TITTIRA-JĀTAKA
Tittirajātaka (Ja 117)
“Seperti kematian ketitir,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai Kokālika; ceritanya akan ditemukan di Buku Ketiga Belas dalam Takkāriya-Jātaka197.
Sang Guru berkata, “Sama seperti saat ini, para Bhikkhu, demikian juga di kehidupan yang lampau, lidah Kokālika membawa kehancuran baginya.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana di Negeri Utara. Setelah dewasa, ia menerima pelajaran penuh di Takkasilā, dan meninggalkan kesenangan indriawi, melepaskan keduniawian untuk menjadi petapa. Ia memperoleh lima kemampuan batin luar biasa dan delapan pencapaian (meditasi), dan semua petapa di Pegunungan Himalaya yang berjumlah lima ratus orang berkumpul bersama menjadi muridnya. Tingkatantingkatan jhana dicapainya (juga) saat menetap bersama para siswanya di Pegunungan Himalaya.
Pada masa itu terdapat seorang petapa yang hatinya penuh prasangka, ia sedang membelah kayu dengan menggunakan kapak, saat bhikkhu yang merupakan tukang oceh datang dan duduk di dekatnya, mulai mengatur pekerjaan bhikkhu itu, meminta ia memberi satu potongan di sini dan satu potongan di sana, [432] hingga petapa yang hatinya dipenuhi prasangka itu kehilangan kesabarannya. Dalam kemarahannya ia berseru, “Siapa kamu, mengajari saya bagaimana cara membelah kayu?” Dan mengangkat kapaknya yang tajam membelah bhikkhu tersebut hingga mati dengan satu pukulan. Dan Bodhisatta menguburkan mayat bhikkhu tersebut.
Di sebuah sarang semut dekat pertapaan tersebut tinggallah seekor ketitir198 yang selalu mengeluarkan bunyi yang nyaring saat pagi dan sore hari di atas sarang semut tersebut. Mengenali suara ketitir, seorang pemburu membunuh unggas itu dan membawanya pergi. Kehilangan suara unggas tersebut, Bodhisatta bertanya pada para petapa mengapa suara tetangga mereka, si ketitir, tidak terdengar lagi sekarang. Mereka menceritakan padanya apa yang telah terjadi, dan ia mengaitkan kedua kejadian itu dalam syair berikut ini: —
Seperti kematian ketitir karena
suaranya yang bising,
demikianlah ocehan dan bualan
mencelakai orang bodoh ini hingga meninggal.
Setelah mengembangkan empat kediaman luhur di dalam dirinya, Bodhisatta kemudian terlahir kembali di alam brahma.
Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, sama seperti saat ini, demikian juga di kehidupan yang lampau, lidah Kokālika mengakibatkan kehancuran bagi dirinya.” Di akhir khotbah Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Kokālika adalah petapa tukang oceh di masa itu, para pengikutku adalah rombongan petapa itu, dan Saya adalah guru mereka.”
Catatan kaki :
197 No.481. Kokālika adalah salah seorang yang dipecah belah oleh Devadatta.
198 tittira. KBBI: ketitir adalah burung kecil yang suaranya nyaring dan panjang, biasa dipertandingkan suaranya; perkutut.
Sang Guru berkata, “Sama seperti saat ini, para Bhikkhu, demikian juga di kehidupan yang lampau, lidah Kokālika membawa kehancuran baginya.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang brahmana di Negeri Utara. Setelah dewasa, ia menerima pelajaran penuh di Takkasilā, dan meninggalkan kesenangan indriawi, melepaskan keduniawian untuk menjadi petapa. Ia memperoleh lima kemampuan batin luar biasa dan delapan pencapaian (meditasi), dan semua petapa di Pegunungan Himalaya yang berjumlah lima ratus orang berkumpul bersama menjadi muridnya. Tingkatantingkatan jhana dicapainya (juga) saat menetap bersama para siswanya di Pegunungan Himalaya.
Pada masa itu terdapat seorang petapa yang hatinya penuh prasangka, ia sedang membelah kayu dengan menggunakan kapak, saat bhikkhu yang merupakan tukang oceh datang dan duduk di dekatnya, mulai mengatur pekerjaan bhikkhu itu, meminta ia memberi satu potongan di sini dan satu potongan di sana, [432] hingga petapa yang hatinya dipenuhi prasangka itu kehilangan kesabarannya. Dalam kemarahannya ia berseru, “Siapa kamu, mengajari saya bagaimana cara membelah kayu?” Dan mengangkat kapaknya yang tajam membelah bhikkhu tersebut hingga mati dengan satu pukulan. Dan Bodhisatta menguburkan mayat bhikkhu tersebut.
Di sebuah sarang semut dekat pertapaan tersebut tinggallah seekor ketitir198 yang selalu mengeluarkan bunyi yang nyaring saat pagi dan sore hari di atas sarang semut tersebut. Mengenali suara ketitir, seorang pemburu membunuh unggas itu dan membawanya pergi. Kehilangan suara unggas tersebut, Bodhisatta bertanya pada para petapa mengapa suara tetangga mereka, si ketitir, tidak terdengar lagi sekarang. Mereka menceritakan padanya apa yang telah terjadi, dan ia mengaitkan kedua kejadian itu dalam syair berikut ini: —
Seperti kematian ketitir karena
suaranya yang bising,
demikianlah ocehan dan bualan
mencelakai orang bodoh ini hingga meninggal.
Setelah mengembangkan empat kediaman luhur di dalam dirinya, Bodhisatta kemudian terlahir kembali di alam brahma.
Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, sama seperti saat ini, demikian juga di kehidupan yang lampau, lidah Kokālika mengakibatkan kehancuran bagi dirinya.” Di akhir khotbah Beliau menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Kokālika adalah petapa tukang oceh di masa itu, para pengikutku adalah rombongan petapa itu, dan Saya adalah guru mereka.”
Catatan kaki :
197 No.481. Kokālika adalah salah seorang yang dipecah belah oleh Devadatta.
198 tittira. KBBI: ketitir adalah burung kecil yang suaranya nyaring dan panjang, biasa dipertandingkan suaranya; perkutut.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com