DADDARA-JĀTAKA
Daddarajātaka (Ja 172)
“Siapakah gerangan dengan teriakan yang sangat keras,” dan seterusnya. Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Sang Guru di Jetavana tentang Kokālika (Kokalika).
Dikatakan bahwasanya terdapat beberapa bhikkhu yang pandai di daerah Manosilā, yang berbicara seperti singa-singa muda, cukup keras untuk menurunkan Gangga Surgawi50, [66] ketika melafalkan sutta di tengah-tengah para bhikkhu.
Dan ketika mereka melafalkan sutta-sutta, Kokalika (dengan tidak mengetahui kebodohan apa yang dia tunjukan pada dirinya sendiri) berpikir bahwa dia akan melakukan hal yang sama. Maka dia pergi menghampiri para bhikkhu, tanpa memperkenalkan namanya, berkata, “Mereka tidak memintaku untuk melafalkan sutta. Seandainya mereka memintaku, saya pasti akan melakukannya.”
Para bhikkhu mengetahui hal ini dan mereka berpikir bahwa mereka akan menguji dirinya. “Āvuso Kokalika,” kata mereka, “perdengarkanlah beberapa pelafalan sutta kepada para bhikkhu hari ini.” Dia setuju untuk melakukannya, tanpa menyadari kebodohannya; pada hari itu juga dia akan membacakannya di depan para bhikkhu.
Dia pertama-tama menyantap bubur yang dibuat sesuai seleranya, memakan makanan utama, dan meminum beberapa hidangan sup kesukaannya. Di saat senja, bunyi gong berkumandang untuk (menandakan) waktu pemberian khotbah Dhamma; para bhikkhu berkumpul bersama. Jubah (dalam) yang dikenakannya berwarna kuning seperti warna bunga landep51, dan jubah luarnya berwarna putih seperti bunga kaṇikāra 52. Dengan berpakaian demikian, dia masuk ke tengah-tengah para bhikkhu lainnya, memberi salam kepada para bhikkhu senior, melangkah naik ke alas duduk di bawah paviliun yang berhiaskan batu berharga, memegang sebuah kipas yang diukir dengan sangat bagus; dia duduk, bersiap diri untuk memulai melafalkan sutta.
Tetapi pada saat itu, butiran-butiran keringat mulai bercucuran keluar dari tubuhnya, dan dia merasa malu. Bait pertama dari sutta dia lafalkan, tetapi dia tidak mampu mengingat bait-bait selanjutnya. Maka dia bangkit dari duduknya dalam kebingungan, keluar dari pertemuan para bhikkhu itu dan kembali ke kamarnya.
Seorang bhikkhu yang pandai kemudian melafalkan sutta tersebut. Sejak saat itu, semua bhikkhu mengetahui betapa kosongnya dia.
Pada suatu hari, para bhikkhu membicarakan hal ini di dalam balai kebenaran: “Āvuso, sebelumnya sangatlah tidak mudah untuk melihat betapa kosongnya si Kokalika. Akan tetapi, sekarang dia telah bersuara kembali sesuai dengan dirinya, dan menunjukkannya demikian.” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka diskusikan bersama. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata—“ Para Bhikkhu, Ini bukan pertama kalinya Kokalika menipu dirinya dengan ucapannya sendiri; hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya,” dan kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah di masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa, [67] dan merupakan raja dari semua singa. Dengan sejumlah singa-singa lainnya, dia tinggal di Gua Perak. Di dekat sana hiduplah seekor serigala, yang tinggal di gua yang lain.
Suatu hari, setelah hujan reda, semua singa berkumpul bersama di depan pintu masuk gua milik raja mereka, saling mengaum dengan sangat keras dan bermain lompat-lompatan ke sana ke sini. Saat mereka mengaum dan bermain, sang serigala juga meninggikan suaranya. “Serigala ini, mengeluarkan suara yang sama seperti kita!” kata singa-singa; mereka merasa malu dan diam.
Ketika mereka semua diam, anak dari Bodhisatta menanyakan pertanyaan ini kepadanya, “Ayah, semua singa yang tadinya mengaum dan bermain sekarang menjadi diam atas sesuatu yang memalukan setelah mendengar suara dari makhluk di sana. Makhluk apakah yang menipu dirinya sendiri dengan suaranya?” dan dia mengulangi bait pertama:
Siapakah gerangan dengan teriakan yang sangat keras
yang membuat (Gunung) Daddara bergema?
Siapakah dirinya, Raja dari para hewan?
Dan mengapa dia tidak mendapatkan sambutan yang baik?
Terhadap kata-kata anaknya, sang singa tua mengulangi bait kedua:
Serigala, yang paling hina di antara semua hewan,
dirinyalah yang membuat suara itu:
Singa-singa tidak menyukai kerendahan dirinya,
ketika mereka duduk melingkar dalam keheningan.
“Para Bhikkhu,” Sang Guru menambahkan, “ini bukan pertama kalinya Kokalika menipu dirinya sendiri dengan ucapannya, hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya,” dan mengakhiri uraian-Nya, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Kokālika (Kokalika) adalah sang serigala, Rāhula adalah singa muda, dan Aku sendiri adalah raja singa.”
Catatan kaki :
49 Fausbøll, Lima kisah Jātaka hal. 45 (tidak diterjemahkan); dibawah, No. 188 and 189.
50 ākāsagaṅga; terjemahan bahasa Inggris menuliskan ‘The Milky Way’ pada catatan kaki. Lihat cerita pembuka pada no. 1.
51 kaṇṭakuranda; Barleria cristata.
52 Pterospermum acerifolium.
Dikatakan bahwasanya terdapat beberapa bhikkhu yang pandai di daerah Manosilā, yang berbicara seperti singa-singa muda, cukup keras untuk menurunkan Gangga Surgawi50, [66] ketika melafalkan sutta di tengah-tengah para bhikkhu.
Dan ketika mereka melafalkan sutta-sutta, Kokalika (dengan tidak mengetahui kebodohan apa yang dia tunjukan pada dirinya sendiri) berpikir bahwa dia akan melakukan hal yang sama. Maka dia pergi menghampiri para bhikkhu, tanpa memperkenalkan namanya, berkata, “Mereka tidak memintaku untuk melafalkan sutta. Seandainya mereka memintaku, saya pasti akan melakukannya.”
Para bhikkhu mengetahui hal ini dan mereka berpikir bahwa mereka akan menguji dirinya. “Āvuso Kokalika,” kata mereka, “perdengarkanlah beberapa pelafalan sutta kepada para bhikkhu hari ini.” Dia setuju untuk melakukannya, tanpa menyadari kebodohannya; pada hari itu juga dia akan membacakannya di depan para bhikkhu.
Dia pertama-tama menyantap bubur yang dibuat sesuai seleranya, memakan makanan utama, dan meminum beberapa hidangan sup kesukaannya. Di saat senja, bunyi gong berkumandang untuk (menandakan) waktu pemberian khotbah Dhamma; para bhikkhu berkumpul bersama. Jubah (dalam) yang dikenakannya berwarna kuning seperti warna bunga landep51, dan jubah luarnya berwarna putih seperti bunga kaṇikāra 52. Dengan berpakaian demikian, dia masuk ke tengah-tengah para bhikkhu lainnya, memberi salam kepada para bhikkhu senior, melangkah naik ke alas duduk di bawah paviliun yang berhiaskan batu berharga, memegang sebuah kipas yang diukir dengan sangat bagus; dia duduk, bersiap diri untuk memulai melafalkan sutta.
Tetapi pada saat itu, butiran-butiran keringat mulai bercucuran keluar dari tubuhnya, dan dia merasa malu. Bait pertama dari sutta dia lafalkan, tetapi dia tidak mampu mengingat bait-bait selanjutnya. Maka dia bangkit dari duduknya dalam kebingungan, keluar dari pertemuan para bhikkhu itu dan kembali ke kamarnya.
Seorang bhikkhu yang pandai kemudian melafalkan sutta tersebut. Sejak saat itu, semua bhikkhu mengetahui betapa kosongnya dia.
Pada suatu hari, para bhikkhu membicarakan hal ini di dalam balai kebenaran: “Āvuso, sebelumnya sangatlah tidak mudah untuk melihat betapa kosongnya si Kokalika. Akan tetapi, sekarang dia telah bersuara kembali sesuai dengan dirinya, dan menunjukkannya demikian.” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka diskusikan bersama. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata—“ Para Bhikkhu, Ini bukan pertama kalinya Kokalika menipu dirinya dengan ucapannya sendiri; hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya,” dan kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah di masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor singa, [67] dan merupakan raja dari semua singa. Dengan sejumlah singa-singa lainnya, dia tinggal di Gua Perak. Di dekat sana hiduplah seekor serigala, yang tinggal di gua yang lain.
Suatu hari, setelah hujan reda, semua singa berkumpul bersama di depan pintu masuk gua milik raja mereka, saling mengaum dengan sangat keras dan bermain lompat-lompatan ke sana ke sini. Saat mereka mengaum dan bermain, sang serigala juga meninggikan suaranya. “Serigala ini, mengeluarkan suara yang sama seperti kita!” kata singa-singa; mereka merasa malu dan diam.
Ketika mereka semua diam, anak dari Bodhisatta menanyakan pertanyaan ini kepadanya, “Ayah, semua singa yang tadinya mengaum dan bermain sekarang menjadi diam atas sesuatu yang memalukan setelah mendengar suara dari makhluk di sana. Makhluk apakah yang menipu dirinya sendiri dengan suaranya?” dan dia mengulangi bait pertama:
Siapakah gerangan dengan teriakan yang sangat keras
yang membuat (Gunung) Daddara bergema?
Siapakah dirinya, Raja dari para hewan?
Dan mengapa dia tidak mendapatkan sambutan yang baik?
Terhadap kata-kata anaknya, sang singa tua mengulangi bait kedua:
Serigala, yang paling hina di antara semua hewan,
dirinyalah yang membuat suara itu:
Singa-singa tidak menyukai kerendahan dirinya,
ketika mereka duduk melingkar dalam keheningan.
“Para Bhikkhu,” Sang Guru menambahkan, “ini bukan pertama kalinya Kokalika menipu dirinya sendiri dengan ucapannya, hal yang sama juga pernah terjadi sebelumnya,” dan mengakhiri uraian-Nya, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Kokālika (Kokalika) adalah sang serigala, Rāhula adalah singa muda, dan Aku sendiri adalah raja singa.”
Catatan kaki :
49 Fausbøll, Lima kisah Jātaka hal. 45 (tidak diterjemahkan); dibawah, No. 188 and 189.
50 ākāsagaṅga; terjemahan bahasa Inggris menuliskan ‘The Milky Way’ pada catatan kaki. Lihat cerita pembuka pada no. 1.
51 kaṇṭakuranda; Barleria cristata.
52 Pterospermum acerifolium.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com