MAHĀPIṄGALA-JĀTAKA
Mahāpiṅgalajātaka (Ja 240)
“Raja Piṅgala (Pingala),” dan seterusnya.—Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Devadatta.
Selama sembilan bulan Devadatta berusaha untuk menyebabkan kehancuran bagi Sang Buddha, dan berakhir dengan masuk ke dalam bumi, di depan gerbang Jetavana.
Kemudian orang-orang yang tinggal di Jetavana dan negeri sekitarnya, menjadi bersukacita, sembari berkata, “Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi: musuh telah musnah, dan Buddha telah tercerahkan sempurna!” [240] Mendengar hal ini mereka ucapkan berulang-ulang, orang-orang di seluruh Jambudīpa (India), para yaksa, dewa, dan semua makhluk juga turut bersukacita.
Suatu hari, para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, dan demikian mereka berkata, “Āvuso, Devadatta ditelan bumi, orang-orang bersukacita sembari berkata, ‘Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi!’ ” Sang Guru berjalan masuk dan bertanya, “Apa yang sedang kalian bicarakan ini, Para Bhikkhu?” Mereka pun memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, orang-orang bersukacita dan bergembira atas kematian Devadatta. Sebelumnya juga mereka bersukacita dan bergembira seperti sekarang ini.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala, Mahāpiṅgala (Mahapingala), seorang raja yang jahat dan kejam memerintah di Benares, yang melakukan perbuatan buruk sesuka hatinya. Dengan pajak dan denda, banyaknya pemotongan 158 dan perampasan, dia memeras rakyatnya seperti tebu di penggilingan; dia adalah orang yang kasar, kejam, dan tak berperasaan. Terhadap orang lain, dia tidak memiliki sedikit pun belas kasihan; di dalam istana, dia adalah seorang yang tidak ramah dan seorang yang tidak menyenangkan terhadap istri-istrinya, putra putrinya, para pejabat kerajaannya, dan para pengurus kerajaannya. Dia seperti setitik debu yang masuk ke dalam mata, seperti kerikil kecil dalam beras, seperti duri dalam daging.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai putra Raja Mahapingala. Setelah memerintah dalam waktu yang lama, akhirnya raja meninggal. Ketika dia meninggal, seluruh penduduk Benares bersukacita dan bergembira; mereka membakar jenazahnya dengan kayu dari ribuan gerobak, dan menyiram tempat kremasinya itu dengan air dari ribuan kendi, kemudian melantik Bodhisatta menjadi raja: mereka menabuh genderang perayaan di seluruh pelosok kota, sebagai tanda kebahagiaan bahwa mereka telah mendapatkan seorang raja yang baik.
Mereka mengibarkan panji-panji dan menghiasi kota; di setiap rumah dibangun paviliun, orang-orang menaburkan biji-bijian dan bunga, duduk pada tempat yang telah dihiasi tersebut di bawah peneduh yang bagus, makan dan minum. Bodhisatta sendiri duduk pada dipan yang bagus yang terdapat di mimbar besar, dalam keagungannya, dengan payung putih yang terbentang di atas kepalanya. Para pejabat kerajaan dan pengurus kerajaan, penduduk dan pengawal (penjaga pintu) berdiri mengelilingi raja mereka.
Akan tetapi, terdapat seorang penjaga pintu yang berdiri tidak jauh dari raja, mendesah dan menangis terisak-isak. “Pengawal,” kata Bodhisatta yang sedang memerhatikan dirinya, “semua orang sedang bersukacita dan bergembira atas kematian ayahku, sedangkan Anda berdiri sambil menangis. Katakan, apakah semasa hidupnya, ayahku bersikap baik dan menyenangkan terhadap dirimu?”
Setelah bertanya demikian, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Raja Pingala semasa hidupnya
sangatlah kejam kepada semua orang;
Sekarang dia telah meninggal,
semuanya bernapas lega kembali.
Apakah dia baik terhadap dirimu sebelumnya?
Mengapa Anda berdiri menangis di sini?
Setelah mendengarnya, dia menjawab, “Saya bukan menangis atas kematian Raja Pingala. Kepalaku ini sekarang sudah cukup bahagia. Semasa hidupnya, setiap kali turun dari istana atau naik ke istananya, Raja Pingala selalu memukul kepalaku dengan delapan pukulan dari tangannya, seperti pukulan dari palu seorang pandai besi. Jadi ketika dia terlahir kembali di alam rendah, dia akan memberikan delapan pukulan kepada penjaga gerbang neraka, Dewa Yama, seperti yang dilakukannya kepadaku. Kemudian orang-orang di sana akan berteriak—‘Dia terlalu kejam untuk kami!’ dan mengirimnya kembali ke atas. Dan saya takut dia akan datang kembali dan memberikan pukulan-pukulan di kepalaku kembali. Itulah sebabnya saya menangis.”
Untuk menjelaskan masalah ini, dia mengucapkan bait kedua berikut:—[242]
Raja Pingala sama sekali tidak menunjukkan kebaikan:
Yang kutakutkan adalah saat kembalinya sang raja.
Bagaimana kalau dia memukul raja kematian,
kemudian raja kematian mengirimnya kembali ke atas?
Kemudian Bodhisatta berkata, “Raja Pingala telah dibakar dengan kayu dari ribuan gerobak, tempat kremasinya telah disiram dengan air dari ribuan kendi, dan tanah di sekelilingnya juga telah digali; makhluk yang telah meninggal, kecuali oleh kekuatan kelahiran kembali159, tidak pernah kembali ke dalam bentuk jasmani yang sama seperti sebelum dia meninggal. Tidak ada yang perlu ditakutkan!”
Dan untuk menghibur dirinya, dia mengulangi bait berikut:
Kayu dari ribuan kereta telah membakarnya
Air dari ribuan kendi telah membersihkan sisa-sisa pembakaran;
Tanahnya telah digali ke kiri dan ke kanan—
Jangan takut—raja itu tidak akan pernah kembali.
Setelah mendengar ini, penjaga pintu tersebut menjadi gembira. Bodhisatta memerintah kerajaan dengan benar, dia selalu memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dia kemudian meninggal dunia dan menerima hasilnya sesuai dengan perbuatannya.
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Piṅgala (Pingala), dan putranya adalah diri-Ku sendiri.”
Catatan kaki :
157 Folk-Lore Journal, III. 126.
158 -jaṁghakahāpaṇādigahanena, diasumsikan sebagai ‘pemotongan/pengambilan kaki, uang, dan lain sebagainya.’
159 aññattha gativasā.
Diposting oleh Thiyan Ika di 17.45
Selama sembilan bulan Devadatta berusaha untuk menyebabkan kehancuran bagi Sang Buddha, dan berakhir dengan masuk ke dalam bumi, di depan gerbang Jetavana.
Kemudian orang-orang yang tinggal di Jetavana dan negeri sekitarnya, menjadi bersukacita, sembari berkata, “Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi: musuh telah musnah, dan Buddha telah tercerahkan sempurna!” [240] Mendengar hal ini mereka ucapkan berulang-ulang, orang-orang di seluruh Jambudīpa (India), para yaksa, dewa, dan semua makhluk juga turut bersukacita.
Suatu hari, para bhikkhu membicarakan ini di dalam balai kebenaran, dan demikian mereka berkata, “Āvuso, Devadatta ditelan bumi, orang-orang bersukacita sembari berkata, ‘Devadatta, musuh Buddha telah ditelan bumi!’ ” Sang Guru berjalan masuk dan bertanya, “Apa yang sedang kalian bicarakan ini, Para Bhikkhu?” Mereka pun memberi tahu Beliau. Kemudian Beliau berkata, “Ini bukan pertama kalinya, Para Bhikkhu, orang-orang bersukacita dan bergembira atas kematian Devadatta. Sebelumnya juga mereka bersukacita dan bergembira seperti sekarang ini.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
Dahulu kala, Mahāpiṅgala (Mahapingala), seorang raja yang jahat dan kejam memerintah di Benares, yang melakukan perbuatan buruk sesuka hatinya. Dengan pajak dan denda, banyaknya pemotongan 158 dan perampasan, dia memeras rakyatnya seperti tebu di penggilingan; dia adalah orang yang kasar, kejam, dan tak berperasaan. Terhadap orang lain, dia tidak memiliki sedikit pun belas kasihan; di dalam istana, dia adalah seorang yang tidak ramah dan seorang yang tidak menyenangkan terhadap istri-istrinya, putra putrinya, para pejabat kerajaannya, dan para pengurus kerajaannya. Dia seperti setitik debu yang masuk ke dalam mata, seperti kerikil kecil dalam beras, seperti duri dalam daging.
Kala itu, Bodhisatta terlahir sebagai putra Raja Mahapingala. Setelah memerintah dalam waktu yang lama, akhirnya raja meninggal. Ketika dia meninggal, seluruh penduduk Benares bersukacita dan bergembira; mereka membakar jenazahnya dengan kayu dari ribuan gerobak, dan menyiram tempat kremasinya itu dengan air dari ribuan kendi, kemudian melantik Bodhisatta menjadi raja: mereka menabuh genderang perayaan di seluruh pelosok kota, sebagai tanda kebahagiaan bahwa mereka telah mendapatkan seorang raja yang baik.
Mereka mengibarkan panji-panji dan menghiasi kota; di setiap rumah dibangun paviliun, orang-orang menaburkan biji-bijian dan bunga, duduk pada tempat yang telah dihiasi tersebut di bawah peneduh yang bagus, makan dan minum. Bodhisatta sendiri duduk pada dipan yang bagus yang terdapat di mimbar besar, dalam keagungannya, dengan payung putih yang terbentang di atas kepalanya. Para pejabat kerajaan dan pengurus kerajaan, penduduk dan pengawal (penjaga pintu) berdiri mengelilingi raja mereka.
Akan tetapi, terdapat seorang penjaga pintu yang berdiri tidak jauh dari raja, mendesah dan menangis terisak-isak. “Pengawal,” kata Bodhisatta yang sedang memerhatikan dirinya, “semua orang sedang bersukacita dan bergembira atas kematian ayahku, sedangkan Anda berdiri sambil menangis. Katakan, apakah semasa hidupnya, ayahku bersikap baik dan menyenangkan terhadap dirimu?”
Setelah bertanya demikian, dia mengucapkan bait pertama berikut:
Raja Pingala semasa hidupnya
sangatlah kejam kepada semua orang;
Sekarang dia telah meninggal,
semuanya bernapas lega kembali.
Apakah dia baik terhadap dirimu sebelumnya?
Mengapa Anda berdiri menangis di sini?
Setelah mendengarnya, dia menjawab, “Saya bukan menangis atas kematian Raja Pingala. Kepalaku ini sekarang sudah cukup bahagia. Semasa hidupnya, setiap kali turun dari istana atau naik ke istananya, Raja Pingala selalu memukul kepalaku dengan delapan pukulan dari tangannya, seperti pukulan dari palu seorang pandai besi. Jadi ketika dia terlahir kembali di alam rendah, dia akan memberikan delapan pukulan kepada penjaga gerbang neraka, Dewa Yama, seperti yang dilakukannya kepadaku. Kemudian orang-orang di sana akan berteriak—‘Dia terlalu kejam untuk kami!’ dan mengirimnya kembali ke atas. Dan saya takut dia akan datang kembali dan memberikan pukulan-pukulan di kepalaku kembali. Itulah sebabnya saya menangis.”
Untuk menjelaskan masalah ini, dia mengucapkan bait kedua berikut:—[242]
Raja Pingala sama sekali tidak menunjukkan kebaikan:
Yang kutakutkan adalah saat kembalinya sang raja.
Bagaimana kalau dia memukul raja kematian,
kemudian raja kematian mengirimnya kembali ke atas?
Kemudian Bodhisatta berkata, “Raja Pingala telah dibakar dengan kayu dari ribuan gerobak, tempat kremasinya telah disiram dengan air dari ribuan kendi, dan tanah di sekelilingnya juga telah digali; makhluk yang telah meninggal, kecuali oleh kekuatan kelahiran kembali159, tidak pernah kembali ke dalam bentuk jasmani yang sama seperti sebelum dia meninggal. Tidak ada yang perlu ditakutkan!”
Dan untuk menghibur dirinya, dia mengulangi bait berikut:
Kayu dari ribuan kereta telah membakarnya
Air dari ribuan kendi telah membersihkan sisa-sisa pembakaran;
Tanahnya telah digali ke kiri dan ke kanan—
Jangan takut—raja itu tidak akan pernah kembali.
Setelah mendengar ini, penjaga pintu tersebut menjadi gembira. Bodhisatta memerintah kerajaan dengan benar, dia selalu memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya. Dia kemudian meninggal dunia dan menerima hasilnya sesuai dengan perbuatannya.
Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka:—“Devadatta adalah Piṅgala (Pingala), dan putranya adalah diri-Ku sendiri.”
Catatan kaki :
157 Folk-Lore Journal, III. 126.
158 -jaṁghakahāpaṇādigahanena, diasumsikan sebagai ‘pemotongan/pengambilan kaki, uang, dan lain sebagainya.’
159 aññattha gativasā.
Diposting oleh Thiyan Ika di 17.45
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com