KUṆḌAKAPŪVA-JĀTAKA
Kuṇḍapūvajātaka (Ja 109)
“Sebagai imbalan bagi pemujanya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Sawatthi, mengenai seorang lelaki yang sangat miskin.
Di Sawatthi, Sanggha dengan Buddha sebagai guru mereka selalu dijamu, kadang-kadang oleh satu keluarga tunggal, kadang-kadang oleh tiga atau empat keluarga sekaligus, atau oleh seseorang secara pribadi maupun penduduk satu jalan yang sama, dan kadang juga, satu kota secara bersama-sama menjamu mereka. Dalam kesempatan ini, penduduk dari satu jalan yang sama menunjukkan keramahan mereka. Para penduduk telah mengatur untuk menyediakan makanan utama dan makanan pendamping.
Di jalan itu, tingggallah seorang lelaki yang sangat miskin, seorang buruh upahan, yang tidak mampu memberikan bubur, namun memutuskan untuk memberikan kue. Ia mengumpulkan tepung merah dari sekam yang kosong dan mengadoninya dengan air membentuk kue yang bulat. Kue ini ia bungkus dengan sehelai daun rempah, dan ia panggang dalam bara api. Setelah selesai, ia memutuskan bahwa tidak ada orang lain selain Sang Buddha yang akan menerimanya, karenanya ia berdiri di dekat Sang Guru. Begitu diminta untuk mempersembahkan kue, ia segera maju, lebih cepat dibanding orang lain, dan meletakkan kuenya di patta Sang Guru. Sang Guru menolak semua kue lainnya dan makan kue yang diberikan oleh orang miskin itu. Setelah itu, seluruh kota hanya membicarakan bagaimana Yang Tercerahkan Sempurna tidak merasa terhina untuk makan kue dari kulit padi yang dipersembahkan oleh orang miskin itu. Mulai dari penjaga pintu hingga kaum bangsawan dan raja, semua tingkatan masyarakat berkumpul di sana, memberi hormat pada Sang Guru, dan mengerumuni orang miskin itu, menawarkan makanan, atau dua hingga lima ratus keping uang jika ia bersedia mengalihkan jasa perbuatannya kepada mereka.
Berpikir untuk menanyakannya terlebih dahulu kepada Sang Guru, ia menemui Beliau dan menyampaikan masalah itu. “Terima tawaran mereka,” kata Sang Guru, “dan hubungkan kebaikanmu kepada semua makhluk hidup.” Maka lelaki itu mulai mengumpulkan tawaran tersebut. Ada yang memberikan dua kali lipat dari yang lain, ada yang memberikan empat kali lipat, yang lain delapan kali lipat, dan seterusnya hingga sembilan puluh juta telah terkumpul.
Mengucapkan terima kasih atas keramahan itu, Sang Guru kembali ke wihara dan setelah memberikan petunjuk kepada para bhikkhu dan menanamkan ajaran-Nya yang mulia pada mereka, Beliau masuk ke dalam kamarnya yang wangi.
Di sore harinya, raja mengundang orang miskin itu menghadap dan mengangkatnya menjadi Bendaharawan.
Berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan bagaimana Sang Guru, tidak menganggap remeh kue dari kulit padi yang diberikan orang miskin itu, telah menyantapnya seakan-akan itu adalah makanan para dewa, dan bagaimana lelaki miskin itu menjadi kaya [423] dan dijadikan Bendaharawan sebagai keberuntungan terbesarnya. Saat itu Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya saya tidak merasa terhina untuk makan kue dari kulit padi yang dipersembahkan oleh lelaki miskin itu. Saya melakukan hal yang sama saat saya merupakan dewa pohon, kemudian dengan cara itu juga menjadi Bendaharawan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seorang dewa pohon yang menetap di pohon eraṇḍa193. Dan para penduduk di masa itu sangat percaya pada takhayul mengenai para dewa. Suatu perayaan akan dilangsungkan dan para penduduk mempersembahkan korban kepada dewa pohon yang mereka hormati. Melihat hal tersebut, seorang lelaki miskin juga menunjukkan pemujaan pada pohon eraṇḍa. Semua orang datang dengan membawa untaian bunga, wewangian dan kue-kue, namun lelaki miskin itu hanya mempunyai kue yang terbuat dari tepung sekam dan air dengan tempurung kelapa sebagai wadahnya untuk dipersembahkan kepada pohon ini. Berdiri di depan pohon, ia berpikir, “Dewa pohon terbiasa menyantap makanan surgawi, dan tidak akan makan kue yang terbuat dari tepung sekam ini. Kalau begitu, mengapa saya harus kehilangannya begitu saja? Akan saya makan sendiri saja.”
Maka ia berputar untuk meninggalkan tempat itu, ketika Bodhisatta berseru dari cabang pohon itu, “Orang yang baik, jika engkau adalah penguasa besar, engkau akan membawakan saya makanan pilihan; namun engkau adalah orang miskin, apa yang harus saya makan jika bukan kue itu? Jangan rampas bagian untuk saya.” Dan ia mengucapkan syair berikut ini : —
Sebagai imbalan bagi pemujanya,
seorang dewa akan makan (persembahannya).
Bawakan saya kue itu, jangan rampas bagian saya.
Kemudian lelaki itu berputar kembali, melihat Bodhisatta, dan memberikan persembahannya. Bodhisatta menyantap makanan itu dari rasanya, dan berkata, “Mengapa engkau memuja saya?” “Saya adalah orang miskin, dan saya memujamu untuk mengurangi kemiskinan saya.” [424] “Jangan mengkhawatirkan hal itu lagi. Engkau telah memberikan pengorbanan pada ia yang tahu berterima kasih dan penuh kesadaran atas perbuatan baik. Di sekeliling pohon ini, lajur demi lajur, terdapat pot harta yang terpendam. Pergi dan ceritakan kepada raja, dan bawa pergi harta itu dengan menggunakan kereta ke halaman istana. Di sana, tumpuklah harta tersebut dalam satu timbunan. Raja akan sangat gembira sehingga ia akan menjadikanmu sebagai Bendaharawan.” Setelah mengatakan hal tersebut, Bodhisatta menghilang dari pandangan. Lelaki itu melakukan apa yang diminta, dan raja menjadikannya sebagai Bendaharawan.
Demikianlah lelaki miskin itu dengan bantuan Bodhisatta mendapatkan berkah yang besar; dan setelah meninggal ia terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Lelaki miskin saat ini adalah lelaki miskin di masa itu, dan saya adalah dewa pohon yang menetap di pohon eraṇḍa.”
Catatan kaki :
193 Terjemahan dari teks Inggris, “The castor oil plant”.
Di Sawatthi, Sanggha dengan Buddha sebagai guru mereka selalu dijamu, kadang-kadang oleh satu keluarga tunggal, kadang-kadang oleh tiga atau empat keluarga sekaligus, atau oleh seseorang secara pribadi maupun penduduk satu jalan yang sama, dan kadang juga, satu kota secara bersama-sama menjamu mereka. Dalam kesempatan ini, penduduk dari satu jalan yang sama menunjukkan keramahan mereka. Para penduduk telah mengatur untuk menyediakan makanan utama dan makanan pendamping.
Di jalan itu, tingggallah seorang lelaki yang sangat miskin, seorang buruh upahan, yang tidak mampu memberikan bubur, namun memutuskan untuk memberikan kue. Ia mengumpulkan tepung merah dari sekam yang kosong dan mengadoninya dengan air membentuk kue yang bulat. Kue ini ia bungkus dengan sehelai daun rempah, dan ia panggang dalam bara api. Setelah selesai, ia memutuskan bahwa tidak ada orang lain selain Sang Buddha yang akan menerimanya, karenanya ia berdiri di dekat Sang Guru. Begitu diminta untuk mempersembahkan kue, ia segera maju, lebih cepat dibanding orang lain, dan meletakkan kuenya di patta Sang Guru. Sang Guru menolak semua kue lainnya dan makan kue yang diberikan oleh orang miskin itu. Setelah itu, seluruh kota hanya membicarakan bagaimana Yang Tercerahkan Sempurna tidak merasa terhina untuk makan kue dari kulit padi yang dipersembahkan oleh orang miskin itu. Mulai dari penjaga pintu hingga kaum bangsawan dan raja, semua tingkatan masyarakat berkumpul di sana, memberi hormat pada Sang Guru, dan mengerumuni orang miskin itu, menawarkan makanan, atau dua hingga lima ratus keping uang jika ia bersedia mengalihkan jasa perbuatannya kepada mereka.
Berpikir untuk menanyakannya terlebih dahulu kepada Sang Guru, ia menemui Beliau dan menyampaikan masalah itu. “Terima tawaran mereka,” kata Sang Guru, “dan hubungkan kebaikanmu kepada semua makhluk hidup.” Maka lelaki itu mulai mengumpulkan tawaran tersebut. Ada yang memberikan dua kali lipat dari yang lain, ada yang memberikan empat kali lipat, yang lain delapan kali lipat, dan seterusnya hingga sembilan puluh juta telah terkumpul.
Mengucapkan terima kasih atas keramahan itu, Sang Guru kembali ke wihara dan setelah memberikan petunjuk kepada para bhikkhu dan menanamkan ajaran-Nya yang mulia pada mereka, Beliau masuk ke dalam kamarnya yang wangi.
Di sore harinya, raja mengundang orang miskin itu menghadap dan mengangkatnya menjadi Bendaharawan.
Berkumpul di Balai Kebenaran, para bhikkhu membicarakan bagaimana Sang Guru, tidak menganggap remeh kue dari kulit padi yang diberikan orang miskin itu, telah menyantapnya seakan-akan itu adalah makanan para dewa, dan bagaimana lelaki miskin itu menjadi kaya [423] dan dijadikan Bendaharawan sebagai keberuntungan terbesarnya. Saat itu Sang Guru masuk ke dalam balai tersebut dan mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya saya tidak merasa terhina untuk makan kue dari kulit padi yang dipersembahkan oleh lelaki miskin itu. Saya melakukan hal yang sama saat saya merupakan dewa pohon, kemudian dengan cara itu juga menjadi Bendaharawan.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seorang dewa pohon yang menetap di pohon eraṇḍa193. Dan para penduduk di masa itu sangat percaya pada takhayul mengenai para dewa. Suatu perayaan akan dilangsungkan dan para penduduk mempersembahkan korban kepada dewa pohon yang mereka hormati. Melihat hal tersebut, seorang lelaki miskin juga menunjukkan pemujaan pada pohon eraṇḍa. Semua orang datang dengan membawa untaian bunga, wewangian dan kue-kue, namun lelaki miskin itu hanya mempunyai kue yang terbuat dari tepung sekam dan air dengan tempurung kelapa sebagai wadahnya untuk dipersembahkan kepada pohon ini. Berdiri di depan pohon, ia berpikir, “Dewa pohon terbiasa menyantap makanan surgawi, dan tidak akan makan kue yang terbuat dari tepung sekam ini. Kalau begitu, mengapa saya harus kehilangannya begitu saja? Akan saya makan sendiri saja.”
Maka ia berputar untuk meninggalkan tempat itu, ketika Bodhisatta berseru dari cabang pohon itu, “Orang yang baik, jika engkau adalah penguasa besar, engkau akan membawakan saya makanan pilihan; namun engkau adalah orang miskin, apa yang harus saya makan jika bukan kue itu? Jangan rampas bagian untuk saya.” Dan ia mengucapkan syair berikut ini : —
Sebagai imbalan bagi pemujanya,
seorang dewa akan makan (persembahannya).
Bawakan saya kue itu, jangan rampas bagian saya.
Kemudian lelaki itu berputar kembali, melihat Bodhisatta, dan memberikan persembahannya. Bodhisatta menyantap makanan itu dari rasanya, dan berkata, “Mengapa engkau memuja saya?” “Saya adalah orang miskin, dan saya memujamu untuk mengurangi kemiskinan saya.” [424] “Jangan mengkhawatirkan hal itu lagi. Engkau telah memberikan pengorbanan pada ia yang tahu berterima kasih dan penuh kesadaran atas perbuatan baik. Di sekeliling pohon ini, lajur demi lajur, terdapat pot harta yang terpendam. Pergi dan ceritakan kepada raja, dan bawa pergi harta itu dengan menggunakan kereta ke halaman istana. Di sana, tumpuklah harta tersebut dalam satu timbunan. Raja akan sangat gembira sehingga ia akan menjadikanmu sebagai Bendaharawan.” Setelah mengatakan hal tersebut, Bodhisatta menghilang dari pandangan. Lelaki itu melakukan apa yang diminta, dan raja menjadikannya sebagai Bendaharawan.
Demikianlah lelaki miskin itu dengan bantuan Bodhisatta mendapatkan berkah yang besar; dan setelah meninggal ia terlahir kembali ke alam yang sesuai dengan hasil perbuatannya.
Setelah uraian tersebut berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Lelaki miskin saat ini adalah lelaki miskin di masa itu, dan saya adalah dewa pohon yang menetap di pohon eraṇḍa.”
Catatan kaki :
193 Terjemahan dari teks Inggris, “The castor oil plant”.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com