UCCHIṬṬHA-BHATTA-JĀTAKA
Ucchiṭṭhabhattajātaka (Ja 212)
“Panas di atas,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang godaan (nafsu) terhadap seorang bhikkhu oleh mantan istrinya.
Bhikkhu tersebut ditanya oleh Sang Guru apakah benar bahwasanya dia menyesal. Dia mengiyakannya. “Karena siapa?” adalah pertanyaan berikutnya. “Karena mantan istriku.” “Bhikkhu,” kata Sang Guru, “wanita ini di masa lampau adalah jahat dan membuatmu memakan sisa-sisa makanan dari kekasihnya.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai salah satu anggota keluarga pemain akrobat yang miskin dan hidup dari meminta-minta. Jadi setelah tumbuh dewasa, dia miskin dan terlantar, hidup dengan meminta-minta.
Kala itu, di sebuah desa di Kāsi, terdapat seorang brahmana yang istrinya jahat, kejam, dan melakukan perbuatan yang salah. [168] Dan terjadi ketika suaminya sedang bepergian untuk sesuatu hal, kekasih wanita tersebut memerhatikan waktu suaminya dan mengunjungi rumah itu.
Setelah wanita tersebut menerimanya, kekasihnya itu berkata, “Saya akan makan sedikit sebelum pergi.” Jadi wanita itu menyiapkan makanan dan menghidangkan nasi panas dengan saus dan kari, kemudian memberikan kepada kekasihnya itu, memintanya untuk makan; dia sendiri berdiri di pintu, mengawasi kedatangan brahmana tersebut. Selagi kekasihnya itu makan, Bodhisatta berdiri menunggu sesuap nasi.
Kemudian brahmana itu berjalan pulang menuju ke rumah. Istrinya melihatnya semakin mendekat dan segera berlari ke dalam—“Berdiri, suamiku sedang berjalan ke sini!” dan wanita tersebut menyuruh kekasihnya turun ke dalam ruang penyimpanan.
Suaminya masuk; wanita itu memberinya tempat duduk dan air untuk mencuci tangan. Dan di atas nasi dingin yang ditinggalkan oleh kekasihnya, dia menambahkan nasi panas dan menghidangkan kepada suaminya itu. Suaminya memasukkan tangannya ke nasi itu dan merasakan panas di atas, dingin di bawah. “Ini pasti sisa makanan dari orang lain,” pikirnya; dan dia bertanya kepada wanita tersebut dengan kata-kata di bait pertama:
Panas di atas dan dingin di bawah,
sepertinya tidak sama:
Saya menanyakan alasannya kepadamu:
Mari, Istriku, berikanlah jawaban kepadaku!”
Berulangkali dia bertanya, tetapi wanita tersebut takut kalau-kalau perbuatannya akan terungkap, maka dia pun tetap bungkam. Kemudian sebuah pikiran melintas di kepala pemain akrobat ini, “Laki-laki yang berada di dalam ruang penyimpanan itu pastilah seorang kekasih (gelap) dan ini adalah kepala rumah tangga ini; istrinya tidak berkata apa-apa, takut kalau perbuatannya terbongkar. Saya akan menerangkan seluruh kejadian ini dan menunjukkan kepada brahmana bahwa ada seorang laki-laki yang bersembunyi di ruang penyimpanannya!” [169] Dan dia menceritakan seluruh kejadian kepada brahmana tersebut: bagaimana ketika dia keluar dari rumahnya, orang lain masuk dan melakukan perbuatan salah; bagaimana orang tersebut telah memakan nasi yang pertama dan istrinya berdiri di depan pintu untuk mengawasi; dan bagaimana laki-laki itu bersembunyi di ruang penyimpanan. Dan untuk mengatakannya, dia mengucapkan bait kedua:
Saya adalah seorang pemain akrobat, Tuan:
saya datang dengan tujuan mengemis di sini:
Dia yang Anda cari sedang bersembunyi di ruang penyimpanan,
ke sana dia pergi!
Dengan menarik rambutnya, dia memaksa laki-laki itu keluar dari ruang penyimpanan dan memintanya untuk tidak mengulangi perbuatannya. Brahmana tersebut mengecam dan memukul mereka berdua dan memberi mereka sebuah pelajaran agar mereka tidak akan melakukan hal yang seperti itu lagi.
Kemudian, dia meninggal dunia dan menerima hasil (buah perbuatan) sesuai dengan perbuatannya.
Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Mantan istrimu adalah istri brahmana itu; Anda, bhikkhu yang menyesal, adalah brahmana itu sendiri; dan Aku adalah pemain akrobat.”
Diposting oleh Thiyan Ika di 18.48
Bhikkhu tersebut ditanya oleh Sang Guru apakah benar bahwasanya dia menyesal. Dia mengiyakannya. “Karena siapa?” adalah pertanyaan berikutnya. “Karena mantan istriku.” “Bhikkhu,” kata Sang Guru, “wanita ini di masa lampau adalah jahat dan membuatmu memakan sisa-sisa makanan dari kekasihnya.”
Kemudian Beliau menceritakan kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dilahirkan sebagai salah satu anggota keluarga pemain akrobat yang miskin dan hidup dari meminta-minta. Jadi setelah tumbuh dewasa, dia miskin dan terlantar, hidup dengan meminta-minta.
Kala itu, di sebuah desa di Kāsi, terdapat seorang brahmana yang istrinya jahat, kejam, dan melakukan perbuatan yang salah. [168] Dan terjadi ketika suaminya sedang bepergian untuk sesuatu hal, kekasih wanita tersebut memerhatikan waktu suaminya dan mengunjungi rumah itu.
Setelah wanita tersebut menerimanya, kekasihnya itu berkata, “Saya akan makan sedikit sebelum pergi.” Jadi wanita itu menyiapkan makanan dan menghidangkan nasi panas dengan saus dan kari, kemudian memberikan kepada kekasihnya itu, memintanya untuk makan; dia sendiri berdiri di pintu, mengawasi kedatangan brahmana tersebut. Selagi kekasihnya itu makan, Bodhisatta berdiri menunggu sesuap nasi.
Kemudian brahmana itu berjalan pulang menuju ke rumah. Istrinya melihatnya semakin mendekat dan segera berlari ke dalam—“Berdiri, suamiku sedang berjalan ke sini!” dan wanita tersebut menyuruh kekasihnya turun ke dalam ruang penyimpanan.
Suaminya masuk; wanita itu memberinya tempat duduk dan air untuk mencuci tangan. Dan di atas nasi dingin yang ditinggalkan oleh kekasihnya, dia menambahkan nasi panas dan menghidangkan kepada suaminya itu. Suaminya memasukkan tangannya ke nasi itu dan merasakan panas di atas, dingin di bawah. “Ini pasti sisa makanan dari orang lain,” pikirnya; dan dia bertanya kepada wanita tersebut dengan kata-kata di bait pertama:
Panas di atas dan dingin di bawah,
sepertinya tidak sama:
Saya menanyakan alasannya kepadamu:
Mari, Istriku, berikanlah jawaban kepadaku!”
Berulangkali dia bertanya, tetapi wanita tersebut takut kalau-kalau perbuatannya akan terungkap, maka dia pun tetap bungkam. Kemudian sebuah pikiran melintas di kepala pemain akrobat ini, “Laki-laki yang berada di dalam ruang penyimpanan itu pastilah seorang kekasih (gelap) dan ini adalah kepala rumah tangga ini; istrinya tidak berkata apa-apa, takut kalau perbuatannya terbongkar. Saya akan menerangkan seluruh kejadian ini dan menunjukkan kepada brahmana bahwa ada seorang laki-laki yang bersembunyi di ruang penyimpanannya!” [169] Dan dia menceritakan seluruh kejadian kepada brahmana tersebut: bagaimana ketika dia keluar dari rumahnya, orang lain masuk dan melakukan perbuatan salah; bagaimana orang tersebut telah memakan nasi yang pertama dan istrinya berdiri di depan pintu untuk mengawasi; dan bagaimana laki-laki itu bersembunyi di ruang penyimpanan. Dan untuk mengatakannya, dia mengucapkan bait kedua:
Saya adalah seorang pemain akrobat, Tuan:
saya datang dengan tujuan mengemis di sini:
Dia yang Anda cari sedang bersembunyi di ruang penyimpanan,
ke sana dia pergi!
Dengan menarik rambutnya, dia memaksa laki-laki itu keluar dari ruang penyimpanan dan memintanya untuk tidak mengulangi perbuatannya. Brahmana tersebut mengecam dan memukul mereka berdua dan memberi mereka sebuah pelajaran agar mereka tidak akan melakukan hal yang seperti itu lagi.
Kemudian, dia meninggal dunia dan menerima hasil (buah perbuatan) sesuai dengan perbuatannya.
Setelah Sang Guru mengakhiri uraian ini, Beliau memaklumkan kebenaran-kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran ini:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Mantan istrimu adalah istri brahmana itu; Anda, bhikkhu yang menyesal, adalah brahmana itu sendiri; dan Aku adalah pemain akrobat.”
Diposting oleh Thiyan Ika di 18.48
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com