GAṄGEYYA-JĀTAKA
Gaṅgeyyajātaka (Ja 205)
[151] “Ikan-ikan dari,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Sang Guru ketika tinggal di Jetavana, tentang dua bhikkhu muda.
Dikatakan bahwasanya dua bhikkhu muda ini adalah anggota dari sebuah keluarga yang terpandang di Sāvatthi dan memiliki keyakinan. Tetapi mereka, dengan tidak menyadari akan keburukan dari badan jasmani, memuji ketampanan mereka sendiri dan menyombongkan hal tersebut.
Suatu hari mereka bertengkar dikarenakan permasalahan ini: “Anda tampan, demikian juga saya,” kata mereka masing-masing. Melihat ada seorang thera tua yang duduk tidak jauh dari sana, mereka setuju kalau dia mungkin tahu apakah mereka tampan atau tidak. Kemudian mereka menghampirinya dan bertanya, “Bhante, siapakah yang tampan di antara kami?” Sang Thera menjawab, “Āvuso, saya lebih tampan daripada kalian berdua.” Terhadap ini, kedua bhikkhu muda tersebut mencelanya dan pergi, sambil mengomel bahwa dia menjawab sesuatu yang tidak mereka tanyakan, tetapi tidak menjawab apa yang mereka tanyakan.
Para bhikkhu mengetahui kejadian ini, dan pada suatu hari, ketika bersama-sama di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, thera tersebut mempermalukan kedua bhikkhu muda yang pikirannya dipenuhi dengan ketampanan mereka sendiri!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan selama mereka duduk bersama. Mereka menceritakan kepada-Nya. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, kedua bhikkhu muda ini memuja ketampanan mereka sendiri, tetapi di masa lampau juga mereka selalu menyombongkannya seperti apa yang mereka lakukan sekarang.”
Dan kemudian Beliau menceritakan mereka sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon di tepi Sungai Gangga. Pada satu titik, tempat Gangga dan Jumma bertemu, dua ekor ikan bertemu satu sama lain, satu dari Gangga dan satu dari Jumma. “Saya cantik!” kata yang satu, “dan begitu juga kamu!” dan kemudian mereka bertengkar mengenai kecantikan mereka.
Tidak jauh dari Sungai Gangga, mereka melihat seekor kura-kura berbaring di tepi sungai, “Teman di sana yang akan memutuskan apakah kita cantik atau tidak!” kata mereka. Dan mereka pun menghampirinya. “Siapakah yang cantik di antara kami, Teman Kura-kura,” tanya mereka, “ikan Gangga atau ikan Jumma?” Kura-kura menjawab, “Ikan Gangga cantik dan ikan Jumma juga cantik, tetapi sayalah yang paling cantik di antara kalian berdua.” Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama:— [152]
Ikan-ikan dari Sungai Jumma itu cantik,
ikan-ikan dari Sungai Gangga cantik,
tetapi seekor makhluk berkaki empat,
dengan leher lonjong seperti saya,
bulat seperti pohon beringin yang menyebar,
pastilah melebihi semuanya.
Ketika mendengar ini, kedua ikan itu berkata, “He, Kura-kura Jahat, kamu tidak menjawab pertanyaan kami, malah menjawab yang lain!” dan mereka mengulangi bait kedua:
Kami menanyakan ini, dia menjawab itu:
sungguh sebuah jawaban yang aneh!
Dengan lidahnya sendiri dia memuji diri sendiri:—
saya tidak menyukainya!
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, kedua bhikkhu muda adalah kedua ekor ikan, sang thera tua adalah kura-kura, dan Aku adalah dewa pohon yang melihat semua kejadian itu dari tepi Sungai Gangga.”
Diposting oleh Thiyan Ika di 09.46
Dikatakan bahwasanya dua bhikkhu muda ini adalah anggota dari sebuah keluarga yang terpandang di Sāvatthi dan memiliki keyakinan. Tetapi mereka, dengan tidak menyadari akan keburukan dari badan jasmani, memuji ketampanan mereka sendiri dan menyombongkan hal tersebut.
Suatu hari mereka bertengkar dikarenakan permasalahan ini: “Anda tampan, demikian juga saya,” kata mereka masing-masing. Melihat ada seorang thera tua yang duduk tidak jauh dari sana, mereka setuju kalau dia mungkin tahu apakah mereka tampan atau tidak. Kemudian mereka menghampirinya dan bertanya, “Bhante, siapakah yang tampan di antara kami?” Sang Thera menjawab, “Āvuso, saya lebih tampan daripada kalian berdua.” Terhadap ini, kedua bhikkhu muda tersebut mencelanya dan pergi, sambil mengomel bahwa dia menjawab sesuatu yang tidak mereka tanyakan, tetapi tidak menjawab apa yang mereka tanyakan.
Para bhikkhu mengetahui kejadian ini, dan pada suatu hari, ketika bersama-sama di dalam balai kebenaran, mereka mulai membicarakannya, “Āvuso, thera tersebut mempermalukan kedua bhikkhu muda yang pikirannya dipenuhi dengan ketampanan mereka sendiri!” Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan selama mereka duduk bersama. Mereka menceritakan kepada-Nya. Beliau kemudian berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, kedua bhikkhu muda ini memuja ketampanan mereka sendiri, tetapi di masa lampau juga mereka selalu menyombongkannya seperti apa yang mereka lakukan sekarang.”
Dan kemudian Beliau menceritakan mereka sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala, pada masa pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seorang dewa pohon di tepi Sungai Gangga. Pada satu titik, tempat Gangga dan Jumma bertemu, dua ekor ikan bertemu satu sama lain, satu dari Gangga dan satu dari Jumma. “Saya cantik!” kata yang satu, “dan begitu juga kamu!” dan kemudian mereka bertengkar mengenai kecantikan mereka.
Tidak jauh dari Sungai Gangga, mereka melihat seekor kura-kura berbaring di tepi sungai, “Teman di sana yang akan memutuskan apakah kita cantik atau tidak!” kata mereka. Dan mereka pun menghampirinya. “Siapakah yang cantik di antara kami, Teman Kura-kura,” tanya mereka, “ikan Gangga atau ikan Jumma?” Kura-kura menjawab, “Ikan Gangga cantik dan ikan Jumma juga cantik, tetapi sayalah yang paling cantik di antara kalian berdua.” Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama:— [152]
Ikan-ikan dari Sungai Jumma itu cantik,
ikan-ikan dari Sungai Gangga cantik,
tetapi seekor makhluk berkaki empat,
dengan leher lonjong seperti saya,
bulat seperti pohon beringin yang menyebar,
pastilah melebihi semuanya.
Ketika mendengar ini, kedua ikan itu berkata, “He, Kura-kura Jahat, kamu tidak menjawab pertanyaan kami, malah menjawab yang lain!” dan mereka mengulangi bait kedua:
Kami menanyakan ini, dia menjawab itu:
sungguh sebuah jawaban yang aneh!
Dengan lidahnya sendiri dia memuji diri sendiri:—
saya tidak menyukainya!
Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, kedua bhikkhu muda adalah kedua ekor ikan, sang thera tua adalah kura-kura, dan Aku adalah dewa pohon yang melihat semua kejadian itu dari tepi Sungai Gangga.”
Diposting oleh Thiyan Ika di 09.46
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com