CŪLA-NANDIYA-JĀTAKA
Cūḷanandiyajātaka (Ja 222)
“Saya teringat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Veḷuvana, tentang Devadatta.
Suatu hari para bhikkhu berdiskusi di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta itu adalah orang yang kasar, bengis dan kejam, penuh dengan muslihat untuk menentang Sammāsambuddha. Dia melemparkan batu 138 , dia bahkan menggunakan bantuan Nāḷāgiri139; tidak ada perasaan kasihan dan belas kasih dalam dirinya terhadap Tathāgata.”
Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan ketika mereka duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Devadatta berkelakuan kasar, kejam, tanpa kasihan, tetapi dia juga begitu sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera yang bernama Nandiya, dan berdiam di daerah Himalaya; adiknya yang paling bungsu bernama Jollikin. Mereka berdua memimpin sebuah kelompok delapan puluh ribu ekor kera, dan mereka merawat ibunya yang buta di rumah.
Mereka meninggalkan ibu mereka di sarangnya di semak-semak dan pergi di antara pepohonan untuk mencari segala jenis buah liar yang manis, yang kemudian mereka kirim ke rumah untuknya. Para kera pesuruh tidak menyampaikannya. Tersiksa karena lapar, dia pun menjadi kurus kering. Bodhisatta berkata kepadanya, “Ibu, kami mengirim banyak buah-buahan manis kepadamu: apa yang membuatmu menjadi kurus?”
“Putraku, saya tidak pernah mendapatkannya!” [200] Bodhisatta merenung, “Di saat saya menjaga kawananku, ibuku akan mati! Saya akan meninggalkan kelompok itu, dan merawat ibuku sendiri.” Jadi dia memanggil adiknya, “Adik,” katanya, “kamu pimpin kawanan ini dan saya akan menjaga ibu.”
“Tidak, Kakak,” jawabnya, “mengapa saya harus memimpin kawanan itu? Saya juga hanya akan menjaga ibu!” Jadi mereka berdua memiliki satu pikiran dan meninggalkan kawanan kera tersebut, mereka membawa ibu mereka turun dari Himalaya dan berdiam di sebuah pohon beringin di daerah perbatasan, tempat mereka merawat sang ibu.
Kala itu, seorang brahmana yang tinggal di Takkasilā, yang telah menuntut ilmu dari seorang guru yang terkenal dan setelah itu, memohon diri, mengatakan bahwa dia akan pergi. Guru ini mempunyai kemampuan untuk meramal dari tanda-tanda badan seseorang; dan demikian dia merasa bahwa muridnya kasar, kejam dan bengis. “Anakku,” katanya, “Anda kasar, kejam dan bengis. Orang-orang seperti Anda tidak akan makmur dalam situasi apa pun; mereka hanya akan mendapatkan penderitaan dan kehancuran. Janganlah bertindak kasar dan berbuat sesuai kehendak diri Anda atau Anda akan menyesal setelahnya.” Dengan nasihat ini, dia membiarkannya pergi.
Pemuda itu berpamitan pada gurunya dan melanjutkan perjalanannya ke Benares. Di sana dia menikah dan berumahtangga. Karena tidak mampu untuk mencari nafkah dari keahlian-keahliannya yang lain, dia bertekad untuk hidup dari busurnya. Jadi dia mulai bekerja sebagai seorang pemburu, dan meninggalkan Benares untuk mencari nafkah. Menetap di perbatasan desa, dia menyisir hutan dengan dilengkapi busur dan anak panahnya, dan hidup dari menjual segala jenis daging hewan buas yang dia bunuh.
Suatu hari, ketika sedang pulang menuju ke rumah, setelah tidak menangkap apa pun di dalam hutan, dia melihat sebuah pohon beringin tumbuh berdiri di pinggir sebuah tanah lapang di hutan. “Mungkin,” pikirnya, “di sini ada sesuatu.” Dan dia membalikkan wajahnya ke pohon beringin tersebut. Kedua kera bersaudara tersebut baru saja memberi makan buah-buahan kepada ibu mereka dan duduk di belakangnya, di pohon itu, ketika mereka melihat laki-laki tersebut datang. “Meskipun dia melihat ibu kita,” kata mereka, “apa yang akan dilakukannya?” dan mereka bersembunyi di antara cabang-cabang pohon.
Kemudian orang jahat ini, ketika naik ke pohon dan melihat ibu kera tersebut lemah karena usia lanjut dan buta, berpikir, “Mengapa saya harus pulang dengan tangan kosong? Saya akan bunuh kera betina ini dahulu!” [201] dan mengangkat busurnya untuk membunuhnya. Bodhisatta melihat dan berkata kepada saudaranya, “Jollikin, orang ini hendak membunuh ibu kita! Saya akan menyelamatkan hidupnya. Setelah saya mati, Anda jagalah ibu kita.” Sambil berkata demikian, dia turun keluar dari pohon dan berteriak, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Dia buta dan lemah karena usia lanjut. Saya akan menyelamatkan hidupnya; jangan membunuhnya, tetapi bunuhlah saya!” Dan setelah yang lain berjanji kepadanya, dia duduk di tempat sejauh jangkauan anak panah.
Pemburu itu tanpa kasihan membunuh Bodhisatta; setelah dia jatuh, laki-laki itu mempersiapkan panahnya untuk membunuh ibu kera. Jollikin melihat ini dan pikirnya dalam hati, “Pemburu di sana ingin menembak ibuku. Walaupun ibu hanya hidup satu hari, dia akan menerima hadiah dari kehidupan; Saya akan memberikan nyawaku untuknya.” Maka, dia turun dari pohon, dan berkata, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Saya akan memberikan nyawaku untuknya. Bunuhlah saya—bawa kami dua bersaudara, dan ampunilah nyawa ibu kami!” Pemburu itu menyetujuinya dan Jollikin jongkok tidak jauh dari jangkauan anak panahnya. Pemburu membunuh yang satu ini juga, dan membunuhnya—“Ini cukup untuk anak-anakku di rumah,” pikirnya—dan dia menembak ibu kera itu juga; menggantungkan mereka bertiga di galahnya dan menuju ke rumah. Pada saat itu petir menyambar rumah laki-laki jahat itu, membakar istri dan kedua anaknya beserta rumah itu: tidak ada yang tersisa selain atap dan bambu yang tegak.
Seorang laki-laki bertemu dengannya di perbatasan memasuki desa dan menceritakan kepadanya. Kesedihan akan istri dan anak-anaknya melanda dirinya; di tempat itu juga dia menjatuhkan galahnya beserta hewan buruannya dan busurnya, melemparkan pakaiannya, dan telanjang dia menuju ke rumah, meratap dengan kedua tangan terjulur. Kemudian bambu yang tegak tersebut terbelah dan jatuh di atas kepalanya lalu menindihnya. Bumi terbuka lebar, api muncul dari neraka. Ketika dia ditelan bumi, dia teringat akan peringatan gurunya: [202] “Inilah ajaran yang diberikan Brahmana Pārāsariya kepadaku!” Dan sambil meratap, dia mengucapkan bait-bait berikut:
Saya teringat kata-kata guruku:
inilah yang dimaksudnya!
Hati-hatilah, jangan melakukan sesuatu
yang mungkin akan Anda sesali.
Apapun yang dilakukan seseorang,
hal yang sama akan menimpa dirinya sendiri:
Orang yang baik menjumpai yang baik,
dan yang jahat dirancang mendapatkan kejahatan;
Perbuatan kita semuanya adalah sama seperti benih,
akan menuaikan buah sejenisnya.
Demikian meratap, dia turun ke bawah bumi dan terlahir di alam neraka yang dalam.
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, yang Beliau tunjukkan bagaimana pada masa lainnya, seperti pada masa itu, Devadatta menjadi jahat, kejam dan bengis, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Devadatta adalah pemburu, Sāriputta adalah guru terkenal, Ānanda adalah Jollikin, Gotamī adalah ibu kera, dan Aku sendiri adalah Nandiya.”
Catatan kaki :
137 Questions of Milinda, iv. 4. 24 (diterjemahkan ke S. B. E., xxxv. 287).
138 Untuk pelemparan batu lihat di Cullavagga vii. 3. 9; Hardy, Manual, hal. 320.
139 Seekor gajah ganas, dilepaskan atas permintaan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha. Lihat di Cullavagga vii. 3. 11 f. (Teks Vinaya, S. B. E., iii. 247 f.); Milinda, iv. 4. 44 (dimana dia dipanggil Dhanapālaka, seperti di Vol. i. 57); Hardy, Manual, hal. 320.
Suatu hari para bhikkhu berdiskusi di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta itu adalah orang yang kasar, bengis dan kejam, penuh dengan muslihat untuk menentang Sammāsambuddha. Dia melemparkan batu 138 , dia bahkan menggunakan bantuan Nāḷāgiri139; tidak ada perasaan kasihan dan belas kasih dalam dirinya terhadap Tathāgata.”
Sang Guru masuk dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan ketika mereka duduk di sana. Mereka memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, Devadatta berkelakuan kasar, kejam, tanpa kasihan, tetapi dia juga begitu sebelumnya.”
Dan Beliau menceritakan kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kera yang bernama Nandiya, dan berdiam di daerah Himalaya; adiknya yang paling bungsu bernama Jollikin. Mereka berdua memimpin sebuah kelompok delapan puluh ribu ekor kera, dan mereka merawat ibunya yang buta di rumah.
Mereka meninggalkan ibu mereka di sarangnya di semak-semak dan pergi di antara pepohonan untuk mencari segala jenis buah liar yang manis, yang kemudian mereka kirim ke rumah untuknya. Para kera pesuruh tidak menyampaikannya. Tersiksa karena lapar, dia pun menjadi kurus kering. Bodhisatta berkata kepadanya, “Ibu, kami mengirim banyak buah-buahan manis kepadamu: apa yang membuatmu menjadi kurus?”
“Putraku, saya tidak pernah mendapatkannya!” [200] Bodhisatta merenung, “Di saat saya menjaga kawananku, ibuku akan mati! Saya akan meninggalkan kelompok itu, dan merawat ibuku sendiri.” Jadi dia memanggil adiknya, “Adik,” katanya, “kamu pimpin kawanan ini dan saya akan menjaga ibu.”
“Tidak, Kakak,” jawabnya, “mengapa saya harus memimpin kawanan itu? Saya juga hanya akan menjaga ibu!” Jadi mereka berdua memiliki satu pikiran dan meninggalkan kawanan kera tersebut, mereka membawa ibu mereka turun dari Himalaya dan berdiam di sebuah pohon beringin di daerah perbatasan, tempat mereka merawat sang ibu.
Kala itu, seorang brahmana yang tinggal di Takkasilā, yang telah menuntut ilmu dari seorang guru yang terkenal dan setelah itu, memohon diri, mengatakan bahwa dia akan pergi. Guru ini mempunyai kemampuan untuk meramal dari tanda-tanda badan seseorang; dan demikian dia merasa bahwa muridnya kasar, kejam dan bengis. “Anakku,” katanya, “Anda kasar, kejam dan bengis. Orang-orang seperti Anda tidak akan makmur dalam situasi apa pun; mereka hanya akan mendapatkan penderitaan dan kehancuran. Janganlah bertindak kasar dan berbuat sesuai kehendak diri Anda atau Anda akan menyesal setelahnya.” Dengan nasihat ini, dia membiarkannya pergi.
Pemuda itu berpamitan pada gurunya dan melanjutkan perjalanannya ke Benares. Di sana dia menikah dan berumahtangga. Karena tidak mampu untuk mencari nafkah dari keahlian-keahliannya yang lain, dia bertekad untuk hidup dari busurnya. Jadi dia mulai bekerja sebagai seorang pemburu, dan meninggalkan Benares untuk mencari nafkah. Menetap di perbatasan desa, dia menyisir hutan dengan dilengkapi busur dan anak panahnya, dan hidup dari menjual segala jenis daging hewan buas yang dia bunuh.
Suatu hari, ketika sedang pulang menuju ke rumah, setelah tidak menangkap apa pun di dalam hutan, dia melihat sebuah pohon beringin tumbuh berdiri di pinggir sebuah tanah lapang di hutan. “Mungkin,” pikirnya, “di sini ada sesuatu.” Dan dia membalikkan wajahnya ke pohon beringin tersebut. Kedua kera bersaudara tersebut baru saja memberi makan buah-buahan kepada ibu mereka dan duduk di belakangnya, di pohon itu, ketika mereka melihat laki-laki tersebut datang. “Meskipun dia melihat ibu kita,” kata mereka, “apa yang akan dilakukannya?” dan mereka bersembunyi di antara cabang-cabang pohon.
Kemudian orang jahat ini, ketika naik ke pohon dan melihat ibu kera tersebut lemah karena usia lanjut dan buta, berpikir, “Mengapa saya harus pulang dengan tangan kosong? Saya akan bunuh kera betina ini dahulu!” [201] dan mengangkat busurnya untuk membunuhnya. Bodhisatta melihat dan berkata kepada saudaranya, “Jollikin, orang ini hendak membunuh ibu kita! Saya akan menyelamatkan hidupnya. Setelah saya mati, Anda jagalah ibu kita.” Sambil berkata demikian, dia turun keluar dari pohon dan berteriak, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Dia buta dan lemah karena usia lanjut. Saya akan menyelamatkan hidupnya; jangan membunuhnya, tetapi bunuhlah saya!” Dan setelah yang lain berjanji kepadanya, dia duduk di tempat sejauh jangkauan anak panah.
Pemburu itu tanpa kasihan membunuh Bodhisatta; setelah dia jatuh, laki-laki itu mempersiapkan panahnya untuk membunuh ibu kera. Jollikin melihat ini dan pikirnya dalam hati, “Pemburu di sana ingin menembak ibuku. Walaupun ibu hanya hidup satu hari, dia akan menerima hadiah dari kehidupan; Saya akan memberikan nyawaku untuknya.” Maka, dia turun dari pohon, dan berkata, “Oh Manusia, jangan bunuh ibuku! Saya akan memberikan nyawaku untuknya. Bunuhlah saya—bawa kami dua bersaudara, dan ampunilah nyawa ibu kami!” Pemburu itu menyetujuinya dan Jollikin jongkok tidak jauh dari jangkauan anak panahnya. Pemburu membunuh yang satu ini juga, dan membunuhnya—“Ini cukup untuk anak-anakku di rumah,” pikirnya—dan dia menembak ibu kera itu juga; menggantungkan mereka bertiga di galahnya dan menuju ke rumah. Pada saat itu petir menyambar rumah laki-laki jahat itu, membakar istri dan kedua anaknya beserta rumah itu: tidak ada yang tersisa selain atap dan bambu yang tegak.
Seorang laki-laki bertemu dengannya di perbatasan memasuki desa dan menceritakan kepadanya. Kesedihan akan istri dan anak-anaknya melanda dirinya; di tempat itu juga dia menjatuhkan galahnya beserta hewan buruannya dan busurnya, melemparkan pakaiannya, dan telanjang dia menuju ke rumah, meratap dengan kedua tangan terjulur. Kemudian bambu yang tegak tersebut terbelah dan jatuh di atas kepalanya lalu menindihnya. Bumi terbuka lebar, api muncul dari neraka. Ketika dia ditelan bumi, dia teringat akan peringatan gurunya: [202] “Inilah ajaran yang diberikan Brahmana Pārāsariya kepadaku!” Dan sambil meratap, dia mengucapkan bait-bait berikut:
Saya teringat kata-kata guruku:
inilah yang dimaksudnya!
Hati-hatilah, jangan melakukan sesuatu
yang mungkin akan Anda sesali.
Apapun yang dilakukan seseorang,
hal yang sama akan menimpa dirinya sendiri:
Orang yang baik menjumpai yang baik,
dan yang jahat dirancang mendapatkan kejahatan;
Perbuatan kita semuanya adalah sama seperti benih,
akan menuaikan buah sejenisnya.
Demikian meratap, dia turun ke bawah bumi dan terlahir di alam neraka yang dalam.
Ketika Sang Guru mengakhiri uraian ini, yang Beliau tunjukkan bagaimana pada masa lainnya, seperti pada masa itu, Devadatta menjadi jahat, kejam dan bengis, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Pada masa itu, Devadatta adalah pemburu, Sāriputta adalah guru terkenal, Ānanda adalah Jollikin, Gotamī adalah ibu kera, dan Aku sendiri adalah Nandiya.”
Catatan kaki :
137 Questions of Milinda, iv. 4. 24 (diterjemahkan ke S. B. E., xxxv. 287).
138 Untuk pelemparan batu lihat di Cullavagga vii. 3. 9; Hardy, Manual, hal. 320.
139 Seekor gajah ganas, dilepaskan atas permintaan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha. Lihat di Cullavagga vii. 3. 11 f. (Teks Vinaya, S. B. E., iii. 247 f.); Milinda, iv. 4. 44 (dimana dia dipanggil Dhanapālaka, seperti di Vol. i. 57); Hardy, Manual, hal. 320.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com