menjelaskan tentang topik pembicaraan mereka. “Para Bhikkhu,” kata beliau, “seorang bhikkhu yang akan meyakinkan seorang perumah tangga, seyogianya menghampiri perumah tangga tersebut tanpa membuatnya merasa terganggu atau jengkel,—seperti lebah yang mengisap sari bunga; dengan cara itulah seyogianya ia menghampiri mereka untuk memberitahukan kemuliaan Buddha.” Untuk memuji Moggallana Thera, beliau membacakan syair berikut ini : —
Bagaikan seekor lebah, yang tidak merusak wangi
Maupun warna bunga; tetapi, setelah mengisap
Madunya, lalu terbang.
Demikianlah, seyogianya
Seorang bhikkhu, yang mengembara dari satu dusun ke
Dusun lainnya saat mengumpulkan derma.159
Lalu, untuk melanjutkan tentang kebaikan thera tersebut, beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Bendahara yang kikir itu diyakinkan oleh Moggallana. Pada masa sebelumnya, Thera tersebut juga meyakinkannya dan mengajarkan bagaimana perbuatan dan hasil perbuatan saling berhubungan satu sama lain.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, terdapat seorang Bendahara yang bernama Illisa (Illīsa), yang mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta, dan memiliki semua cacat yang dapat menjadi bagian dari seorang manusia. Ia pincang dan bungkuk, serta bermata juling. Ia adalah orang yang tidak berkeyakinan, juga kikir, tidak pernah memberikan apa pun yang ia miliki kepada orang lain, juga tidak pernah menikmatinya sendiri; rumahnya bagaikan kolam yang dijaga oleh siluman. Walaupun demikian, selama tujuh generasi, para leluhurnya sangat murah hati, memberikan yang terbaik dari mereka secara cuma-cuma. Namun, saat ia menjadi Bendahara, ia menghentikan tradisi tersebut. Ia membakar habis tempat penyaluran derma dan mengusir orang-orang miskin dengan pukulan dari gerbang rumahnya. Ia menimbun kekayaannya.
Suatu hari, saat dalam perjalanan pulang setelah menemui raja, ia melihat seorang penduduk kampung, yang telah melakukan perjalanan jauh dan kelelahan, duduk di sebuah bangku, dan mengisi sebuah cangkir dengan minuman keras yang baunya menusuk hidung dari sebuah kendi, dan meminumnya, dilengkapi dengan beberapa potong ikan kering yang lezat sebagai makanan penambah selera. Saat melihatnya, Bendahara itu merasa haus akan minuman keras tersebut, namun ia berpikir, [350] “Jika saya minum, yang lain akan ingin minum bersamaku, dan itu berarti menghabiskan hartaku.” Maka ia berlalu, menekan rasa hausnya. Namun, dengan berlalunya waktu, ia tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Ia menjadi pucat pasi seperti kapas, urat nadi di sekujur tubuhnya yang bungkuk tampak jelas. Setelah masuk ke dalam kamarnya, bertelungkup di tempat tidurnya. Istrinya menemuinya, mengusap punggungnya dan bertanya, “Apa yang salah dengan Suamiku?”
(Apa yang terjadi berikutnya telah disampaikan pada cerita sebelumnya.) Saat istrinya berkata, “Kalau begitu, saya hanya akan membuatkan minuman keras yang cukup untuk dirimu sendiri.” Ia berkata, “Jika engkau membuatnya di dalam rumah, akan banyak orang yang melihat; dan untuk memesan minuman keras, duduk dan minum di sini, adalah mustahil.” Maka ia mengeluarkan satu koin, mengirim seorang pelayan untuk membelikannya satu kendi minuman keras dari kedai minuman. Ketika pelayan tersebut kembali, ia menyuruh pelayan tersebut pergi dari kota menuju ke pinggir sungai, dan meletakkan kendi tersebut dalam semak belukar di tempat yang terpencil. “Sekarang pergilah!” serunya, dan menyuruh pelayan itu menunggu di suatu tempat yang agak jauh, sementara ia mengisi gelasnya, dan minum.
Ayah Bendahara ini, karena amal dan perbuatan baik lainnya telah terlahir kembali sebagai Sakka di alam dewa. Saat itu, ia bertanya-tanya apakah derma yang ia lakukan masih dilanjutkan atau tidak, akhirnya ia mengetahui bahwa derma tersebut telah dihentikan, dan mengetahui tentang tingkah laku putranya. Ia melihat bagaimana putranya memutuskan tradisi keluarga tersebut, dan telah membakar tempat penyaluran derma hingga rata dengan tanah, serta mengusir orang-orang miskin dengan pukulan dari gerbangnya. Dalam kekikirannya, karena takut berbagi dengan orang lain, putranya itu telah pergi secara diam-diam ke dalam semak belukar untuk minum seorang diri. Melihat hal tersebut, Sakka berseru, “Saya akan menemui putraku, dan membuatnya mengetahui bahwa perbuatan akan membawa akibat perbuatan. Saya akan meyakinkannya, membuat ia menjadi murah hati dan pantas untuk terlahir kembali di alam dewa.” Maka ia turun ke dunia, sekali lagi menjalani caracara kehidupan manusia, mengambil bentuk yang sama dengan Bendahara Illisa, dengan kepincangan, bungkuk dan julingnya. Dengan samaran seperti itu, ia memasuki Kota Rajagaha, dan melakukan perjalanan menuju gerbang istana, memohon agar kedatangannya disampaikan kepada raja. “Biarkan ia masuk,” kata raja. Ia masuk dan berdiri dengan penuh hormat di hadapan raja.
“Apa yang membuat engkau datang di waktu yang tidak biasanya, Tuan Bendahara Besar?” tanya raja. “Saya datang, Maharaja, karena saya memiliki kekayaan delapan ratus juta di rumah saya. Saya berkenan memberikannya untuk mengisi kamar kekayaan Raja.” “Tidak, Tuan Bendaharaku; [351] kekayaan di dalam istanaku lebih besar dari kekayaanmu.” “Maharaja, jika Anda tidak menginginkannya, maka saya akan berikan kepada siapa pun yang ingin saya berikan.” “Lakukanlah dengan kesungguhan, Bendahara,” kata raja. “Akan saya lakukan, Maharaja,” jawab Illisa samaran itu, kemudian dengan penuh hormat berangkat dari sana menuju rumah Bendahara tersebut. Semua pelayannya berkumpul mengelilinginya, namun tidak ada yang tahu bahwa ia bukan majikan mereka yang sebenarnya. Setelah masuk, ia berdiri di ambang pintu, memanggil penjaga pintunya, yang menerima perintah bahwa jika ada orang yang menyerupai dirinya muncul dan menyatakan diri sebagai majikan dari rumah tersebut, mereka harus mementung dengan kuat orang seperti itu, dan mengusirnya. Kemudian, setelah menaiki tangga menuju ke lantai atas, ia duduk di sebuah kursi yang mewah dan memanggil istri Illisa. Ketika wanita tersebut masuk, ia berkata dengan wajah penuh senyuman, “Sayangku, mari kita berderma.”
Mendengar kata-kata tersebut, istri, anak-anak, dan para pelayannya berpikir, “Butuh waktu yang begitu lama baginya untuk mempunyai pikiran seperti ini. Ia pasti telah minum sampai bisa berkelakuan begitu baik dan dermawan hari ini.” Dan istrinya menjawab, “Jadilah semurah hati yang engkau inginkan, Suamiku.” “Kirimkan penyampai berita,” katanya, “dan minta dia mengumumkan dengan diiringi bunyi genderang ke seluruh kota bahwa siapa pun yang menginginkan emas, perak, berlian, mutiara, dan sejenisnya, untuk datang ke rumah Bendahara Illisa.” Istrinya melakukan apa yang ia minta, dan dengan segera sejumlah besar orang berkerumun di depan rumahnya dengan membawa keranjang dan karung. Sakka kemudian memerintahkan agar kamar penyimpanan harta dibuka dan berseru, “Ini adalah hadiah saya untuk kalian; ambillah apa yang kalian inginkan dan pergilah.” Kerumunan orang itu segera mengambil kekayaan yang tersimpan di sana, menumpuknya dalam timbunan di lantai dan mengisi karung serta wadah yang mereka bawa, dan pergi setelah memuat barang-barang yang mereka inginkan. Di antara mereka terdapat seorang penduduk dusun yang memasang kuk pada sapi-sapi jantan Illisa pada gerobak Illisa, mengisinya dengan tujuh macam benda berharga, dan menempuh perjalanan ke luar kota melalui jalan utama. Dalam perjalanannya, ia mendekati semak belukar itu, dan menyanyikan syair-syair pujian kepada Bendahara tersebut: “Semoga Anda hidup selama seratus tahun, Tuanku Illisa yang baik. Apa yang telah Anda lakukan padaku hari ini membuatku bisa hidup tanpa melakukan pekerjaan apa pun lagi. Milik siapakah sapi-sapi jantan ini? — Milikmu. Milik siapakah gerobak ini? — Milikmu. Milik siapakah harta dalam gerobak ini? — Milikmu juga. Bukan ayah maupun ibu yang memberikan semua ini kepadaku; bukan, semua ini hanya diberikan olehmu, Tuanku.”
Kata-kata ini membuat Tuan Bendahara Besar tersebut takut dan gemetar. “Mengapa orang ini menyebut namaku dalam kata-katanya?” ia berkata sendiri. “Apakah Raja telah membagikan kekayaanku kepada orang-orang?” [352] Pikiran tersebut membuatnya melompat ke luar dari semak belukar, dan mengenali sapi-sapi jantan serta gerobak miliknya, ia menangkap tali kekang sapi-sapi jantan itu, sambil berseru, “Berhenti, Teman. Sapi-sapi jantan dan gerobak ini adalah milikku.” Orang tersebut melompat turun dari gerobak, dengan marah berseru, “Dasar penjahat! Illisa, Tuan Bendahara Besar, memberikan kekayaannya kepada seisi kota. Apa yang terjadi denganmu?” Dan ia menerkam Bendahara tersebut, memukul punggungnya laksana sambaran halilintar, dan pergi dengan gerobaknya. Illisa berusaha bangkit, dengan tungkai dan lengan yang gemetaran, membersihkan lumpur yang menempel, bergegas mengejar dan menahan gerobak itu. Orang dusun itu turun dari gerobak, menjambak rambut Illisa, membungkukkannya dan memukul kepalanya beberapa kali, lalu menyeretnya dan melemparkannya kembali ke arah datangnya, dan mengendarai gerobak itu pergi.
Disadarkan dengan cara kasar ini, Illisa bergegas kembali ke rumahnya. Di sana, saat melihat para penduduk pergi membawa hartanya, ia berusaha menangkap orang yang ada di sini dan orang yang ada di sana, sambil menjerit, “He! Ada apa ini? Apakah raja mencabut hak saya?” Dan setiap orang yang ia tangkap, memukulnya hingga jatuh. Dalam keadaan memar dan sakit, ia mencari perlindungan dalam rumahnya sendiri, tetapi penjaga pintu menghentikannya dengan berkata, “He, penjahat! Mau ke mana kamu?” Mula-mula mereka memukulinya kuat-kuat dengan bambu, menyeret dan melemparkan majikan mereka ke luar dari pintu. “Tidak seorang pun, hanya raja yang dapat menyatakan kebenaran kepadaku,” erang Illisa, dan pergi ke istana. “Mengapa, oh mengapa, Maharaja,” serunya, “Anda merampas saya seperti ini?”
“Tidak, bukan saya, Tuan Bendahara Besar,” kata raja. “Bukankah engkau sendiri yang datang dan mengatakan niatmu untuk membagikan kekayaanmu jika saya tidak ingin menerimanya? Dan bukankah engkau yang mengirimkan penyampai berita untuk berkeliling dan melaksanakan niatmu itu?” “Oh, Maharaja, sungguh, bukan saya yang datang menemuimu dengan niat seperti itu. Maharaja mengetahui betapa kikir dan pelitnya saya, dan bagaimana saya tidak pernah memberikan lebih dari setetes kecil minyak yang diteteskan di atas sehelai rumput. Bisakah Maharaja memanggil ia yang memberikan kekayaanku dan meminta keterangan darinya?”
Raja kemudian memanggil Sakka. Begitu miripnya mereka berdua sehingga baik raja maupun pengadilannya tidak bisa mengatakan mana yang merupakan Tuan Bendahara Besar yang asli. Si kikir Illisa berkata, “Siapakah, dan apakah Bendahara ini, Maharaja? Sayalah Bendahara yang asli.”
“Oh, saya benar-benar tidak bisa mengatakan mana yang merupakan Illisa yang asli,” kata raja. “Apakah ada orang yang bisa membedakan mereka berdua tanpa keraguan?” “Ya, Maharaja, istri saya.” Maka istrinya dipanggil dan ditanya manakah dari kedua orang itu yang merupakan suaminya. Ia berkata bahwa Sakka adalah suaminya, dan berdiri di sisinya. [353] Kemudian giliran anak-anak Illisa dan para pelayan dibawa masuk, dan diberi pertanyaan yang sama; semua dengan suara bulat mengatakan bahwa Sakka adalah Tuan Bendahara Besar yang asli. Saat itu, terlintas dalam pikiran Illisa bahwa ia mempunyai sebuah kutil di kepalanya, tersembunyi di antara rambutnya, yang keberadaannya hanya diketahui oleh tukang cukurnya. Maka, sebagai sumber terakhir, ia meminta agar tukang cukur itu dipanggil untuk mengenali dirinya. Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai tukang cukurnya. Sesuai dengan permintaannya, tukang cukur itu dipanggil dan ditanya apakah ia bisa membedakan Illisa asli dari yang palsu. “Bisa saya katakan, Maharaja,” katanya, “jika saya boleh memeriksa kepala mereka.” “Kalau begitu, periksalah kepala mereka berdua,” kata raja. Seketika itu juga Sakka membuat sebuah kutil tumbuh di kepalanya. Setelah memeriksa kepala mereka berdua, Bodhisatta melaporkan bahwa kedua orang itu sama-sama mempunyai kutil di kepala mereka, walaupun mempertaruhkan nyawanya, ia tidak bisa menentukan mana Illisa yang asli. Bersamaan itu, ia mengucapkan syair berikut ini : —
Keduanya juling, keduanya pincang; keduanya juga
Bungkuk; dan keduanya sama-sama memiliki kutil.
Saya Tidak bisa mengatakan yang mana dari mereka
Berdua, adalah Illisa yang asli.
Melihat orang yang menjadi harapan terakhirnya juga gagal mengenalinya, Tuan Bendahara Besar itu menggigil ketakutan; seperti itulah penderitaan hebat yang melandanya karena kehilangan semua kekayaan yang ia cintai, akhirnya ia jatuh pingsan. Setelah itu, dengan kekuatan gaibnya, Sakka melayang di udara, menyapa raja dengan kata-kata berikut ini, “Saya bukanlah Illisa, wahai Raja, melainkan Sakka.” Orangorang yang berada di sekitar tempat itu menyeka muka Illisa dan memercikkan air kepadanya. Setelah sadar, ia bangkit dan bersujud di hadapan Sakka, raja para dewa. Sakka kemudian berkata, “Illisa, kekayaan tersebut adalah milikku, bukan milikmu. Saya adalah ayahmu, dan engkau adalah anakku. Semasa hidupku, saya sangat murah hati terhadap orang-orang miskin dan senang dalam melakukan kebaikan; karenanya, saya terlahir kembali di alam yang tinggi ini, dan menjadi Sakka. Namun engkau, tidak mengikuti langkahku, engkau kikir dan pelit, engkau membakar tempat penyaluran derma yang saya dirikan, mengusir orang-orang miskin dari gerbang, dan menimbum kekayaanmu. Engkau tidak menikmatinya untuk dirimu sendiri, tidak juga untuk makhluk hidup yang lain; [354] simpanan yang engkau miliki seperti sebuah kolam yang dijaga oleh siluman, dan tidak seorang pun yang bisa memuaskan rasa haus mereka. Walaupun demikian, jika engkau mau membangun kembali tempat penyaluran dermaku dan menunjukkan kemurahan hati pada orang-orang miskin, akan saya nilai engkau telah melakukan kebaikan. Namun, jika engkau tidak mau, maka saya akan mengambil semua harta yang engkau miliki, membelah kepalamu dengan petir Indra, dan engkau akan meninggal.”
Mendengar ancaman itu, Illisa gemetaran, dan demi hidupnya ia berseru, “Mulai sekarang saya akan murah hati.” Sakka menerima janjinya dan dengan tetap berada di udara, menetapkan sila/kemoralan kepada putranya, dan mewejang Dhamma kepadanya, lalu kembali ke tempat kediamannya. Dan Illisa menjadi rajin memberikan derma dan melakukan perbuatan baik lainnya, membuatnya mempunyai jaminan untuk terlahir kembali di alam surga.
“Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ini bukan pertama kalinya Moggallana telah meyakinkan Bendahara tersebut; pada kehidupan lampau, orang ini juga diyakinkan oleh Moggallana.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Bendahara yang kikir itu adalah Illisa pada masa itu, Moggallana adalah Sakka, raja para dewa, Ananda adalah Raja, dan saya sendiri adalah tukang cukur tersebut.”
[Catatan : Mengenai kisah ini, lihat artikel oleh penerjemah dalam Journal of the Royal Asiatic Society , Januari 1892, dengan judul ‘The Lineage of the ‘Proud King’.”]
Catatan kaki :
157 Menurut KBBI, beras pecah adalah beras dengan ukuran 5/10-2/10 bagian panjang butir aslinya; beras patah.
158 Menurut penjelasan kamus elektronik Pali-Inggris di Kitab Pali Chattha Sangayana CD, bahwa air derma adalah air yang dituangkan ke tangan kanan seorang bhikkhu sebagai pengesahan atas derma yang telah dilakukan ataupun yang sedang dilakukan.
159 Ini adalah syair 49 dari Dhammapada.
Sehari sebelumnya, Tuan Bendahara Besar itu pergi ke istana untuk bertemu dengan raja, dan dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melihat seorang penduduk dusun yang tidak terpelajar, sedang makan sepotong kue yang diisi dengan bubur. Pandangan sekilas itu membangkitkan keinginan yang sangat kuat untuk makan kue tersebut dalam dirinya. Tetapi, saat tiba di rumahnya, [346] ia berpikir, “Jika saya mengatakan saya menginginkan sepotong kue isi, semua orang akan meminta bagian atas makananku; hal itu berarti menghabiskan begitu banyak beras, gi, dan gula milikku. Saya tidak boleh mengatakan apa-apa pada siapa pun.” Maka ia berjalan tanpa tujuan, berjuang melawan keinginannya yang begitu kuat. Jam demi jam berlalu, ia menjadi semakin pucat pasi, dan urat nadi di sekujur tubuhnya yang kurus tampak jelas. Tidak mampu menahan lebih lama lagi, akhirnya ia pergi ke kamarnya dan bertelungkup di tempat tidurnya. Namun, tidak sepatah kata pun yang ia ucapkan karena takut menghabiskan kekayaannya. Istrinya menemuinya, mengusap punggunggnya, dan berkata, “Ada masalah apa, Suamiku?”
“Tidak ada apa-apa,” katanya. “Mungkinkah Raja marah kepadamu?” “Tidak, Raja tidak marah.” “Apakah anak-anak atau para pelayan kita melakukan sesuatu yang mengganggumu?” “Bukan hal itu juga.” “Baiklah, apakah kamu mengidamkan sesuatu?” Namun, ia tetap bungkam,—semua itu karena ketakutannya yang tidak masuk akal bahwa ia mungkin menghabiskan kekayaannya; ia tetap berbaring di tempat tidurnya tanpa mengatakan apa-apa. “Katakanlah, Suamiku,” kata istrinya, “beritahukanlah apa yang engkau idamkan.” “Ya,” katanya sambil menelan ludah, “saya mengidamkan sesuatu.” “Dan apakah itu, Suamiku?” “Saya ingin makan kue isi.” “Lo, mengapa tidak mengatakannya sejak awal? Engkau kan cukup kaya. Saya akan masak kue yang cukup banyak untuk menjamu seluruh Kota Gula Merah.” “Mengapa memusingkan mereka? Mereka harus bekerja untuk mendapatkan makanan mereka sendiri.” “Baiklah, saya akan masak hanya cukup untuk orangorang yang tinggal di jalan yang sama dengan kita.” “Betapa kayanya engkau!” “Kalau begitu, saya akan masak hanya cukup untuk semua anggota rumah tangga kita.” “Betapa borosnya engkau!” “Baiklah, saya akan masak hanya cukup untuk anakanak kita.” “Mengapa memikirkan mereka?” “Baiklah kalau demikian, saya hanya akan sediakan untuk kita berdua.” “Mengapa engkau harus ikut makan?” “Kalau begitu, saya akan memasaknya hanya cukup untuk engkau sendiri,” kata istrinya.
“Pelan-pelan,” kata Tuan Bendahara Besar itu, “ada banyak orang yang mengintai aktivitas masak-memasak di tempat ini. Pilih beras pecah,157—hati-hati untuk menyisakan beras utuh— bawa sebuah kompor arang, belanga, sedikit saja susu, gi, madu, dan air gula; kemudian bawa semua itu bersamamu ke lantai tujuh rumah ini dan masaklah di sana, saya akan duduk di sana sendirian dan makan tanpa diganggu.”
Patuh pada perintah suaminya, istrinya membawa semua barang yang dibutuhkan, menaikkan semuanya seorang diri, menyuruh semua pelayannya pergi, dan menyuruh Bendahara itu naik. Bendahara itu pun naik, menutup dan memalang pintu demi pintu yang ia lalui, hingga akhirnya tiba di lantai tujuh, pintu itu juga ia tutup dengan rapat. Lalu ia duduk. Istrinya menyalakan api di kompor arang tersebut, meletakkan belanga di atasnya, dan mulai memasak kue itu.
Pagi-pagi sekali Sang Guru berkata kepada Mahamoggallana (Mahāmoggallāna) Thera, “Moggallana, Jutawan Kikir [347] di Kota Gula Merah dekat Rajagaha, ingin makan kue seorang diri, begitu takut orang lain mengetahuinya, sehingga ia menyuruh agar kue itu dimasak untuk dirinya saja di lantai tujuh rumahnya. Pergilah ke sana; yakinkan agar ia mengorbankan kepentingannya, dan dengan kekuatan gaib, angkutlah suami istri, kue, susu, gi, dan semuanya ke sini ke Jetawana. Hari ini, saya dan lima ratus orang bhikkhu akan tinggal di sini, dan saya akan menjadikan kue-kue yang disediakan mereka sebagai makanan.”
Patuh pada petunjuk Sang Guru, Moggallana Thera dengan daya supramanusia tiba di Kota Gula Merah, berhenti di tengah udara di depan jendela kamar itu, dengan jubah dalam dan jubah luar yang dikenakan sebagaimana mestinya, bersinar bagaikan patung yang dihiasi permata. Penampakan diri Sang Thera yang tiba-tiba membuat Bendahara itu gemetar ketakutan.
Ia berpikir, “Untuk menghindari pengunjunglah maka saya naik ke sini; dan sekarang, datang salah seorang dari mereka di jendela.” Gagal menyadari pemahaman yang perlu ia pahami, ia menggerutu dengan gusar, seperti gula dan garam yang dilemparkan ke api, ia keluar sambil berkata, “Guru, apa yang akan engkau dapatkan, dengan hanya berdiri di tengah udara? Oh, meskipun engkau bisa mondar-mandir hingga membentuk sebuah jalur di udara yang tidak berjalur,—engkau tetap tidak akan mendapatkan apa pun.”
Sang Thera pun mulai mondar-mandir di udara. “Apa yang akan engkau dapatkan dengan mondar-mandir di udara?” kata saudagar kaya itu, “Meskipun engkau bisa duduk bersila bermeditasi di udara,—namun, engkau tetap tidak akan mendapatkan apa pun.” Sang Thera pun duduk dengan kaki bersila di udara. Lalu Bendahara itu berkata, “Apa yang akan engkau dapatkan dengan duduk di sana? Meskipun engkau bisa datang dan berdiri di ambang jendela; namun, engkau tetap tidak akan mendapatkan apa pun.” Sang Thera pun berdiri di ambang jendela. “Apa yang akan engkau dapatkan dengan berdiri di ambang jendela? Oh, meskipun engkau bisa menyemburkan asap, tetap tidak akan mendapatkan apa pun,” kata Bendahara itu. Lalu Sang Thera pun menyemburkan asap tanpa henti hingga seluruh tempat itu dipenuhi asap. Mata Bendahara itu mulai terasa sakit seakan-akan ditusuk dengan jarum; dan khawatir kalau akhirnya rumahnya akan terbakar, ia menambahkan, “Engkau tidak akan mendapatkan apa pun bahkan jika engkau terbakar.” Ia berpikir, “Thera ini sangat keras hati. Ia tidak akan pergi dengan tangan kosong. Saya harus memberikan satu kue saja kepadanya.” Maka ia berkata kepada istrinya, “Sayangku, masaklah satu potong kecil kue dan berikan pada guru itu agar kita bisa terbebas darinya.”
Maka istrinya mencampur sedikit adonan dalam belanga. Namun adonan itu terus bertambah banyak hingga memenuhi seluruh belanga itu, dan berkembang menjadi sebuah kue yang sangat besar. “Pasti engkau telah menggunakan bahan yang banyak,” seru Bendahara itu saat melihatnya. Dan ia sendiri dengan menggunakan ujung sendok mengambil secuil adonan itu, dan memasukkannya ke dalam tungku untuk dipanggang. Namun, secuil adonan yang diambilnya itu berkembang menjadi begitu besar. Satu per satu, setiap adonan yang diambilnya berkembang menjadi begitu besar. Dengan putus asa, akhirnya ia berkata kepada istrinya, “Berikan sepotong kue kepadanya, Sayang.” Namun, saat ia mengambil sepotong kue dari keranjang, seketika itu juga kue-kue yang lain menempel pada kue itu. Maka ia berseru kepada suaminya bahwa semua kue itu menempel sekaligus, dan ia tidak bisa memisahkannya. “Oh, saya akan segera pisahkan kue-kue itu,” kata Bendahara itu. Namun, ternyata ia tidak bisa melakukannya.
Lalu kedua suami istri itu memegang gumpalan besar kue itu di sudutnya, dan mencoba untuk memisahkannya. Namun, menarik sebisa mereka, mereka tidak bisa memberikan pengaruh lebih secara bersama, maka mereka lakukan secara terpisah terhadap gumpalan besar kue itu. Saat saudagar kaya itu menarik kue-kue tersebut, ia dipenuhi oleh keringat, dan keinginannya untuk memakan kue itu sirna. Lalu ia berkata kepada istrinya, “Saya tidak menginginkan kue-kue itu lagi; [348] berikan kue-kue itu, keranjang, dan semuanya kepada petapa ini.” Istrinya menghampiri Sang Thera dengan keranjang di tangannya. Lalu Sang Thera mewejang Dhamma kepada pasangan tersebut, dan memberitahukan kemuliaan Ti Ratana (Buddha, Dhamma, dan Sanggha). Mengajarkan bahwa dengan memberikan derma secara benar, ia membuat hasil dari pemberian derma dan kebajikan-kebajikan lainnya bersinar laksana bulan purnama di langit. Merasa senang setelah mendengar kata-kata Sang Thera, Bendahara itu berkata, “Bhante, datanglah ke sini dan duduklah di dipan ini untuk makan kue.”
“Tuan Bendahara Besar,” kata Sang Thera, “Buddha Yang Mahabijaksana bersama lima ratus orang bhikkhu sedang duduk di wihara menunggu makanan kue ini. Jika ini memberikan kegembiraan kepada Anda, saya akan meminta Anda membawa istri dan kue-kue itu bersamamu, dan kita pergi menghadap Sang Guru.” “Namun Bhante, di manakah Sang Guru berada saat ini?” “Empat puluh lima yojana dari sini, di wihara di Jetawana.” “Bagaimana cara kita semua pergi ke sana, Bhante, tanpa kehilangan waktu yang lama dalam perjalanan?” “Jika ini memberikan kegembiraan kepada Anda, Tuan Bendahara Besar, saya akan membawa kalian ke sana dengan kekuatan gaibku. Puncak tangga rumahmu akan tetap berada di tempatnya, namun bagian bawahnya akan berada di gerbang utama Jetawana. Dengan cara inilah saya akan membawa kalian menghadap Sang Guru, saat tiba di bawah.” “Kalau begitu, lakukanlah, Bhante,” kata Bendahara itu.
Lalu Sang Thera membiarkan puncak tangga tetap berada di tempatnya, memerintahkan, “Jadilah kaki tangga rumah ini berada di gerbang utama Jetawana.” Dan itulah yang terjadi. Dengan cara demikian Sang Thera membawa Bendahara dan istrinya ke Jetawana, lebih cepat dari waktu yang mereka butuhkan untuk menuruni tangga.
Lalu suami istri itu menghadap Sang Guru dan mengatakan bahwa waktu makan telah tiba. Sang Guru masuk ke dalam ruang makan, dan duduk di tempat duduk Buddha yang telah dipersiapkan untuknya, dengan Bhikkhu Sanggha berada di sekelilingnya. Lalu Tuan Bendahara Besar menuangkan air derma 158 ke tangan (kanan) Buddha Yang Mahamulia yang mengepalai Bhikkhu Sanggha, sementara istrinya memasukkan sepotong kue ke dalam patta Bhagawan. Dengan ini, beliau mengambil apa yang dibutuhkan untuk menyokong hidupnya, demikian juga dengan kelima ratus orang bhikkhu itu. Selanjutnya, Bendahara itu berkeliling memberikan susu yang dicampur dengan gi, madu, dan gula merah. Sang Guru dan para bhikkhu menyudahi acara makan mereka. Lalu Bendahara itu dan istrinya makan sekenyang-kenyangnya. Namun, tetap kelihatan kue-kue itu tidak ada habis-habisnya. Bahkan ketika semua bhikkhu dan orang-orang dari luar wihara yang memakan makanan yang disisakan telah mendapatkan bagian mereka, masih belum terlihat tanda-tanda bahwa kue-kue itu akan habis. Mereka kemudian menyampaikan hal tersebut kepada Sang Guru, “Bhante, persediaan kue-kue itu tetap tidak berkurang.” “Kalau begitu, buanglah kue-kue itu dekat gerbang utama wihara.”
Maka mereka membuang kue-kue itu ke dalam gua yang berada tidak jauh dari pintu gerbang; dan hari itu, sebuah tempat yang disebut “Kue Belanga” terlihat di ujung gua tersebut.
Tuan Bendahara Besar dan istrinya menghampiri dan berdiri di hadapan Bhagawan, yang membalas kemurahan hati mereka dengan ucapan terima kasih; dan pada akhir ucapan terima kasih tersebut, pasangan itu mencapai Buah Kesucian Pertama (Sotāpanna). Setelah pamit pada Sang Guru, mereka berdua menaiki tangga di gerbang utama dan menemukan mereka telah kembali ke rumah mereka. [349] Sejak itu, Tuan Bendahara Besar itu banyak memberikan derma dari kekayaannya yang berjumlah delapan ratus juta hanya pada ajaran Buddha Yang Mahamulia.
Keesokan harinya, ketika Buddha Yang Mahasempurna kembali ke Jetawana setelah berpindapata di Sawatthi, membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu sebelum beristirahat di Gandhakutinya yang harum. Pada waktu sore, para bhikkhu berkumpul bersama di Balai Kebenaran, dan berseru, “Betapa hebatnya kekuatan Moggallana Thera. Dalam sekejab ia berhasil meyakinkan seseorang yang begitu pelit menjadi murah hati, membawanya bersama kue-kue itu ke Jetawana, membawanya ke hadapan Sang Guru, dan memantapkannya dalam kesucian. Betapa mengagumkan kekuatan Thera tersebut.” Saat mereka duduk membicarakan kebaikan Thera tersebut, Sang Guru masuk ke Balai Kebenaran, setelah meminta keterangan, mereka menjelaskan tentang topik pembicaraan mereka. “Para Bhikkhu,” kata beliau, “seorang bhikkhu yang akan meyakinkan seorang perumah tangga, seyogianya menghampiri perumah tangga tersebut tanpa membuatnya merasa terganggu atau jengkel,—seperti lebah yang mengisap sari bunga; dengan cara itulah seyogianya ia menghampiri mereka untuk memberitahukan kemuliaan Buddha.” Untuk memuji Moggallana Thera, beliau membacakan syair berikut ini : —
Bagaikan seekor lebah, yang tidak merusak wangi
Maupun warna bunga; tetapi, setelah mengisap
Madunya, lalu terbang.
Demikianlah, seyogianya
Seorang bhikkhu, yang mengembara dari satu dusun ke
Dusun lainnya saat mengumpulkan derma.159
Lalu, untuk melanjutkan tentang kebaikan thera tersebut, beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, Bendahara yang kikir itu diyakinkan oleh Moggallana. Pada masa sebelumnya, Thera tersebut juga meyakinkannya dan mengajarkan bagaimana perbuatan dan hasil perbuatan saling berhubungan satu sama lain.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, terdapat seorang Bendahara yang bernama Illisa (Illīsa), yang mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta, dan memiliki semua cacat yang dapat menjadi bagian dari seorang manusia. Ia pincang dan bungkuk, serta bermata juling. Ia adalah orang yang tidak berkeyakinan, juga kikir, tidak pernah memberikan apa pun yang ia miliki kepada orang lain, juga tidak pernah menikmatinya sendiri; rumahnya bagaikan kolam yang dijaga oleh siluman. Walaupun demikian, selama tujuh generasi, para leluhurnya sangat murah hati, memberikan yang terbaik dari mereka secara cuma-cuma. Namun, saat ia menjadi Bendahara, ia menghentikan tradisi tersebut. Ia membakar habis tempat penyaluran derma dan mengusir orang-orang miskin dengan pukulan dari gerbang rumahnya. Ia menimbun kekayaannya.
Suatu hari, saat dalam perjalanan pulang setelah menemui raja, ia melihat seorang penduduk kampung, yang telah melakukan perjalanan jauh dan kelelahan, duduk di sebuah bangku, dan mengisi sebuah cangkir dengan minuman keras yang baunya menusuk hidung dari sebuah kendi, dan meminumnya, dilengkapi dengan beberapa potong ikan kering yang lezat sebagai makanan penambah selera. Saat melihatnya, Bendahara itu merasa haus akan minuman keras tersebut, namun ia berpikir, [350] “Jika saya minum, yang lain akan ingin minum bersamaku, dan itu berarti menghabiskan hartaku.” Maka ia berlalu, menekan rasa hausnya. Namun, dengan berlalunya waktu, ia tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Ia menjadi pucat pasi seperti kapas, urat nadi di sekujur tubuhnya yang bungkuk tampak jelas. Setelah masuk ke dalam kamarnya, bertelungkup di tempat tidurnya. Istrinya menemuinya, mengusap punggungnya dan bertanya, “Apa yang salah dengan Suamiku?”
(Apa yang terjadi berikutnya telah disampaikan pada cerita sebelumnya.) Saat istrinya berkata, “Kalau begitu, saya hanya akan membuatkan minuman keras yang cukup untuk dirimu sendiri.” Ia berkata, “Jika engkau membuatnya di dalam rumah, akan banyak orang yang melihat; dan untuk memesan minuman keras, duduk dan minum di sini, adalah mustahil.” Maka ia mengeluarkan satu koin, mengirim seorang pelayan untuk membelikannya satu kendi minuman keras dari kedai minuman. Ketika pelayan tersebut kembali, ia menyuruh pelayan tersebut pergi dari kota menuju ke pinggir sungai, dan meletakkan kendi tersebut dalam semak belukar di tempat yang terpencil. “Sekarang pergilah!” serunya, dan menyuruh pelayan itu menunggu di suatu tempat yang agak jauh, sementara ia mengisi gelasnya, dan minum.
Ayah Bendahara ini, karena amal dan perbuatan baik lainnya telah terlahir kembali sebagai Sakka di alam dewa. Saat itu, ia bertanya-tanya apakah derma yang ia lakukan masih dilanjutkan atau tidak, akhirnya ia mengetahui bahwa derma tersebut telah dihentikan, dan mengetahui tentang tingkah laku putranya. Ia melihat bagaimana putranya memutuskan tradisi keluarga tersebut, dan telah membakar tempat penyaluran derma hingga rata dengan tanah, serta mengusir orang-orang miskin dengan pukulan dari gerbangnya. Dalam kekikirannya, karena takut berbagi dengan orang lain, putranya itu telah pergi secara diam-diam ke dalam semak belukar untuk minum seorang diri. Melihat hal tersebut, Sakka berseru, “Saya akan menemui putraku, dan membuatnya mengetahui bahwa perbuatan akan membawa akibat perbuatan. Saya akan meyakinkannya, membuat ia menjadi murah hati dan pantas untuk terlahir kembali di alam dewa.” Maka ia turun ke dunia, sekali lagi menjalani caracara kehidupan manusia, mengambil bentuk yang sama dengan Bendahara Illisa, dengan kepincangan, bungkuk dan julingnya. Dengan samaran seperti itu, ia memasuki Kota Rajagaha, dan melakukan perjalanan menuju gerbang istana, memohon agar kedatangannya disampaikan kepada raja. “Biarkan ia masuk,” kata raja. Ia masuk dan berdiri dengan penuh hormat di hadapan raja.
“Apa yang membuat engkau datang di waktu yang tidak biasanya, Tuan Bendahara Besar?” tanya raja. “Saya datang, Maharaja, karena saya memiliki kekayaan delapan ratus juta di rumah saya. Saya berkenan memberikannya untuk mengisi kamar kekayaan Raja.” “Tidak, Tuan Bendaharaku; [351] kekayaan di dalam istanaku lebih besar dari kekayaanmu.” “Maharaja, jika Anda tidak menginginkannya, maka saya akan berikan kepada siapa pun yang ingin saya berikan.” “Lakukanlah dengan kesungguhan, Bendahara,” kata raja. “Akan saya lakukan, Maharaja,” jawab Illisa samaran itu, kemudian dengan penuh hormat berangkat dari sana menuju rumah Bendahara tersebut. Semua pelayannya berkumpul mengelilinginya, namun tidak ada yang tahu bahwa ia bukan majikan mereka yang sebenarnya. Setelah masuk, ia berdiri di ambang pintu, memanggil penjaga pintunya, yang menerima perintah bahwa jika ada orang yang menyerupai dirinya muncul dan menyatakan diri sebagai majikan dari rumah tersebut, mereka harus mementung dengan kuat orang seperti itu, dan mengusirnya. Kemudian, setelah menaiki tangga menuju ke lantai atas, ia duduk di sebuah kursi yang mewah dan memanggil istri Illisa. Ketika wanita tersebut masuk, ia berkata dengan wajah penuh senyuman, “Sayangku, mari kita berderma.”
Mendengar kata-kata tersebut, istri, anak-anak, dan para pelayannya berpikir, “Butuh waktu yang begitu lama baginya untuk mempunyai pikiran seperti ini. Ia pasti telah minum sampai bisa berkelakuan begitu baik dan dermawan hari ini.” Dan istrinya menjawab, “Jadilah semurah hati yang engkau inginkan, Suamiku.” “Kirimkan penyampai berita,” katanya, “dan minta dia mengumumkan dengan diiringi bunyi genderang ke seluruh kota bahwa siapa pun yang menginginkan emas, perak, berlian, mutiara, dan sejenisnya, untuk datang ke rumah Bendahara Illisa.” Istrinya melakukan apa yang ia minta, dan dengan segera sejumlah besar orang berkerumun di depan rumahnya dengan membawa keranjang dan karung. Sakka kemudian memerintahkan agar kamar penyimpanan harta dibuka dan berseru, “Ini adalah hadiah saya untuk kalian; ambillah apa yang kalian inginkan dan pergilah.” Kerumunan orang itu segera mengambil kekayaan yang tersimpan di sana, menumpuknya dalam timbunan di lantai dan mengisi karung serta wadah yang mereka bawa, dan pergi setelah memuat barang-barang yang mereka inginkan. Di antara mereka terdapat seorang penduduk dusun yang memasang kuk pada sapi-sapi jantan Illisa pada gerobak Illisa, mengisinya dengan tujuh macam benda berharga, dan menempuh perjalanan ke luar kota melalui jalan utama. Dalam perjalanannya, ia mendekati semak belukar itu, dan menyanyikan syair-syair pujian kepada Bendahara tersebut: “Semoga Anda hidup selama seratus tahun, Tuanku Illisa yang baik. Apa yang telah Anda lakukan padaku hari ini membuatku bisa hidup tanpa melakukan pekerjaan apa pun lagi. Milik siapakah sapi-sapi jantan ini? — Milikmu. Milik siapakah gerobak ini? — Milikmu. Milik siapakah harta dalam gerobak ini? — Milikmu juga. Bukan ayah maupun ibu yang memberikan semua ini kepadaku; bukan, semua ini hanya diberikan olehmu, Tuanku.”
Kata-kata ini membuat Tuan Bendahara Besar tersebut takut dan gemetar. “Mengapa orang ini menyebut namaku dalam kata-katanya?” ia berkata sendiri. “Apakah Raja telah membagikan kekayaanku kepada orang-orang?” [352] Pikiran tersebut membuatnya melompat ke luar dari semak belukar, dan mengenali sapi-sapi jantan serta gerobak miliknya, ia menangkap tali kekang sapi-sapi jantan itu, sambil berseru, “Berhenti, Teman. Sapi-sapi jantan dan gerobak ini adalah milikku.” Orang tersebut melompat turun dari gerobak, dengan marah berseru, “Dasar penjahat! Illisa, Tuan Bendahara Besar, memberikan kekayaannya kepada seisi kota. Apa yang terjadi denganmu?” Dan ia menerkam Bendahara tersebut, memukul punggungnya laksana sambaran halilintar, dan pergi dengan gerobaknya. Illisa berusaha bangkit, dengan tungkai dan lengan yang gemetaran, membersihkan lumpur yang menempel, bergegas mengejar dan menahan gerobak itu. Orang dusun itu turun dari gerobak, menjambak rambut Illisa, membungkukkannya dan memukul kepalanya beberapa kali, lalu menyeretnya dan melemparkannya kembali ke arah datangnya, dan mengendarai gerobak itu pergi.
Disadarkan dengan cara kasar ini, Illisa bergegas kembali ke rumahnya. Di sana, saat melihat para penduduk pergi membawa hartanya, ia berusaha menangkap orang yang ada di sini dan orang yang ada di sana, sambil menjerit, “He! Ada apa ini? Apakah raja mencabut hak saya?” Dan setiap orang yang ia tangkap, memukulnya hingga jatuh. Dalam keadaan memar dan sakit, ia mencari perlindungan dalam rumahnya sendiri, tetapi penjaga pintu menghentikannya dengan berkata, “He, penjahat! Mau ke mana kamu?” Mula-mula mereka memukulinya kuat-kuat dengan bambu, menyeret dan melemparkan majikan mereka ke luar dari pintu. “Tidak seorang pun, hanya raja yang dapat menyatakan kebenaran kepadaku,” erang Illisa, dan pergi ke istana. “Mengapa, oh mengapa, Maharaja,” serunya, “Anda merampas saya seperti ini?”
“Tidak, bukan saya, Tuan Bendahara Besar,” kata raja. “Bukankah engkau sendiri yang datang dan mengatakan niatmu untuk membagikan kekayaanmu jika saya tidak ingin menerimanya? Dan bukankah engkau yang mengirimkan penyampai berita untuk berkeliling dan melaksanakan niatmu itu?” “Oh, Maharaja, sungguh, bukan saya yang datang menemuimu dengan niat seperti itu. Maharaja mengetahui betapa kikir dan pelitnya saya, dan bagaimana saya tidak pernah memberikan lebih dari setetes kecil minyak yang diteteskan di atas sehelai rumput. Bisakah Maharaja memanggil ia yang memberikan kekayaanku dan meminta keterangan darinya?”
Raja kemudian memanggil Sakka. Begitu miripnya mereka berdua sehingga baik raja maupun pengadilannya tidak bisa mengatakan mana yang merupakan Tuan Bendahara Besar yang asli. Si kikir Illisa berkata, “Siapakah, dan apakah Bendahara ini, Maharaja? Sayalah Bendahara yang asli.”
“Oh, saya benar-benar tidak bisa mengatakan mana yang merupakan Illisa yang asli,” kata raja. “Apakah ada orang yang bisa membedakan mereka berdua tanpa keraguan?” “Ya, Maharaja, istri saya.” Maka istrinya dipanggil dan ditanya manakah dari kedua orang itu yang merupakan suaminya. Ia berkata bahwa Sakka adalah suaminya, dan berdiri di sisinya. [353] Kemudian giliran anak-anak Illisa dan para pelayan dibawa masuk, dan diberi pertanyaan yang sama; semua dengan suara bulat mengatakan bahwa Sakka adalah Tuan Bendahara Besar yang asli. Saat itu, terlintas dalam pikiran Illisa bahwa ia mempunyai sebuah kutil di kepalanya, tersembunyi di antara rambutnya, yang keberadaannya hanya diketahui oleh tukang cukurnya. Maka, sebagai sumber terakhir, ia meminta agar tukang cukur itu dipanggil untuk mengenali dirinya. Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai tukang cukurnya. Sesuai dengan permintaannya, tukang cukur itu dipanggil dan ditanya apakah ia bisa membedakan Illisa asli dari yang palsu. “Bisa saya katakan, Maharaja,” katanya, “jika saya boleh memeriksa kepala mereka.” “Kalau begitu, periksalah kepala mereka berdua,” kata raja. Seketika itu juga Sakka membuat sebuah kutil tumbuh di kepalanya. Setelah memeriksa kepala mereka berdua, Bodhisatta melaporkan bahwa kedua orang itu sama-sama mempunyai kutil di kepala mereka, walaupun mempertaruhkan nyawanya, ia tidak bisa menentukan mana Illisa yang asli. Bersamaan itu, ia mengucapkan syair berikut ini : —
Keduanya juling, keduanya pincang; keduanya juga
Bungkuk; dan keduanya sama-sama memiliki kutil.
Saya Tidak bisa mengatakan yang mana dari mereka
Berdua, adalah Illisa yang asli.
Melihat orang yang menjadi harapan terakhirnya juga gagal mengenalinya, Tuan Bendahara Besar itu menggigil ketakutan; seperti itulah penderitaan hebat yang melandanya karena kehilangan semua kekayaan yang ia cintai, akhirnya ia jatuh pingsan. Setelah itu, dengan kekuatan gaibnya, Sakka melayang di udara, menyapa raja dengan kata-kata berikut ini, “Saya bukanlah Illisa, wahai Raja, melainkan Sakka.” Orangorang yang berada di sekitar tempat itu menyeka muka Illisa dan memercikkan air kepadanya. Setelah sadar, ia bangkit dan bersujud di hadapan Sakka, raja para dewa. Sakka kemudian berkata, “Illisa, kekayaan tersebut adalah milikku, bukan milikmu. Saya adalah ayahmu, dan engkau adalah anakku. Semasa hidupku, saya sangat murah hati terhadap orang-orang miskin dan senang dalam melakukan kebaikan; karenanya, saya terlahir kembali di alam yang tinggi ini, dan menjadi Sakka. Namun engkau, tidak mengikuti langkahku, engkau kikir dan pelit, engkau membakar tempat penyaluran derma yang saya dirikan, mengusir orang-orang miskin dari gerbang, dan menimbum kekayaanmu. Engkau tidak menikmatinya untuk dirimu sendiri, tidak juga untuk makhluk hidup yang lain; [354] simpanan yang engkau miliki seperti sebuah kolam yang dijaga oleh siluman, dan tidak seorang pun yang bisa memuaskan rasa haus mereka. Walaupun demikian, jika engkau mau membangun kembali tempat penyaluran dermaku dan menunjukkan kemurahan hati pada orang-orang miskin, akan saya nilai engkau telah melakukan kebaikan. Namun, jika engkau tidak mau, maka saya akan mengambil semua harta yang engkau miliki, membelah kepalamu dengan petir Indra, dan engkau akan meninggal.”
Mendengar ancaman itu, Illisa gemetaran, dan demi hidupnya ia berseru, “Mulai sekarang saya akan murah hati.” Sakka menerima janjinya dan dengan tetap berada di udara, menetapkan sila/kemoralan kepada putranya, dan mewejang Dhamma kepadanya, lalu kembali ke tempat kediamannya. Dan Illisa menjadi rajin memberikan derma dan melakukan perbuatan baik lainnya, membuatnya mempunyai jaminan untuk terlahir kembali di alam surga.
“Para Bhikkhu,” kata Sang Guru, “ini bukan pertama kalinya Moggallana telah meyakinkan Bendahara tersebut; pada kehidupan lampau, orang ini juga diyakinkan oleh Moggallana.” Setelah uraian tersebut berakhir, beliau mempertautkan dan menjelaskan tentang kelahiran tersebut, “Bendahara yang kikir itu adalah Illisa pada masa itu, Moggallana adalah Sakka, raja para dewa, Ananda adalah Raja, dan saya sendiri adalah tukang cukur tersebut.”
[Catatan : Mengenai kisah ini, lihat artikel oleh penerjemah dalam Journal of the Royal Asiatic Society , Januari 1892, dengan judul ‘The Lineage of the ‘Proud King’.”]
Catatan kaki :
157 Menurut KBBI, beras pecah adalah beras dengan ukuran 5/10-2/10 bagian panjang butir aslinya; beras patah.
158 Menurut penjelasan kamus elektronik Pali-Inggris di Kitab Pali Chattha Sangayana CD, bahwa air derma adalah air yang dituangkan ke tangan kanan seorang bhikkhu sebagai pengesahan atas derma yang telah dilakukan ataupun yang sedang dilakukan.
159 Ini adalah syair 49 dari Dhammapada.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com