BABBU-JĀTAKA
Babbujātaka (Ja 137)
“Berikan makanan pada satu kucing,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, tentang peraturan latihan yang berhubungan dengan Ibu Kāṇā. Ia adalah seorang umat awam di Sawatthi, hanya dikenal sebagai Ibu Kāṇā, yang telah mencapai kesucian Sotāpanna dan merupakan seorang siswa ariya. Anak perempuannya, Kāṇā215, menikah dengan seorang pria dari kasta yang sama di desa yang lain.
Sesuatu hal membuatnya harus pergi menemui ibunya. Beberapa hari berlalu, dan suaminya mengirim seorang pembawa pesan untuk mengatakan bahwa ia berharap istrinya segera kembali. Gadis tersebut bertanya kepada ibunya apakah ia harus kembali, ibunya kemudian mengatakan bahwa ia tidak bisa pulang dengan tangan kosong setelah pergi begitu lama, dan mulai membuat kue.
Pada saat yang sama seorang bhikkhu yang sedang melakukan pindapata datang, dan ibu itu memintanya duduk, memberikan kue yang baru dibuatnya itu kepadanya. Bhikkhu itu pergi dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain, yang datang tepat pada waktunya untuk mendapatkan kue kedua yang sebenarnya dipanggang untuk dibawa pulang oleh putrinya. Bhikkhu kedua menceritakannya kepada bhikkhu ketiga, dan bhikkhu ketiga menceritakannya kepada bhikkhu keempat, maka demikianlah setiap kue yang baru siap dipanggang itu selalu diambil oleh seorang pendatang baru.
Akibat hal tersebut, putrinya belum juga memulai perjalanan pulang, dan suaminya mengirim pembawa pesan kedua dan ketiga untuk menemuinya. Dan pesannya yang ketiga adalah jika istrinya tidak kembali juga, ia akan mengambil seorang istri yang baru. Setiap pesannya mendapatkan hasil yang sama. Maka suaminya mengambil seorang istri yang lain. Mendengar kabar tersebut, istri pertamanya menangis tersedu-sedu.
Mengetahui semua itu, Sang Guru mengenakan jubah-Nya di pagi hari dan melakukan pindapata ke rumah Ibu Kāṇā dan duduk di kursi yang dipersiapkan untuk-Nya. Kemudian Beliau menanyakan mengapa anak perempuannya menangis, dan mendengar penyebabnya. Beliau mengucapkan kata-kata yang menghibur bagi sang ibu, kemudian bangkit dan kembali ke wihara.
Sekarang para bhikkhu telah mengetahui bahwa Kāṇā tidak jadi pulang ke tempat suaminya sebanyak tiga kali disebabkan oleh tindakan dari empat orang bhikkhu; suatu hari mereka berkumpul di Balai Kebenaran dan mulai membicarakan hal tersebut.
Sang Guru masuk ke dalam Balai tersebut [478] dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, dan mereka menceritakannya kepada Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ketahuilah, ini bukan pertama kalinya keempat bhikkhu ini membawa penderitaan bagi Ibu Kāṇā dengan memakan perbekalannya; mereka juga melakukan hal yang sama di kelahiran yang lampau.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang pemahat batu, tumbuh menjadi ahli dalam melakukan pekerjaan dengan batu.
Di Negeri Kāsi tinggallah seorang saudagar kaya yang menimbun harta emasnya yang bernilai empat ratus juta. Setelah istrinya meninggal, disebabkan oleh kuatnya kemelekatan dirinya terhadap emas tersebut, ia terlahir kembali sebagai seekor tikus yang tinggal di atas hartanya itu.
Satu demi satu anggota keluarga tersebut meninggal dunia, termasuk saudagar itu sendiri. Seperti desa lainnya, desa itu ditinggalkan dan keadaannya menjadi menyedihkan. Pada saat cerita ini berlangsung, Bodhisatta sedang menggali dan membentuk batu di desa yang telah ditinggalkan itu, dan tikus itu sering melihatnya saat berkeluyuran mencari makan. Akhirnya tikus ini memiliki perasaan cinta kepadanya; dan memikirkan bagaimana jika rahasia keluarganya yang berlimpah itu akan ikut terkubur bersamanya, ia memikirkan untuk menikmati harta tersebut bersama Bodhisatta.
Maka suatu hari, ia menemui Bodhisatta dengan sebuah koin di mulutnya. Melihat hal itu, ia berkata dengan ramah pada tikus tersebut, “Ibu, apa yang membuat engkau datang dengan membawa koin ini?” “Ini untukmu, untuk dibelanjakan olehmu, dan juga untuk membeli daging untuk diriku, Anakku.”
Tanpa rasa jijik sedikitpun, ia mengambil uang tersebut, dan membelanjakan setengahnya untuk membeli daging yang ia bawakan untuk tikus tersebut, yang segera pergi dan makan daging itu untuk mengisi perutnya. Hal tersebut terus berlanjut, tikus itu memberikan satu keping koin setiap hari, dan ia kembali dengan membawakan daging untuknya.
Namun, suatu hari tikus itu ditangkap oleh seekor kucing.
“Jangan bunuh saya,” kata tikus tersebut.
“Mengapa tidak?” tanya kucing tersebut. “Saya sudah sangat lapar, dan benar-benar harus membunuhmu untuk menghilangkan rasa sakit karena lapar.”
“Sekarang, katakan, apakah engkau selalu merasa lapar, atau hanya merasa lapar pada hari ini saja?”
“Oh, setiap hari saya selalu kelaparan.”
“Baiklah kalau demikian, jika boleh, saya akan membuat engkau selalu mendapatkan daging setiap hari; [479] tetapi, biarkan saya pergi.”
“Ingatlah untuk melakukan hal itu,” kata kucing itu, dan membiarkan tikus itu pergi.
Akibatnya tikus itu harus membagi persediaan daging yang ia peroleh dari Bodhisatta menjadi dua bagian, memberikan sebagian kepada kucing tersebut, menyimpan sebagian lagi untuk dirinya sendiri.
Sudah menjadi takdirnya, tikus itu ditangkap oleh kucing kedua dan harus menebus kebebasannya dengan dengan syarat yang sama, maka sekarang makanan harian mereka harus dibagi menjadi tiga bagian. Dan ketika kucing yang ketiga menangkapnya, perjanjian yang sama dibuat, sehingga persediaan makanan harus dibagi menjadi empat bagian. Selanjutnya kucing keempat mendapatkannya dan makanan itu harus dibagi menjadi lima bagian, akibat jatah yang semakin berkurang, tikus itu menjadi kurus kering, seakan yang tersisa hanya tulang dan kulit.
Melihat tikus yang merupakan temannya itu berubah menjadi begitu kurus, Bodhisatta menanyakan penyebabnya. Maka tikus itu pun menceritakan apa yang menimpanya.
“Mengapa engkau tidak memberitahukan hal itu kepadaku sebelumnya?” tanya Bodhisatta, “Tenanglah, saya akan menolongmu untuk keluar dari masalah ini. Ia mengambil sepotong kristal murni, mengorek sebuah lubang dan meminta tikus itu masuk ke dalamnya. “Tinggallah di sana,” katanya, “dan jangan lupa mengancam dengan gaya yang buas dan memaki siapa pun yang mendekat.”
Maka tikus itu merangkak ke dalam lubang kecil pada potongan kristal itu dan menunggu.
Datanglah seekor kucing yang menuntut daging miliknya. “Pergilah, kucing betina tua yang jahat,” kata tikus itu, “mengapa saya harus menyediakan makanan untukmu? Pulang dan makan anak-anakmu!”
Marah mendengar kata-kata tersebut, dan tidak menduga kalau tikus tersebut berada dalam batu kristal, kucing itu menerkam ke arah tikus untuk memangsanya; kerasnya terjangan itu membuat ia menghancurkan tulang dada dan matanya dimulai dari kepalanya. Kucing itu mati dan bangkainya jatuh tak terlihat.
Nasib yang sama menimpa keempat kucing itu. Sejak saat itu, tikus yang merasa sangat berterima kasih pada Bodhisatta membawakan dua hingga tiga keping koin menggantikan satu koin yang selalu ia berikan dulunya.
Dan lambat laun ia memberikan seluruh simpanannya.
Kedua makhluk ini terus bersahabat hingga hidup mereka berakhir dan mereka terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatan mereka masing-masing.
___________________
Setelah menceritakan kisah tersebut, Sang Guru sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini : — [480]
Dengan memberikan makanan pada seekor kucing,
maka kucing kedua akan muncul;
Kucing ketiga dan keempat melanjutkan barisan penuh hasil tersebut;
— Lihatlah keempatnya mati karena batu kristal itu.
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Keempat bhikkhu ini adalah keempat kucing di masa itu, Ibu Kāṇā adalah tikus itu dan Saya adalah pemahat batu tersebut.”
Sesuatu hal membuatnya harus pergi menemui ibunya. Beberapa hari berlalu, dan suaminya mengirim seorang pembawa pesan untuk mengatakan bahwa ia berharap istrinya segera kembali. Gadis tersebut bertanya kepada ibunya apakah ia harus kembali, ibunya kemudian mengatakan bahwa ia tidak bisa pulang dengan tangan kosong setelah pergi begitu lama, dan mulai membuat kue.
Pada saat yang sama seorang bhikkhu yang sedang melakukan pindapata datang, dan ibu itu memintanya duduk, memberikan kue yang baru dibuatnya itu kepadanya. Bhikkhu itu pergi dan menceritakannya kepada bhikkhu yang lain, yang datang tepat pada waktunya untuk mendapatkan kue kedua yang sebenarnya dipanggang untuk dibawa pulang oleh putrinya. Bhikkhu kedua menceritakannya kepada bhikkhu ketiga, dan bhikkhu ketiga menceritakannya kepada bhikkhu keempat, maka demikianlah setiap kue yang baru siap dipanggang itu selalu diambil oleh seorang pendatang baru.
Akibat hal tersebut, putrinya belum juga memulai perjalanan pulang, dan suaminya mengirim pembawa pesan kedua dan ketiga untuk menemuinya. Dan pesannya yang ketiga adalah jika istrinya tidak kembali juga, ia akan mengambil seorang istri yang baru. Setiap pesannya mendapatkan hasil yang sama. Maka suaminya mengambil seorang istri yang lain. Mendengar kabar tersebut, istri pertamanya menangis tersedu-sedu.
Mengetahui semua itu, Sang Guru mengenakan jubah-Nya di pagi hari dan melakukan pindapata ke rumah Ibu Kāṇā dan duduk di kursi yang dipersiapkan untuk-Nya. Kemudian Beliau menanyakan mengapa anak perempuannya menangis, dan mendengar penyebabnya. Beliau mengucapkan kata-kata yang menghibur bagi sang ibu, kemudian bangkit dan kembali ke wihara.
Sekarang para bhikkhu telah mengetahui bahwa Kāṇā tidak jadi pulang ke tempat suaminya sebanyak tiga kali disebabkan oleh tindakan dari empat orang bhikkhu; suatu hari mereka berkumpul di Balai Kebenaran dan mulai membicarakan hal tersebut.
Sang Guru masuk ke dalam Balai tersebut [478] dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan, dan mereka menceritakannya kepada Beliau. “Para Bhikkhu,” kata Beliau, “ketahuilah, ini bukan pertama kalinya keempat bhikkhu ini membawa penderitaan bagi Ibu Kāṇā dengan memakan perbekalannya; mereka juga melakukan hal yang sama di kelahiran yang lampau.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang pemahat batu, tumbuh menjadi ahli dalam melakukan pekerjaan dengan batu.
Di Negeri Kāsi tinggallah seorang saudagar kaya yang menimbun harta emasnya yang bernilai empat ratus juta. Setelah istrinya meninggal, disebabkan oleh kuatnya kemelekatan dirinya terhadap emas tersebut, ia terlahir kembali sebagai seekor tikus yang tinggal di atas hartanya itu.
Satu demi satu anggota keluarga tersebut meninggal dunia, termasuk saudagar itu sendiri. Seperti desa lainnya, desa itu ditinggalkan dan keadaannya menjadi menyedihkan. Pada saat cerita ini berlangsung, Bodhisatta sedang menggali dan membentuk batu di desa yang telah ditinggalkan itu, dan tikus itu sering melihatnya saat berkeluyuran mencari makan. Akhirnya tikus ini memiliki perasaan cinta kepadanya; dan memikirkan bagaimana jika rahasia keluarganya yang berlimpah itu akan ikut terkubur bersamanya, ia memikirkan untuk menikmati harta tersebut bersama Bodhisatta.
Maka suatu hari, ia menemui Bodhisatta dengan sebuah koin di mulutnya. Melihat hal itu, ia berkata dengan ramah pada tikus tersebut, “Ibu, apa yang membuat engkau datang dengan membawa koin ini?” “Ini untukmu, untuk dibelanjakan olehmu, dan juga untuk membeli daging untuk diriku, Anakku.”
Tanpa rasa jijik sedikitpun, ia mengambil uang tersebut, dan membelanjakan setengahnya untuk membeli daging yang ia bawakan untuk tikus tersebut, yang segera pergi dan makan daging itu untuk mengisi perutnya. Hal tersebut terus berlanjut, tikus itu memberikan satu keping koin setiap hari, dan ia kembali dengan membawakan daging untuknya.
Namun, suatu hari tikus itu ditangkap oleh seekor kucing.
“Jangan bunuh saya,” kata tikus tersebut.
“Mengapa tidak?” tanya kucing tersebut. “Saya sudah sangat lapar, dan benar-benar harus membunuhmu untuk menghilangkan rasa sakit karena lapar.”
“Sekarang, katakan, apakah engkau selalu merasa lapar, atau hanya merasa lapar pada hari ini saja?”
“Oh, setiap hari saya selalu kelaparan.”
“Baiklah kalau demikian, jika boleh, saya akan membuat engkau selalu mendapatkan daging setiap hari; [479] tetapi, biarkan saya pergi.”
“Ingatlah untuk melakukan hal itu,” kata kucing itu, dan membiarkan tikus itu pergi.
Akibatnya tikus itu harus membagi persediaan daging yang ia peroleh dari Bodhisatta menjadi dua bagian, memberikan sebagian kepada kucing tersebut, menyimpan sebagian lagi untuk dirinya sendiri.
Sudah menjadi takdirnya, tikus itu ditangkap oleh kucing kedua dan harus menebus kebebasannya dengan dengan syarat yang sama, maka sekarang makanan harian mereka harus dibagi menjadi tiga bagian. Dan ketika kucing yang ketiga menangkapnya, perjanjian yang sama dibuat, sehingga persediaan makanan harus dibagi menjadi empat bagian. Selanjutnya kucing keempat mendapatkannya dan makanan itu harus dibagi menjadi lima bagian, akibat jatah yang semakin berkurang, tikus itu menjadi kurus kering, seakan yang tersisa hanya tulang dan kulit.
Melihat tikus yang merupakan temannya itu berubah menjadi begitu kurus, Bodhisatta menanyakan penyebabnya. Maka tikus itu pun menceritakan apa yang menimpanya.
“Mengapa engkau tidak memberitahukan hal itu kepadaku sebelumnya?” tanya Bodhisatta, “Tenanglah, saya akan menolongmu untuk keluar dari masalah ini. Ia mengambil sepotong kristal murni, mengorek sebuah lubang dan meminta tikus itu masuk ke dalamnya. “Tinggallah di sana,” katanya, “dan jangan lupa mengancam dengan gaya yang buas dan memaki siapa pun yang mendekat.”
Maka tikus itu merangkak ke dalam lubang kecil pada potongan kristal itu dan menunggu.
Datanglah seekor kucing yang menuntut daging miliknya. “Pergilah, kucing betina tua yang jahat,” kata tikus itu, “mengapa saya harus menyediakan makanan untukmu? Pulang dan makan anak-anakmu!”
Marah mendengar kata-kata tersebut, dan tidak menduga kalau tikus tersebut berada dalam batu kristal, kucing itu menerkam ke arah tikus untuk memangsanya; kerasnya terjangan itu membuat ia menghancurkan tulang dada dan matanya dimulai dari kepalanya. Kucing itu mati dan bangkainya jatuh tak terlihat.
Nasib yang sama menimpa keempat kucing itu. Sejak saat itu, tikus yang merasa sangat berterima kasih pada Bodhisatta membawakan dua hingga tiga keping koin menggantikan satu koin yang selalu ia berikan dulunya.
Dan lambat laun ia memberikan seluruh simpanannya.
Kedua makhluk ini terus bersahabat hingga hidup mereka berakhir dan mereka terlahir kembali di alam yang sesuai dengan hasil perbuatan mereka masing-masing.
___________________
Setelah menceritakan kisah tersebut, Sang Guru sebagai seorang Buddha, mengucapkan syair berikut ini : — [480]
Dengan memberikan makanan pada seekor kucing,
maka kucing kedua akan muncul;
Kucing ketiga dan keempat melanjutkan barisan penuh hasil tersebut;
— Lihatlah keempatnya mati karena batu kristal itu.
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Keempat bhikkhu ini adalah keempat kucing di masa itu, Ibu Kāṇā adalah tikus itu dan Saya adalah pemahat batu tersebut.”
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com