VAṬṬAKA-JĀTAKA
Vaṭṭakajātaka (Ja 118)
“Orang yang tidak bijaksana,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai putra dari seorang saudagar besar. Saudagar besar ini dikatakan sebagai orang yang kaya di Sawatthi, dan istrinya merupakan ibu dari makhluk yang sangat bijak dari alam brahma, yang tumbuh dewasa seelok brahma. [433] Suatu hari saat perayaan Kattikā diselenggarakan di Sawatthi, seluruh penduduk larut dalam perayaan tersebut. Rekan-rekannya, putra dari orang kaya lainnya, telah memiliki istri, namun putra saudagar kaya yang telah lama hidup di alam brahma itu telah bebas dari nafsu duniawi. Rekan-rekannya berkomplot untuk mendapatkan seorang pasangan untuknya dan membuat ia terus bergembira bersama mereka. Maka mereka berkata kepadanya, “Teman yang baik, ini adalah perayaan Kattikā yang menyenangkan. Tidak bisakah kami mencarikan seorang pasangan untukmu dan bersenang-senang bersama?” Akhirnya teman-temannya memilih seorang gadis yang cantik dan mendandaninya, kemudian meninggalkannya di rumah pemuda tersebut setelah memberi petunjuk pada gadis itu untuk pergi ke kamar anak muda itu. Namun saat tiba di kamar anak muda itu, tidak selintas pun ia ditatap maupun sepatah kata terucap dari mulut saudagar muda itu. Kesal karena kecantikannya diremehkan, ia memperlihatkan semua keanggunan dan rayuan dengan gemulai, tersenyum untuk menunjukkan keindahan giginya. Pandangan pada giginya memberi kesan akan tulang padanya, dan benak saudagar muda ini dipenuhi pemikiran akan tulang belulang, sehingga keseluruhan tubuh gadis ini terlihat bagaikan rangkaian tulang semata baginya. Ia memberi uang pada gadis itu dan memintanya pergi.
Setelah perayaan yang berlangsung selama tujuh hari itu berakhir, ibu gadis tersebut, melihat anaknya masih belum pulang juga, pergi ke rumah teman-teman saudagar muda itu dan menanyakan keberadaan anaknya; dan mereka kemudian menanyakan itu kepada saudagar muda tersebut. Ia mengatakan bahwa ia telah memberikan uang padanya dan memintanya pergi begitu mereka berjumpa.
Ibu gadis tersebut berkeras agar gadis itu dikembalikan kepadanya, dan membawa pemuda tersebut menghadap raja, yang memeriksa masalah itu lebih lanjut. Dalam menjawab pertanyaan raja, pemuda itu mengakui bahwa gadis tersebut diserahkan kepadanya, namun berkata ia tidak mengetahui keberadaan gadis tersebut, dan tidak bisa mengembalikannya. Raja berkata, “Jika tidak bisa mengembalikan gadis itu, hukum mati dia!” Maka pemuda itu dibawa dengan tangan terikat di punggung untuk dieksekusi. Seisi kota digemparkan oleh berita ini. Dengan tangan menekan dada, orang-orang mengikutinya sambil meratap, “Apa maksud ini, Tuan? Engkau menderita karena ketidakadilan.”
Pemuda ini berpikir [434] “Semua penderitaan ini saya alami karena saya menjalani hidup sebagai perumah tangga. Jika saya bisa terlepas dari bahaya ini, saya akan melepaskan hidup keduniawian dengan bergabung dalam Sanggha yang dipimpin oleh Gotama yang Agung, yang telah mencapai penerangan sempurna.”
Gadis tersebut mendengar kegemparan itu dan menanyakan apa yang terjadi. Mendengar kejadian itu, ia segera berlari pergi, berseru, “Pinggir, Tuan-Tuan! Biarkan saya lewat! Biarkan orang-orang raja bertemu dengan saya.” Begitu menunjukkan diri, ia segera dibawa ke tempat ibunya oleh anak buah raja, yang kemudian membebaskan pemuda tersebut dan melanjutkan perjalanan mereka ke istana.
Dikelilingi oleh teman-temannya, putra saudagar kaya itu turun ke sungai dan mandi. Kembali ke rumahnya, ia menyantap sarapannya dan menyampaikan keputusannya untuk meninggalkan keduniawian kepada kedua orang tuanya. Kemudian ia memakai jubah petapa, diikuti oleh rombongan besar, mencari Sang Guru, dan dengan penuh hormat ia menanyakan apakah ia bisa diterima dalam Sanggha. Mula-mula sebagai samanera, setelah itu menjadi bhikkhu. Ia melakukan meditasi dengan objek pengendalian diri hingga mencapai jhana, dan tak lama kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat.
Suatu hari di Balai Kebenaran para bhikkhu berkumpul untuk membicarakan kebajikannya, mengingat bagaimana di saat yang genting ia mengenali keunggulan Dhamma, dan dengan bijaksana memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, dan telah mencapai phala tertinggi, yakni tingkat kesucian Arahat. Pada saat mereka berbicara, Sang Guru masuk ke dalam Balai Kebenaran, menanyakan apa topik pembicaraan mereka, dan diberitahukan apa yang menjadi bahan pembicaraan mereka. Kemudian Beliau mengumumkan bahwa, orang seperti putra saudagar kaya itu, yang bijaksana pada kehidupan yang lampau, dengan bertindak bijaksana di saat menghadapi bahaya, terlepas dari kematian. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta, dalam kelahiran kembalinya, terlahir sebagai seekor burung puyuh. Pada masa itu terdapat seorang penangkap burung yang selalu menangkap sejumlah burung dari dalam hutan dan membawanya pulang untuk digemukkan. setelah gemuk, ia akan menjual mereka pada orang-orang; demikianlah ia memperoleh nafkahnya. Suatu hari ia menangkap Bodhisatta dan membawanya pulang bersama sejumlah burung lainnya. Bodhisatta berpikir, “Jika saya menyantap makanan dan minuman yang ia berikan, saya akan dijualnya; sementara jika tidak makan, saya akan menjadi kurus, sehingga orang-orang akan memperhatikan hal itu dan melewatkan saya, dengan demikian saya akan aman. Inilah apa yang akan saya lakukan.”
Maka ia tidak makan dan terus tidak makan sehingga menjadi begitu kurus, hanya tinggal kulit dan tulang, tidak ada orang yang mau membelinya dengan harga berapa pun. Setelah menjual [435] semua burung kecuali Bodhisatta, penangkap burung itu mengeluarkan Bodhisatta dari sangkar dan meletakkannya di telapak tangannya untuk melihat apa yang salah pada burung tersebut. Saat lelaki itu lengah, Bodhisatta membentangkan sayapnya dan terbang kembali ke hutan. Melihat ia kembali, burung yang lain bertanya kemana ia pergi selama ini. Ia memberitahukan mereka bahwa ia tertangkap oleh seorang penangkap burung, dan ketika ditanya bagaimana ia bisa melarikan diri, jawabannya adalah, melalui suatu cara yang terpikirkan olehnya, yakni, tidak makan maupun minum apa pun yang disediakan oleh penangkap itu. Setelah mengatakan hal tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini: —
Orang yang tidak bijaksana tidak akan
memperoleh hasil apa pun. — Tetapi lihatlah
buah kebijaksanaan pada diriku, terbebaskan dari
kematian dan ikatan.
Dengan cara demikian Bodhisatta mengatakan apa yang telah ia lakukan.
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah burung puyuh yang terlepas dari kematian di masa itu.”
Setelah perayaan yang berlangsung selama tujuh hari itu berakhir, ibu gadis tersebut, melihat anaknya masih belum pulang juga, pergi ke rumah teman-teman saudagar muda itu dan menanyakan keberadaan anaknya; dan mereka kemudian menanyakan itu kepada saudagar muda tersebut. Ia mengatakan bahwa ia telah memberikan uang padanya dan memintanya pergi begitu mereka berjumpa.
Ibu gadis tersebut berkeras agar gadis itu dikembalikan kepadanya, dan membawa pemuda tersebut menghadap raja, yang memeriksa masalah itu lebih lanjut. Dalam menjawab pertanyaan raja, pemuda itu mengakui bahwa gadis tersebut diserahkan kepadanya, namun berkata ia tidak mengetahui keberadaan gadis tersebut, dan tidak bisa mengembalikannya. Raja berkata, “Jika tidak bisa mengembalikan gadis itu, hukum mati dia!” Maka pemuda itu dibawa dengan tangan terikat di punggung untuk dieksekusi. Seisi kota digemparkan oleh berita ini. Dengan tangan menekan dada, orang-orang mengikutinya sambil meratap, “Apa maksud ini, Tuan? Engkau menderita karena ketidakadilan.”
Pemuda ini berpikir [434] “Semua penderitaan ini saya alami karena saya menjalani hidup sebagai perumah tangga. Jika saya bisa terlepas dari bahaya ini, saya akan melepaskan hidup keduniawian dengan bergabung dalam Sanggha yang dipimpin oleh Gotama yang Agung, yang telah mencapai penerangan sempurna.”
Gadis tersebut mendengar kegemparan itu dan menanyakan apa yang terjadi. Mendengar kejadian itu, ia segera berlari pergi, berseru, “Pinggir, Tuan-Tuan! Biarkan saya lewat! Biarkan orang-orang raja bertemu dengan saya.” Begitu menunjukkan diri, ia segera dibawa ke tempat ibunya oleh anak buah raja, yang kemudian membebaskan pemuda tersebut dan melanjutkan perjalanan mereka ke istana.
Dikelilingi oleh teman-temannya, putra saudagar kaya itu turun ke sungai dan mandi. Kembali ke rumahnya, ia menyantap sarapannya dan menyampaikan keputusannya untuk meninggalkan keduniawian kepada kedua orang tuanya. Kemudian ia memakai jubah petapa, diikuti oleh rombongan besar, mencari Sang Guru, dan dengan penuh hormat ia menanyakan apakah ia bisa diterima dalam Sanggha. Mula-mula sebagai samanera, setelah itu menjadi bhikkhu. Ia melakukan meditasi dengan objek pengendalian diri hingga mencapai jhana, dan tak lama kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat.
Suatu hari di Balai Kebenaran para bhikkhu berkumpul untuk membicarakan kebajikannya, mengingat bagaimana di saat yang genting ia mengenali keunggulan Dhamma, dan dengan bijaksana memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, dan telah mencapai phala tertinggi, yakni tingkat kesucian Arahat. Pada saat mereka berbicara, Sang Guru masuk ke dalam Balai Kebenaran, menanyakan apa topik pembicaraan mereka, dan diberitahukan apa yang menjadi bahan pembicaraan mereka. Kemudian Beliau mengumumkan bahwa, orang seperti putra saudagar kaya itu, yang bijaksana pada kehidupan yang lampau, dengan bertindak bijaksana di saat menghadapi bahaya, terlepas dari kematian. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta, dalam kelahiran kembalinya, terlahir sebagai seekor burung puyuh. Pada masa itu terdapat seorang penangkap burung yang selalu menangkap sejumlah burung dari dalam hutan dan membawanya pulang untuk digemukkan. setelah gemuk, ia akan menjual mereka pada orang-orang; demikianlah ia memperoleh nafkahnya. Suatu hari ia menangkap Bodhisatta dan membawanya pulang bersama sejumlah burung lainnya. Bodhisatta berpikir, “Jika saya menyantap makanan dan minuman yang ia berikan, saya akan dijualnya; sementara jika tidak makan, saya akan menjadi kurus, sehingga orang-orang akan memperhatikan hal itu dan melewatkan saya, dengan demikian saya akan aman. Inilah apa yang akan saya lakukan.”
Maka ia tidak makan dan terus tidak makan sehingga menjadi begitu kurus, hanya tinggal kulit dan tulang, tidak ada orang yang mau membelinya dengan harga berapa pun. Setelah menjual [435] semua burung kecuali Bodhisatta, penangkap burung itu mengeluarkan Bodhisatta dari sangkar dan meletakkannya di telapak tangannya untuk melihat apa yang salah pada burung tersebut. Saat lelaki itu lengah, Bodhisatta membentangkan sayapnya dan terbang kembali ke hutan. Melihat ia kembali, burung yang lain bertanya kemana ia pergi selama ini. Ia memberitahukan mereka bahwa ia tertangkap oleh seorang penangkap burung, dan ketika ditanya bagaimana ia bisa melarikan diri, jawabannya adalah, melalui suatu cara yang terpikirkan olehnya, yakni, tidak makan maupun minum apa pun yang disediakan oleh penangkap itu. Setelah mengatakan hal tersebut, ia mengucapkan syair berikut ini: —
Orang yang tidak bijaksana tidak akan
memperoleh hasil apa pun. — Tetapi lihatlah
buah kebijaksanaan pada diriku, terbebaskan dari
kematian dan ikatan.
Dengan cara demikian Bodhisatta mengatakan apa yang telah ia lakukan.
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah burung puyuh yang terlepas dari kematian di masa itu.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com