Sariputta | Suttapitaka | NĀMASIDDHI-JĀTAKA Sariputta

NĀMASIDDHI-JĀTAKA

Nāma­siddhi­jātaka (Ja 97)

“Melihat Jīvaka meninggal,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang berpikir bahwa keberuntungan melekat pada nama. Menurut apa yang diceritakan, seorang pemuda dari keluarga terpandang, bernama Pāpaka (Buruk), menyerahkan hidupnya pada ajaran Buddha dan bergabung menjadi anggota Sanggha. [402] Para bhikkhu selalu memanggilnya, “Ke sini, Awuso Pāpaka!” dan “Tinggallah, Awuso Pāpaka,” hingga akhirnya ia memutuskan bahwa (nama) Pāpaka menimbulkan pengertian perwujudan keburukan dan ketidakberuntungan, ia akan mengganti namanya menjadi sebuah nama yang mengandung pertanda baik. Karenanya ia meminta guru dan pembimbingnya memberikan sebuah nama baru kepadanya. Namun mereka berkata nama hanya berguna untuk menunjuk sesuatu, dan tidak berhubungan dengan kualitas; dan memintanya untuk merasa puas terhadap nama yang ia miliki. Dari waktu ke waktu ia mengulangi permohonannya, sehingga semua bhikkhu mengetahui betapa penting dan melekatnya ia pada sebuah nama belaka. Saat mereka semua sedang duduk membicarakan hal tersebut di Balai Kebenaran, Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Setelah mendengar penjelasan mereka, Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya bhikkhu ini percaya bahwa keberuntungan melekat pada nama; ia juga merasa tidak puas dengan nama yang ia sandang di kelahiran sebelumnya.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu, Bodhisatta adalah seorang guru yang sangat terkenal di Takkasilā, lima ratus orang brahmana muda belajar Weda darinya. Salah seorang pemuda itu bernama Pāpaka. Dan terus menerus mendengar teman-temannya mengatakan, “Pergilah, Pāpaka” dan “Datanglah, Pāpaka”, ia mempunyai keinginan untuk terlepas dari namanya dan mengambil satu nama baru yang artinya lebih tidak bermakna keburukan. Maka ia menemui gurunya dan meminta sebuah nama baru dengan karakter yang lebih terhormat agar diberikan kepadanya. Gurunya berkata, “Pergilah, Anakku, jelajahi seluruh negeri ini hingga engkau menemukan sebuah nama yang engkau sukai. Setelah itu, kembalilah dan saya akan mengganti nama untukmu.”
Pemuda itu melakukan apa yang diminta dan mengambil bekal untuk perjalanannya berkelana dari desa ke desa hingga ia tiba di sebuah kota. Di sini seorang lelaki yang bernama Jīvaka (Hidup) meninggal dunia, brahmana muda itu melihatnya dibaringkan di pemakaman, kemudian menanyakan siapa namanya.
“Jīvaka,” jawaban yang diterimanya. “Apa, bisakah Jīvaka meninggal?” “Ya, Jīvaka (bisa) meninggal; baik Jīvaka (Hidup) maupun Ajīvaka (Mati) tetap akan meninggal suatu saat nanti. Nama hanya menandai seseorang itu siapa. Engkau terlihat bodoh.”
Mendengar ini, ia melanjutkan perjalanan ke dalam kota, tidak merasa puas maupun puas akan namanya sendiri.
Saat itu, ada seorang pelayan wanita yang dilempar keluar dari pintu sebuah rumah, sementara wali (orang tuanya) memukulinya dengan ujung tali karena ia tidak membawa pulang upahnya. Nama gadis itu adalah Dhanapālī (Kaya). [403] Melihat gadis itu dipukuli, saat ia menelusuri jalan itu, ia menanyakan apa alasannya, dan mendapat jawaban bahwa hal itu dikarenakan gadis itu tidak dapat menunjukkan upahnya.
“Siapa nama gadis itu?”
“Dhanapālī,” jawab mereka. “Tidak bisakah Dhanapālī mendapatkan bayaran atas satu hari yang tidak berarti?” “Baik dipanggil Dhanapālī (Kaya) maupun Adhanapālī (Miskin), uang tidak akan muncul lebih banyak untuknya. Sebuah nama hanya untuk menandai seseorang itu siapa. Engkau terlihat bodoh.”
Dengan mulai lebih dapat menerima namanya sendiri, brahmana muda itu meninggalkan kota dan di perjalanan bertemu dengan seseorang yang sedang tersesat. Setelah mengetahui orang tersebut kehilangan arah, brahmana muda itu menanyakan siapa namanya. “Panthaka (Pelancong),” jawab orang tersebut. “Panthaka kehilangan arah?” “Panthaka atau Apanthaka, engkau bisa saja kehilangan arah dengan cara yang sama. Sebuah nama hanya diberikan untuk menandai seseorang itu siapa. Engkau terlihat bodoh.”
Setelah benar-benar dapat menerima namanya, brahmana muda itu kembali ke tempat gurunya.
“Baiklah, nama apa yang engkau pilih?” tanya Bodhisatta. “Guru,” katanya, “saya menemukan bahwa kematian pasti akan dialami oleh Jīvaka dan Ajīvaka suatu saat nanti, bahwa Dhanapālī dan Adhanapālī sama-sama bisa miskin, dan bahwa Panthaka dan Apanthaka sama-sama bisa kehilangan arah. Sekarang, saya mengetahui bahwa sebuah nama hanya untuk menandai seseorang itu siapa, sama sekali tidak menentukan nasib pemiliknya. Maka saya merasa puas pada nama saya sendiri dan tidak ingin menggantinya lagi.”
Kemudian Bodhisatta mengucapkan syair berikut ini; memadukan apa yang dilakukan oleh brahmana muda itu dengan apa yang ia lihat: —
Melihat Jīvaka meninggal, Dhanapālī miskin,
Panthaka kehilangan arah,
Pāpaka belajar, menjadi puas,
tidak berkelana lebih jauh lagi.
Setelah menceritakan kisah ini, Sang Guru berkata, “Kalian lihat, para Bhikkhu, di kehidupan yang lampau sama seperti kehidupan ini, bhikkhu ini mengira ada pengaruh besar dari sebuah nama.” Dan beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu ini, yang merasa tidak puas pada namanya adalah brahmana muda yang merasa tidak puas di masa itu; para siswa Buddha adalah siswa-siswa itu, dan Saya sendiri adalah guru mereka.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com