CULLA-PADUMA-JĀTAKA
Cūḷapadumajātaka (Ja 193)
“Ini tidak lain,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal (tidak puas).
Cerita pembuka ini akan dikemukakan di dalam Ummadantī-Jātaka97. Ketika bhikkhu ini ditanya oleh Sang Guru apakah benar bahwasanya dia itu seorang yang tidak puas, dia menjawab bahwa itu benar.
“Siapakah,” kata Sang Guru, “yang menyebabkan Anda tidak puas?” Dia menjawab bahwa dia telah melihat seorang wanita yang berpakaian bagus dan karena ditaklukkan oleh nafsulah menyebabkan dirinya tidak puas.
Kemudian Sang Guru berkata, “Bhikkhu, kaum wanita semuanya tidak berterima kasih dan tidak setia; orang-orang di masa lampau bahkan sangat bodoh sampai memberikan darah dari lutut kanan kepada mereka untuk diminum dan membuat mereka menyerahkan sepanjang hidup mereka, tetapi masih tidak berhasil mendapatkan hati mereka (wanita).”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
[116] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai putra permaisuri. Pada hari pemberian namanya, mereka memberinya nama Pangeran Paduma (Teratai). Setelah dirinya, lahir enam adik laki-laki. Satu per satu dari mereka bertujuh tumbuh dewasa, menikah dan menetap, hidup sebagai rekan-rekan raja.
Suatu hari raja memandang ke luar, ke halaman istana dan ketika sedang memandang, dia melihat pemuda-pemuda ini dengan pengikut yang banyak dalam perjalanan untuk melayaninya. Timbul kecurigaan bahwasanya mereka bermaksud untuk membunuhnya dan merebut kerajaannya. Jadi dia memanggil mereka dan dengan cara begini berkata kepada mereka, “Putra-putraku, kalian tidak boleh tinggal di kota ini. Jadi pergilah ke tempat lain dan setelah saya wafat, barulah kalian pulang kembali, ambillah kerajaan ini yang merupakan milik keluarga kita.”
Mereka setuju dengan kata-kata ayah mereka, dan pulang ke rumah sambil menangis dan meratap. “Bukan masalah ke mana kita akan pergi!” ratap mereka; dan membawa istri-istri mereka bersama, mereka meninggalkan kota dan melakukan perjalanan jauh.
Hingga sampailah mereka ke suatu hutan, tempat mereka tidak bisa mendapatkan makanan atau minuman. Dan karena tidak bisa menahan sakit karena kelaparan, mereka bertekad untuk menyelamatkan diri mereka dengan mengorbankan para wanita.
Mereka menangkap istri dari adik yang paling muda dan membunuhnya; mereka membagi tubuhnya menjadi tiga belas bagian dan memakannya. Tetapi Bodhisatta dan istrinya menyisihkan satu bagian dan memakan sisanya bersama.
Demikian yang mereka lakukan selama enam hari; membunuh dan memakan enam wanita; dan setiap hari Bodhisatta menyisihkan satu bagian, jadi dia mempunyai enam bagian yang disimpan. Pada hari ketujuh, yang lainnya hendak menangkap istri Bodhisatta untuk dibunuh, tetapi sebagai gantinya dia memberikan enam bagian yang telah disimpannya. “Makanlah ini,” katanya, “besok saya akan menanganinya.” Mereka semua makan daging tersebut, dan pada saat mereka tertidur, Bodhisatta dan istrinya melarikan diri.
Ketika mereka telah mencapai jarak tertentu, wanita tersebut berkata, “Suamiku, saya tidak bisa berjalan lebih jauh lagi.” Jadi Bodhisatta mengangkatnya di pundaknya dan pada saat matahari terbit, mereka keluar dari hutan. Ketika matahari telah terbit, wanita itu berkata—“Suamiku, saya haus!”
“Tidak ada air disini, Istriku!” katanya.
Tetapi dia memohonnya terus-menerus, sampai dia menusukkan pedangnya ke lutut kanannya, [117] dan berkata, “Tidak ada air, tetapi duduklah dan minumlah darah dari lututku.” Demikianlah yang dilakukan istrinya.
Hingga sampailah mereka ke Sungai Gangga yang sangat besar. Mereka minum, mandi dan makan semua jenis buah serta beristirahat di sebuah tempat yang nyaman. Dan di sana, dekat tikungan sungai, mereka membuat sebuah gubuk petapa dan tinggal di dalamnya.
Kala itu, seorang perampok di daerah hulu Sungai Gangga telah terbukti bersalah. Tangan, kaki, hidung dan telinganya telah dipotong, dia diletakkan di dalam sebuah perahu yang dihanyutkan ke sungai besar itu. Sampai tempat ini, dia terapung, sambil merintih keras kesakitan.
Bodhisatta mendengar rintihannya yang amat memilukan. “Selama saya hidup,” katanya, “tidak boleh ada makhluk malang yang mati untukku!” Dia pergi ke tepi sungai dan menyelamatkan orang itu. Dia membawanya ke gubuk dan dengan losion dan minyak, dia merawat lukanya. Tetapi istrinya berkata dalam hati, “Orang yang dikeluarkannya dari Sungai Gangga untuk dirawat ini adalah orang yang malas!” Dan dia selalu berjalan sambil meludah dikarenakan kejijikan terhadap orang tersebut.
Setelah luka orang tersebut mulai menutup, Bodhisatta membiarkannya berdiam di gubuk itu bersama dengan istrinya, dan dia membawakan segala jenis buah-buahan dari hutan untuk memberi makan kepada orang tersebut dan istrinya. Dan karena mereka berdiam bersama, istri Bodhisatta jatuh cinta kepada orang tersebut dan melakukan zina.
Kemudian dia berniat membunuh Bodhisatta dan berkata kepadanya, “Suamiku, ketika berada di pundakmu di saat kita keluar dari hutan, saya melihat bukit di sana dan berjanji jika Anda dan saya selamat dan tidak terluka, saya akan memberikan persembahan kepada makhluk dewata yang ada di bukit itu. Sekarang makhluk dewata itu menghantuiku, dan saya berniat untuk memberikan persembahanku!” “Bagus sekali,” kata Bodhisatta, tanpa mengetahui muslihatnya. Dia pun mempersiapkan persembahan tersebut dan mengantar kepadanya benda-benda persembahan, dia mendaki puncak bukit itu. [118] Kemudian istrinya berkata kepadanya, “Suamiku, bukan makhluk dewata bukit ini, melainkan dirimulah pemimpin para dewataku! Kemudian sebagai penghormatan kepadamu, pertama saya akan mempersembahkan bunga-bunga ini dan berjalan dengan penuh hormat mengelilingimu dan Anda tetap berada di sebelah kananku, dan saya memberi hormat kepadamu: setelah itu, saya akan memberikan persembahanku kepada makhluk dewata bukit ini.” Sambil berkata demikian, dia mengarahkan suaminya menghadap ke tebing curam dan berpura-pura siap untuk memberi hormat dengan berpradaksina 98 . Demikianlah dia berada di belakang suaminya, dia memukul punggungnya dan melemparkannya ke bawah tebing itu. Kemudian dia berteriak dengan gembira, “Saya telah melihat punggung musuhku!” dan dia turun dari gunung kemudian pergi menjumpai kekasihnya.
Bodhisatta jatuh ke bawah tebing, tetapi dia tersangkut di dedaunan, di atas puncak pohon elo99 yang tidak berduri. Tetapi dia masih tetap tidak bisa turun dari bukit tersebut, jadi di sana dia duduk di antara ranting-ranting, sambil memakan buah-buah elo. Kebetulan di sana terdapat seekor kadal besar (iguana) yang biasanya memanjat dari kaki bukit tersebut dan memakan buah dari pohon elo ini. Hari itu, dia melihat Bodhisatta dan melarikan diri. Hari berikutnya, dia datang dan memakan beberapa buah dari sisi lain pohon itu. Lagi dan lagi dia datang, sampai akhirnya dia menjalin persahabatan dengan Bodhisatta.
“Bagaimana Anda bisa sampai ke tempat ini?” tanyanya; dan Bodhisatta menceritakan kepadanya. “Baiklah, jangan takut,” kata iguana; dan membawanya di punggungnya, dia turun dari bukit itu dan membawanya keluar dari hutan. Di sana dia menurunkannya di jalan besar, menunjukkan kepadanya jalan mana yang harus ditempuh, dan dia sendiri kembali ke dalam hutan.
Bodhisatta melanjutkan perjalanan ke sebuah desa dan tinggal di sana sampai dia mendengar kabar tentang kematian ayahnya. Mengetahui hal ini, dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Benares. Di sana dia mewarisi kerajaan milik keluarganya dan mendapatkan nama Raja Paduma; sepuluh kualitas seorang raja100 tidak diabaikannya dan dia memerintah dengan benar. Dia membangun enam balai distribusi dana (balai derma), satu di masing-masing ke empat gerbang, satu di tengah kota dan satunya lagi di depan istana; dan setiap harinya dia mendistribusikan derma sebesar enam ratus ribu keping uang.
Kala itu istrinya, sambil membawa kekasih di pundaknya, keluar dari hutan, dia pergi mengemis ke orang-orang, mengumpulkan nasi dan bubur untuk menghidupi kekasihnya. [119] Kalau dia ditanya apa hubungan laki-laki itu dengannya, dia akan menjawab, “Ibunya adalah kakak dari ayah saya, dia adalah sepupu saya 101 ; mereka memberikan diriku kepadanya. Walaupun dia akan menemui ajalnya, saya tetap akan memikul suamiku ini di pundakku, menjaganya, dan mengemis makanan untuk menopang hidupnya!”
“Betapa istri yang penuh pengabdian!” kata semua orang. Dan sejak saat itu, mereka memberinya lebih banyak makanan daripada sebelumnya. Beberapa dari mereka bahkan memberinya nasihat, berkata, “Janganlah hidup seperti ini. Raja Paduma adalah Raja Benares; dia telah menggemparkan seluruh India dengan kemurahan hatinya. Dia pastinya akan senang bertemu denganmu; Dia akan menjadi begitu gembira sehingga akan memberikanmu derma yang banyak. Taruhlah suamimu ke dalam keranjang ini dan temuilah beliau.” Berkata demikian, mereka membujuknya dan memberikannya satu keranjang daun.
Wanita jahat tersebut menaruh kekasihnya ke dalam keranjang itu dan sambil mengangkatnya, dia pergi ke Benares dan hidup dari apa yang didapatkannya dari balai distribusi dana. Bodhisatta sering menunggangi gajah kerajaan yang penuh perhiasan ke balai derma, dan setelah memberi derma kepada delapan atau sepuluh orang, dia akan pulang ke rumah lagi.
Kemudian wanita jahat itu menaruh kekasihnya ke dalam keranjang dan sambil mengangkatnya, dia berdiri di tempat yang biasa raja lewati. Raja melihatnya. “Siapakah dia?” tanya raja. “Seorang istri yang penuh pengabdian,” adalah jawabannya. Raja memanggilnya dan mengenali siapa dirinya. Raja memerintahkannya untuk menurunkan laki-laki itu dari keranjangnya, dan bertanya kepada wanita tersebut, “Apa hubungan laki-laki ini denganmu?”—“Dia adalah anak dari kakak ayah saya, diberikan kepadaku oleh keluargaku, suami saya sendiri,” jawabnya. “Ah, betapa seorang istri yang penuh pengabdian!” teriak semua orang, karena mereka tidak tahu seluk-beluknya; dan mereka memuji wanita jahat tersebut.
“Apa—orang rendah ini sepupumu? Apakah keluargamu memberikannya kepadamu?” tanya raja, “Suamimu, benarkah demikian?” Wanita tersebut tidak mengenali raja, dan, “Ya, Paduka!” katanya. “Dan inikah putra Raja Benares? Bukankah Anda istri Pangeran Paduma, putri dari seorang raja anu, namamu adalah anu? Bukankah Anda yang minum darah dari lututku? Bukankah Anda jatuh cinta kepada orang rendah ini, dan melempar saya ke bawah tebing? Ah, Anda pikir saya telah mati, dan di sini Anda berada, dengan kematian tertulis di dahimu sendiri—dan inilah saya, masih hidup!” [120] Kemudian dia menoleh ke arah pejabat istananya. “Ingatkah kalian tentang apa yang saya ceritakan, ketika kalian bertanya kepadaku? Enam adik-adikku membunuh enam istri mereka dan memakannya; tetapi saya melindungi istriku tanpa terlukai dan membawanya ke tepi Sungai Gangga, tempat saya tinggal di gubuk petapa. Saya menarik seorang pelaku kejahatan keluar dari sungai itu dan merawatnya. Wanita ini jatuh cinta kepadanya dan melempar saya ke bawah tebing, tetapi saya dapat menyelamatkan diriku dengan menunjukkan kebaikan. Ini tidak lain adalah wanita jahat yang melempar saya dari tebing itu: ini, dan tidak lain, adalah makhluk rendah yang dihukum itu!” Dan dia mengucapkan bait berikut:
Ini tidak lain, dan wanita rendah ini adalah dia;
Makhluk rendah yang tidak bertangan, tidak lain,
yang kalian lihat;
Kata wanita itu—‘Ini adalah suamiku.’
Para wanita pantas mati;
mereka tidak mempunyai kebenaran.
Dengan sebuah tongkat besar, pukullah makhluk rendah ini
sampai mati, yang berbaring menunggu untuk merampas istri orang lain.
Kemudian bawa wanita rendah yang setia ini segera,
potonglah hidung dan telinganya sebelum dia mati.
[121] Walaupun Bodhisatta tidak bisa menyembunyikan amarahnya dan menjatuhkan hukuman ini untuk mereka, tetapi dia tidak melakukan seperti itu; dia kemudian menahan amarahnya dan memerintahkan untuk mengikat keranjang tersebut ke kepala wanita itu dengan sangat kencang hingga dia tidak bisa melepasnya; makhluk rendah itu diletakkannya ke dalam keranjang dan mereka diusir keluar dari kerajaannya.
Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, bhikkhu yang menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, para thera anu adalah keenam bersaudara tersebut, Ciñcā adalah sang istri, Devadatta adalah pelaku kejahatan, Ānanda adalah iguana, dan Raja Paduma adalah diri-Ku sendiri.”
Catatan kaki :
96 Lihat Pañcatantra IV. 5 (Benfey, II hal. 305); Tibetan Tales, no. XXI. “How a Woman requites Love.”
97 No. 527.
98 Berjalan sambil tetap mengarahkan sisi kanan badan pada objek yang dihormati; berpradaksina; paddakhiṇā.
99 udumbara; Ficus glomerata.
100 Rajadhamma: dāna (kedermawanan), sīla (moralitas), pariccāga (kemurahan hati), ajjava (kejujuran), maddava (kelembutan), tapo (pengendalian diri), akkodha (cinta kasih), avihimsā (belas kasih), khanti (kesabaran), avirodhana (kesantunan).
101 Di dalam versi Sansekertanya berbunyi “dia dianiaya oleh sanak saudara,” yang menyebabkan dia berada dalam keadaan seperti itu.
Diposting oleh Thiyan Ika di 10.17
Cerita pembuka ini akan dikemukakan di dalam Ummadantī-Jātaka97. Ketika bhikkhu ini ditanya oleh Sang Guru apakah benar bahwasanya dia itu seorang yang tidak puas, dia menjawab bahwa itu benar.
“Siapakah,” kata Sang Guru, “yang menyebabkan Anda tidak puas?” Dia menjawab bahwa dia telah melihat seorang wanita yang berpakaian bagus dan karena ditaklukkan oleh nafsulah menyebabkan dirinya tidak puas.
Kemudian Sang Guru berkata, “Bhikkhu, kaum wanita semuanya tidak berterima kasih dan tidak setia; orang-orang di masa lampau bahkan sangat bodoh sampai memberikan darah dari lutut kanan kepada mereka untuk diminum dan membuat mereka menyerahkan sepanjang hidup mereka, tetapi masih tidak berhasil mendapatkan hati mereka (wanita).”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
[116] Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai putra permaisuri. Pada hari pemberian namanya, mereka memberinya nama Pangeran Paduma (Teratai). Setelah dirinya, lahir enam adik laki-laki. Satu per satu dari mereka bertujuh tumbuh dewasa, menikah dan menetap, hidup sebagai rekan-rekan raja.
Suatu hari raja memandang ke luar, ke halaman istana dan ketika sedang memandang, dia melihat pemuda-pemuda ini dengan pengikut yang banyak dalam perjalanan untuk melayaninya. Timbul kecurigaan bahwasanya mereka bermaksud untuk membunuhnya dan merebut kerajaannya. Jadi dia memanggil mereka dan dengan cara begini berkata kepada mereka, “Putra-putraku, kalian tidak boleh tinggal di kota ini. Jadi pergilah ke tempat lain dan setelah saya wafat, barulah kalian pulang kembali, ambillah kerajaan ini yang merupakan milik keluarga kita.”
Mereka setuju dengan kata-kata ayah mereka, dan pulang ke rumah sambil menangis dan meratap. “Bukan masalah ke mana kita akan pergi!” ratap mereka; dan membawa istri-istri mereka bersama, mereka meninggalkan kota dan melakukan perjalanan jauh.
Hingga sampailah mereka ke suatu hutan, tempat mereka tidak bisa mendapatkan makanan atau minuman. Dan karena tidak bisa menahan sakit karena kelaparan, mereka bertekad untuk menyelamatkan diri mereka dengan mengorbankan para wanita.
Mereka menangkap istri dari adik yang paling muda dan membunuhnya; mereka membagi tubuhnya menjadi tiga belas bagian dan memakannya. Tetapi Bodhisatta dan istrinya menyisihkan satu bagian dan memakan sisanya bersama.
Demikian yang mereka lakukan selama enam hari; membunuh dan memakan enam wanita; dan setiap hari Bodhisatta menyisihkan satu bagian, jadi dia mempunyai enam bagian yang disimpan. Pada hari ketujuh, yang lainnya hendak menangkap istri Bodhisatta untuk dibunuh, tetapi sebagai gantinya dia memberikan enam bagian yang telah disimpannya. “Makanlah ini,” katanya, “besok saya akan menanganinya.” Mereka semua makan daging tersebut, dan pada saat mereka tertidur, Bodhisatta dan istrinya melarikan diri.
Ketika mereka telah mencapai jarak tertentu, wanita tersebut berkata, “Suamiku, saya tidak bisa berjalan lebih jauh lagi.” Jadi Bodhisatta mengangkatnya di pundaknya dan pada saat matahari terbit, mereka keluar dari hutan. Ketika matahari telah terbit, wanita itu berkata—“Suamiku, saya haus!”
“Tidak ada air disini, Istriku!” katanya.
Tetapi dia memohonnya terus-menerus, sampai dia menusukkan pedangnya ke lutut kanannya, [117] dan berkata, “Tidak ada air, tetapi duduklah dan minumlah darah dari lututku.” Demikianlah yang dilakukan istrinya.
Hingga sampailah mereka ke Sungai Gangga yang sangat besar. Mereka minum, mandi dan makan semua jenis buah serta beristirahat di sebuah tempat yang nyaman. Dan di sana, dekat tikungan sungai, mereka membuat sebuah gubuk petapa dan tinggal di dalamnya.
Kala itu, seorang perampok di daerah hulu Sungai Gangga telah terbukti bersalah. Tangan, kaki, hidung dan telinganya telah dipotong, dia diletakkan di dalam sebuah perahu yang dihanyutkan ke sungai besar itu. Sampai tempat ini, dia terapung, sambil merintih keras kesakitan.
Bodhisatta mendengar rintihannya yang amat memilukan. “Selama saya hidup,” katanya, “tidak boleh ada makhluk malang yang mati untukku!” Dia pergi ke tepi sungai dan menyelamatkan orang itu. Dia membawanya ke gubuk dan dengan losion dan minyak, dia merawat lukanya. Tetapi istrinya berkata dalam hati, “Orang yang dikeluarkannya dari Sungai Gangga untuk dirawat ini adalah orang yang malas!” Dan dia selalu berjalan sambil meludah dikarenakan kejijikan terhadap orang tersebut.
Setelah luka orang tersebut mulai menutup, Bodhisatta membiarkannya berdiam di gubuk itu bersama dengan istrinya, dan dia membawakan segala jenis buah-buahan dari hutan untuk memberi makan kepada orang tersebut dan istrinya. Dan karena mereka berdiam bersama, istri Bodhisatta jatuh cinta kepada orang tersebut dan melakukan zina.
Kemudian dia berniat membunuh Bodhisatta dan berkata kepadanya, “Suamiku, ketika berada di pundakmu di saat kita keluar dari hutan, saya melihat bukit di sana dan berjanji jika Anda dan saya selamat dan tidak terluka, saya akan memberikan persembahan kepada makhluk dewata yang ada di bukit itu. Sekarang makhluk dewata itu menghantuiku, dan saya berniat untuk memberikan persembahanku!” “Bagus sekali,” kata Bodhisatta, tanpa mengetahui muslihatnya. Dia pun mempersiapkan persembahan tersebut dan mengantar kepadanya benda-benda persembahan, dia mendaki puncak bukit itu. [118] Kemudian istrinya berkata kepadanya, “Suamiku, bukan makhluk dewata bukit ini, melainkan dirimulah pemimpin para dewataku! Kemudian sebagai penghormatan kepadamu, pertama saya akan mempersembahkan bunga-bunga ini dan berjalan dengan penuh hormat mengelilingimu dan Anda tetap berada di sebelah kananku, dan saya memberi hormat kepadamu: setelah itu, saya akan memberikan persembahanku kepada makhluk dewata bukit ini.” Sambil berkata demikian, dia mengarahkan suaminya menghadap ke tebing curam dan berpura-pura siap untuk memberi hormat dengan berpradaksina 98 . Demikianlah dia berada di belakang suaminya, dia memukul punggungnya dan melemparkannya ke bawah tebing itu. Kemudian dia berteriak dengan gembira, “Saya telah melihat punggung musuhku!” dan dia turun dari gunung kemudian pergi menjumpai kekasihnya.
Bodhisatta jatuh ke bawah tebing, tetapi dia tersangkut di dedaunan, di atas puncak pohon elo99 yang tidak berduri. Tetapi dia masih tetap tidak bisa turun dari bukit tersebut, jadi di sana dia duduk di antara ranting-ranting, sambil memakan buah-buah elo. Kebetulan di sana terdapat seekor kadal besar (iguana) yang biasanya memanjat dari kaki bukit tersebut dan memakan buah dari pohon elo ini. Hari itu, dia melihat Bodhisatta dan melarikan diri. Hari berikutnya, dia datang dan memakan beberapa buah dari sisi lain pohon itu. Lagi dan lagi dia datang, sampai akhirnya dia menjalin persahabatan dengan Bodhisatta.
“Bagaimana Anda bisa sampai ke tempat ini?” tanyanya; dan Bodhisatta menceritakan kepadanya. “Baiklah, jangan takut,” kata iguana; dan membawanya di punggungnya, dia turun dari bukit itu dan membawanya keluar dari hutan. Di sana dia menurunkannya di jalan besar, menunjukkan kepadanya jalan mana yang harus ditempuh, dan dia sendiri kembali ke dalam hutan.
Bodhisatta melanjutkan perjalanan ke sebuah desa dan tinggal di sana sampai dia mendengar kabar tentang kematian ayahnya. Mengetahui hal ini, dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Benares. Di sana dia mewarisi kerajaan milik keluarganya dan mendapatkan nama Raja Paduma; sepuluh kualitas seorang raja100 tidak diabaikannya dan dia memerintah dengan benar. Dia membangun enam balai distribusi dana (balai derma), satu di masing-masing ke empat gerbang, satu di tengah kota dan satunya lagi di depan istana; dan setiap harinya dia mendistribusikan derma sebesar enam ratus ribu keping uang.
Kala itu istrinya, sambil membawa kekasih di pundaknya, keluar dari hutan, dia pergi mengemis ke orang-orang, mengumpulkan nasi dan bubur untuk menghidupi kekasihnya. [119] Kalau dia ditanya apa hubungan laki-laki itu dengannya, dia akan menjawab, “Ibunya adalah kakak dari ayah saya, dia adalah sepupu saya 101 ; mereka memberikan diriku kepadanya. Walaupun dia akan menemui ajalnya, saya tetap akan memikul suamiku ini di pundakku, menjaganya, dan mengemis makanan untuk menopang hidupnya!”
“Betapa istri yang penuh pengabdian!” kata semua orang. Dan sejak saat itu, mereka memberinya lebih banyak makanan daripada sebelumnya. Beberapa dari mereka bahkan memberinya nasihat, berkata, “Janganlah hidup seperti ini. Raja Paduma adalah Raja Benares; dia telah menggemparkan seluruh India dengan kemurahan hatinya. Dia pastinya akan senang bertemu denganmu; Dia akan menjadi begitu gembira sehingga akan memberikanmu derma yang banyak. Taruhlah suamimu ke dalam keranjang ini dan temuilah beliau.” Berkata demikian, mereka membujuknya dan memberikannya satu keranjang daun.
Wanita jahat tersebut menaruh kekasihnya ke dalam keranjang itu dan sambil mengangkatnya, dia pergi ke Benares dan hidup dari apa yang didapatkannya dari balai distribusi dana. Bodhisatta sering menunggangi gajah kerajaan yang penuh perhiasan ke balai derma, dan setelah memberi derma kepada delapan atau sepuluh orang, dia akan pulang ke rumah lagi.
Kemudian wanita jahat itu menaruh kekasihnya ke dalam keranjang dan sambil mengangkatnya, dia berdiri di tempat yang biasa raja lewati. Raja melihatnya. “Siapakah dia?” tanya raja. “Seorang istri yang penuh pengabdian,” adalah jawabannya. Raja memanggilnya dan mengenali siapa dirinya. Raja memerintahkannya untuk menurunkan laki-laki itu dari keranjangnya, dan bertanya kepada wanita tersebut, “Apa hubungan laki-laki ini denganmu?”—“Dia adalah anak dari kakak ayah saya, diberikan kepadaku oleh keluargaku, suami saya sendiri,” jawabnya. “Ah, betapa seorang istri yang penuh pengabdian!” teriak semua orang, karena mereka tidak tahu seluk-beluknya; dan mereka memuji wanita jahat tersebut.
“Apa—orang rendah ini sepupumu? Apakah keluargamu memberikannya kepadamu?” tanya raja, “Suamimu, benarkah demikian?” Wanita tersebut tidak mengenali raja, dan, “Ya, Paduka!” katanya. “Dan inikah putra Raja Benares? Bukankah Anda istri Pangeran Paduma, putri dari seorang raja anu, namamu adalah anu? Bukankah Anda yang minum darah dari lututku? Bukankah Anda jatuh cinta kepada orang rendah ini, dan melempar saya ke bawah tebing? Ah, Anda pikir saya telah mati, dan di sini Anda berada, dengan kematian tertulis di dahimu sendiri—dan inilah saya, masih hidup!” [120] Kemudian dia menoleh ke arah pejabat istananya. “Ingatkah kalian tentang apa yang saya ceritakan, ketika kalian bertanya kepadaku? Enam adik-adikku membunuh enam istri mereka dan memakannya; tetapi saya melindungi istriku tanpa terlukai dan membawanya ke tepi Sungai Gangga, tempat saya tinggal di gubuk petapa. Saya menarik seorang pelaku kejahatan keluar dari sungai itu dan merawatnya. Wanita ini jatuh cinta kepadanya dan melempar saya ke bawah tebing, tetapi saya dapat menyelamatkan diriku dengan menunjukkan kebaikan. Ini tidak lain adalah wanita jahat yang melempar saya dari tebing itu: ini, dan tidak lain, adalah makhluk rendah yang dihukum itu!” Dan dia mengucapkan bait berikut:
Ini tidak lain, dan wanita rendah ini adalah dia;
Makhluk rendah yang tidak bertangan, tidak lain,
yang kalian lihat;
Kata wanita itu—‘Ini adalah suamiku.’
Para wanita pantas mati;
mereka tidak mempunyai kebenaran.
Dengan sebuah tongkat besar, pukullah makhluk rendah ini
sampai mati, yang berbaring menunggu untuk merampas istri orang lain.
Kemudian bawa wanita rendah yang setia ini segera,
potonglah hidung dan telinganya sebelum dia mati.
[121] Walaupun Bodhisatta tidak bisa menyembunyikan amarahnya dan menjatuhkan hukuman ini untuk mereka, tetapi dia tidak melakukan seperti itu; dia kemudian menahan amarahnya dan memerintahkan untuk mengikat keranjang tersebut ke kepala wanita itu dengan sangat kencang hingga dia tidak bisa melepasnya; makhluk rendah itu diletakkannya ke dalam keranjang dan mereka diusir keluar dari kerajaannya.
Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, bhikkhu yang menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, para thera anu adalah keenam bersaudara tersebut, Ciñcā adalah sang istri, Devadatta adalah pelaku kejahatan, Ānanda adalah iguana, dan Raja Paduma adalah diri-Ku sendiri.”
Catatan kaki :
96 Lihat Pañcatantra IV. 5 (Benfey, II hal. 305); Tibetan Tales, no. XXI. “How a Woman requites Love.”
97 No. 527.
98 Berjalan sambil tetap mengarahkan sisi kanan badan pada objek yang dihormati; berpradaksina; paddakhiṇā.
99 udumbara; Ficus glomerata.
100 Rajadhamma: dāna (kedermawanan), sīla (moralitas), pariccāga (kemurahan hati), ajjava (kejujuran), maddava (kelembutan), tapo (pengendalian diri), akkodha (cinta kasih), avihimsā (belas kasih), khanti (kesabaran), avirodhana (kesantunan).
101 Di dalam versi Sansekertanya berbunyi “dia dianiaya oleh sanak saudara,” yang menyebabkan dia berada dalam keadaan seperti itu.
Diposting oleh Thiyan Ika di 10.17
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com