MITTAVINDA-JĀTAKA
Mittavindakajātaka (Ja 82)
“Tidak ada lagi tempat untuk berdiam,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang keras hati. Kejadian-kejadian pada kelahiran ini, yang berlangsung pada masa Buddha Kassapa, akan diceritakan dalam Mahā-Mittavindaka-Jātaka162 di Buku Kesepuluh.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan syair berikut:
Tidak ada lagi tempat untuk berdiam di istana-istana
pulau yang terbuat dari kristal, perak atau
permata-permata yang berkilauan,—
Engkau dihiasi dengan perhiasan kepala dari batu sekarang;
Siksaan untuk menebus perbuatan itu tidak akan pernah
berhenti sebelum semua kesalahanmu telah ditebus
dan hidup harus berakhir.
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisatta kemudian berlalu menuju kediaman pribadinya di antara para Dewa. Dan Mittavindaka, setelah memakai perhiasan kepala tersebut, menderita siksaan yang menyakitkan hingga semua karma buruknya berbuah dan ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang keras hati saat ini adalah Mittavindaka di masa itu, dan Saya sendiri adalah raja para dewa.”
Catatan kaki :
162 No.439. Lihat No.41, dan Divyāvadāna, hal.603 dst.
Kemudian Bodhisatta mengucapkan syair berikut:
Tidak ada lagi tempat untuk berdiam di istana-istana
pulau yang terbuat dari kristal, perak atau
permata-permata yang berkilauan,—
Engkau dihiasi dengan perhiasan kepala dari batu sekarang;
Siksaan untuk menebus perbuatan itu tidak akan pernah
berhenti sebelum semua kesalahanmu telah ditebus
dan hidup harus berakhir.
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisatta kemudian berlalu menuju kediaman pribadinya di antara para Dewa. Dan Mittavindaka, setelah memakai perhiasan kepala tersebut, menderita siksaan yang menyakitkan hingga semua karma buruknya berbuah dan ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang keras hati saat ini adalah Mittavindaka di masa itu, dan Saya sendiri adalah raja para dewa.”
Catatan kaki :
162 No.439. Lihat No.41, dan Divyāvadāna, hal.603 dst.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com