KEḶI-SĪLA-JĀTAKA
Keḷisīlajātaka (Ja 202)
“Angsa, bangau, gajah”, dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang Yang Mulia Lakuṇṭaka (Lakuntaka) nan baik.
Yang Mulia Lakuntaka adalah orang yang terkenal atas keyakinannya terhadap Sang Buddha, orang yang terkemuka, bermulut manis, pengkhotbah yang baik, yang memiliki pengetahuan analitik, yang telah dengan sempurna melenyapkan leleran batin (āsava), tetapi dengan perawakannya yang paling kecil di antara delapan puluh mahathera, tidak lebih besar dari seorang samanera, seperti anak kecil bisa yang diajak bermain.
Suatu hari, dia berada di depan gerbang Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha ketika tiga puluh bhikkhu dari daerah itu sampai di pintu gerbang dalam perjalanan memberi penghormatan kepada Sang Buddha juga.
Ketika melihat thera ini, mereka mengira dia adalah samanera; mereka menarik ujung jubahnya, mereka memegang tangannya, memegang kepalanya, mencubit hidungnya dan menarik telinganya kemudian mengguncangnya dan memperlakukannya dengan sangat kasar; kemudian setelah meletakkan patta dan jubah, mereka menghampiri Sang Guru dan memberi hormat kepada-Nya.
Kemudian mereka bertanya kepada Beliau, “Bhante, kami tahu bahwa Anda memiliki seorang thera yang bernama Lakuntaka yang baik, seorang pengkhotbah yang manis. Di manakah dia?” “Kalian ingin bertemu dengannya?” tanya Sang Guru. “Ya, Bhante.” “Dia adalah orang yang kalian jumpa di gerbang tadi, orang yang kalian tarik jubahnya dan yang kalian perlakukan dengan sangat kasar sebelum kalian datang ke sini.” “Mengapa, Bhante,” tanya mereka, “mengapa dia seorang yang memiliki keyakinan, yang beraspirasi tinggi, seorang siswa sejati—mengapa dia kelihatan sangat tidak berarti?” “Dikarenakan perbuatan buruknya sendiri,” jawab Sang Guru.
Atas permintaan mereka, Beliau kemudian menceritakan kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Sakka, raja para dewa. Brahmadatta tidak tahan melihat apa saja yang tua atau lemah, apakah itu gajah, kuda, sapi, atau apa saja. Dia sangat nakal, dan apabila melihat yang seperti itu, dia akan mempermainkan mereka; gerobak-gerobak tua dihancurkannya, dan wanita-wanita tua yang dilihatnya akan dipanggil, lalu Brahmadatta memukul perut mereka, kemudian menyuruh mereka berdiri lagi dan membuat mereka menjadi takut; dia menyuruh laki-laki tua bergulingan dan bermain di tanah layaknya pemain akrobat. Bila dia tidak melihat mereka, tetapi hanya mendengar ada laki-laki tua di kota anu, [143] maka dia akan memanggilnya dan mempermainkannya.
Dikarenakan hal ini, orang-orang dengan alasan perbuatan yang memalukan itu, mengirim orang tua mereka ke luar dari batas wilayah kerajaan. Tidak ada lagi orang yang merawat ibu dan ayah mereka. Teman-teman raja sama nakalnya seperti raja. Setelah orang-orang meninggal, mereka memenuhi penghuni keempat alam rendah110; penghuni alam dewa menjadi semakin menyusut.
Sakka melihat tidak ada pendatang baru di antara para dewa, maka dia pun mencari apa yang dapat dilakukannya. Pada akhirnya, dia menemukan suatu cara. “Saya akan membuatnya menjadi baik!” pikir Sakka. Dia pun menjelma menjadi orang tua dan meletakkan dua kendi susu di sebuah kereta yang sangat tua yang ditarik oleh sepasang sapi tua, kemudian berangkat pada suatu hari perayaan.
Brahmadatta, dengan menunggangi gajah yang dihiasi secara mewah, sedang berkeliling kota yang juga telah dihiasi semuanya; dan Sakka, dengan berpakaian compang-camping, mengendarai keretanya, datang menjumpai raja. Ketika raja melihat kereta tua, dia berteriak, “Kamu, pergilah dengan keretamu itu!” Tetapi orang-orangnya menjawab, “Di mana itu, Paduka? Kami tidak melihat satu kereta pun!” (Sakka dengan kekuatannya membuat dia tidak dapat dilihat oleh siapa pun kecuali raja).
Dan, menghampiri raja berulang kali, akhirnya Sakka yang masih mengendari keretanya menghancurkan salah satu kendinya di atas kepala raja dan membuatnya berpaling, kemudian dia menghancurkan yang satunya lagi dengan cara yang sama. Dan susu itu pun mengucur dari kedua sisi kepala raja. Demikianlah raja itu dipermainkan dan disiksa, dibuat menderita oleh kelakuan Sakka.
Ketika melihatnya demikian menderita, Sakka membuat keretanya hilang dan kembali ke wujud asalnya. Dengan melayang di tengah udara, petir di tangannya, dia mengecamnya—“Wahai Raja yang Jahat dan yang Tidak Benar, apakah Anda sendiri tidak akan menjadi tua? Tidakkah usia tua menyerang dirimu nantinya? Anda masih saja mempermainkan dan mengganggu, dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk terhadap orang yang tua! Dikarenakan dirimu seorang, dan kelakuanmu ini, setiap orang yang meninggal akan memenuhi keempat alam rendah, dan orang-orang tidak bisa merawat orang tua mereka! Jika Anda tidak menghentikan ini, akan kubelah kepalamu dengan petir batu permataku. Pergilah, dan jangan melakukannya lagi.”
Setelah mengucapkan kecaman ini, Sakka memaparkan nilai-nilai dari orang tua dan memaparkan berkah dari menghormati orang yang tua. Kemudian dia kembali ke kediamannya sendiri.
Sejak saat itu, raja tidak pernah lagi terpikir untuk melakukan apa yang biasa dilakukan sebelumnya.
[144] Kisah ini berakhir, Dia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya, mengulangi dua bait berikut:—
Angsa, bangau, gajah dan rusa,
meskipun semuanya tidak sama,
tetapi mereka sama-sama takut terhadap singa.
Demikianlah seorang anak bisa menjadi hebat
jika dia pandai;
Orang bodoh mungkin saja besar,
tetapi tidak akan pernah bisa menjadi hebat111.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, sebagian bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi dan sebagian lagi mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Lakuṇṭaka (Lakuntaka) yang baik adalah raja pada kisah tersebut, yang membuat orang-orang sebagai sasaran dari olok-olokannya dan kemudian dia sendiri juga menjadi sasaran, sedangkan Aku adalah Sakka.”
Catatan kaki :
110 apāya yaitu neraka, alam hewan, alam peta (hantu), alam asura (makhluk semidewa).
111 Baris-baris ini muncul di Samyutta-Nikāya, pt. II. XXI. 6 (ii. hal. 279, ed. P. T. S.).
Diposting oleh Thiyan Ika di 09.42
Yang Mulia Lakuntaka adalah orang yang terkenal atas keyakinannya terhadap Sang Buddha, orang yang terkemuka, bermulut manis, pengkhotbah yang baik, yang memiliki pengetahuan analitik, yang telah dengan sempurna melenyapkan leleran batin (āsava), tetapi dengan perawakannya yang paling kecil di antara delapan puluh mahathera, tidak lebih besar dari seorang samanera, seperti anak kecil bisa yang diajak bermain.
Suatu hari, dia berada di depan gerbang Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha ketika tiga puluh bhikkhu dari daerah itu sampai di pintu gerbang dalam perjalanan memberi penghormatan kepada Sang Buddha juga.
Ketika melihat thera ini, mereka mengira dia adalah samanera; mereka menarik ujung jubahnya, mereka memegang tangannya, memegang kepalanya, mencubit hidungnya dan menarik telinganya kemudian mengguncangnya dan memperlakukannya dengan sangat kasar; kemudian setelah meletakkan patta dan jubah, mereka menghampiri Sang Guru dan memberi hormat kepada-Nya.
Kemudian mereka bertanya kepada Beliau, “Bhante, kami tahu bahwa Anda memiliki seorang thera yang bernama Lakuntaka yang baik, seorang pengkhotbah yang manis. Di manakah dia?” “Kalian ingin bertemu dengannya?” tanya Sang Guru. “Ya, Bhante.” “Dia adalah orang yang kalian jumpa di gerbang tadi, orang yang kalian tarik jubahnya dan yang kalian perlakukan dengan sangat kasar sebelum kalian datang ke sini.” “Mengapa, Bhante,” tanya mereka, “mengapa dia seorang yang memiliki keyakinan, yang beraspirasi tinggi, seorang siswa sejati—mengapa dia kelihatan sangat tidak berarti?” “Dikarenakan perbuatan buruknya sendiri,” jawab Sang Guru.
Atas permintaan mereka, Beliau kemudian menceritakan kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai Sakka, raja para dewa. Brahmadatta tidak tahan melihat apa saja yang tua atau lemah, apakah itu gajah, kuda, sapi, atau apa saja. Dia sangat nakal, dan apabila melihat yang seperti itu, dia akan mempermainkan mereka; gerobak-gerobak tua dihancurkannya, dan wanita-wanita tua yang dilihatnya akan dipanggil, lalu Brahmadatta memukul perut mereka, kemudian menyuruh mereka berdiri lagi dan membuat mereka menjadi takut; dia menyuruh laki-laki tua bergulingan dan bermain di tanah layaknya pemain akrobat. Bila dia tidak melihat mereka, tetapi hanya mendengar ada laki-laki tua di kota anu, [143] maka dia akan memanggilnya dan mempermainkannya.
Dikarenakan hal ini, orang-orang dengan alasan perbuatan yang memalukan itu, mengirim orang tua mereka ke luar dari batas wilayah kerajaan. Tidak ada lagi orang yang merawat ibu dan ayah mereka. Teman-teman raja sama nakalnya seperti raja. Setelah orang-orang meninggal, mereka memenuhi penghuni keempat alam rendah110; penghuni alam dewa menjadi semakin menyusut.
Sakka melihat tidak ada pendatang baru di antara para dewa, maka dia pun mencari apa yang dapat dilakukannya. Pada akhirnya, dia menemukan suatu cara. “Saya akan membuatnya menjadi baik!” pikir Sakka. Dia pun menjelma menjadi orang tua dan meletakkan dua kendi susu di sebuah kereta yang sangat tua yang ditarik oleh sepasang sapi tua, kemudian berangkat pada suatu hari perayaan.
Brahmadatta, dengan menunggangi gajah yang dihiasi secara mewah, sedang berkeliling kota yang juga telah dihiasi semuanya; dan Sakka, dengan berpakaian compang-camping, mengendarai keretanya, datang menjumpai raja. Ketika raja melihat kereta tua, dia berteriak, “Kamu, pergilah dengan keretamu itu!” Tetapi orang-orangnya menjawab, “Di mana itu, Paduka? Kami tidak melihat satu kereta pun!” (Sakka dengan kekuatannya membuat dia tidak dapat dilihat oleh siapa pun kecuali raja).
Dan, menghampiri raja berulang kali, akhirnya Sakka yang masih mengendari keretanya menghancurkan salah satu kendinya di atas kepala raja dan membuatnya berpaling, kemudian dia menghancurkan yang satunya lagi dengan cara yang sama. Dan susu itu pun mengucur dari kedua sisi kepala raja. Demikianlah raja itu dipermainkan dan disiksa, dibuat menderita oleh kelakuan Sakka.
Ketika melihatnya demikian menderita, Sakka membuat keretanya hilang dan kembali ke wujud asalnya. Dengan melayang di tengah udara, petir di tangannya, dia mengecamnya—“Wahai Raja yang Jahat dan yang Tidak Benar, apakah Anda sendiri tidak akan menjadi tua? Tidakkah usia tua menyerang dirimu nantinya? Anda masih saja mempermainkan dan mengganggu, dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk terhadap orang yang tua! Dikarenakan dirimu seorang, dan kelakuanmu ini, setiap orang yang meninggal akan memenuhi keempat alam rendah, dan orang-orang tidak bisa merawat orang tua mereka! Jika Anda tidak menghentikan ini, akan kubelah kepalamu dengan petir batu permataku. Pergilah, dan jangan melakukannya lagi.”
Setelah mengucapkan kecaman ini, Sakka memaparkan nilai-nilai dari orang tua dan memaparkan berkah dari menghormati orang yang tua. Kemudian dia kembali ke kediamannya sendiri.
Sejak saat itu, raja tidak pernah lagi terpikir untuk melakukan apa yang biasa dilakukan sebelumnya.
[144] Kisah ini berakhir, Dia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya, mengulangi dua bait berikut:—
Angsa, bangau, gajah dan rusa,
meskipun semuanya tidak sama,
tetapi mereka sama-sama takut terhadap singa.
Demikianlah seorang anak bisa menjadi hebat
jika dia pandai;
Orang bodoh mungkin saja besar,
tetapi tidak akan pernah bisa menjadi hebat111.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran-kebenaran, sebagian bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian Sotāpanna, sebagian mencapai tingkat kesucian Sakadāgāmi dan sebagian lagi mencapai tingkat kesucian Arahat:—“Lakuṇṭaka (Lakuntaka) yang baik adalah raja pada kisah tersebut, yang membuat orang-orang sebagai sasaran dari olok-olokannya dan kemudian dia sendiri juga menjadi sasaran, sedangkan Aku adalah Sakka.”
Catatan kaki :
110 apāya yaitu neraka, alam hewan, alam peta (hantu), alam asura (makhluk semidewa).
111 Baris-baris ini muncul di Samyutta-Nikāya, pt. II. XXI. 6 (ii. hal. 279, ed. P. T. S.).
Diposting oleh Thiyan Ika di 09.42
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com