VIROCANA-JĀTAKA
Virocanajātaka (Ja 143)
“Mayatmu yang rusak,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana, mengenai usaha Devadatta agar diakui sebagai seorang Buddha di Gayāsīsa. Ketika (keadaan) jhananya menghilang dan ia kehilangan kehormatan dan perolehan yang dulunya merupakan miliknya, dalam kebingungannya, ia meminta Sang Guru untuk menerapkan lima objek kepadanya. Permintaannya ditolak dan ia membuat perpecahan dalam Sanggha dan pergi ke Gayāsīsa bersama lima ratus orang brahmana muda, murid dari kedua siswa utama Sang Buddha, yang masih belum memahami Dhamma dan Vinaya. Dengan pengikut seperti itulah ia melakukan tindakan memecah belah Sanggha yang terkumpul dalam daerah yang sama.
Mengetahui dengan baik kapan pengetahuan para brahmana muda ini matang, Sang Guru mengirim kedua thera tersebut kepada mereka. Melihat hal ini, [491] Devadatta dengan gembira menguraikan hingga jauh malam dengan (seperti ia memuji dirinya sendiri) kekuatan yang mengagumkan dari seorang Buddha. Kemudian dengan gaya seorang Buddha ia berkata, “Kumpulan bhikkhu ini, Awuso Sāriputta, masih tetap siaga dan terjaga. Maukah engkau bermurah hati memikirkan beberapa khotbah Dhamma untuk disampaikan kepada mereka? Punggung saya sakit karena kerja keras dan saya harus mengistirahatkannya sejenak.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia pergi untuk berbaring. Kemudian kedua siswa utama itu mengajari para bhikkhu, memberi penerangan pada mereka tentang magga dan phala, sehingga pada akhirnya mereka berdua mampu membuat semua bhikkhu itu kembali bersama mereka ke Weluwana.
Melihat tidak ada satu pun bhikkhu di wihara, Kokālika mencari Devadatta dan memberitahunya bagaimana kedua siswa utama itu telah membubarkan para pengikutnya, dan telah meninggalkan wihara dalam keadaan kosong; “Dan engkau masih terbaring tidur di sini,” katanya. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut ia melepaskan jubah luar Devadatta dan menendang dadanya dengan sedikit penyesalan seakan ia telah mengetuk sebuah pasak pada dinding yang berlumut. Kemudian darah keluar dari mulut Devadatta, dan sejak saat itu hingga seterusnya ia menderita akibat pukulan itu222.
Sang Guru bertanya kepada Sāriputta, “Apa yang dilakukan Devadatta saat engkau tiba di sana?” Sāriputta menjawab bahwa, walaupun bergaya sebagai seorang Buddha, keburukan tetap menimpa dirinya. Sang Guru berkata, “Sama seperti sekarang ini, Sāriputta, di kehidupan yang lampau Devadatta juga meniru diri-Ku hingga ia sendiri yang terluka.” Setelah itu, atas permohonan thera tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seekor singa jantan yang menetap di Gua Emas di Pegunungan Himalaya. Suatu hari ia meloncat turun dari sarangnya, melihat ke utara dan barat, selatan dan timur, dan mengaum dengan kuat saat ia mencari mangsa. Kemudian ia membunuh seekor kerbau yang besar, melahap bagian yang terbaik dari bangkai itu, setelah itu, ia turun ke sebuah kolam, minum air kolam yang bening itu sepuasnya sebelum kembali ke gua.
Seekor serigala yang sedang kelaparan, tiba-tiba berpapasan dengan singa itu, tidak bisa menghindar lagi, ia menjatuhkan diri di kaki singa itu. Ketika ditanya apa yang ia inginkan, serigala itu menjawab, “Tuan, jadikan saya pelayanmu.”
“Baiklah,” kata singa, “layani saya dan engkau akan mendapatkan daging yang terbaik.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, dengan diikuti oleh serigala itu, ia kembali ke Gua Emas. Sejak saat itu, singa selalu menyisakan bagian untuk serigala dan serigala itu menjadi semakin gemuk.
Suatu hari, berbaring di guanya, singa menyuruh serigala untuk mengamati lembah itu dari puncak gunung, melihat apakah ada gajah, kuda atau kerbau di sekitar sana, maupun hewan-hewan lainnya [492] yang disukai oleh serigala itu. Jika ada yang terlihat, serigala harus melaporkannya dan berkata dengan penuh hormat, “Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Paduka.” Kemudian singa itu berjanji untuk membunuh dan menyantapnya, dengan memberikan sebagian kepada serigala itu.
Maka serigala itu memanjat ke tempat yang tinggi, saat ia melihat hewan yang sesuai dengan seleranya, ia akan melaporkannya kepada singa tersebut, menjatuhkan diri di kakinya, berkata, “Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Paduka.” Singa itu dengan gesit melompat keluar dan membunuh makhluk tersebut, meskipun itu adalah seekor gajah, dan membagi bagian yang terbaik dari bangkai itu untuk serigala tersebut. Setelah makan hingga kenyang, serigala itu akan pergi ke sarangnya dan tidur.
Dengan berlalunya waktu, serigala itu menjadi semakin gemuk dan gemuk, hingga ia menjadi lupa diri. “Bukankah saya juga mempunyai empat buah kaki?” ia berkata pada dirinya sendiri, “Mengapa saya menjadi pensiunan yang menerima hadiah dari hari ke hari? Mulai sekarang, saya yang akan membunuh gajah dan hewan buas lainnya, sebagai makanan saya sendiri. Singa, raja hewan buas, bisa membunuh mereka hanya karena mantra ‘Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Paduka.’ Saya akan membuat singa memanggil saya, ‘Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala,’ dan saya akan membunuh seekor gajah untuk diriku sendiri.”
Karenanya, ia mencari singa tersebut, menyatakan ia telah lama hidup dari apa yang dibunuh oleh Singa, menyatakan keinginannya untuk makan seekor gajah yang ia bunuh sendiri, diakhiri dengan sebuah permohonan kepada singa itu untuk membiarkan dia mengambil tempat di sudut yang ditempati oleh singa di Gua Emas, sementara singa mendaki gunung tersebut untuk mencari gajah. Setelah mendapatkan buruannya, ia meminta singa untuk datang menemuinya di goa tersebut dan berkata, ‘Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala.’ Ia memohon singa itu agar jangan begitu iri padanya. Singa berkata, “Serigala, hanya singa yang mampu membunuh gajah, di dunia ini, tidak pernah ada yang melihat seekor serigala menundukkan mereka. Hentikan khayalan ini, dan teruslah makan apa yang saya mangsa.” Namun, apa pun yang dikatakan oleh singa, serigala itu tidak mau menyerah, dan terus mendesak dengan permohonannya. Maka akhirnya singa itu menyerah, meminta serigala itu menempati guanya, memanjat ke puncak dan mengamati seekor gajah di sana. Kembali ke mulut gua, ia berkata, “Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala.” Kemudian dari Gua Emas, serigala itu [493] dengan gesit melompat keluar, mencari berkeliling pada empat penjuru, dan melolong sebanyak tiga kali, kemudian menerjang ke arah gajah itu, bertujuan untuk mengunci kepalanya, namun sasarannya meleset, ia mendarat di kaki gajah tersebut. Makhluk yang marah itu mengangkat kaki kanannya dan menghantam kepala serigala tersebut. Ia menginjak tulang-tulangnya hingga menjadi tepung, kemudian memukuli bangkainya menjadi satu tumpukan, dan membuang kotoran di atasnya. Setelah itu gajah tersebut berlari masuk ke dalam hutan. Melihat semua ini, Bodhisatta berkata, “Sekarang, teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala.” Dan mengucapkan syair berikut ini: —
Mayatmu yang rusak, otak yang hancur menjadi tepung,
Menunjukkan bagaimana engkau terus bersinar
dalam kemuliaanmu hari ini.
Demikianlah yang diucapkan oleh Bodhisatta, dan hidup hingga usia tua sebelum ia meninggal dunia dalam waktu yang sempurna untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
___________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah serigala di masa itu, dan Saya adalah singa.”
Catatan kaki :
222 Catatan Vinaya (Cullavagga,vii.4) mengabaikan tendangan itu, hanya menyatakan Kokalikā membangunkan Devadatta, dan bahwa, mendengar berita mengenai penyeberangan itu, “darah yang masih hangat muncrat keluar dari mulut Devadatta.” Dalam catatan lainnya (Spence Hardy dan Bigandet) dikatakan Devadatta meninggal saat dan waktu itu juga.
Mengetahui dengan baik kapan pengetahuan para brahmana muda ini matang, Sang Guru mengirim kedua thera tersebut kepada mereka. Melihat hal ini, [491] Devadatta dengan gembira menguraikan hingga jauh malam dengan (seperti ia memuji dirinya sendiri) kekuatan yang mengagumkan dari seorang Buddha. Kemudian dengan gaya seorang Buddha ia berkata, “Kumpulan bhikkhu ini, Awuso Sāriputta, masih tetap siaga dan terjaga. Maukah engkau bermurah hati memikirkan beberapa khotbah Dhamma untuk disampaikan kepada mereka? Punggung saya sakit karena kerja keras dan saya harus mengistirahatkannya sejenak.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia pergi untuk berbaring. Kemudian kedua siswa utama itu mengajari para bhikkhu, memberi penerangan pada mereka tentang magga dan phala, sehingga pada akhirnya mereka berdua mampu membuat semua bhikkhu itu kembali bersama mereka ke Weluwana.
Melihat tidak ada satu pun bhikkhu di wihara, Kokālika mencari Devadatta dan memberitahunya bagaimana kedua siswa utama itu telah membubarkan para pengikutnya, dan telah meninggalkan wihara dalam keadaan kosong; “Dan engkau masih terbaring tidur di sini,” katanya. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut ia melepaskan jubah luar Devadatta dan menendang dadanya dengan sedikit penyesalan seakan ia telah mengetuk sebuah pasak pada dinding yang berlumut. Kemudian darah keluar dari mulut Devadatta, dan sejak saat itu hingga seterusnya ia menderita akibat pukulan itu222.
Sang Guru bertanya kepada Sāriputta, “Apa yang dilakukan Devadatta saat engkau tiba di sana?” Sāriputta menjawab bahwa, walaupun bergaya sebagai seorang Buddha, keburukan tetap menimpa dirinya. Sang Guru berkata, “Sama seperti sekarang ini, Sāriputta, di kehidupan yang lampau Devadatta juga meniru diri-Ku hingga ia sendiri yang terluka.” Setelah itu, atas permohonan thera tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta adalah seekor singa jantan yang menetap di Gua Emas di Pegunungan Himalaya. Suatu hari ia meloncat turun dari sarangnya, melihat ke utara dan barat, selatan dan timur, dan mengaum dengan kuat saat ia mencari mangsa. Kemudian ia membunuh seekor kerbau yang besar, melahap bagian yang terbaik dari bangkai itu, setelah itu, ia turun ke sebuah kolam, minum air kolam yang bening itu sepuasnya sebelum kembali ke gua.
Seekor serigala yang sedang kelaparan, tiba-tiba berpapasan dengan singa itu, tidak bisa menghindar lagi, ia menjatuhkan diri di kaki singa itu. Ketika ditanya apa yang ia inginkan, serigala itu menjawab, “Tuan, jadikan saya pelayanmu.”
“Baiklah,” kata singa, “layani saya dan engkau akan mendapatkan daging yang terbaik.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, dengan diikuti oleh serigala itu, ia kembali ke Gua Emas. Sejak saat itu, singa selalu menyisakan bagian untuk serigala dan serigala itu menjadi semakin gemuk.
Suatu hari, berbaring di guanya, singa menyuruh serigala untuk mengamati lembah itu dari puncak gunung, melihat apakah ada gajah, kuda atau kerbau di sekitar sana, maupun hewan-hewan lainnya [492] yang disukai oleh serigala itu. Jika ada yang terlihat, serigala harus melaporkannya dan berkata dengan penuh hormat, “Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Paduka.” Kemudian singa itu berjanji untuk membunuh dan menyantapnya, dengan memberikan sebagian kepada serigala itu.
Maka serigala itu memanjat ke tempat yang tinggi, saat ia melihat hewan yang sesuai dengan seleranya, ia akan melaporkannya kepada singa tersebut, menjatuhkan diri di kakinya, berkata, “Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Paduka.” Singa itu dengan gesit melompat keluar dan membunuh makhluk tersebut, meskipun itu adalah seekor gajah, dan membagi bagian yang terbaik dari bangkai itu untuk serigala tersebut. Setelah makan hingga kenyang, serigala itu akan pergi ke sarangnya dan tidur.
Dengan berlalunya waktu, serigala itu menjadi semakin gemuk dan gemuk, hingga ia menjadi lupa diri. “Bukankah saya juga mempunyai empat buah kaki?” ia berkata pada dirinya sendiri, “Mengapa saya menjadi pensiunan yang menerima hadiah dari hari ke hari? Mulai sekarang, saya yang akan membunuh gajah dan hewan buas lainnya, sebagai makanan saya sendiri. Singa, raja hewan buas, bisa membunuh mereka hanya karena mantra ‘Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Paduka.’ Saya akan membuat singa memanggil saya, ‘Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala,’ dan saya akan membunuh seekor gajah untuk diriku sendiri.”
Karenanya, ia mencari singa tersebut, menyatakan ia telah lama hidup dari apa yang dibunuh oleh Singa, menyatakan keinginannya untuk makan seekor gajah yang ia bunuh sendiri, diakhiri dengan sebuah permohonan kepada singa itu untuk membiarkan dia mengambil tempat di sudut yang ditempati oleh singa di Gua Emas, sementara singa mendaki gunung tersebut untuk mencari gajah. Setelah mendapatkan buruannya, ia meminta singa untuk datang menemuinya di goa tersebut dan berkata, ‘Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala.’ Ia memohon singa itu agar jangan begitu iri padanya. Singa berkata, “Serigala, hanya singa yang mampu membunuh gajah, di dunia ini, tidak pernah ada yang melihat seekor serigala menundukkan mereka. Hentikan khayalan ini, dan teruslah makan apa yang saya mangsa.” Namun, apa pun yang dikatakan oleh singa, serigala itu tidak mau menyerah, dan terus mendesak dengan permohonannya. Maka akhirnya singa itu menyerah, meminta serigala itu menempati guanya, memanjat ke puncak dan mengamati seekor gajah di sana. Kembali ke mulut gua, ia berkata, “Teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala.” Kemudian dari Gua Emas, serigala itu [493] dengan gesit melompat keluar, mencari berkeliling pada empat penjuru, dan melolong sebanyak tiga kali, kemudian menerjang ke arah gajah itu, bertujuan untuk mengunci kepalanya, namun sasarannya meleset, ia mendarat di kaki gajah tersebut. Makhluk yang marah itu mengangkat kaki kanannya dan menghantam kepala serigala tersebut. Ia menginjak tulang-tulangnya hingga menjadi tepung, kemudian memukuli bangkainya menjadi satu tumpukan, dan membuang kotoran di atasnya. Setelah itu gajah tersebut berlari masuk ke dalam hutan. Melihat semua ini, Bodhisatta berkata, “Sekarang, teruslah bersinar dalam kemuliaanmu, Serigala.” Dan mengucapkan syair berikut ini: —
Mayatmu yang rusak, otak yang hancur menjadi tepung,
Menunjukkan bagaimana engkau terus bersinar
dalam kemuliaanmu hari ini.
Demikianlah yang diucapkan oleh Bodhisatta, dan hidup hingga usia tua sebelum ia meninggal dunia dalam waktu yang sempurna untuk terlahir kembali di alam bahagia sesuai dengan hasil perbuatannya.
___________________
Setelah uraian-Nya berakhir, Sang Guru menjelaskan kelahiran tersebut dengan berkata, “Devadatta adalah serigala di masa itu, dan Saya adalah singa.”
Catatan kaki :
222 Catatan Vinaya (Cullavagga,vii.4) mengabaikan tendangan itu, hanya menyatakan Kokalikā membangunkan Devadatta, dan bahwa, mendengar berita mengenai penyeberangan itu, “darah yang masih hangat muncrat keluar dari mulut Devadatta.” Dalam catatan lainnya (Spence Hardy dan Bigandet) dikatakan Devadatta meninggal saat dan waktu itu juga.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com