SĀLITTAKA-JĀTAKA
Sālittakajātaka (Ja 107)
[418] “Hadiah dari keahlian,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang melempar batu dan menjatuhkan seekor angsa. Diceritakan bahwa bhikkhu ini, yang berasal dari sebuah keluarga terpandang di Sawatthi, mempunyai keahlian memukul benda dengan batu; suatu hari, setelah mendengarkan pembabaran Dhamma ia menyerahkan hidupnya pada ajaran Buddha, meninggalkan keduniawian dan diterima menjadi seorang bhikkhu. Tanpa belajar maupun berlatih, ia unggul sebagai seorang bhikkhu.
Suatu hari, bersama seorang bhikkhu yang lebih muda ia pergi ke Sungai Aciravatī190, dan sedang berdiri di tepi sungai setelah mandi saat ia melihat sepasang angsa yang terbang di dekat sana. Ia berkata pada bhikkhu yang lebih muda, “Saya akan memukul angsa yang terhalang itu tepat di matanya dan menjatuhkannya.” “Buat ia turun,” jawab bhikkhu itu; “engkau tidak akan bisa mengenainya.” “Tunggu saja. Saya akan mengenainya dari satu mata menembus ke mata yang lain.” “Oh, omong kosong.” “Baik, engkau tunggu dan lihat saja.” Kemudian ia mengambil sebuah batu berbentuk segitiga di tangannya dan melemparkannya ke arah angsa-angsa itu. Bunyi ‘whiz’ desingan batu melewati udara dan angsa itu. Menduga ada bahaya, angsa itu berhenti untuk mendengar. Seketika itu juga bhikkhu tersebut meraih sebuah batu bulat licin dan saat angsa berhenti untuk mencari arah yang lain, ia melemparkan batu itu tepat di matanya, sehingga batu itu masuk dari satu mata dan keluar dari mata yang lain. Sambil mengeluarkan suara pekikan yang keras, angsa itu jatuh ke tanah di dekat kaki mereka. “Ini adalah tindakan yang sangat salah,” kata bhikkhu muda itu dan membawanya menghadap Sang Guru, melaporkan apa yang telah terjadi. Setelah mengecam bhikkhu tersebut, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ia mempunyai keahlian yang sama di kehidupan yang lampau, sama seperti saat ini.” Dan Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah salah seorang anggota istana. Pendeta kerajaan pada masa itu sangat cerewet dan suka berbicara panjang lebar, sehingga sekali ia mulai berbicara, orang lain tidak akan mempunyai kesempatan untuk berbicara lagi. Maka raja berusaha mencari orang untuk menghentikan kecerewetannya, ia mencari kemana-mana untuk mendapatkan orang seperti itu.
Pada masa itu, ada seorang lelaki pincang di Benares yang merupakan ahli penembak batu yang sangat hebat, anak-anak selalu menempatkannya di sebuah gerobak kecil dan [419] menariknya ke dekat gerbang Benares, dimana terdapat sebatang pohon beringin yang sangat besar, dengan cabang yang dipenuhi dedaunan. Di sana, mereka akan berkumpul mengelilinginya, memberikan sedikit uang kepadanya, dan berkata, “Buatkan seekor gajah,” atau “Buatkan seekor kuda.” Lelaki pincang itu akan melemparkan batu demi batu hingga ia memotong daun-daun itu dalam bentuk yang mereka inginkan. Dan bagian bawah pohon akan dipenuhi oleh daun-daun yang berguguran.
Dalam perjalanan menuju tempat peristirahatannya, raja tiba di tempat tersebut, dan semua anak-anak itu berhamburan pergi karena merasa takut pada raja, meninggalkan lelaki pincang itu di sana tanpa bantuan. Melihat daun-daun yang berserakan, raja bertanya, saat ia mengendalikan keretanya mendekat, siapa yang telah memotong daun-daun tersebut. Ia diberitahu bahwa lelaki pincang itu yang melakukannya. Berpikir bahwa mungkin di sini ada cara untuk menghentikan mulut pendeta tersebut, raja bertanya dimana lelaki pincang itu berada, dan ditunjukkan bahwa ia sedang duduk di bawah pohon itu. Raja meminta agar ia dibawa menghadapnya, dan memberi isyarat agar rombongannya berdiri agak jauh, kemudian bertanya kepadanya, “Saya mempunyai seorang pendeta yang sangat cerewet. Apakah engkau bisa menghentikannya?”
“Bisa, Paduka, — jika saya mempunyai sebuah penembak kacang yang dipenuhi dengan kotoran kambing yang telah kering,” jawab lelaki pincang itu. Maka raja membawanya ke istana dan menyediakan sebuah penembak kacang yang dipenuhi dengan kotoran kambing yang telah kering di balik tirai dengan sebuah celah, tepat di depan tempat duduk pendeta itu. Ketika brahmana itu datang menemui raja dan ditempatkan di kursi yang telah dipersiapkan untuknya, raja memulai pembicaraan. Segera saja pendeta itu memonopoli pembicaraan, dan tidak ada orang yang bisa mengucapkan sepatah kata pun. Pada saat itulah lelaki pincang itu menembakkan peluru berupa kotoran kambing satu per satu secara lurus, melalui celah di tirai yang berada tepat di depan kerongkongan pendeta tersebut. Dan brahmana itu, menelan semua peluru itu begitu mereka datang, seperti telah dilumuri minyak, hingga semuanya menghilang dalam perutnya. Setelah semua peluru penembak kacang itu telah berada di dalam perut pendeta tersebut, semuanya mengembang dalam ukuran setengah takaran191; dan raja yang mengetahui semua peluru itu telah habis, berkata kepada brahmana tersebut, “Guru, betapa cerewetnya engkau, sehingga engkau telah menelan semua peluru dari satu penembak kacang berupa kotoran kambing tanpa menyadarinya sedikit pun. Itu adalah jumlah yang bisa engkau peroleh dalam sekali kunjungan. Sekarang, pulanglah ke rumah dan minum satu takaran biji rumput gandum dengan air sebagai obat pembuat muntah, agar engkau sehat kembali.”
Sejak itu [420] pendeta tersebut menjaga agar mulutnya tetap tertutup dan duduk dengan diam selama pembicaraan berlangsung seakan-akan mulutnya telah disegel.
“Baiklah, telinga saya berhutang pada lelaki pincang itu atas kebebasannya,” kata raja, dan memberikan empat desa kepadanya, satu di utara, satu di selatan, satu di barat dan satu lagi di timur; yang menghasilkan seratus ribu keping per tahunnya.
Bodhisatta mendekati raja dan berkata, “ Di dunia ini, Paduka, keahlian seharusnya dilatih dengan bijaksana. Semata-mata hanya karena keahlian dalam membidik, memberikan semua kemakmuran ini kepada lelaki pincang itu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut:
Hadiah dari keahlian, lihatlah lelaki pincang
yang ahli menembak itu ;
— Empat desa merupakan hadiah atas bidikannya.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu ini adalah lelaki pincang di masa itu, Ānanda adalah raja dan Saya sendiri adalah anggota istana yang bijaksana.”
Catatan kaki :
190 Raptī yang modern, di Oudh.
191 1 takaran = 7 ½ liter.
Suatu hari, bersama seorang bhikkhu yang lebih muda ia pergi ke Sungai Aciravatī190, dan sedang berdiri di tepi sungai setelah mandi saat ia melihat sepasang angsa yang terbang di dekat sana. Ia berkata pada bhikkhu yang lebih muda, “Saya akan memukul angsa yang terhalang itu tepat di matanya dan menjatuhkannya.” “Buat ia turun,” jawab bhikkhu itu; “engkau tidak akan bisa mengenainya.” “Tunggu saja. Saya akan mengenainya dari satu mata menembus ke mata yang lain.” “Oh, omong kosong.” “Baik, engkau tunggu dan lihat saja.” Kemudian ia mengambil sebuah batu berbentuk segitiga di tangannya dan melemparkannya ke arah angsa-angsa itu. Bunyi ‘whiz’ desingan batu melewati udara dan angsa itu. Menduga ada bahaya, angsa itu berhenti untuk mendengar. Seketika itu juga bhikkhu tersebut meraih sebuah batu bulat licin dan saat angsa berhenti untuk mencari arah yang lain, ia melemparkan batu itu tepat di matanya, sehingga batu itu masuk dari satu mata dan keluar dari mata yang lain. Sambil mengeluarkan suara pekikan yang keras, angsa itu jatuh ke tanah di dekat kaki mereka. “Ini adalah tindakan yang sangat salah,” kata bhikkhu muda itu dan membawanya menghadap Sang Guru, melaporkan apa yang telah terjadi. Setelah mengecam bhikkhu tersebut, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, ia mempunyai keahlian yang sama di kehidupan yang lampau, sama seperti saat ini.” Dan Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah salah seorang anggota istana. Pendeta kerajaan pada masa itu sangat cerewet dan suka berbicara panjang lebar, sehingga sekali ia mulai berbicara, orang lain tidak akan mempunyai kesempatan untuk berbicara lagi. Maka raja berusaha mencari orang untuk menghentikan kecerewetannya, ia mencari kemana-mana untuk mendapatkan orang seperti itu.
Pada masa itu, ada seorang lelaki pincang di Benares yang merupakan ahli penembak batu yang sangat hebat, anak-anak selalu menempatkannya di sebuah gerobak kecil dan [419] menariknya ke dekat gerbang Benares, dimana terdapat sebatang pohon beringin yang sangat besar, dengan cabang yang dipenuhi dedaunan. Di sana, mereka akan berkumpul mengelilinginya, memberikan sedikit uang kepadanya, dan berkata, “Buatkan seekor gajah,” atau “Buatkan seekor kuda.” Lelaki pincang itu akan melemparkan batu demi batu hingga ia memotong daun-daun itu dalam bentuk yang mereka inginkan. Dan bagian bawah pohon akan dipenuhi oleh daun-daun yang berguguran.
Dalam perjalanan menuju tempat peristirahatannya, raja tiba di tempat tersebut, dan semua anak-anak itu berhamburan pergi karena merasa takut pada raja, meninggalkan lelaki pincang itu di sana tanpa bantuan. Melihat daun-daun yang berserakan, raja bertanya, saat ia mengendalikan keretanya mendekat, siapa yang telah memotong daun-daun tersebut. Ia diberitahu bahwa lelaki pincang itu yang melakukannya. Berpikir bahwa mungkin di sini ada cara untuk menghentikan mulut pendeta tersebut, raja bertanya dimana lelaki pincang itu berada, dan ditunjukkan bahwa ia sedang duduk di bawah pohon itu. Raja meminta agar ia dibawa menghadapnya, dan memberi isyarat agar rombongannya berdiri agak jauh, kemudian bertanya kepadanya, “Saya mempunyai seorang pendeta yang sangat cerewet. Apakah engkau bisa menghentikannya?”
“Bisa, Paduka, — jika saya mempunyai sebuah penembak kacang yang dipenuhi dengan kotoran kambing yang telah kering,” jawab lelaki pincang itu. Maka raja membawanya ke istana dan menyediakan sebuah penembak kacang yang dipenuhi dengan kotoran kambing yang telah kering di balik tirai dengan sebuah celah, tepat di depan tempat duduk pendeta itu. Ketika brahmana itu datang menemui raja dan ditempatkan di kursi yang telah dipersiapkan untuknya, raja memulai pembicaraan. Segera saja pendeta itu memonopoli pembicaraan, dan tidak ada orang yang bisa mengucapkan sepatah kata pun. Pada saat itulah lelaki pincang itu menembakkan peluru berupa kotoran kambing satu per satu secara lurus, melalui celah di tirai yang berada tepat di depan kerongkongan pendeta tersebut. Dan brahmana itu, menelan semua peluru itu begitu mereka datang, seperti telah dilumuri minyak, hingga semuanya menghilang dalam perutnya. Setelah semua peluru penembak kacang itu telah berada di dalam perut pendeta tersebut, semuanya mengembang dalam ukuran setengah takaran191; dan raja yang mengetahui semua peluru itu telah habis, berkata kepada brahmana tersebut, “Guru, betapa cerewetnya engkau, sehingga engkau telah menelan semua peluru dari satu penembak kacang berupa kotoran kambing tanpa menyadarinya sedikit pun. Itu adalah jumlah yang bisa engkau peroleh dalam sekali kunjungan. Sekarang, pulanglah ke rumah dan minum satu takaran biji rumput gandum dengan air sebagai obat pembuat muntah, agar engkau sehat kembali.”
Sejak itu [420] pendeta tersebut menjaga agar mulutnya tetap tertutup dan duduk dengan diam selama pembicaraan berlangsung seakan-akan mulutnya telah disegel.
“Baiklah, telinga saya berhutang pada lelaki pincang itu atas kebebasannya,” kata raja, dan memberikan empat desa kepadanya, satu di utara, satu di selatan, satu di barat dan satu lagi di timur; yang menghasilkan seratus ribu keping per tahunnya.
Bodhisatta mendekati raja dan berkata, “ Di dunia ini, Paduka, keahlian seharusnya dilatih dengan bijaksana. Semata-mata hanya karena keahlian dalam membidik, memberikan semua kemakmuran ini kepada lelaki pincang itu.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengucapkan syair berikut:
Hadiah dari keahlian, lihatlah lelaki pincang
yang ahli menembak itu ;
— Empat desa merupakan hadiah atas bidikannya.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu ini adalah lelaki pincang di masa itu, Ānanda adalah raja dan Saya sendiri adalah anggota istana yang bijaksana.”
Catatan kaki :
190 Raptī yang modern, di Oudh.
191 1 takaran = 7 ½ liter.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com