Sariputta | Suttapitaka | ASĀTARŪPA-JĀTAKA Sariputta

ASĀTARŪPA-JĀTAKA

Asā­tarūpa­jātaka (Ja 100)

“Dalam samaran kegembiraan,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Kuṇḍadhānavana dekat Kota Kuṇḍiya mengenai Suppavāsā, seorang upasika yang merupakan putri dari Raja Koliya. Pada saat itu, ia mengandung seorang anak selama tujuh tahun dalam kandungannya, selama tujuh hari waktu persalinannya disiksa oleh rasa sakit akan melahirkan, penderitaannya sangat memilukan hati. Diluar penderitaannya, ia berpikir sebagai berikut, “Bhagawan, Yang Tercerahkan Sempurna, membabarkan Dhamma sehingga akhirnya penderitaan ini mungkin akan terhenti; Kebajikan adalah sifat utama Sang Bhagawan yang dijalankan-Nya, sehingga akhirnya penderitaan ini mungkin dapat berhenti; Terberkahi adalah nibbana, di saat penderitaan seperti ini bisa terhenti.” Ketiga pemikiran ini merupakan penghiburan baginya dalam kesakitannya. Dan ia mengirim suaminya menemui Sang Buddha untuk menyampaikan keadaannya dan untuk menyampaikan sebuah salam darinya.
Pesannya disampaikan kepada Sang Bhagawan, yang berkata, [408] “Semoga Suppavāsā, putri Raja Koliya, menjadi sehat dan kuat kembali, dan melahirkan seorang bayi yang sehat.” Dengan kata-kata dari Sang Bhagawan, Suppavāsā, putri Raja Koliya, menjadi sehat dan kuat, dan melahirkan seorang bayi yang sehat. Saat kembali, suaminya mendapatkan istrinya telah melahirkan dengan selamat, suaminya menjadi kagum dengan kekuatan yang agung dari Sang Buddha. Setelah anaknya lahir, Suppavāsā sangat ingin mempersembahkan hadiah selama tujuh hari kepada para bhikkhu dengan Buddha sebagai guru mereka, dan mengirim suaminya lagi untuk mengundang mereka. Pada waktu yang sama, Sanggha dengan Buddha sebagai pemimpin mereka telah menerima undangan dari seorang umat awam yang menyokong Thera Moggallāna Yang Agung; namun, Sang Guru, yang ingin memenuhi permintaan Suppavāsā dalam memberikan dana (makanan), mengutus sang thera untuk menjelaskan masalah tersebut, dan bersama Sanggha menerima undangan makan dari Suppavāsā selama tujuh hari. Pada hari ketujuh ia mendandani bayi kecilnya, yang bernama Sīvali, dan membuat putranya membungkuk di depan Buddha dan Sanggha. Saat bayi itu dibawa untuk melakukan hal yang sama pada Sāriputta, thera itu dengan penuh keramahan menyapa bayi tersebut, berkata, “Baiklah, Sīvali, apakah engkau sehat-sehat saja?” “Bagaimana mungkin, Bhante?” jawab bayi itu. “Selama tujuh tahun yang panjang saya harus bermandikan darah.”
Dengan gembira Suppavāsā berseru, “Anakku, yang hanya berusia tujuh hari, berbincang-bincang mengenai keyakinan dengan Thera Sāriputta, sang Panglima Dhamma!”
“Maukah engkau memiliki anak lagi yang seperti ini?” tanya Sang Guru. “Mau, Bhante,” jawab Suppavāsā, “tujuh anak lagi, jika saya bisa mendapatkan anak yang seperti ini.” Dengan kata-kata yang khidmat Sang Guru mengucapkan terima kasih atas keramahan Suppavāsā dan pergi dari sana.
Pada usia tujuh tahun Sīvali menyerahkan diri pada ajaran Buddha, dan meninggalkan keduniawian untuk bergabung dalam Sanggha; pada usia dua puluh tahun ia telah menjadi bhikkhu. Ia penuh dengan kebaikan dan mendapatkan berkah kebaikan berupa tingkat kesucian Arahat, bumi bersorak dalam kebahagiaan.
Suatu hari, para bhikkhu berkumpul di Balai Kebenaran membicarakan hal tersebut, berkata, “Thera Sīvali, yang sekarang begitu bersinar, adalah seorang anak yang sering didoakan; selama tujuh tahun ia berada dalam kandungan dan proses kelahirannya memakan waktu tujuh hari. Betapa hebatnya rasa sakit yang dialami oleh ibu dan anak itu! Karena melakukan apakah mereka mengalami penderitaan seperti itu?”
Masuk ke dalam balai itu, Sang Guru menanyakan topik pembicaraan mereka. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “Sīvali yang penuh kebaikan [409] dikandung selama tujuh tahun dan proses kelahirannya berlangsung selama tujuh hari lamanya adalah karena perbuatannya sendiri di kehidupan yang lampau.
Demikian juga dengan Suppavāsā yang mengandung selama tujuh tahun dan melahirkan setelah tujuh hari adalah akibat perbuatannya sendiri di kehidupan yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah putra mahkota, ia tumbuh dewasa dan mendapat pendidikan di Takkasilā, dan setelah ayahnya meninggal ia menjadi seorang raja dan memerintah dengan penuh keadilan. Pada masa itu, Raja Kosala datang dengan kekuatan yang hebat untuk berperang dengan Benares, dan membunuh raja serta mengambil Ratu Benares menjadi istrinya.
Saat raja dibunuh, putranya melarikan diri melalui selokan. Setelah itu ia mengumpulkan kekuatan yang besar dan datang ke Benares. Berkemah di dekat sana, ia mengirim pesan kepada raja untuk menyerahkan kerajaannya atau berperang. Raja mengirim jawaban bahwa ia memilih berperang. Namun ibu pangeran muda ini, mengetahui hal tersebut, mengirim pesan kepada anaknya, yang mengatakan, “Tidak perlu melakukan peperangan. Biarlah setiap jalan masuk ke kota di setiap sisi diberi pengawasan dan diberi penghalang, sehingga mereka kehabisan kayu bakar, air dan makanan, membuat orang-orang lemas. Setelah itu kota akan jatuh ke tanganmu tanpa perlu melakukan peperangan.” Mengikuti nasihat ibunya, selama tujuh hari pangeran tersebut mengawasi kota dengan ketat melalui blokade, hingga akhirnya pada hari ketujuh para penduduk memenggal kepala raja dan membawakannya untuk pangeran tersebut. Kemudian ia memasuki kota dan menjadikan dirinya sebagai raja. Setelah meninggal dunia ia terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.

Hasil dan akibat tindakannya memblokir kota selama tujuh hari adalah selama tujuh tahun ia berada dalam kandungan, dan proses kelahirannya berlangsung selama tujuh hari. Namun, karena ia bersujud di kaki Buddha Padumuttara dan memberikan sejumlah persembahan (dana) dengan tekad untuk menjadi seorang Arahat, ia pun mendapatkan berkah mencapai tingkat kesucian Arahat; dan karena di masa Buddha Vipassī, ia memberikan sejumlah persembahan dengan tekad yang sama, bersama para penduduk kota, mempersembahkan dana yang amat bernilai;— [410] karenanya, atas kebaikannya, ia mendapatkan berkah mencapai tingkat kesucian Arahat. Dan karena Suppavāsā yang mengirim pesan meminta anaknya mengambil alih kota melalui blokade, mendapatkan balasan dengan mengandung selama tujuh tahun dan melahirkan setelah tujuh hari.
Uraian-Nya berakhir, Sang Guru, sebagai seorang Buddha, mengulangi syair berikut ini:
Dalam samaran kegembiraan dan kesenangan,
penderitaan muncul dan menggoyahkan batin untuk
menguasai diri orang-orang yang lengah.
Setelah memberikan pelajaran ini, Sang Guru menjelaskan tentang kelahiran tersebut dengan berkata, “Sīvali adalah pangeran yang waktu itu memblokir kota dan menjadi raja; Suppavāsā adalah ibunya, dan Saya adalah ayahnya, Raja Benares.”

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com