ASAMPADĀNA-JĀTAKA
Asampadānajātaka (Ja 131)
“Jika seorang teman,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai Devadatta.
Pada saat itu para bhikkhu sedang berdiskusi di dalam Balai Kebenaran tentang rasa tidak tahu terima kasih dari Devadatta dan ketidakmampuannya untuk mengenali kebaikan Sang Guru, ketika Sang Guru sendiri masuk ke dalam balai tersebut dan saat bertanya Beliau diberitahu topik pembicaraan mereka.
“Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ini bukan pertama kalinya Devadatta bersikap tidak tahu berterima kasih; ia juga bersikap tidak tahu berterima kasih di kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
[466] Suatu ketika seorang raja tertentu dari Magadha memerintah di Rājagaha, Bodhisatta adalah bendaharawan di kerajaannya, mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta dan dikenal sebagai ‘Jutawan’ (Saṅkha).
Di Benares terdapat seorang bendaharawan lain yang juga mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta, yang bernama Piliya, dan merupakan teman baik sang Jutawan.
Karena suatu alasan Piliya dari Benares mengalami kesulitan dan kehilangan semua hartanya, akhirnya ia menjadi jatuh miskin. Demi kebutuhannya, ia meninggalkan Benares, dan bersama istrinya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Rājagaha, untuk menemui Jutawan, harapan terakhirnya.
Jutawan memeluk temannya dan memperlakukannya seperti seorang tamu kehormatan, menanyakan alasan kedatangannya dengan penuh kesopanan. “Saya adalah orang yang telah bangkrut,” jawab Piliya, “saya telah kehilangan semuanya, dan datang kemari untuk memohon bantuanmu.”
“Dengan senang hati, jangan mengkhawatirkan hal tersebut,” jawab Jutawan. Ia membuka pintu besi dan memberi empat ratus juta kepada Piliya. Ia juga membagi dua semua harta benda, peternakan dan semuanya, memberikan kepada Piliya separuh bagian yang sama dari semua kekayaannya. Dengan membawa kekayaannya, Piliya kembali ke Benares dan menetap di sana.
Tak lama kemudian, musibah yang sama dialami oleh Jutawan, yang pada gilirannya, kehilangan setiap sen yang ia miliki. Mencari kemana untuk berpaling pada saat genting itu, ia teringat bagaimana ia telah melindungi Piliya dengan memberikan separuh hartanya, dan bisa mencari bantuan padanya tanpa takut akan diusir.
Maka ia meninggalkan Rājagaha bersama istrinya dan tiba di Benares. Di pintu masuk kota ia berkata pada istrinya, “Istriku, tidak pantas bagimu untuk berjalan dengan susah payah di sepanjang jalan bersama saya. Tunggulah sebentar di sini hingga saya mengirim sebuah kereta dengan seorang pelayan untuk membawamu masuk ke kota dengan pantas.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut ia meninggalkan istrinya di bawah tempat berlindung itu, dan melanjutkan perjalanan ke dalam kota seorang diri, hingga tiba di rumah Piliya, dimana ia meminta untuk diumumkan sebagai Jutawan dari Rājagaha yang datang untuk bertemu dengan temannya.
“Baik, bawa ia masuk,” kata Piliya; namun melihat keadaan temannya ia tidak bangkit untuk menemuinya maupun menyapanya untuk menyambut kedatangannya, hanya bertanya apa yang membawa ia datang.
“Untuk bertemu denganmu,” jawabnya.
[467] “Engkau menginap dimana?”
“Saat ini, belum ada. Saya meninggalkan istri saya di bawah tempat berteduh dan langsung kemari untuk menemuimu.”
“Tidak ada tempat untukmu di sini. Ambillah sedikit beras sumbangan, temukan suatu tempat untuk memasak dan menyantapnya, kemudian pergi dan jangan pernah mengunjungiku lagi.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, orang kaya tersebut mengirim seorang pelayan dengan perintah memberi temannya yang malang seperdelapan bagian pohon yang telah dipangkas untuk dibawa pulang dengan diikatkan pada sudut bajunya;— dan ini, walaupun saat ini ia mempunyai seratus kereta yang diisi dengan beras terbaik yang telah ditebah keluar dan tersimpan dalam lumbung yang penuh sesak. Yah, penjahat ini, yang telah dengan tenangnya mengambil empat ratus juta hartanya, sekarang mendermakan seperdelapan bagian pohon yang telah dipangkas pada orang yang telah begitu murah hati padanya!
Menuruti perintahnya, pelayan itu mengukur pohon yang telah dipangkas dalam sebuah keranjang dan memberikannya kepada Bodhisatta, yang berdebat dengan dirinya sendiri apakah harus menerima atau menolak. Ia berpikir, “Orang yang tidak tahu berterima kasih ini menghancurkan persahabatan kami karena saya telah bangkrut. Jika saya menolak pemberiannya yang tak berharga, saya akan menjadi seburuk dia. Betapa rendahnya orang yang mencela pemberian yang sederhana, menghina makna utama persahabatan. Karena itu, bagian saya untuk memenuhi persahabatan ini sejauh di pihak saya, dengan mengambil hadiah darinya berupa pohon yang telah dipangkas. Maka ia mengikatkan pohon yang telah dipangkas tersebut di sudut bajunya dan berjalan kembali ke tempat ia meninggalkan istrinya.
“Apa yang engkau dapatkan, Tuanku?” tanya istrinya.
“Teman kita Piliya memberikan pohon yang telah dipangkas ini kepada kita, dan tidak mau berurusan dengan kita lagi.”
“Oh, mengapa engkau menerimanya? Apakah ini balasan yang sesuai dengan uang empat ratus juta?”
“Jangan menangis, Istriku,” kata Bodhisatta. “saya mengambilnya hanya karena tidak ingin melanggar makna persahabatan. Mengapa menangis?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut ia membacakan syair berikut ini : —
Jika seorang teman memainkan peran
sebagai orang pelit nan egois,
maka seorang bodoh telah terjelma di dalam dirinya;
[468] Pemberiannya berupa pohon yang telah dipangkas
akan saya ambil, dan tidak membuat persahabatan kami
putus karena ini.
Namun istrinya tetap menangis.
Pada saat yang sama, seorang pekerja ladang yang telah diberikan Jutawan kepada Piliya melewati tempat itu dan mendekat saat mendengar suara tangisan mantan majikannya. Mengenali tuan dan nyonyanya, ia berlutut di kaki mereka, dan dengan air mata serta isak tangis, menanyakan alasan kedatangan mereka. Bodhisatta menceritakan kejadian yang menimpa mereka.
“Pertahankan semangatmu,” kata lelaki tersebut menenangkan, dan membawa mereka ke tempat tinggalnya, di sana ia menyediakan air mandi yang wangi dan makanan untuk mereka. Kemudian memberi tahu pelayan lainnya bahwa mantan majikan mereka telah datang, dan beberapa hari kemudian mereka berbaris dalam satu kesatuan menuju istana, dimana mereka membuat suatu keriuhan.
Raja menanyakan apa yang terjadi, dan mereka menceritakan keseluruhan kejadian itu. Maka raja meminta keduanya menghadap dan bertanya pada Jutawan apakah laporan itu benar bahwa ia telah memberikan empat ratus juta hartanya kepada Piliya.
“Paduka,” katanya, “pada saat ia butuh, teman saya percaya kepada saya dan datang untuk mencari bantuan kepada saya, saya memberikan setengah bagian yang sama besar, bukan hanya uang, namun peternakan dan semua harta yang saya miliki.”
“Benarkah?” tanya raja kepada Piliya.
“Benar, Paduka,” jawabnya.
“Dan saat gilirannya, penolongmu percaya kepadamu dan mencarimu, apakah engkau menunjukkan penghormatan dan keramahtamahan (yang sama)?”
Di sini Piliya terdiam.
“Benarkah engkau memberikan seperdelapan bagian pohon yang telah dipangkas sebagai sumbangan di sudut bajunya?”
[469] Piliya tetap terdiam.
Raja kemudian berunding dengan para menterinya tentang apa yang harus dilakukan, dan akhirnya, sebagai keputusan untuk menghukum Piliya, memerintahkan suami istri itu pergi ke rumah Piliya, dan memberikan semua kekayaan Piliya kepada Jutawan.
“Tidak, Paduka,” kata Bodhisatta, “saya tidak membutuhkan apa pun yang merupakan milik orang lain. Jangan berikan kepadaku melampaui apa yang dulu saya berikan kepadanya.”
Kemudian raja memerintahkan Bodhisatta untuk menikmati semua miliknya kembali, dan Bodhisatta, dengan rombongan besar pelayannya, kembali bersama kekayaan yang diperolehnya ke Rājagaha, dimana ia menjalankan pekerjaannya dengan layak, dan setelah menghabiskan hidup dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah Bendaharawan Piliya di masa itu, dan Saya sendiri adalah Jutawan.”
Pada saat itu para bhikkhu sedang berdiskusi di dalam Balai Kebenaran tentang rasa tidak tahu terima kasih dari Devadatta dan ketidakmampuannya untuk mengenali kebaikan Sang Guru, ketika Sang Guru sendiri masuk ke dalam balai tersebut dan saat bertanya Beliau diberitahu topik pembicaraan mereka.
“Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ini bukan pertama kalinya Devadatta bersikap tidak tahu berterima kasih; ia juga bersikap tidak tahu berterima kasih di kelahiran yang lampau.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
[466] Suatu ketika seorang raja tertentu dari Magadha memerintah di Rājagaha, Bodhisatta adalah bendaharawan di kerajaannya, mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta dan dikenal sebagai ‘Jutawan’ (Saṅkha).
Di Benares terdapat seorang bendaharawan lain yang juga mempunyai kekayaan sebesar delapan ratus juta, yang bernama Piliya, dan merupakan teman baik sang Jutawan.
Karena suatu alasan Piliya dari Benares mengalami kesulitan dan kehilangan semua hartanya, akhirnya ia menjadi jatuh miskin. Demi kebutuhannya, ia meninggalkan Benares, dan bersama istrinya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Rājagaha, untuk menemui Jutawan, harapan terakhirnya.
Jutawan memeluk temannya dan memperlakukannya seperti seorang tamu kehormatan, menanyakan alasan kedatangannya dengan penuh kesopanan. “Saya adalah orang yang telah bangkrut,” jawab Piliya, “saya telah kehilangan semuanya, dan datang kemari untuk memohon bantuanmu.”
“Dengan senang hati, jangan mengkhawatirkan hal tersebut,” jawab Jutawan. Ia membuka pintu besi dan memberi empat ratus juta kepada Piliya. Ia juga membagi dua semua harta benda, peternakan dan semuanya, memberikan kepada Piliya separuh bagian yang sama dari semua kekayaannya. Dengan membawa kekayaannya, Piliya kembali ke Benares dan menetap di sana.
Tak lama kemudian, musibah yang sama dialami oleh Jutawan, yang pada gilirannya, kehilangan setiap sen yang ia miliki. Mencari kemana untuk berpaling pada saat genting itu, ia teringat bagaimana ia telah melindungi Piliya dengan memberikan separuh hartanya, dan bisa mencari bantuan padanya tanpa takut akan diusir.
Maka ia meninggalkan Rājagaha bersama istrinya dan tiba di Benares. Di pintu masuk kota ia berkata pada istrinya, “Istriku, tidak pantas bagimu untuk berjalan dengan susah payah di sepanjang jalan bersama saya. Tunggulah sebentar di sini hingga saya mengirim sebuah kereta dengan seorang pelayan untuk membawamu masuk ke kota dengan pantas.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut ia meninggalkan istrinya di bawah tempat berlindung itu, dan melanjutkan perjalanan ke dalam kota seorang diri, hingga tiba di rumah Piliya, dimana ia meminta untuk diumumkan sebagai Jutawan dari Rājagaha yang datang untuk bertemu dengan temannya.
“Baik, bawa ia masuk,” kata Piliya; namun melihat keadaan temannya ia tidak bangkit untuk menemuinya maupun menyapanya untuk menyambut kedatangannya, hanya bertanya apa yang membawa ia datang.
“Untuk bertemu denganmu,” jawabnya.
[467] “Engkau menginap dimana?”
“Saat ini, belum ada. Saya meninggalkan istri saya di bawah tempat berteduh dan langsung kemari untuk menemuimu.”
“Tidak ada tempat untukmu di sini. Ambillah sedikit beras sumbangan, temukan suatu tempat untuk memasak dan menyantapnya, kemudian pergi dan jangan pernah mengunjungiku lagi.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, orang kaya tersebut mengirim seorang pelayan dengan perintah memberi temannya yang malang seperdelapan bagian pohon yang telah dipangkas untuk dibawa pulang dengan diikatkan pada sudut bajunya;— dan ini, walaupun saat ini ia mempunyai seratus kereta yang diisi dengan beras terbaik yang telah ditebah keluar dan tersimpan dalam lumbung yang penuh sesak. Yah, penjahat ini, yang telah dengan tenangnya mengambil empat ratus juta hartanya, sekarang mendermakan seperdelapan bagian pohon yang telah dipangkas pada orang yang telah begitu murah hati padanya!
Menuruti perintahnya, pelayan itu mengukur pohon yang telah dipangkas dalam sebuah keranjang dan memberikannya kepada Bodhisatta, yang berdebat dengan dirinya sendiri apakah harus menerima atau menolak. Ia berpikir, “Orang yang tidak tahu berterima kasih ini menghancurkan persahabatan kami karena saya telah bangkrut. Jika saya menolak pemberiannya yang tak berharga, saya akan menjadi seburuk dia. Betapa rendahnya orang yang mencela pemberian yang sederhana, menghina makna utama persahabatan. Karena itu, bagian saya untuk memenuhi persahabatan ini sejauh di pihak saya, dengan mengambil hadiah darinya berupa pohon yang telah dipangkas. Maka ia mengikatkan pohon yang telah dipangkas tersebut di sudut bajunya dan berjalan kembali ke tempat ia meninggalkan istrinya.
“Apa yang engkau dapatkan, Tuanku?” tanya istrinya.
“Teman kita Piliya memberikan pohon yang telah dipangkas ini kepada kita, dan tidak mau berurusan dengan kita lagi.”
“Oh, mengapa engkau menerimanya? Apakah ini balasan yang sesuai dengan uang empat ratus juta?”
“Jangan menangis, Istriku,” kata Bodhisatta. “saya mengambilnya hanya karena tidak ingin melanggar makna persahabatan. Mengapa menangis?” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut ia membacakan syair berikut ini : —
Jika seorang teman memainkan peran
sebagai orang pelit nan egois,
maka seorang bodoh telah terjelma di dalam dirinya;
[468] Pemberiannya berupa pohon yang telah dipangkas
akan saya ambil, dan tidak membuat persahabatan kami
putus karena ini.
Namun istrinya tetap menangis.
Pada saat yang sama, seorang pekerja ladang yang telah diberikan Jutawan kepada Piliya melewati tempat itu dan mendekat saat mendengar suara tangisan mantan majikannya. Mengenali tuan dan nyonyanya, ia berlutut di kaki mereka, dan dengan air mata serta isak tangis, menanyakan alasan kedatangan mereka. Bodhisatta menceritakan kejadian yang menimpa mereka.
“Pertahankan semangatmu,” kata lelaki tersebut menenangkan, dan membawa mereka ke tempat tinggalnya, di sana ia menyediakan air mandi yang wangi dan makanan untuk mereka. Kemudian memberi tahu pelayan lainnya bahwa mantan majikan mereka telah datang, dan beberapa hari kemudian mereka berbaris dalam satu kesatuan menuju istana, dimana mereka membuat suatu keriuhan.
Raja menanyakan apa yang terjadi, dan mereka menceritakan keseluruhan kejadian itu. Maka raja meminta keduanya menghadap dan bertanya pada Jutawan apakah laporan itu benar bahwa ia telah memberikan empat ratus juta hartanya kepada Piliya.
“Paduka,” katanya, “pada saat ia butuh, teman saya percaya kepada saya dan datang untuk mencari bantuan kepada saya, saya memberikan setengah bagian yang sama besar, bukan hanya uang, namun peternakan dan semua harta yang saya miliki.”
“Benarkah?” tanya raja kepada Piliya.
“Benar, Paduka,” jawabnya.
“Dan saat gilirannya, penolongmu percaya kepadamu dan mencarimu, apakah engkau menunjukkan penghormatan dan keramahtamahan (yang sama)?”
Di sini Piliya terdiam.
“Benarkah engkau memberikan seperdelapan bagian pohon yang telah dipangkas sebagai sumbangan di sudut bajunya?”
[469] Piliya tetap terdiam.
Raja kemudian berunding dengan para menterinya tentang apa yang harus dilakukan, dan akhirnya, sebagai keputusan untuk menghukum Piliya, memerintahkan suami istri itu pergi ke rumah Piliya, dan memberikan semua kekayaan Piliya kepada Jutawan.
“Tidak, Paduka,” kata Bodhisatta, “saya tidak membutuhkan apa pun yang merupakan milik orang lain. Jangan berikan kepadaku melampaui apa yang dulu saya berikan kepadanya.”
Kemudian raja memerintahkan Bodhisatta untuk menikmati semua miliknya kembali, dan Bodhisatta, dengan rombongan besar pelayannya, kembali bersama kekayaan yang diperolehnya ke Rājagaha, dimana ia menjalankan pekerjaannya dengan layak, dan setelah menghabiskan hidup dengan berdana dan melakukan perbuatan baik lainnya, ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah Bendaharawan Piliya di masa itu, dan Saya sendiri adalah Jutawan.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com