VIKAṆṆAKA-JĀTAKA
Vikaṇṇajātaka (Ja 233)
[227] “Panah itu masih berada di punggungmu,” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal.
Dia dibawa ke dalam balai kebenaran dan ditanya apakah benar bahwasanya dia menyesal, yang kemudian diakuinya. Ketika ditanyakan alasannya, dia menjawab, “Disebabkan oleh nafsu kesenangan indriawi.” Sang Guru berkata, “Kesenangan indriawi itu bagaikan panah berduri di kedua ujungnya untuk mendapatkan tempat di dalam batin. Sekali berada di sana, dia akan membunuh, seperti panah berduri yang membunuh buaya.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala Bodhisatta terlahir sebagai Raja Benares, dan dia menjadi seorang raja yang baik. Suatu hari, dia pergi ke tepi sebuah danau yang berada di dalam tamannya. Para pelayan pun mulai menari dan menyanyi. Beragam jenis ikan dan kura-kura, yang hendak mendengar nyanyian tersebut, berkumpul bersama dan menghampiri sisi raja.
Ketika melihat sekumpulan ikan yang panjangnya bagaikan sebatang pohon lontar, raja bertanya kepada menteri-menterinya, “Mengapa ikan-ikan ini menghampiriku?”
Mereka menjawab, “Mereka melakukan itu untuk memberikan pelayanan kepada raja.”
Raja menjadi senang mendengar bahwa mereka datang untuk memberikan pelayanan kepadanya, dan memerintahkan agar mereka diberikan nasi (makanan) setiap hari secara teratur. Pada waktu pemberian makan, sebagian ikan datang dan sebagian lagi tidak datang, makanannya pun menjadi ada yang terbuang. Mereka memberitahukan ini kepada raja. “Mulai saat ini,” kata raja, “pada saat pemberian makan, tabuhlah genderang. Ketika genderang ditabuh, ketika ikan-ikan telah berkumpul, barulah berikan makanan kepada mereka.”
Sejak saat itu, pengawal yang memberi makan kepada ikan-ikan tersebut meminta orang untuk menabuh genderang, dan ketika mereka telah berkumpul bersama, barulah dia memberikan makanan kepada mereka. Di saat mereka berkumpul demikian untuk makan, seekor buaya datang dan memangsa sebagian ikan tersebut.
Pengawal yang memberi makan itu memberitahukan kejadian tersebut kepada raja. Raja mendengarkannya. “Ketika buaya itu sedang memangsa ikan-ikan,” kata raja, “tusuklah dia dengan sebuah panah berduri dan tangkaplah dia.”
[228] “Baik,” kata pengawal. Dan dia pun pergi dengan sebuah perahu. Segera setelah buaya itu datang untuk memangsa ikan-ikan, dia menusuknya dengan sebatang panah. Panah itu tertancap di punggungnya.Kesakitan karena panah tersebut, buaya pun pergi dengan membawa panahnya.
Mengetahui bahwa dia terluka, pengawal mengucapkan bait berikut:
Panah itu masih berada di punggungmu,
pergilah ke mana saja sesuka hatimu.
Tabuhan genderang, yang memanggil
ikan-ikanku untuk datang makan,
telah membuat dirimu, yang mengejar keserakahan,
berada di tempat yang membawa penderitaan bagimu.
Sesampainya di sarangnya, buaya itu pun akhirnya mati.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru yang sempurna kebijaksanaan-Nya, mengucapkan bait berikut:
Demikianlah ketika dunia ini menggoda siapa saja
untuk berbuat buruk, dia yang tidak tahu akan peraturan,
hanya mengikuti keinginan hatinya saja,
akan mati di antara sanak keluarganya,
seperti buaya yang memangsa ikan-ikan tersebut.
[229] Ketika uraian ini selesai, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran-Nya:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, Aku adalah Raja Benares.”
Diposting oleh Thiyan Ika di 12.51
Dia dibawa ke dalam balai kebenaran dan ditanya apakah benar bahwasanya dia menyesal, yang kemudian diakuinya. Ketika ditanyakan alasannya, dia menjawab, “Disebabkan oleh nafsu kesenangan indriawi.” Sang Guru berkata, “Kesenangan indriawi itu bagaikan panah berduri di kedua ujungnya untuk mendapatkan tempat di dalam batin. Sekali berada di sana, dia akan membunuh, seperti panah berduri yang membunuh buaya.”
Kemudian Beliau menceritakan kepada mereka sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala Bodhisatta terlahir sebagai Raja Benares, dan dia menjadi seorang raja yang baik. Suatu hari, dia pergi ke tepi sebuah danau yang berada di dalam tamannya. Para pelayan pun mulai menari dan menyanyi. Beragam jenis ikan dan kura-kura, yang hendak mendengar nyanyian tersebut, berkumpul bersama dan menghampiri sisi raja.
Ketika melihat sekumpulan ikan yang panjangnya bagaikan sebatang pohon lontar, raja bertanya kepada menteri-menterinya, “Mengapa ikan-ikan ini menghampiriku?”
Mereka menjawab, “Mereka melakukan itu untuk memberikan pelayanan kepada raja.”
Raja menjadi senang mendengar bahwa mereka datang untuk memberikan pelayanan kepadanya, dan memerintahkan agar mereka diberikan nasi (makanan) setiap hari secara teratur. Pada waktu pemberian makan, sebagian ikan datang dan sebagian lagi tidak datang, makanannya pun menjadi ada yang terbuang. Mereka memberitahukan ini kepada raja. “Mulai saat ini,” kata raja, “pada saat pemberian makan, tabuhlah genderang. Ketika genderang ditabuh, ketika ikan-ikan telah berkumpul, barulah berikan makanan kepada mereka.”
Sejak saat itu, pengawal yang memberi makan kepada ikan-ikan tersebut meminta orang untuk menabuh genderang, dan ketika mereka telah berkumpul bersama, barulah dia memberikan makanan kepada mereka. Di saat mereka berkumpul demikian untuk makan, seekor buaya datang dan memangsa sebagian ikan tersebut.
Pengawal yang memberi makan itu memberitahukan kejadian tersebut kepada raja. Raja mendengarkannya. “Ketika buaya itu sedang memangsa ikan-ikan,” kata raja, “tusuklah dia dengan sebuah panah berduri dan tangkaplah dia.”
[228] “Baik,” kata pengawal. Dan dia pun pergi dengan sebuah perahu. Segera setelah buaya itu datang untuk memangsa ikan-ikan, dia menusuknya dengan sebatang panah. Panah itu tertancap di punggungnya.Kesakitan karena panah tersebut, buaya pun pergi dengan membawa panahnya.
Mengetahui bahwa dia terluka, pengawal mengucapkan bait berikut:
Panah itu masih berada di punggungmu,
pergilah ke mana saja sesuka hatimu.
Tabuhan genderang, yang memanggil
ikan-ikanku untuk datang makan,
telah membuat dirimu, yang mengejar keserakahan,
berada di tempat yang membawa penderitaan bagimu.
Sesampainya di sarangnya, buaya itu pun akhirnya mati.
Untuk menjelaskan ini, Sang Guru yang sempurna kebijaksanaan-Nya, mengucapkan bait berikut:
Demikianlah ketika dunia ini menggoda siapa saja
untuk berbuat buruk, dia yang tidak tahu akan peraturan,
hanya mengikuti keinginan hatinya saja,
akan mati di antara sanak keluarganya,
seperti buaya yang memangsa ikan-ikan tersebut.
[229] Ketika uraian ini selesai, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran-Nya:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang (tadinya) menyesal mencapai tingkat kesucian Sotāpanna :—“Pada masa itu, Aku adalah Raja Benares.”
Diposting oleh Thiyan Ika di 12.51
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com