AKATAÑÑU-JĀTAKA
Akataññujātaka (Ja 90)
“Orang yang tidak tahu berterima kasih,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Anāthapiṇḍika.
Di daerah perbatasan, begitulah kisah ini bermula, tinggallah seorang saudagar, yang merupakan sahabat pena dari Anāthapiṇḍika, namun mereka belum pernah bertemu. Pada suatu waktu, saudagar tersebut memuat lima ratus buah gerobak dengan barang-barang hasil produksi setempat dan memerintahkan pekerja yang sedang bertugas untuk pergi ke tempat saudagar besar Anāthapiṇḍika, dan menukarkan barang-barang tersebut di toko sahabat penanya sesuai dengan nilai barang-barang itu, dan kembali dengan membawa barang-barang hasil penukarannya. Maka mereka pun pergi ke Sāvatthi, dan menemui Anāthapiṇḍika. Terlebih dahulu mereka memberikan hadiah padanya, kemudian memberitahukan keperluan mereka. “Selamat datang,” kata orang yang mulia itu, dan memerintahkan mereka untuk bermalam di sana dan menyediakan uang untuk keperluan mereka. Setelah dengan ramah menanyakan kesehatan majikannya, ia menukarkan barang dagangannya dan memberikan barang tersebut kepada mereka sebagai hasil penukaran. Kemudian mereka pun kembali ke daerah mereka sendiri, dan melaporkan apa yang telah terjadi.
Tidak lama kemudian, Anāthapiṇḍika melakukan hal yang sama, yaitu mengirim lima ratus gerobak yang berisi barang dagangan ke daerah tempat saudagar itu tinggal; dan setibanya orang-orangnya di sana dengan hadiah di tangan, menghampiri saudagar di perbatasan itu. “Darimana asal kalian?” tanyanya. “Dari Sāvatthi,” jawab mereka; “diutus oleh sahabat penamu, Anāthapiṇḍika.” “Siapa pun dapat menyebut dirinya sendiri Anāthapiṇḍika,” dia berkata dengan nada mencemooh; dan setelah mengambil hadiah yang dibawa mereka, ia meminta mereka pergi, tanpa memberikan tempat bermalam ataupun uang. Maka mereka pergi menukarkan barang-barangnya sendiri dan kembali ke Sāvatthi dengan hasil penukaran tersebut, dengan membawa kisah penyambutan yang mereka terima.
Sekarang giliran [378] saudagar dari perbatasan itu yang mengirim rombongan lain dengan lima ratus buah gerobak ke Sāvatthi; dan orang-orangnya datang dengan hadiah di tangan menunggu kedatangan Anāthapiṇḍika. Sewaktu melihat mereka, orang-orang Anāthapiṇḍika pun berkata, “Oh, kita akan memastikan, Tuan, bahwa mereka diberi tempat bermalam dan makanan yang layak dan diberi uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” Kemudian mereka membawa orang-orang asing itu ke pinggir kota dan meminta mereka menambatkan gerobak mereka pada tempatnya, menambahkan bahwa nasi dan uang akan diantar dari rumah Anāthapiṇḍika. Tetapi kala menjelang tengah malam, setelah mengumpulkan pelayan dan budak, mereka menjarah seluruh rombongan tersebut, mengambil semua pakaian yang mereka bawa, menghela pergi sapi mereka, dan melepaskan roda-roda dari gerobak-gerobak tersebut, meninggalkan gerobak tanpa roda itu. Hanya dengan baju di badan, orang-orang asing yang ketakutan itu pergi dengan cepat, dan kembali ke rumah mereka di perbatasan. Kemudian orangorang Anāthapiṇḍika menceritakan seluruh kejadian itu kepadanya. “Kisah yang menarik ini,” katanya, “akan menjadi hadiah saya untuk Sang Guru hari ini,” dan ia pun pergi untuk menceritakan kisah tersebut kepada Sang Guru.
“Ini bukan pertama kalinya, Tuan,” kata Sang Guru, “bahwa saudagar dari perbatasan ini memperlihatkan watak yang demikian, ia juga memperlihatkan hal yang sama di kehidupan lampau.” Kemudian, atas permintaan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau berikut.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seorang saudagar yang sangat kaya di kota tersebut. Dan ia juga memiliki sahabat pena, seorang saudagar di perbatasan yang tidak pernah ia temui, dan semuanya terjadi sama seperti kisah di atas.
Setelah diberitahukan oleh orang-orangnya tentang apa yang telah mereka lakukan, ia berkata, “Masalah ini adalah hasil dari rasa tidak tahu berterima kasih atas kebaikan yang mereka terima.” Dan ia melanjutkan untuk membimbing orang-orang yang berkumpul dalam kerumunan itu dengan syair berikut ini:
Orang yang tidak tahu berterima kasih terhadap perbuatan baik,
Sejak saat itu juga, ia tidak akan menemukan penolong saat membutuhkannya.
Dengan cara seperti inilah Bodhisatta mengajarkan Dhamma dalam syair tersebut. Setelah hidup dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
[379] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saudagar di perbatasan di masa ini juga merupakan saudagar di perbatasan di masa itu, dan Saya sendiri adalah Saudagar dari Benares tersebut.”
Di daerah perbatasan, begitulah kisah ini bermula, tinggallah seorang saudagar, yang merupakan sahabat pena dari Anāthapiṇḍika, namun mereka belum pernah bertemu. Pada suatu waktu, saudagar tersebut memuat lima ratus buah gerobak dengan barang-barang hasil produksi setempat dan memerintahkan pekerja yang sedang bertugas untuk pergi ke tempat saudagar besar Anāthapiṇḍika, dan menukarkan barang-barang tersebut di toko sahabat penanya sesuai dengan nilai barang-barang itu, dan kembali dengan membawa barang-barang hasil penukarannya. Maka mereka pun pergi ke Sāvatthi, dan menemui Anāthapiṇḍika. Terlebih dahulu mereka memberikan hadiah padanya, kemudian memberitahukan keperluan mereka. “Selamat datang,” kata orang yang mulia itu, dan memerintahkan mereka untuk bermalam di sana dan menyediakan uang untuk keperluan mereka. Setelah dengan ramah menanyakan kesehatan majikannya, ia menukarkan barang dagangannya dan memberikan barang tersebut kepada mereka sebagai hasil penukaran. Kemudian mereka pun kembali ke daerah mereka sendiri, dan melaporkan apa yang telah terjadi.
Tidak lama kemudian, Anāthapiṇḍika melakukan hal yang sama, yaitu mengirim lima ratus gerobak yang berisi barang dagangan ke daerah tempat saudagar itu tinggal; dan setibanya orang-orangnya di sana dengan hadiah di tangan, menghampiri saudagar di perbatasan itu. “Darimana asal kalian?” tanyanya. “Dari Sāvatthi,” jawab mereka; “diutus oleh sahabat penamu, Anāthapiṇḍika.” “Siapa pun dapat menyebut dirinya sendiri Anāthapiṇḍika,” dia berkata dengan nada mencemooh; dan setelah mengambil hadiah yang dibawa mereka, ia meminta mereka pergi, tanpa memberikan tempat bermalam ataupun uang. Maka mereka pergi menukarkan barang-barangnya sendiri dan kembali ke Sāvatthi dengan hasil penukaran tersebut, dengan membawa kisah penyambutan yang mereka terima.
Sekarang giliran [378] saudagar dari perbatasan itu yang mengirim rombongan lain dengan lima ratus buah gerobak ke Sāvatthi; dan orang-orangnya datang dengan hadiah di tangan menunggu kedatangan Anāthapiṇḍika. Sewaktu melihat mereka, orang-orang Anāthapiṇḍika pun berkata, “Oh, kita akan memastikan, Tuan, bahwa mereka diberi tempat bermalam dan makanan yang layak dan diberi uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” Kemudian mereka membawa orang-orang asing itu ke pinggir kota dan meminta mereka menambatkan gerobak mereka pada tempatnya, menambahkan bahwa nasi dan uang akan diantar dari rumah Anāthapiṇḍika. Tetapi kala menjelang tengah malam, setelah mengumpulkan pelayan dan budak, mereka menjarah seluruh rombongan tersebut, mengambil semua pakaian yang mereka bawa, menghela pergi sapi mereka, dan melepaskan roda-roda dari gerobak-gerobak tersebut, meninggalkan gerobak tanpa roda itu. Hanya dengan baju di badan, orang-orang asing yang ketakutan itu pergi dengan cepat, dan kembali ke rumah mereka di perbatasan. Kemudian orangorang Anāthapiṇḍika menceritakan seluruh kejadian itu kepadanya. “Kisah yang menarik ini,” katanya, “akan menjadi hadiah saya untuk Sang Guru hari ini,” dan ia pun pergi untuk menceritakan kisah tersebut kepada Sang Guru.
“Ini bukan pertama kalinya, Tuan,” kata Sang Guru, “bahwa saudagar dari perbatasan ini memperlihatkan watak yang demikian, ia juga memperlihatkan hal yang sama di kehidupan lampau.” Kemudian, atas permintaan Anāthapiṇḍika, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau berikut.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seorang saudagar yang sangat kaya di kota tersebut. Dan ia juga memiliki sahabat pena, seorang saudagar di perbatasan yang tidak pernah ia temui, dan semuanya terjadi sama seperti kisah di atas.
Setelah diberitahukan oleh orang-orangnya tentang apa yang telah mereka lakukan, ia berkata, “Masalah ini adalah hasil dari rasa tidak tahu berterima kasih atas kebaikan yang mereka terima.” Dan ia melanjutkan untuk membimbing orang-orang yang berkumpul dalam kerumunan itu dengan syair berikut ini:
Orang yang tidak tahu berterima kasih terhadap perbuatan baik,
Sejak saat itu juga, ia tidak akan menemukan penolong saat membutuhkannya.
Dengan cara seperti inilah Bodhisatta mengajarkan Dhamma dalam syair tersebut. Setelah hidup dengan melakukan amal dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
[379] Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saudagar di perbatasan di masa ini juga merupakan saudagar di perbatasan di masa itu, dan Saya sendiri adalah Saudagar dari Benares tersebut.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com