Sariputta | Suttapitaka | TIRĪṬA-VACCHA-JĀTAKA Sariputta

TIRĪṬA-VACCHA-JĀTAKA

Tirīṭa­vaccha­jātaka (Ja 259)

“Ketika sendirian,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang perolehan seribu pakaian, bagaimana Yang Mulia Ānanda (Ananda) menerima lima ratus pakaian dari para wanita dalam kerajaan Raja Kosala, dan menerima lima ratus pakaian dari Raja Kosala.
Cerita pembukanya dikemukakan di atas, di dalam Sigāla-Jātaka219, Buku II.

Dahulu kala ketika Brahmadatta adalah Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari seorang brahmana di Kerajaan Kāsi. Di hari pemberian namanya, mereka memberikannya nama Tirīṭavaccha (Tiritavaccha).
Seiring berjalannya waktu, dia tumbuh dewasa dan belajar di Takkasilā. Dia kemudian menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga, tetapi kematian orang tuanya membuatnya amat sedih [310] sehingga dia pun menjalani kehidupan sebagai seorang petapa dan tinggal di dalam hutan, bertahan hidup dengan memakan akar-akaran dan buah-buahan.
Selagi dia tinggal di sana, terjadi pemberontakan di daerah perbatasan Benares. Raja memimpin pasukannya ke tempat tersebut, tetapi dia kalah di dalam pertempuran. Untuk menyelamatkan dirinya, diam-diam dia menunggangi seekor gajah dan lari masuk ke dalam hutan.
Keesokan paginya, Tiritavaccha sedang keluar untuk mengumpulkan buah-buahan, dan raja tiba di gubuknya. “Gubuk seorang petapa,” pikirnya dan turun dari gajahnya. Lelah terkena angin dan sinar matahari serta merasa haus, dia mencari kendi air di sekeliling tempat itu, tetapi tidak dapat menemukannya.
Di ujung jalan gubuk tersebut, dia melihat sebuah sumur, tetapi tidak melihat adanya tali dan ember untuk mengambil air. Rasa hausnya terlalu besar untuk dapat ditahannya; dia pun melepaskan tali pelana yang ada di badan gajahnya, mengikatnya di sisi dan turun ke dalam sumur dengan menggunakan tali itu. Akan tetapi, tali itu terlalu pendek, kemudian dia mengikatkannya pada pakaian luarnya dan turun lebih dalam lagi ke bawah. Tetapi, dia tetap tidak bisa mencapai air di dalam sumur, dia hanya bisa menyentuh air sumur itu dengan kakinya; dia merasa sangat haus! “Jika saya bisa melegakan dahagaku ini,” pikirnya, “maka kematian adalah sesuatu hal yang pantas diterima!” Maka dia pun terjun ke bawah dan minum untuk melepaskan dahaganya, tetapi dia tidak bisa naik kembali ke atas, sehingga dia tetap berada di dalam sumur tersebut. Dan gajah itu, yang dirinya demikian terlatih, berdiri diam menunggu sang raja.
Pada sore harinya, Bodhisatta pulang ke gubuknya, penuh dengan buah-buahan, dan melihat gajah itu. “Menurutku,” pikirnya, “raja ada datang ke sini, tetapi tidak ada yang terlihat kecuali gajah yang dipersenjatai ini. Apa yang harus kulakukan?” Kemudian dia menghampiri gajah yang berdiri menunggu rajanya.
Dia pergi ke tepi sumur itu dan melihat raja berada di dalamnya. “Jangan takut, Paduka!” teriaknya. Dia menempatkan sebuah tangga dan menolong raja keluar. Dia menghangatkan badan sang raja, membasuhnya dengan minyak, kemudian memberikan buah-buahan kepadanya untuk dimakan [316], dan menanggalkan persenjataan gajah itu. Selama dua atau tiga hari, raja beristirahat di sana, kemudian pergi setelah membuat Bodhisatta berjanji untuk mengunjunginya.
Para pasukan kerajaan berkemah di dekat kota. Ketika melihat kepulangan raja, mereka pun mengawalnya.
Setelah satu setengah bulan berlalu, Bodhisatta kembali ke Benares dan bermalam di dalam taman. Keesokan harinya, dia datang ke istana untuk meminta derma makanan. Kala itu, raja membuka sebuah jendela dan sedang melihat keluar ke arah halaman istana.
Sewaktu melihat Bodhisatta, dia pun langsung mengenalinya dan turun dari istananya untuk memberikan salam kepadanya. Dia kemudian membawanya ke panggung kerajaan, memberikan takhta sebagai tempat duduk kepadanya di bawah naungan payung putih.
Dia memberikan makanannya sendiri kepada sang petapa untuk dimakan, dan dia juga memakannya. Kemudian raja membawanya kembali ke taman, dan memerintahkan pengawal untuk membuat alas jalan dan tempat tinggal untuknya, kemudian menyediakan segala keperluan seorang petapa. Setelah memberi perintah kepada seorang tukang taman untuk melayaninya, raja pun berpamitan dan kembali. Sejak saat itu, sang petapa mendapatkan makanannya dari dalam istana: kehormatan dan penghargaan besar pun diberikan kepadanya.
Para menteri kerajaan tidak bisa menerima perlakuan ini. “Jika seorang prajurit,” kata mereka, “yang menerima kehormatan demikian, apa yang akan dilakukannya?” Mereka kemudian pergi menjumpai wakil raja dan berkata, “Yang Mulia, raja bersikap terlalu berlebihan kepada seorang petapa. Apa yang dilihatnya di dalam diri orang tersebut? Mohon Anda bicarakan ini dengan raja. Dan wakil raja itu pun berbicara kepada raja, mengucapkan bait pertama berikut:
Tidak ada pengetahuan di dalam dirinya
yang dapat kulihat;
dia bukanlah seorang kerabat dan
juga bukan seorang temanmu;
Mengapa petapa ini, Tiritavaccha,
mendapatkan (derma) makanan
yang demikian mewah?
[317] Raja mendengarkannya. Kemudian raja berkata, untuk berbicara kepada putranya itu, “Anakku, ingatkah Anda bagaimana suatu ketika saya pergi bertempur di perbatasan dan bagaimana saya kalah dalam pertempuran itu, kemudian tidak pulang selama beberapa hari?” “Saya ingat,” jawabnya. “Orang inilah yang telah menyelamatkan nyawaku,” kata raja, dan raja menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi semuanya. “Baiklah, Anakku, sekarang ini penyelamatku ada di sini bersamaku, saya tidak bisa membalas apa yang telah diperbuatnya untukku, tidak juga cukup bahkan dengan memberikannya kerajaanku kepadanya.” Dan raja mengucapkan dua bait berikut:
Ketika sendirian, di dalam hutan yang seram,
dia yang mencoba berbuat baik kepada diriku,
tidak ada orang lain; Dalam penderitaanku,
dia mengulurkan tangan membantuku;
Dia menarikku ke atas dalam keadaan setengah mati
dan membuatku kembali dapat berdiri.
Dikarenakan perbuatannya itu sendirian,
saya dapat kembali lagi,
keluar dari cengkeraman maut,
ke alam manusia ini.
Memberikan balasan terhadap kebaikan
yang demikian ini adalah hal yang benar;
dengan memberikan persembahan yang berlimpah
dan menyediakan keperluannya.
[318] Demikian raja berkata, seolah-olah seperti membuat bulan muncul di langit. Ketika kebaikan dari Bodhisatta dipaparkan demikian, secara sendirinya kebaikannya itu tersebar ke segala penjuru; perolehannya menjadi semakin meningkat, demikian juga dengan kehormatan yang diberikan kepadanya.
Setelah kejadian itu, baik wakil raja maupun para menteri dan siapa pun tidak lagi mengatakan apa-apa yang menentang dirinya kepada raja. Raja hidup dengan menjalankan nasihat dari Bodhisatta, dia memberikan derma dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya, sampai akhirnya dia terlahir kembali di alam surga. Dan Bodhisatta, setelah mengembangkan kesaktian dan pencapaian meditasi, terlahir kembali di alam brahma.


Kemudian Sang Guru menambahkan, “Orang bijak di masa lampau juga memberikan pertolongan.” Dan setelah menyampaikan uraian-Nya demikian, Beliau mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Ānanda adalah raja, dan Aku sendiri adalah sang petapa.”

Catatan kaki :
219 No. 152, juga lihat No. 156.

Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com