PAÑCAGURU-JĀTAKA
Bhīrukajātaka (Ja 132)
“Memperhatikan nasihat yang bijaksana,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana mengenai Sutta yang berhubungan dengan godaan putri-putri Mara di bawah Pohon Beringin Penggembala Kambing (Ajapālanigrodha).
Sang Guru mengutip Sutta tersebut, dimulai dengan kata-kata pembukaan —
Dengan seluruh pesona kecantikan mereka datang,
— nafsu keinginan, ketidakpuasan dan kemelekatan.
Bagaikan kapas yang jatuh karena hembusan angin,
demikianlah Sang Guru membuat mereka terbang pergi.
Setelah Beliau mengucapkan sutta itu hingga ke bagian akhirnya, para bhikkhu berkumpul bersama di Balai Kebenaran dan menyatakan bagaimana putri-putri Mara menggunakan semua daya tarik yang mereka miliki, namun tetap gagal menggoda Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna, karena Beliau bahkan tidak membuka matanya untuk melihat mereka, betapa luar biasanya Beliau!
Masuk ke dalam Balai, Sang Guru bertanya dan diberitahu apa yang sedang mereka bicarakan. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “bukanlah hal luar biasa bahwa saya bahkan tidak membuka mata untuk melihat putri-putri Mara di kehidupan ini di saat Saya telah bebas dari segala kotoran batin (āsava) dan mencapai pencerahan. Di kehidupan yang lampau ketika Saya masih belum mencapai Kebuddhaan, ketika kotoran batin masih ada di dalam diri, Saya mendapat kekuatan untuk tidak menatap kecantikan yang luar biasa, yang merupakan cara bagi kotoran batin untuk menghancurkan moralitas; melalui penahanan diri tersebut, saya mendapatkan sebuah kerajaan.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah saudara termuda dari seratus orang bersaudara, dan petualangannya akan diceritakan [470] dalam Takkasilā-Jātaka213.
Ketika kerajaan telah diserahkan kepada Bodhisatta oleh para penduduk, dan ia telah menerimanya serta telah dinobatkan menjadi raja, para penduduk menghiasi kota seperti kota para dewa dan istana kerajaan seperti Kerajaan Indra.
Memasuki kota, Bodhisatta menuju aula kerajaan yang luas dan mengambil tempat dengan keanggunan laksana seorang dewa di singgasana yang berhiaskan permata di bawah payung putih kerajaan. Dikelilingi oleh para menteri, brahmana dan bangsawan yang memancarkan kemewahan, sementara enam belas ribu gadis penghibur, secantik peri dari kahyangan, bernyanyi, menari dan memainkan musik, hingga kerajaan dipenuhi oleh suara-suara seperti lautan saat badai meledakkan petir dalam airnya.
Memandang sekeliling kerajaannya yang megah, Bodhisatta berpikir bahwa andai saja ia melihat pada daya tarik yaksa wanita itu, ia akan binasa tanpa bentuk, tidak akan pernah melihat keadaannya yang cemerlang seperti sekarang ini, yang ia dapatkan dengan mengikuti nasihat para Pacceka Buddha.
Pemikiran ini memenuhi benaknya, emosinya terlepas dalam syair berikut ini :
Memperhatikan nasihat yang bijaksana,
teguh pada keputusan;
Dengan hati yang berani,
tetap berpegang pada pendirianku,
saya menjauhkan diri dari tempat tinggal
para wanita penggoda dan jerat mereka,
dan menemukan kebebasan yang besar.
[471] Dan mengakhiri ajarannya dalam syair ini. Makhluk yang agung itu memerintah kerajaannya dalam keadilan, dan berlimpah dalam dana dan perbuatan baik lainnya, hingga akhirnya ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah pangeran yang di masa itu pergi ke Takkasilā dan mendapatkan sebuah kerajaan.”
Sang Guru mengutip Sutta tersebut, dimulai dengan kata-kata pembukaan —
Dengan seluruh pesona kecantikan mereka datang,
— nafsu keinginan, ketidakpuasan dan kemelekatan.
Bagaikan kapas yang jatuh karena hembusan angin,
demikianlah Sang Guru membuat mereka terbang pergi.
Setelah Beliau mengucapkan sutta itu hingga ke bagian akhirnya, para bhikkhu berkumpul bersama di Balai Kebenaran dan menyatakan bagaimana putri-putri Mara menggunakan semua daya tarik yang mereka miliki, namun tetap gagal menggoda Buddha, Yang Tercerahkan Sempurna, karena Beliau bahkan tidak membuka matanya untuk melihat mereka, betapa luar biasanya Beliau!
Masuk ke dalam Balai, Sang Guru bertanya dan diberitahu apa yang sedang mereka bicarakan. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “bukanlah hal luar biasa bahwa saya bahkan tidak membuka mata untuk melihat putri-putri Mara di kehidupan ini di saat Saya telah bebas dari segala kotoran batin (āsava) dan mencapai pencerahan. Di kehidupan yang lampau ketika Saya masih belum mencapai Kebuddhaan, ketika kotoran batin masih ada di dalam diri, Saya mendapat kekuatan untuk tidak menatap kecantikan yang luar biasa, yang merupakan cara bagi kotoran batin untuk menghancurkan moralitas; melalui penahanan diri tersebut, saya mendapatkan sebuah kerajaan.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah saudara termuda dari seratus orang bersaudara, dan petualangannya akan diceritakan [470] dalam Takkasilā-Jātaka213.
Ketika kerajaan telah diserahkan kepada Bodhisatta oleh para penduduk, dan ia telah menerimanya serta telah dinobatkan menjadi raja, para penduduk menghiasi kota seperti kota para dewa dan istana kerajaan seperti Kerajaan Indra.
Memasuki kota, Bodhisatta menuju aula kerajaan yang luas dan mengambil tempat dengan keanggunan laksana seorang dewa di singgasana yang berhiaskan permata di bawah payung putih kerajaan. Dikelilingi oleh para menteri, brahmana dan bangsawan yang memancarkan kemewahan, sementara enam belas ribu gadis penghibur, secantik peri dari kahyangan, bernyanyi, menari dan memainkan musik, hingga kerajaan dipenuhi oleh suara-suara seperti lautan saat badai meledakkan petir dalam airnya.
Memandang sekeliling kerajaannya yang megah, Bodhisatta berpikir bahwa andai saja ia melihat pada daya tarik yaksa wanita itu, ia akan binasa tanpa bentuk, tidak akan pernah melihat keadaannya yang cemerlang seperti sekarang ini, yang ia dapatkan dengan mengikuti nasihat para Pacceka Buddha.
Pemikiran ini memenuhi benaknya, emosinya terlepas dalam syair berikut ini :
Memperhatikan nasihat yang bijaksana,
teguh pada keputusan;
Dengan hati yang berani,
tetap berpegang pada pendirianku,
saya menjauhkan diri dari tempat tinggal
para wanita penggoda dan jerat mereka,
dan menemukan kebebasan yang besar.
[471] Dan mengakhiri ajarannya dalam syair ini. Makhluk yang agung itu memerintah kerajaannya dalam keadilan, dan berlimpah dalam dana dan perbuatan baik lainnya, hingga akhirnya ia meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
____________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Saya adalah pangeran yang di masa itu pergi ke Takkasilā dan mendapatkan sebuah kerajaan.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com