TELEPATTA-JATAKA
Telapattajātaka (Ja 96)
“Saat seseorang penuh perhatian,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika menetap di hutan dekat Kota Desaka di Negeri Sumbha, mengenai Janapada-Kalyāni-Sutta183. Pada kesempatan ini Sang Bhagawan berkata : — “Seakan, para Bhikkhu, sebuah kerumunan besar terbentuk, berseru, ‘sambutlah wanita tercantik di negeri ini! Sambutlah wanita tercantik di negeri ini!’ dan seakan dengan cara yang sama kerumunan yang lebih besar berkumpul dan berseru, ‘Wanita tercantik di negeri ini bernyanyi dan menari’; dan andaikata datang seorang laki-laki yang sangat mencintai hidupnya, takut pada kematian, menyukai kesenangan dan menolak penderitaan, dan bayangkan orang itu mendapat sapaan berikut ini, — ‘Halo, engkau yang berada di sana! Bawalah pot yang berisi minyak yang penuh hingga ke pinggir ini, berdiri di antara kerumunan dan wanita tercantik di negeri ini: seorang lelaki dengan pedang terhunus akan mengikutimu dari belakang; jika engkau menjatuhkan setetes minyak, ia akan menebas kepalamu’; — Apa yang kalian pikirkan, para Bhikkhu? Akankah orang tersebut, dalam keadaan tersebut, bersikap ceroboh dan tidak mengeluarkan usaha dalam membawa pot minyak itu?” “Tidak ada cara lain, Bhante.” “Ini adalah sebuah kiasan [394], yang saya susun untuk menjelaskan maksud saya, para Bhikkhu; dan artinya adalah : — Pot minyak yang penuh hingga ke pinggir melambangkan keadaan pikiran yang tenang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan jasmani, dan pelajaran yang dapat dipetik adalah hal seperti menjaga kesadaran harus dilatih dan disempurnakan. Jangan gagal dalam hal ini, para Bhikkhu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Sang Guru menyampaikan Sutta yang berkenaan dengan wanita tercantik di negeri tersebut, mencakup teks dan terjemahannya. [395] Kemudian, dalam penerapannya, Sang Guru berkata lebih lanjut, — “Seorang bhikkhu butuh untuk melatih kesadaran yang benar, berkenaan dengan jasmani, harus berhati-hati untuk tidak membiarkan kesadarannya menurun, seperti orang dalam kiasan itu yang tidak akan menjatuhkan setetes minyak pun dari pot itu.”
Setelah mendengarkan Sutta dan artinya, para bhikkhu berkata : — “Adalah sebuah pekerjaan yang sulit, Bhante, bagi orang itu untuk lewat dengan membawa pot minyak tanpa menatap daya tarik wanita tercantik di negeri tersebut.” “Tidak sulit sama sekali, para Bhikkhu; itu adalah suatu tugas yang gampang, — mudah dengan alasan yang sangat bagus bahwa ia dikawal oleh seseorang yang mengancamnya dengan sebilah pedang yang terhunus. Namun benar-benar suatu pekerjaan yang sulit untuk ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kelahiran yang lampau untuk menjaga kesadaran dengan tepat dan mengendalikan nafsu mereka untuk menatap pada keindahan surgawi dengan segala kesempurnaannya. Mereka tetap berjaya, dan selanjutnya memenangkan sebuah kerajaan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah putra raja yang keseratus, dan telah tumbuh dewasa. Pada waktu itu para Pacceka Buddha selalu datang untuk mendapatkan makanan mereka di istana, dan Bodhisatta yang selalu melayani mereka.
Suatu hari ia memikirkan sejumlah saudara yang ia miliki, Bodhisatta bertanya kepada dirinya sendiri apakah ada kemungkinan bagi dirinya untuk duduk di singgasana ayahnya di kota, dan memutuskan untuk bertanya kepada para Pacceka Buddha apa yang akan terjadi di masa mendatang. Keesokan harinya, para Buddha datang, membawa pot air yang telah disucikan untuk keperluan yang suci, menyaring airnya, mencuci dan mengeringkan kaki mereka, dan duduk untuk menyantap makanan mereka. Setelah mereka duduk, Bodhisatta datang dan duduk di dekat mereka dengan penuh rasa hormat, mengajukan pertanyaannya. Mereka menjawab dengan berkata, “Pangeran, engkau tidak akan pernah menjadi raja di kota ini. Namun di Gandhāra, sekitar dua ribu yojana dari sini, terdapat sebuah kota bernama Takkasilā. Jika engkau bisa mencapai kota tersebut dalam waktu tujuh hari engkau akan menjadi raja di sana. Namun ada bahaya dalam perjalanan ke sana, dalam perjalanan melalui sebuah hutan lebat. Akan menghabiskan jarak dua kali jika memutari hutan tersebut, sehingga lebih cepat jika melewati hutan tersebut. Para yaksa menetap di sana, membuat perkampungan dan rumah-rumah berdiri di pinggir jalan. Di bawah langit-langit yang disulam dengan bintang-bintang di atas kepala, dengan ilmu gaib, mereka siapkan sebuah dipan yang mewah, ditutupi dengan tirai cantik dari bahan celupan yang menakjubkan. Ditata dengan kemewahan surgawi, para yaksa wanita duduk di tempat tinggal mereka, memikat para pengembara [396] dengan kata-kata yang manis. ‘Engkau terlihat capek’ kata mereka; ‘datanglah kemari, makan dan minum sebelum engkau berkelana lebih jauh.’ Mereka yang menuruti perkataan para yaksa wanita itu akan diberi tempat duduk dan terbakar oleh nafsu karena daya pikat kecantikan mereka yang tidak bermoral. Namun jarang yang sempat melakukan perbuatan salah itu sebelum para yaksa wanita membunuh dan menyantap mereka saat darah yang mengalir masih panas. Mereka menjerat perasaan lelaki, — menawan perasaan dengan kecantikan yang memancarkan keelokan mereka, telinga dengan suara yang lembut, lubang hidung dengan wewangian dari surga, pengecapan dengan makanan pilihan dari surga yang rasanya lezat, dan sentuhan dengan dipan berhiaskan bantalan merah yang sangat lembut. Namun jika engkau bisa menaklukkan perasaanmu, dan menguatkan diri untuk tidak memandang mereka, dalam waktu tujuh hari engkau akan menjadi raja di Kota Takkasilā.”
“Oh, Bhante; bagaimana saya bisa memandang para yaksa wanita setelah (mendengar) nasihat kalian ini?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisatta memohon para Pacceka Buddha memberikan sesuatu padanya untuk menjaga keselamatannya selama perjalanan tersebut. Ia menerima sebuah jimat berupa benang dan sedikit pasir yang telah diberi mantra. Mula-mula ia berpamitan kepada para Pacceka Buddha, kemudian pada ayah dan ibunya; lalu ia menuju ke tempat tinggalnya sendiri, berkata kepada para pengurus rumahnya sebagai berikut ini, “Saya akan pergi ke Takkasilā untuk menjadikan diri saya sebagai raja di sana. Kalian akan tinggal di sini.” Namun kelimanya menjawab, “Biarkan kami ikut.”
“Kalian tidak bisa ikut bersama saya,” jawab Bodhisatta; “karena saya diberitahu bahwa jalanannya dikepung oleh para yaksa wanita yang memikat perasaan lelaki dan membinasakan mereka yang kalah pada daya tarik mereka. Bahayanya terlalu besar, namun saya akan mengendalikan diri sendiri dan pergi.”
“Jika kami pergi bersamamu, Pangeran, kami tidak akan menatap bungkusan mereka yang memikat. Kami juga akan pergi ke Takkasilā.” “Kalau begitu tunjukkan keteguhan kalian,” kata Bodhisatta, dan membawa mereka berlima bersamanya dalam perjalanannya.
Para yaksa wanita duduk menunggu di tengah perjalanan di perkampungan mereka. Salah satu dari kelima orang itu, cinta pada kecantikan, menatap para yaksa wanita itu, dan terjerat kecantikan mereka, tertinggal di belakang yang lainnya. “Mengapa engkau tertinggal di belakang?” tanya Bodhisatta. “Kaki saya terluka, Pangeran. Saya akan duduk sejenak di paviliun di sana, dan mengejar kalian kemudian.” “Temanku yang baik, mereka adalah yaksa wanita; jangan menginginkan mereka.” “Meskipun itu benar adanya, Pangeran, saya tidak bisa pergi lebih jauh lagi.” “Baiklah, engkau akan segera menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata Bodhisatta, saat ia melanjutkan perjalanan dengan keempat orang lainnya.
Menyerah pada perasaannya, pencinta kecantikan ini mendekat ke arah para yaksa wanita, yang [397] menempatkannya dalam perbuatan salah untuk sementara, kemudian membunuhnya di sana saat itu juga. Mereka pergi, dan lebih jauh di jalanan tersebut, dengan kekuatan gaib mereka, sebuah paviliun terbentuk, dimana mereka duduk sambil bernyanyi dengan iringan alat musik yang berbeda. Saat itu, pencinta musik tertinggal dan disantap oleh mereka. Kemudian para yaksa wanita ini pergi mendahului dan duduk menunggu di sebuah pasar yang dipenuhi oleh semua aroma dan wewangian yang harum. Di sini, pencinta wewangian tertinggal. Setelah menyantapnya, mereka pergi mendahului lagi dan duduk dalam sebuah kedai persediaan dimana sejumlah persediaan bahan makanan laksana makanan dari surga dengan rasa yang lezat di jual. Di sini, pencicip makanan tertinggal di belakang. Setelah memangsanya, mereka pergi lebih jauh, dan duduk di dipan yang diciptakan dari kekuatan sihir mereka. Di sini, pencinta kenyamanan tertinggal, ia juga disantap oleh mereka.
Sekarang yang tersisa hanyalah Bodhisatta. Salah seorang yaksa wanita mengikutinya, berjanji demi sisi hati yang jahat dari Bodhisatta, ia akan berhasil menyantapnya sebelum kembali. Jauh di dalam hutan, para penebang kayu dan lainnya, melihat yaksa wanita tersebut, dan bertanya padanya siapakah lelaki yang berjalan di depannya.
“Ia adalah suami saya, Saudara yang baik.”
“Hai, Engkau yang di sana!” seru mereka kepada Bodhisatta; “Memiliki seorang istri yang begitu manis dan muda, secantik bunga, tinggalkan ia di rumah dan buat agar ia percaya kepadamu, mengapa engkau tidak berjalan bersamanya, namun membiarkan ia kelelahan di belakangmu?” “Ia bukan istri saya, melainkan seorang yaksa. Ia telah memangsa lima orang pendamping saya.” “Aduh! Saudara-saudara yang baik,” kata wanita itu, “kemarahan membuat orang mengatakan istri mereka sendiri sebagai yaksa wanita dan makhluk penghuni kuburan.”
Kemudian, ia berpura-pura hamil, dan terlihat sebagai seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak, dengan anak tersebut digendong di pinggulnya, mengikuti Bodhisatta dari belakang. Setiap orang yang bertemu mereka menanyakan pertanyaan yang sama tentang pasangan tersebut, dan Bodhisatta terus memberikan jawaban yang sama saat ia berjalan terus.
Akhirnya ia tiba di Takkasilā, dimana yaksa wanita itu menghilangkan anak tersebut, dan mengikutinya seorang diri. Di gerbang kota, Bodhisatta memasuki sebuah rumah peristirahatan dan duduk disana. Karena kekuatan dan kemanjuran Bodhisatta, ia tidak bisa masuk, maka ia menghiasi diri dengan cantik dan berdiri di ambang pintu.
Pada saat itu Raja Takkasilā melewati tempat tersebut saat hendak mengunjungi tempat peristirahatannya, terjerat pada kecantikannya. “Pergi dan cari tahu,” katanya pada pelayannya, “apakah ia mempunyai suami [398] bersamanya atau tidak.” Dan ketika pembawa pesan itu tiba, bertanya apakah ada seorang suami bersamanya, ia menjawab, “Ya, Tuan; suami saya sedang duduk di dalam.”
“Ia bukan istri saya,” jawab Bodhisatta. “Ia adalah yaksa wanita dan telah memangsa lima orang pendamping saya.”
Sama seperti sebelumnya, ia berkata, “Aduh! Saudara yang baik, kemarahan membuat seorang lelaki mengatakan apa pun yang terlintas di pikirannya.”
Lelaki itu kembali menemui raja dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh masing-masing dari mereka. “Harta terpendam adalah keuntungan tambahan untuk kerajaan,” kata raja. Dan ia mengundang yaksa wanita tersebut, mendudukkannya di punggung gajahnya. Setelah mengelilingi kota dengan prosesi yang khidmat, raja kembali ke istana dan menempatkan yaksa wanita itu di tempat yang dipersiapkan untuk raja. Setelah mandi dan mengharumkan diri, raja menyantap makan malamnya, kemudian berbaring di tempat tidur kerajaannya. Yaksa wanita itu juga mempersiapkan makanannya sendiri, dan mengenakan pakaian yang indah. Berbaring di sisi raja yang merasa gembira, ia memutar badannya ke sisi yang lain dan meledak dalam tangisan. Ketika ditanya mengapa menangis, ia berkata, “Paduka, engkau menemukan saya di pinggir jalan, dan wanita yang tinggal di tempat tinggal para istri raja di istana pasti sangat banyak. Tinggal di sini, di antara para musuh, saya akan merasa hancur jika mereka berkata, ‘Siapa yang tahu mengenai ayah dan ibumu, atau tentang keluargamu? Engkau dipungut di pinggir jalan.’ Namun jika Paduka memberikan kekuatan dan kekuasaan atas kerajaan kepada saya, tidak ada orang yang akan berani mengganggu saya dengan ejekan seperti itu.”
“Sayang, saya tidak mempunyai kekuatan atas semua yang menetap di seluruh pelosok kerajaan; saya bukan tuan dan majikan mereka. Saya hanya mempunyai hak hukum atas mereka yang memberontak atau melakukan kesalahan184. Maka saya tidak bisa memberikan kekuatan dan kekuasaan padamu atas seluruh kerajaan ini.”
“Kalau begitu, Paduka, jika engkau tidak bisa memberikan kekuasaan atas kerajaan maupun kota ini, paling tidak berikan kekuasaan dalam istana ini padaku, sehingga saya bisa memerintah atas mereka yang tinggal di sini.”
Terlalu mencintai daya tariknya sehingga tidak bisa menolak, raja pun memberikan kekuasaan dalam istana dan memintanya untuk memerintah mereka [399]. Merasa puas, ia menunggu hingga raja tertidur, kemudian menuju kota para yaksa dan kembali bersama semua yaksa ke dalam istana. Ia sendiri yang membunuh raja dan menyantapnya, kulit, urat dan daging, hanya menyisakan tulang belulang. Yaksa-yaksa yang lain memasuki gerbang, melahap semua yang mereka temui, tanpa menyisakan apa pun, baik unggas maupun anjing yang masih hidup. Keesokan harinya, saat orang-orang berdatangan dan melihat gerbang masih tertutup, mereka memukulinya dan dengan tidak sabar berteriak, kemudian masuk dengan kekerasan,—hanya menemukan seluruh kerajaan dipenuhi oleh tulang yang berserakan. Mereka berseru, “Kalau begitu, orang itu benar saat mengatakan ia bukan istrinya, melainkan yaksa wanita. Dengan tidak bijaksana, raja telah membawanya pulang untuk menjadi istrinya, dan tidak diragukan lagi ia mengumpulkan yaksa lainnya, melahap semua orang, dan pergi.”
Pada saat itu, Bodhisatta dengan pasir yang telah diberikan mantra di kepalanya, dan benang jimat terjalin mengelilingi keningnya, sedang berdiri di rumah peristirahatan itu, dengan pedang di tangan, menunggu fajar tiba. Sementara orang-orang itu, pada saat yang sama, membersihkan kerajaan, menghiasi lantainya sekali lagi, memerciki wewangian di lantai, menyebarkan bunga-bunga, menggantung bunga-bunga yang harum di atap dan menghiasi dinding dengan rangkaian bunga, serta membakar dupa wangi di tempat itu. Kemudian mereka berdiskusi bersama, berkata sebagai berikut: — “Orang yang bisa mengendalikan indranya dengan begitu hebat saat melihat yaksa wanita dengan kecantikannya mengikutinya dari belakang, adalah orang yang tinggi budinya dan teguh hatinya, dan dipenuhi oleh kebijaksanaan. Dengan orang seperti itu sebagai raja, akan baik untuk seluruh kerajaan. Mari kita jadikan dia sebagai raja.”
Semua anggota istana dan penduduk kerajaan tersebut satu suara dalam hal ini. Maka Bodhisatta dipilih menjadi raja, dikawal ke istana, dan di sana ia dihiasi dengan permata dan dinobatkan menjadi Raja Takkasilā. Menghindari diri dari empat Jalan yang salah, dan mengikuti sepuluh jalan (kualitas seorang raja) yang menjadi kewajiban raja, ia menjalankan kerajaannya dengan penuh keadilan, dan setelah menghabiskan hidup dengan berdana dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
Setelah menceritakan kisah ini, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini : — [400]
Saat seseorang penuh perhatian terhadap satu pot berisikan minyak akan berusaha agar isi yang penuh hingga ke pinggirnya tidak akan tumpah sedikit pun, seperti ia yang melakukan perjalanan ke negeri asing atas kehendaknya sendiri seperti yang harus ditunjukkan oleh seorang penguasa.
[401] Setelah Sang Guru memperlihatkan hal yang paling utama dari petunjuk tersebut tersebut, berupa tingkat kesucian Arahat, Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para siswa Buddha adalah para anggota istana di masa itu, dan Saya sendiri adalah pangeran yang memperoleh sebuah kerajaan.”
Catatan kaki :
183 Belum diketahui dimana Sutta ini muncul. Sebuah ringkasan Pāli ditinggalkan tanpa diterjemahkan, sebagai sedikit tambahan atau tidak berarti apa pun pada cerita pembuka di atas.
184 Bandingkan Milinda-pañho 359 untuk penjelasan yang terperinci mengenai hak istimewa terbatas dari para raja.
Setelah mendengarkan Sutta dan artinya, para bhikkhu berkata : — “Adalah sebuah pekerjaan yang sulit, Bhante, bagi orang itu untuk lewat dengan membawa pot minyak tanpa menatap daya tarik wanita tercantik di negeri tersebut.” “Tidak sulit sama sekali, para Bhikkhu; itu adalah suatu tugas yang gampang, — mudah dengan alasan yang sangat bagus bahwa ia dikawal oleh seseorang yang mengancamnya dengan sebilah pedang yang terhunus. Namun benar-benar suatu pekerjaan yang sulit untuk ia yang bijaksana dan penuh kebaikan di kelahiran yang lampau untuk menjaga kesadaran dengan tepat dan mengendalikan nafsu mereka untuk menatap pada keindahan surgawi dengan segala kesempurnaannya. Mereka tetap berjaya, dan selanjutnya memenangkan sebuah kerajaan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah putra raja yang keseratus, dan telah tumbuh dewasa. Pada waktu itu para Pacceka Buddha selalu datang untuk mendapatkan makanan mereka di istana, dan Bodhisatta yang selalu melayani mereka.
Suatu hari ia memikirkan sejumlah saudara yang ia miliki, Bodhisatta bertanya kepada dirinya sendiri apakah ada kemungkinan bagi dirinya untuk duduk di singgasana ayahnya di kota, dan memutuskan untuk bertanya kepada para Pacceka Buddha apa yang akan terjadi di masa mendatang. Keesokan harinya, para Buddha datang, membawa pot air yang telah disucikan untuk keperluan yang suci, menyaring airnya, mencuci dan mengeringkan kaki mereka, dan duduk untuk menyantap makanan mereka. Setelah mereka duduk, Bodhisatta datang dan duduk di dekat mereka dengan penuh rasa hormat, mengajukan pertanyaannya. Mereka menjawab dengan berkata, “Pangeran, engkau tidak akan pernah menjadi raja di kota ini. Namun di Gandhāra, sekitar dua ribu yojana dari sini, terdapat sebuah kota bernama Takkasilā. Jika engkau bisa mencapai kota tersebut dalam waktu tujuh hari engkau akan menjadi raja di sana. Namun ada bahaya dalam perjalanan ke sana, dalam perjalanan melalui sebuah hutan lebat. Akan menghabiskan jarak dua kali jika memutari hutan tersebut, sehingga lebih cepat jika melewati hutan tersebut. Para yaksa menetap di sana, membuat perkampungan dan rumah-rumah berdiri di pinggir jalan. Di bawah langit-langit yang disulam dengan bintang-bintang di atas kepala, dengan ilmu gaib, mereka siapkan sebuah dipan yang mewah, ditutupi dengan tirai cantik dari bahan celupan yang menakjubkan. Ditata dengan kemewahan surgawi, para yaksa wanita duduk di tempat tinggal mereka, memikat para pengembara [396] dengan kata-kata yang manis. ‘Engkau terlihat capek’ kata mereka; ‘datanglah kemari, makan dan minum sebelum engkau berkelana lebih jauh.’ Mereka yang menuruti perkataan para yaksa wanita itu akan diberi tempat duduk dan terbakar oleh nafsu karena daya pikat kecantikan mereka yang tidak bermoral. Namun jarang yang sempat melakukan perbuatan salah itu sebelum para yaksa wanita membunuh dan menyantap mereka saat darah yang mengalir masih panas. Mereka menjerat perasaan lelaki, — menawan perasaan dengan kecantikan yang memancarkan keelokan mereka, telinga dengan suara yang lembut, lubang hidung dengan wewangian dari surga, pengecapan dengan makanan pilihan dari surga yang rasanya lezat, dan sentuhan dengan dipan berhiaskan bantalan merah yang sangat lembut. Namun jika engkau bisa menaklukkan perasaanmu, dan menguatkan diri untuk tidak memandang mereka, dalam waktu tujuh hari engkau akan menjadi raja di Kota Takkasilā.”
“Oh, Bhante; bagaimana saya bisa memandang para yaksa wanita setelah (mendengar) nasihat kalian ini?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Bodhisatta memohon para Pacceka Buddha memberikan sesuatu padanya untuk menjaga keselamatannya selama perjalanan tersebut. Ia menerima sebuah jimat berupa benang dan sedikit pasir yang telah diberi mantra. Mula-mula ia berpamitan kepada para Pacceka Buddha, kemudian pada ayah dan ibunya; lalu ia menuju ke tempat tinggalnya sendiri, berkata kepada para pengurus rumahnya sebagai berikut ini, “Saya akan pergi ke Takkasilā untuk menjadikan diri saya sebagai raja di sana. Kalian akan tinggal di sini.” Namun kelimanya menjawab, “Biarkan kami ikut.”
“Kalian tidak bisa ikut bersama saya,” jawab Bodhisatta; “karena saya diberitahu bahwa jalanannya dikepung oleh para yaksa wanita yang memikat perasaan lelaki dan membinasakan mereka yang kalah pada daya tarik mereka. Bahayanya terlalu besar, namun saya akan mengendalikan diri sendiri dan pergi.”
“Jika kami pergi bersamamu, Pangeran, kami tidak akan menatap bungkusan mereka yang memikat. Kami juga akan pergi ke Takkasilā.” “Kalau begitu tunjukkan keteguhan kalian,” kata Bodhisatta, dan membawa mereka berlima bersamanya dalam perjalanannya.
Para yaksa wanita duduk menunggu di tengah perjalanan di perkampungan mereka. Salah satu dari kelima orang itu, cinta pada kecantikan, menatap para yaksa wanita itu, dan terjerat kecantikan mereka, tertinggal di belakang yang lainnya. “Mengapa engkau tertinggal di belakang?” tanya Bodhisatta. “Kaki saya terluka, Pangeran. Saya akan duduk sejenak di paviliun di sana, dan mengejar kalian kemudian.” “Temanku yang baik, mereka adalah yaksa wanita; jangan menginginkan mereka.” “Meskipun itu benar adanya, Pangeran, saya tidak bisa pergi lebih jauh lagi.” “Baiklah, engkau akan segera menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata Bodhisatta, saat ia melanjutkan perjalanan dengan keempat orang lainnya.
Menyerah pada perasaannya, pencinta kecantikan ini mendekat ke arah para yaksa wanita, yang [397] menempatkannya dalam perbuatan salah untuk sementara, kemudian membunuhnya di sana saat itu juga. Mereka pergi, dan lebih jauh di jalanan tersebut, dengan kekuatan gaib mereka, sebuah paviliun terbentuk, dimana mereka duduk sambil bernyanyi dengan iringan alat musik yang berbeda. Saat itu, pencinta musik tertinggal dan disantap oleh mereka. Kemudian para yaksa wanita ini pergi mendahului dan duduk menunggu di sebuah pasar yang dipenuhi oleh semua aroma dan wewangian yang harum. Di sini, pencinta wewangian tertinggal. Setelah menyantapnya, mereka pergi mendahului lagi dan duduk dalam sebuah kedai persediaan dimana sejumlah persediaan bahan makanan laksana makanan dari surga dengan rasa yang lezat di jual. Di sini, pencicip makanan tertinggal di belakang. Setelah memangsanya, mereka pergi lebih jauh, dan duduk di dipan yang diciptakan dari kekuatan sihir mereka. Di sini, pencinta kenyamanan tertinggal, ia juga disantap oleh mereka.
Sekarang yang tersisa hanyalah Bodhisatta. Salah seorang yaksa wanita mengikutinya, berjanji demi sisi hati yang jahat dari Bodhisatta, ia akan berhasil menyantapnya sebelum kembali. Jauh di dalam hutan, para penebang kayu dan lainnya, melihat yaksa wanita tersebut, dan bertanya padanya siapakah lelaki yang berjalan di depannya.
“Ia adalah suami saya, Saudara yang baik.”
“Hai, Engkau yang di sana!” seru mereka kepada Bodhisatta; “Memiliki seorang istri yang begitu manis dan muda, secantik bunga, tinggalkan ia di rumah dan buat agar ia percaya kepadamu, mengapa engkau tidak berjalan bersamanya, namun membiarkan ia kelelahan di belakangmu?” “Ia bukan istri saya, melainkan seorang yaksa. Ia telah memangsa lima orang pendamping saya.” “Aduh! Saudara-saudara yang baik,” kata wanita itu, “kemarahan membuat orang mengatakan istri mereka sendiri sebagai yaksa wanita dan makhluk penghuni kuburan.”
Kemudian, ia berpura-pura hamil, dan terlihat sebagai seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak, dengan anak tersebut digendong di pinggulnya, mengikuti Bodhisatta dari belakang. Setiap orang yang bertemu mereka menanyakan pertanyaan yang sama tentang pasangan tersebut, dan Bodhisatta terus memberikan jawaban yang sama saat ia berjalan terus.
Akhirnya ia tiba di Takkasilā, dimana yaksa wanita itu menghilangkan anak tersebut, dan mengikutinya seorang diri. Di gerbang kota, Bodhisatta memasuki sebuah rumah peristirahatan dan duduk disana. Karena kekuatan dan kemanjuran Bodhisatta, ia tidak bisa masuk, maka ia menghiasi diri dengan cantik dan berdiri di ambang pintu.
Pada saat itu Raja Takkasilā melewati tempat tersebut saat hendak mengunjungi tempat peristirahatannya, terjerat pada kecantikannya. “Pergi dan cari tahu,” katanya pada pelayannya, “apakah ia mempunyai suami [398] bersamanya atau tidak.” Dan ketika pembawa pesan itu tiba, bertanya apakah ada seorang suami bersamanya, ia menjawab, “Ya, Tuan; suami saya sedang duduk di dalam.”
“Ia bukan istri saya,” jawab Bodhisatta. “Ia adalah yaksa wanita dan telah memangsa lima orang pendamping saya.”
Sama seperti sebelumnya, ia berkata, “Aduh! Saudara yang baik, kemarahan membuat seorang lelaki mengatakan apa pun yang terlintas di pikirannya.”
Lelaki itu kembali menemui raja dan menceritakan kepadanya apa yang dikatakan oleh masing-masing dari mereka. “Harta terpendam adalah keuntungan tambahan untuk kerajaan,” kata raja. Dan ia mengundang yaksa wanita tersebut, mendudukkannya di punggung gajahnya. Setelah mengelilingi kota dengan prosesi yang khidmat, raja kembali ke istana dan menempatkan yaksa wanita itu di tempat yang dipersiapkan untuk raja. Setelah mandi dan mengharumkan diri, raja menyantap makan malamnya, kemudian berbaring di tempat tidur kerajaannya. Yaksa wanita itu juga mempersiapkan makanannya sendiri, dan mengenakan pakaian yang indah. Berbaring di sisi raja yang merasa gembira, ia memutar badannya ke sisi yang lain dan meledak dalam tangisan. Ketika ditanya mengapa menangis, ia berkata, “Paduka, engkau menemukan saya di pinggir jalan, dan wanita yang tinggal di tempat tinggal para istri raja di istana pasti sangat banyak. Tinggal di sini, di antara para musuh, saya akan merasa hancur jika mereka berkata, ‘Siapa yang tahu mengenai ayah dan ibumu, atau tentang keluargamu? Engkau dipungut di pinggir jalan.’ Namun jika Paduka memberikan kekuatan dan kekuasaan atas kerajaan kepada saya, tidak ada orang yang akan berani mengganggu saya dengan ejekan seperti itu.”
“Sayang, saya tidak mempunyai kekuatan atas semua yang menetap di seluruh pelosok kerajaan; saya bukan tuan dan majikan mereka. Saya hanya mempunyai hak hukum atas mereka yang memberontak atau melakukan kesalahan184. Maka saya tidak bisa memberikan kekuatan dan kekuasaan padamu atas seluruh kerajaan ini.”
“Kalau begitu, Paduka, jika engkau tidak bisa memberikan kekuasaan atas kerajaan maupun kota ini, paling tidak berikan kekuasaan dalam istana ini padaku, sehingga saya bisa memerintah atas mereka yang tinggal di sini.”
Terlalu mencintai daya tariknya sehingga tidak bisa menolak, raja pun memberikan kekuasaan dalam istana dan memintanya untuk memerintah mereka [399]. Merasa puas, ia menunggu hingga raja tertidur, kemudian menuju kota para yaksa dan kembali bersama semua yaksa ke dalam istana. Ia sendiri yang membunuh raja dan menyantapnya, kulit, urat dan daging, hanya menyisakan tulang belulang. Yaksa-yaksa yang lain memasuki gerbang, melahap semua yang mereka temui, tanpa menyisakan apa pun, baik unggas maupun anjing yang masih hidup. Keesokan harinya, saat orang-orang berdatangan dan melihat gerbang masih tertutup, mereka memukulinya dan dengan tidak sabar berteriak, kemudian masuk dengan kekerasan,—hanya menemukan seluruh kerajaan dipenuhi oleh tulang yang berserakan. Mereka berseru, “Kalau begitu, orang itu benar saat mengatakan ia bukan istrinya, melainkan yaksa wanita. Dengan tidak bijaksana, raja telah membawanya pulang untuk menjadi istrinya, dan tidak diragukan lagi ia mengumpulkan yaksa lainnya, melahap semua orang, dan pergi.”
Pada saat itu, Bodhisatta dengan pasir yang telah diberikan mantra di kepalanya, dan benang jimat terjalin mengelilingi keningnya, sedang berdiri di rumah peristirahatan itu, dengan pedang di tangan, menunggu fajar tiba. Sementara orang-orang itu, pada saat yang sama, membersihkan kerajaan, menghiasi lantainya sekali lagi, memerciki wewangian di lantai, menyebarkan bunga-bunga, menggantung bunga-bunga yang harum di atap dan menghiasi dinding dengan rangkaian bunga, serta membakar dupa wangi di tempat itu. Kemudian mereka berdiskusi bersama, berkata sebagai berikut: — “Orang yang bisa mengendalikan indranya dengan begitu hebat saat melihat yaksa wanita dengan kecantikannya mengikutinya dari belakang, adalah orang yang tinggi budinya dan teguh hatinya, dan dipenuhi oleh kebijaksanaan. Dengan orang seperti itu sebagai raja, akan baik untuk seluruh kerajaan. Mari kita jadikan dia sebagai raja.”
Semua anggota istana dan penduduk kerajaan tersebut satu suara dalam hal ini. Maka Bodhisatta dipilih menjadi raja, dikawal ke istana, dan di sana ia dihiasi dengan permata dan dinobatkan menjadi Raja Takkasilā. Menghindari diri dari empat Jalan yang salah, dan mengikuti sepuluh jalan (kualitas seorang raja) yang menjadi kewajiban raja, ia menjalankan kerajaannya dengan penuh keadilan, dan setelah menghabiskan hidup dengan berdana dan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
Setelah menceritakan kisah ini, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini : — [400]
Saat seseorang penuh perhatian terhadap satu pot berisikan minyak akan berusaha agar isi yang penuh hingga ke pinggirnya tidak akan tumpah sedikit pun, seperti ia yang melakukan perjalanan ke negeri asing atas kehendaknya sendiri seperti yang harus ditunjukkan oleh seorang penguasa.
[401] Setelah Sang Guru memperlihatkan hal yang paling utama dari petunjuk tersebut tersebut, berupa tingkat kesucian Arahat, Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Para siswa Buddha adalah para anggota istana di masa itu, dan Saya sendiri adalah pangeran yang memperoleh sebuah kerajaan.”
Catatan kaki :
183 Belum diketahui dimana Sutta ini muncul. Sebuah ringkasan Pāli ditinggalkan tanpa diterjemahkan, sebagai sedikit tambahan atau tidak berarti apa pun pada cerita pembuka di atas.
184 Bandingkan Milinda-pañho 359 untuk penjelasan yang terperinci mengenai hak istimewa terbatas dari para raja.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com