VĀLODAKA-JĀTAKA
Vālodakajātaka (Ja 183)
“Minuman sisa yang lemah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang lima ratus orang yang menyantap sisa-sisa makanan.
Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi terdapat lima ratus orang yang telah meninggalkan urusan duniawi kepada putra-putri mereka, [96] dan tinggal bersama, di bawah ajaran Sang Guru. Dari mereka semua ini, sebagian mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi, sebagian mencapai tingkat kesucian Anāgāmi, tidak ada lagi satu pun dari mereka yang menjadi manusia biasa.
Orang-orang yang mengundang Sang Guru juga akan mengundang mereka ini. Tetapi mereka mempunyai lima ratus pembantu yang melayani mereka, membawakan mereka sikat gigi, air pencuci mulut, dan untaian bunga; anak-anak ini memakan sisa-sisa makanan mereka. Setelah makan dan istirahat, mereka biasanya berlari turun ke Aciravatī, dan di tepi sungai tersebut mereka akan bergulat seperti para mallian77 asli, berteriak terus-menerus. Sedangkan kelima ratus upasaka tersebut begitu tenang, hampir tidak menimbulkan suara ribut sama sekali, dan selalu menjaga keheningan.
Sang Guru kebetulan mendengar suara para pembantu itu bersorak-sorai. “Suara apakah itu, Ānanda (Ananda)?” tanya Beliau. “Para pembantu yang memakan sisa-sisa makanan,” adalah jawabannya. Sang Guru berkata: “Ananda, ini bukan pertama kalinya para pembantu ini hidup dengan menyantap sisa-sisa makanan dan membuat keributan sesudahnya, tetapi juga mereka telah melakukan hal yang sama sebelumnya. Dan kemudian juga para upasaka ini di masa lampau begitu tenang, sama seperti mereka sekarang.”
Setelah berkata demikian, atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari salah satu menterinya, dan menjadi penasihat raja dalam semua hal, baik pemerintahan maupun spiritual. Kabar terdengar sampai kepada raja tentang adanya pemberontakan di perbatasan. Dia memerintahkan lima ratus kuda dipersiapkan untuknya, dan bala tentara lengkap dengan empat kelompok pengawal78. Dengan persiapan ini dia berangkat, dan (berhasil) memadamkan pemberontakan, setelah itu, dia kembali ke Benares.
Sesampainya di istana, dia memberikan perintah, “Karena kuda-kuda telah letih, berikan mereka makanan yang penuh kandungan airnya dan sari buah anggur untuk diminum.” Kuda-kuda itu meminum minuman lezat tersebut, beristirahat di dalam kandang mereka, dan berdiri dengan tenang di dalamnya.
Tetapi terdapat banyak sekali sisa minuman mereka, dengan hampir semua sarinya yang telah diperas keluar. Para penjaga kuda menanyakan kepada raja apa yang harus dilakukan. “Campurkan dengan air,” perintahnya, “saring dengan kain, dan berikan kepada keledai-keledai yang membawa makanan kuda.” Minuman sisa itu pun diminum oleh keledai-kedelai tersebut. Ini membuat mereka kehilangan pengendalian diri dan mereka pun berlarian dengan kencang di halaman istana sambil mengeluarkan suara-suara ribut yang keras.
Dari sebuah jendela yang terbuka, raja melihat Bodhisatta dan memanggilnya. [97] “Lihatlah di sana, bagaimana gilanya keledai-keledai itu karena minuman sisa tersebut! Bagaimana mereka mengeluarkan suara, bagaimana mereka melompat-lompat! Sedangkan kuda-kuda keturunan bagus tersebut, setelah meminum minuman keras tersebut, tidak mengeluarkan suara-suara ribut; mereka sangatlah diam, dan tidak melompat-lompat sama sekali. Apakah artinya ini?” dan dia mengulangi bait pertama:
Minuman sisa yang lemah,
sarinya telah diperas semua79
membuat semua keledai ini mabuk tidak karuan:
Kuda-kuda keturunan bagus,
yang meminum sari buah keras tersebut,
berdiri diam, juga tidak melompat-lompat.
Dan Bodhisatta menjelaskan hal ini dalam bait kedua:—
Makhluk rendah yang kasar,
mencicipi dan merasai,
kemudian bersenang-senang dan mabuk:
Dia yang mulia akan selalu menjaga pikirannya jernih
meskipun menghabisi minuman yang paling keras.
Setelah raja mendengar jawaban Bodhisatta, dia memerintahkan keledai-keledai untuk dikeluarkan dari halaman istana. Kemudian, dengan tetap menuruti nasihat Bodhisatta, dia memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya sampai akhirnya meninggal dan menerima buah sesuai dengan perbuatannya.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:— “Pada masa itu, para pembantu itu adalah kelima ratus keledai, dan para upasaka adalah kelima ratus kuda keturunan bagus, Ānanda (Ananda) adalah sang raja, dan penasihat bijak itu adalah diri-Ku sendiri.”
Catatan kaki :
76 Cerita pembukanya berbeda di dalam Dhammapada, Komentar, hal. 274.
77 Mallian adalah suku ahli pegulat.
78 Pasukan yang menunggangi gajah (pasukan bergajah), pasukan berkuda, pasukan berkereta (perang), dan pasukan berjalan kaki.
79 Dhammapada, hal. 275.
Dikatakan bahwasanya di Sāvatthi terdapat lima ratus orang yang telah meninggalkan urusan duniawi kepada putra-putri mereka, [96] dan tinggal bersama, di bawah ajaran Sang Guru. Dari mereka semua ini, sebagian mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi, sebagian mencapai tingkat kesucian Anāgāmi, tidak ada lagi satu pun dari mereka yang menjadi manusia biasa.
Orang-orang yang mengundang Sang Guru juga akan mengundang mereka ini. Tetapi mereka mempunyai lima ratus pembantu yang melayani mereka, membawakan mereka sikat gigi, air pencuci mulut, dan untaian bunga; anak-anak ini memakan sisa-sisa makanan mereka. Setelah makan dan istirahat, mereka biasanya berlari turun ke Aciravatī, dan di tepi sungai tersebut mereka akan bergulat seperti para mallian77 asli, berteriak terus-menerus. Sedangkan kelima ratus upasaka tersebut begitu tenang, hampir tidak menimbulkan suara ribut sama sekali, dan selalu menjaga keheningan.
Sang Guru kebetulan mendengar suara para pembantu itu bersorak-sorai. “Suara apakah itu, Ānanda (Ananda)?” tanya Beliau. “Para pembantu yang memakan sisa-sisa makanan,” adalah jawabannya. Sang Guru berkata: “Ananda, ini bukan pertama kalinya para pembantu ini hidup dengan menyantap sisa-sisa makanan dan membuat keributan sesudahnya, tetapi juga mereka telah melakukan hal yang sama sebelumnya. Dan kemudian juga para upasaka ini di masa lampau begitu tenang, sama seperti mereka sekarang.”
Setelah berkata demikian, atas permintaannya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari salah satu menterinya, dan menjadi penasihat raja dalam semua hal, baik pemerintahan maupun spiritual. Kabar terdengar sampai kepada raja tentang adanya pemberontakan di perbatasan. Dia memerintahkan lima ratus kuda dipersiapkan untuknya, dan bala tentara lengkap dengan empat kelompok pengawal78. Dengan persiapan ini dia berangkat, dan (berhasil) memadamkan pemberontakan, setelah itu, dia kembali ke Benares.
Sesampainya di istana, dia memberikan perintah, “Karena kuda-kuda telah letih, berikan mereka makanan yang penuh kandungan airnya dan sari buah anggur untuk diminum.” Kuda-kuda itu meminum minuman lezat tersebut, beristirahat di dalam kandang mereka, dan berdiri dengan tenang di dalamnya.
Tetapi terdapat banyak sekali sisa minuman mereka, dengan hampir semua sarinya yang telah diperas keluar. Para penjaga kuda menanyakan kepada raja apa yang harus dilakukan. “Campurkan dengan air,” perintahnya, “saring dengan kain, dan berikan kepada keledai-keledai yang membawa makanan kuda.” Minuman sisa itu pun diminum oleh keledai-kedelai tersebut. Ini membuat mereka kehilangan pengendalian diri dan mereka pun berlarian dengan kencang di halaman istana sambil mengeluarkan suara-suara ribut yang keras.
Dari sebuah jendela yang terbuka, raja melihat Bodhisatta dan memanggilnya. [97] “Lihatlah di sana, bagaimana gilanya keledai-keledai itu karena minuman sisa tersebut! Bagaimana mereka mengeluarkan suara, bagaimana mereka melompat-lompat! Sedangkan kuda-kuda keturunan bagus tersebut, setelah meminum minuman keras tersebut, tidak mengeluarkan suara-suara ribut; mereka sangatlah diam, dan tidak melompat-lompat sama sekali. Apakah artinya ini?” dan dia mengulangi bait pertama:
Minuman sisa yang lemah,
sarinya telah diperas semua79
membuat semua keledai ini mabuk tidak karuan:
Kuda-kuda keturunan bagus,
yang meminum sari buah keras tersebut,
berdiri diam, juga tidak melompat-lompat.
Dan Bodhisatta menjelaskan hal ini dalam bait kedua:—
Makhluk rendah yang kasar,
mencicipi dan merasai,
kemudian bersenang-senang dan mabuk:
Dia yang mulia akan selalu menjaga pikirannya jernih
meskipun menghabisi minuman yang paling keras.
Setelah raja mendengar jawaban Bodhisatta, dia memerintahkan keledai-keledai untuk dikeluarkan dari halaman istana. Kemudian, dengan tetap menuruti nasihat Bodhisatta, dia memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya sampai akhirnya meninggal dan menerima buah sesuai dengan perbuatannya.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:— “Pada masa itu, para pembantu itu adalah kelima ratus keledai, dan para upasaka adalah kelima ratus kuda keturunan bagus, Ānanda (Ananda) adalah sang raja, dan penasihat bijak itu adalah diri-Ku sendiri.”
Catatan kaki :
76 Cerita pembukanya berbeda di dalam Dhammapada, Komentar, hal. 274.
77 Mallian adalah suku ahli pegulat.
78 Pasukan yang menunggangi gajah (pasukan bergajah), pasukan berkuda, pasukan berkereta (perang), dan pasukan berjalan kaki.
79 Dhammapada, hal. 275.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com