KĀMANĪTA-JĀTAKA
Kāmanītajātaka (Ja 228)
“Tiga kota,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang brahmana yang bernama Kāmanīta (Kamanita).
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Buku Kedua belas, dan juga di dalam Kāma-Jātaka145.
Raja Benares memiliki dua orang putra. Dari kedua putra tersebut, putra sulungnya pergi ke Benares dan menjadi raja di sana, sedangkan putra bungsunya menjadi wakil raja. Dia yang menjadi raja dikuasai oleh kotoran batin terhadap kesenangan indriawi, kekayaan, dan keserakahan terhadap perolehan.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai Sakka, raja para dewa. Ketika meninjau keadaan Jambudīpa (India), dan memerhatikan bahwa Raja Benares dikuasai oleh nafsu kesenangan indriawi, dia berkata dalam dirinya, “Saya akan mengecam raja itu dan membuatnya malu.” Maka dengan menyamar sebagai seorang brahmana muda, dia kemudian pergi menemui raja dan menatapnya.
“Apa yang diinginkan anak muda ini?” tanya raja.
Dia berkata, “Paduka, saya melihat ada tiga kota yang makmur, subur, memiliki banyak gajah, kuda, kereta, bala tentara, penuh dengan hiasan, emas kepingan dan emas lantakan. Kota-kota ini dapat dikuasai hanya dengan (menurunkan) pasukan dalam jumlah kecil. Saya datang ke sini menawarkan diri menaklukkan kota-kota tersebut untukmu!”
“Kapankah kita akan berangkat, Anak Muda?
“Besok, Paduka.”
“Kalau begitu, pulanglah sekarang; Anda akan pergi besok pagi.”
“Baik, Paduka, bergegaslah untuk mempersiapkan pasukan!” Dan setelah berkata demikian, [213] Sakka kembali ke kediamannya.
Keesokan harinya, raja meminta pengawalnya untuk menabuh genderang dan menyiapkan pasukan. Dia memanggil para pejabat kerajaannya dan kemudian berkata demikian, “Kemarin seorang brahmana muda datang dan mengatakan bahwa dia akan menaklukkan tiga kota untukku—Uttarapañcāla, Indapatta, dan Kekaka. Oleh karena itu, kita akan pergi bersama dengan pemuda itu dan menaklukkan kota-kota tersebut. Panggillah dia segera!”
“Di mana Anda memberikannya tempat tinggal, Paduka?” “Saya tidak memberikannya tempat tinggal,” kata raja. “Apakah Anda memberikannya sesuatu untuk membayar tempatnya menginap?”
“Itu juga tidak.”
“Kalau begitu, bagaimana kami dapat menemukannya?” “Cari di seluruh pelosok kota,” kata raja.
Mereka pun mencari, tetapi tidak dapat menemukannya.
Maka mereka kembali menjumpai raja dan memberitahukannya, “Oh Paduka, kami tidak dapat menemukannya.”
Kesedihan yang mendalam menyerang diri raja. “Kejayaan yang besar telah dirampas dariku!” rintihnya; jantungnya menjadi panas, darahnya menjadi mengalir tidak beraturan, penyakit disentri (pakkhandikā) menyerang dirinya, dan para tabib tidak mampu menyembuhkan dirinya.
Setelah tiga atau empat hari berselang, Sakka bermeditasi dan kemudian mengetahui tentang penyakit raja. Dia berkata, “Saya akan menyembuhkannya,” dan dengan berpenampilan sebagai seorang brahmana, dia pergi dan berdiri di depan gerbang istana. Dia meminta pengawal untuk memberitahukan kedatangannya kepada raja, “Seorang tabib brahmana datang untuk mengobatimu.”
Ketika mendengar kedatangannya, raja membalas, “Semua tabib kerajaan yang hebat tidak mampu mengobatiku. Berikan saja uang kepadanya dan minta dia untuk pergi.”
Sakka mendengar jawaban dari raja (melalui pengawalnya) dan membalas, “Saya tidak menginginkan uang untuk tempat tinggalku, pun tidak untuk keahlian pengobatanku. Saya pasti bisa mengobati raja: biarkanlah saya menjumpai raja!”
“Kalau begitu, izinkanlah dia masuk,” kata raja setelah mendengar perkataannya itu. Kemudian Sakka masuk, mendoakan kejayaan untuk raja, dan duduk di satu sisi.
“Apakah Anda bisa mengobatiku?” tanya raja.
Dia menjawab, “Ya, Paduka.”
“Sembuhkanlah diriku, kalau begitu!” kata raja.
“Baiklah, Paduka. Katakanlah kepadaku gejala-gejala penyakitmu dan bagaimana penyakit ini bisa menyerang dirimu— apa yang telah Anda makan atau minum, apa yang telah Anda lihat atau dengar, sehingga penyakit ini muncul.”
“Tāta146, penyakitku ini muncul disebabkan oleh sesuatu yang kudengar.”
Kemudian brahmana itu bertanya, “Apa itu (yang Anda dengar)?” [214]
“Teman, kemarin seorang brahmana muda datang dan menawarkan kepadaku untuk memenangkan dan memberikan kepadaku kekuasaan atas tiga kota: saya tidak memberikan kepadanya tempat tinggal, pun tidak sesuatu untuk membayar tempatnya menginap. Dia pasti menjadi marah pada diriku dan pergi menjumpai raja lainnya. Ketika saya memikirkan betapa besar kejayaan yang telah dirampas dariku itu, penyakit ini pun muncul menyerang diriku. Jika Anda memang mampu, sembuhkanlah penyakit ini, yang muncul disebabkan oleh pikiranku yang penuh nafsu (indriawi).”
Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Tiga kota, masing-masing berada tinggi di atas gunung,
ingin kukuasai, Pañcāla, Kuru147, dan Kekaka.
Sekarang ada satu hal yang kuinginkan lebih dari itu—
Oh Brahmana, sembuhkanlah diriku,
yang telah menjadi budak dari nafsu.
Kemudian Sakka berkata, “Paduka, Anda tidak dapat diobati dengan ramuan yang dibuat dari akar-akaran, melainkan dengan ramuan pengetahuan (ñāṇosadheneva).” Dan dia mengucapkan bait kedua berikut: [215]
Ada yang mampu mengobati gigitan ular hitam;
Orang bijak mampu mengobati luka yang
dibuat oleh makhluk bukan manusia.
Budak dari nafsu tidak ada tabib yang
mampu mengobatinya;
Obat apa yang dapat digunakan
untuk jiwa yang demikian teracuni?
Demikian Sang Mahasatwa menjelaskan maksudnya, dan menambahkan perkataan ini kemudian, “Paduka, seandainya Anda mendapatkan ketiga kota tersebut, kemudian ketika Anda memerintah empat kota, apakah Anda mampu untuk mengenakan empat jubah pada waktu bersamaan, apakah Anda mampu untuk makan dari empat piring emas, apakah Anda mampu untuk tidur (berbaring) di empat ranjang kerajaan? Oh Paduka, tidak seharusnyalah seseorang itu dikuasai oleh nafsu dambaan/keinginan (taṇhā). Taṇhā (tanha) adalah akar dari segala perbuatan jahat; Bila tanha berkembang, maka orang yang dikuasainya akan jatuh ke delapan alam neraka utama, atau enam belas alam neraka rendah lainnya, dan mengalami beragam jenis penderitaan.”
Demikian Sang Mahasatwa membuat raja menjadi takut dengan alam-alam neraka dan penderitaan, kemudian memberikan wejangan kepadanya. Setelah mendengar wejangan itu, rasa sakit di jantung raja menghilang dan dalam sekejap dia pun menjadi sembuh total. [216] Setelah memberikan nasihat kepadanya dan membuatnya kukuh dalam menjalankan latihan moralitas (sila), Sakka kemudian kembali ke alam dewa. Sejak saat itu, raja selalu memberikan derma/dana dan melakukan kebajikan lainnya, kemudian meninggal dan menerima buah (hasil perbuatan) sesuai dengan perbuatannya.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Bhikkhu yang menjadi budak dari nafsu adalah raja, dan diri-Ku sendiri adalah Sakka.”
Catatan kaki :
145 No. 467.
146 Sebutan kasih atau ramah atau penuh hormat untuk orang yang lebih muda atau lebih tua, lebih rendah atau tinggi statusnya. Sering kali di dalam terjemahan bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah ‘Friend’ atau ‘Dear’, yang biasanya diterjemahkan menjadi, ‘Teman’ atau ‘Yang terkasih.’
147 Kota Indapatta berada di dalam Kerajaan Kuru.
Diposting oleh Thiyan Ika di 08.48
Cerita pembukanya akan dikemukakan di dalam Buku Kedua belas, dan juga di dalam Kāma-Jātaka145.
Raja Benares memiliki dua orang putra. Dari kedua putra tersebut, putra sulungnya pergi ke Benares dan menjadi raja di sana, sedangkan putra bungsunya menjadi wakil raja. Dia yang menjadi raja dikuasai oleh kotoran batin terhadap kesenangan indriawi, kekayaan, dan keserakahan terhadap perolehan.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai Sakka, raja para dewa. Ketika meninjau keadaan Jambudīpa (India), dan memerhatikan bahwa Raja Benares dikuasai oleh nafsu kesenangan indriawi, dia berkata dalam dirinya, “Saya akan mengecam raja itu dan membuatnya malu.” Maka dengan menyamar sebagai seorang brahmana muda, dia kemudian pergi menemui raja dan menatapnya.
“Apa yang diinginkan anak muda ini?” tanya raja.
Dia berkata, “Paduka, saya melihat ada tiga kota yang makmur, subur, memiliki banyak gajah, kuda, kereta, bala tentara, penuh dengan hiasan, emas kepingan dan emas lantakan. Kota-kota ini dapat dikuasai hanya dengan (menurunkan) pasukan dalam jumlah kecil. Saya datang ke sini menawarkan diri menaklukkan kota-kota tersebut untukmu!”
“Kapankah kita akan berangkat, Anak Muda?
“Besok, Paduka.”
“Kalau begitu, pulanglah sekarang; Anda akan pergi besok pagi.”
“Baik, Paduka, bergegaslah untuk mempersiapkan pasukan!” Dan setelah berkata demikian, [213] Sakka kembali ke kediamannya.
Keesokan harinya, raja meminta pengawalnya untuk menabuh genderang dan menyiapkan pasukan. Dia memanggil para pejabat kerajaannya dan kemudian berkata demikian, “Kemarin seorang brahmana muda datang dan mengatakan bahwa dia akan menaklukkan tiga kota untukku—Uttarapañcāla, Indapatta, dan Kekaka. Oleh karena itu, kita akan pergi bersama dengan pemuda itu dan menaklukkan kota-kota tersebut. Panggillah dia segera!”
“Di mana Anda memberikannya tempat tinggal, Paduka?” “Saya tidak memberikannya tempat tinggal,” kata raja. “Apakah Anda memberikannya sesuatu untuk membayar tempatnya menginap?”
“Itu juga tidak.”
“Kalau begitu, bagaimana kami dapat menemukannya?” “Cari di seluruh pelosok kota,” kata raja.
Mereka pun mencari, tetapi tidak dapat menemukannya.
Maka mereka kembali menjumpai raja dan memberitahukannya, “Oh Paduka, kami tidak dapat menemukannya.”
Kesedihan yang mendalam menyerang diri raja. “Kejayaan yang besar telah dirampas dariku!” rintihnya; jantungnya menjadi panas, darahnya menjadi mengalir tidak beraturan, penyakit disentri (pakkhandikā) menyerang dirinya, dan para tabib tidak mampu menyembuhkan dirinya.
Setelah tiga atau empat hari berselang, Sakka bermeditasi dan kemudian mengetahui tentang penyakit raja. Dia berkata, “Saya akan menyembuhkannya,” dan dengan berpenampilan sebagai seorang brahmana, dia pergi dan berdiri di depan gerbang istana. Dia meminta pengawal untuk memberitahukan kedatangannya kepada raja, “Seorang tabib brahmana datang untuk mengobatimu.”
Ketika mendengar kedatangannya, raja membalas, “Semua tabib kerajaan yang hebat tidak mampu mengobatiku. Berikan saja uang kepadanya dan minta dia untuk pergi.”
Sakka mendengar jawaban dari raja (melalui pengawalnya) dan membalas, “Saya tidak menginginkan uang untuk tempat tinggalku, pun tidak untuk keahlian pengobatanku. Saya pasti bisa mengobati raja: biarkanlah saya menjumpai raja!”
“Kalau begitu, izinkanlah dia masuk,” kata raja setelah mendengar perkataannya itu. Kemudian Sakka masuk, mendoakan kejayaan untuk raja, dan duduk di satu sisi.
“Apakah Anda bisa mengobatiku?” tanya raja.
Dia menjawab, “Ya, Paduka.”
“Sembuhkanlah diriku, kalau begitu!” kata raja.
“Baiklah, Paduka. Katakanlah kepadaku gejala-gejala penyakitmu dan bagaimana penyakit ini bisa menyerang dirimu— apa yang telah Anda makan atau minum, apa yang telah Anda lihat atau dengar, sehingga penyakit ini muncul.”
“Tāta146, penyakitku ini muncul disebabkan oleh sesuatu yang kudengar.”
Kemudian brahmana itu bertanya, “Apa itu (yang Anda dengar)?” [214]
“Teman, kemarin seorang brahmana muda datang dan menawarkan kepadaku untuk memenangkan dan memberikan kepadaku kekuasaan atas tiga kota: saya tidak memberikan kepadanya tempat tinggal, pun tidak sesuatu untuk membayar tempatnya menginap. Dia pasti menjadi marah pada diriku dan pergi menjumpai raja lainnya. Ketika saya memikirkan betapa besar kejayaan yang telah dirampas dariku itu, penyakit ini pun muncul menyerang diriku. Jika Anda memang mampu, sembuhkanlah penyakit ini, yang muncul disebabkan oleh pikiranku yang penuh nafsu (indriawi).”
Dan untuk menjelaskannya, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Tiga kota, masing-masing berada tinggi di atas gunung,
ingin kukuasai, Pañcāla, Kuru147, dan Kekaka.
Sekarang ada satu hal yang kuinginkan lebih dari itu—
Oh Brahmana, sembuhkanlah diriku,
yang telah menjadi budak dari nafsu.
Kemudian Sakka berkata, “Paduka, Anda tidak dapat diobati dengan ramuan yang dibuat dari akar-akaran, melainkan dengan ramuan pengetahuan (ñāṇosadheneva).” Dan dia mengucapkan bait kedua berikut: [215]
Ada yang mampu mengobati gigitan ular hitam;
Orang bijak mampu mengobati luka yang
dibuat oleh makhluk bukan manusia.
Budak dari nafsu tidak ada tabib yang
mampu mengobatinya;
Obat apa yang dapat digunakan
untuk jiwa yang demikian teracuni?
Demikian Sang Mahasatwa menjelaskan maksudnya, dan menambahkan perkataan ini kemudian, “Paduka, seandainya Anda mendapatkan ketiga kota tersebut, kemudian ketika Anda memerintah empat kota, apakah Anda mampu untuk mengenakan empat jubah pada waktu bersamaan, apakah Anda mampu untuk makan dari empat piring emas, apakah Anda mampu untuk tidur (berbaring) di empat ranjang kerajaan? Oh Paduka, tidak seharusnyalah seseorang itu dikuasai oleh nafsu dambaan/keinginan (taṇhā). Taṇhā (tanha) adalah akar dari segala perbuatan jahat; Bila tanha berkembang, maka orang yang dikuasainya akan jatuh ke delapan alam neraka utama, atau enam belas alam neraka rendah lainnya, dan mengalami beragam jenis penderitaan.”
Demikian Sang Mahasatwa membuat raja menjadi takut dengan alam-alam neraka dan penderitaan, kemudian memberikan wejangan kepadanya. Setelah mendengar wejangan itu, rasa sakit di jantung raja menghilang dan dalam sekejap dia pun menjadi sembuh total. [216] Setelah memberikan nasihat kepadanya dan membuatnya kukuh dalam menjalankan latihan moralitas (sila), Sakka kemudian kembali ke alam dewa. Sejak saat itu, raja selalu memberikan derma/dana dan melakukan kebajikan lainnya, kemudian meninggal dan menerima buah (hasil perbuatan) sesuai dengan perbuatannya.
Setelah uraian ini berakhir, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Bhikkhu yang menjadi budak dari nafsu adalah raja, dan diri-Ku sendiri adalah Sakka.”
Catatan kaki :
145 No. 467.
146 Sebutan kasih atau ramah atau penuh hormat untuk orang yang lebih muda atau lebih tua, lebih rendah atau tinggi statusnya. Sering kali di dalam terjemahan bahasa Inggris, kata yang digunakan adalah ‘Friend’ atau ‘Dear’, yang biasanya diterjemahkan menjadi, ‘Teman’ atau ‘Yang terkasih.’
147 Kota Indapatta berada di dalam Kerajaan Kuru.
Diposting oleh Thiyan Ika di 08.48
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com