MUDU-PĀṆI-JĀTAKA
Mudupāṇijātaka (Ja 262)
“Satu tangan yang lembut,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang seorang bhikkhu yang menyesal.
Mereka membawanya ke dalam balai kebenaran, dan Sang Guru bertanya kepadanya apakah benar dia menyesal. Dia mengiyakannya. Kemudian Sang Guru berkata, “Wahai Bhikkhu, adalah hal yang tidak mungkin menjaga wanita untuk tidak memburu nafsu mereka. Di masa lampau, bahkan orang bijak tidak mampu menjaga putrinya; selagi berdiri memegang tangan ayahnya, tanpa sepengetahuan ayahnya, dia melakukan suatu perbuatan salah dengan seorang kekasihnya.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Raja Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya. Setelah tumbuh dewasa, dia dididik di Takkasilā, dan sepeninggal ayahnya, dia naik takhta menjadi raja untuk menggantikannya dan memerintah kerajaan dengan benar.
Di sana tinggal bersama dengannya adalah seorang putrinya dan seorang keponakannya, keduanya bersama-sama di dalam rumah itu. Suatu hari di saat duduk bersama dengan para menterinya, raja berkata, “Sesudah saya meninggal nanti, keponakanku akan menjadi raja, [324] dan putriku akan menjadi permaisurinya.”
Setelah itu, ketika mereka berdua tumbuh dewasa, raja kembali duduk bersama para menterinya dan berkata, “Saya akan membawa putri yang lain ke rumah ini untuk keponakanku, dan putriku akan kunikahkan dengan keluarga kerajaan lainnya. Dengan cara ini, saya akan memiliki banyak relasi.”
Para menteri menyetujuinya. Kemudian raja menempatkan keponakannya di sebuah rumah di luar istana dan melarang dia datang ke dalam istana.
Akan tetapi, kedua orang tersebut saling mencintai. Pemuda itu berpikir, “Bagaimana caranya agar saya bisa membawa putri raja keluar dari rumahnya?—Oh iya, saya ada ide.” Dia kemudian memberikan sesuatu kepada pengasuhnya. “Apa yang harus saya lakukan, Tuan?” tanyanya. “Begini, Bu, saya ingin mendapatkan kesempatan untuk membawa putri keluar dari istana.” “Saya akan membicarakannya dengan tuan putri,” katanya, “kemudian memberitahukannya kepadamu.” “Bagus sekali, Bu,” balasnya.
Pengasuh itu pergi menjumpai putri. “Mari saya cari kutu di kepalamu,” katanya. Dia memberikan tempat duduk yang rendah kepada putri dan dia sendiri duduk di tempat duduk yang lebih tinggi, dia meletakkan kepala sang putri di pangkuannya, dan mulai mencari kutu di kepalanya, dengan menggaruk-garuk kepalanya.
Sang putri mengerti keadaannya dan berpikir, “Pengasuhku ini menggaruk kepalaku dengan kuku milik saudaraku, keponakan raja, bukan dengan kuku miliknya.”—“Bu,” tanyanya, “apakah tadi Anda bertemu dengan keponakan raja?” “Ya, Putri.” “Apa yang dikatakannya?” “Dia menanyakan bagaimana dia bisa menemukan jalan untuk membawamu keluar dari istana.” “Jika dia adalah seorang yang bijak, dia pasti akan tahu caranya,” kata putri, dan dia mengucapkan bait pertama, sembari meminta pengasuhnya untuk menghafal dan mengulanginya kembali kepada keponakan raja itu:
Satu tangan yang lembut,
seekor gajah yang terlatih dengan baik,
dan awan hujan yang hitam,
akan memberikan apa yang Anda inginkan.
Pengasuh itu menghafalnya dan kemudian kembali menjumpai keponakan raja. “Bagaimana, Bu, apa yang dikatakan oleh putri?” tanyanya. “Tidak ada, [325] dia hanya menitipkan bait ini kepadamu,” balasnya, dan dia pun mengulanginya. Pemuda itu menerimanya dan kemudian memintanya pergi. Dia mengerti apa maksudnya.
Dia mencari seorang anak laki-laki yang rupawan dan memiliki tangan yang lembut, dan mempersiapkan dirinya. Dia memberikan suap kepada penjaga gajah kerajaan, dan setelah melatih gajah tersebut untuk menjadi tenang, dia pun tinggal bersama dengannya. Kemudian pada satu malam Uposatha yang gelap, persis setelah penggal tengah malam hari, hujan turun dari awan hitam nan tebal. “Ini adalah hari yang dimaksudkan oleh putri,” pikirnya. Dia menunggangi gajah itu dan menempatkan anak tersebut di punggung gajah, kemudian berangkat. Di seberang istana dia mengikat gajahnya pada dinding besar yang ada di halaman istana, dan berdiri di depan sebuah jendela, dalam keadaan basah kuyup.
Kala itu, raja sedang mengawasi putrinya dan membuatnya tidur pada ranjang yang kecil, di hadapannya. Putri berpikir, “Hari ini pemuda itu akan datang!” dan berbaring tanpa berniat untuk tertidur.
“Ayah,” katanya, “saya ingin mandi.” Dengan memegang tangannya, raja membawanya ke jendela (kamar mandi); dia mengangkatnya dan meletakkannya pada sebuah hiasan teratai di luarnya, sembari memegang satu tangannya. Selagi mandi, putri menjulurkan satu tangannya kepada pemuda tersebut.
Pemuda itu melepaskan perhiasan dari tangan sang putri dan memakaikannya ke tangan anak laki-laki yang dibawanya itu, kemudian mengangkat anak tersebut dan meletakkannya di atas hiasan teratai itu di samping sang putri. [326] Putri mengambil tangan anak laki-laki itu dan menempatkannya ke tangan ayahnya, yang kemudian memegangnya dan melepaskan tangan putrinya.
Kemudian putri itu menanggalkan perhiasan dari tangan satunya lagi dan mengenakannya ke tangan anak laki-laki yang satunya lagi, yang kemudian diletakkan ke tangan ayahnya, dan setelahnya pergi bersama pemuda tersebut. Raja pun mengira bahwa anak laki-laki itu adalah putri kandungnya. Ketika dia telah selesai mandi, raja membawanya untuk tidur di kamar tidur kerajaan, menutup pintu, dan menguncinya. Kemudian setelah menempatkan seorang penjaga, dia kembali ke kamarnya sendiri dan berbaring istirahat.
Ketika hari pagi, raja membuka pintu kamar putrinya dan dia melihat anak laki-laki itu di sana. “Apa-apaan ini?” teriaknya. Anak itu memberitahukan kepada raja tentang bagaimana sang putri melarikan diri. Raja pun menjadi lemas. “Bahkan dengan bersama dan memegang tangannya, seseorang tetap tidak bisa menjaga seorang wanita,” pikirnya, “oleh sebab itu, adalah merupakan hal yang tidak mungkin untuk menjaga wanita.” Dan dia mengucapkan bait-bait berikut:
Meskipun lembut tuturan katanya,
tetapi wanita itu seperti sungai,
sulit dipenuhi, selalu tidak puas,
tidak ada yang dapat memuaskan keinginan diri mereka:
Ke bawah, dan terus ke bawah mereka turun:
seorang laki-laki seharusnya lari menghindari wanita
di saat dia mengetahui seperti apa mereka itu.
Siapa saja yang mereka layani demi uang atau demi nafsu,
mereka akan membakar orang itu layaknya minyak di dalam api224.
[327] Setelah berkata demikian, Sang Mahasatwa menambahkan, “Saya harus mendukung keponakanku.” Maka dengan kehormatan yang besar, dia memberikan putrinya kepada orang tersebut dan menjadikannya sebagai wakil raja. Dan sang keponakan mewarisi takhta kerajaan setelah pamannya wafat.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, Aku adalah sang raja.”
Catatan kaki :
224 Bait-bait berikut ini disebutkan di dalam Kitab Komentar:
Ketika wanita memimpin,
orang yang bisa melihat akan kehilangan penglihatannya,
orang yang kuat akan kehilangan kekuatannya,
orang yang berkuasa akan kehilangan kekuasaannya.
Ketika wanita memimpin,
moralitas dan kebijaksanaan akan menghilang:
dalam ketidakwaspadaan para (laki-laki) tawanan
berbaring di dalam penjara.
Seperti perampok jalanan, semuanya akan mereka rampas
dari para korbannya yang malang,
semuanya hanya menjadi lengah;
pemikiran, moralitas, kebenaran dan logika,
pengorbanan diri, dan kebaikan—semuanya.
Bagaikan api yang membakar minyak,
demikian setiap individu yang lengah dibakar
oleh mereka atas ketenaran, kejayaan, akal dan kekuasaan mereka.
Mereka membawanya ke dalam balai kebenaran, dan Sang Guru bertanya kepadanya apakah benar dia menyesal. Dia mengiyakannya. Kemudian Sang Guru berkata, “Wahai Bhikkhu, adalah hal yang tidak mungkin menjaga wanita untuk tidak memburu nafsu mereka. Di masa lampau, bahkan orang bijak tidak mampu menjaga putrinya; selagi berdiri memegang tangan ayahnya, tanpa sepengetahuan ayahnya, dia melakukan suatu perbuatan salah dengan seorang kekasihnya.”
Kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
Dahulu kala ketika Raja Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putra dari permaisurinya. Setelah tumbuh dewasa, dia dididik di Takkasilā, dan sepeninggal ayahnya, dia naik takhta menjadi raja untuk menggantikannya dan memerintah kerajaan dengan benar.
Di sana tinggal bersama dengannya adalah seorang putrinya dan seorang keponakannya, keduanya bersama-sama di dalam rumah itu. Suatu hari di saat duduk bersama dengan para menterinya, raja berkata, “Sesudah saya meninggal nanti, keponakanku akan menjadi raja, [324] dan putriku akan menjadi permaisurinya.”
Setelah itu, ketika mereka berdua tumbuh dewasa, raja kembali duduk bersama para menterinya dan berkata, “Saya akan membawa putri yang lain ke rumah ini untuk keponakanku, dan putriku akan kunikahkan dengan keluarga kerajaan lainnya. Dengan cara ini, saya akan memiliki banyak relasi.”
Para menteri menyetujuinya. Kemudian raja menempatkan keponakannya di sebuah rumah di luar istana dan melarang dia datang ke dalam istana.
Akan tetapi, kedua orang tersebut saling mencintai. Pemuda itu berpikir, “Bagaimana caranya agar saya bisa membawa putri raja keluar dari rumahnya?—Oh iya, saya ada ide.” Dia kemudian memberikan sesuatu kepada pengasuhnya. “Apa yang harus saya lakukan, Tuan?” tanyanya. “Begini, Bu, saya ingin mendapatkan kesempatan untuk membawa putri keluar dari istana.” “Saya akan membicarakannya dengan tuan putri,” katanya, “kemudian memberitahukannya kepadamu.” “Bagus sekali, Bu,” balasnya.
Pengasuh itu pergi menjumpai putri. “Mari saya cari kutu di kepalamu,” katanya. Dia memberikan tempat duduk yang rendah kepada putri dan dia sendiri duduk di tempat duduk yang lebih tinggi, dia meletakkan kepala sang putri di pangkuannya, dan mulai mencari kutu di kepalanya, dengan menggaruk-garuk kepalanya.
Sang putri mengerti keadaannya dan berpikir, “Pengasuhku ini menggaruk kepalaku dengan kuku milik saudaraku, keponakan raja, bukan dengan kuku miliknya.”—“Bu,” tanyanya, “apakah tadi Anda bertemu dengan keponakan raja?” “Ya, Putri.” “Apa yang dikatakannya?” “Dia menanyakan bagaimana dia bisa menemukan jalan untuk membawamu keluar dari istana.” “Jika dia adalah seorang yang bijak, dia pasti akan tahu caranya,” kata putri, dan dia mengucapkan bait pertama, sembari meminta pengasuhnya untuk menghafal dan mengulanginya kembali kepada keponakan raja itu:
Satu tangan yang lembut,
seekor gajah yang terlatih dengan baik,
dan awan hujan yang hitam,
akan memberikan apa yang Anda inginkan.
Pengasuh itu menghafalnya dan kemudian kembali menjumpai keponakan raja. “Bagaimana, Bu, apa yang dikatakan oleh putri?” tanyanya. “Tidak ada, [325] dia hanya menitipkan bait ini kepadamu,” balasnya, dan dia pun mengulanginya. Pemuda itu menerimanya dan kemudian memintanya pergi. Dia mengerti apa maksudnya.
Dia mencari seorang anak laki-laki yang rupawan dan memiliki tangan yang lembut, dan mempersiapkan dirinya. Dia memberikan suap kepada penjaga gajah kerajaan, dan setelah melatih gajah tersebut untuk menjadi tenang, dia pun tinggal bersama dengannya. Kemudian pada satu malam Uposatha yang gelap, persis setelah penggal tengah malam hari, hujan turun dari awan hitam nan tebal. “Ini adalah hari yang dimaksudkan oleh putri,” pikirnya. Dia menunggangi gajah itu dan menempatkan anak tersebut di punggung gajah, kemudian berangkat. Di seberang istana dia mengikat gajahnya pada dinding besar yang ada di halaman istana, dan berdiri di depan sebuah jendela, dalam keadaan basah kuyup.
Kala itu, raja sedang mengawasi putrinya dan membuatnya tidur pada ranjang yang kecil, di hadapannya. Putri berpikir, “Hari ini pemuda itu akan datang!” dan berbaring tanpa berniat untuk tertidur.
“Ayah,” katanya, “saya ingin mandi.” Dengan memegang tangannya, raja membawanya ke jendela (kamar mandi); dia mengangkatnya dan meletakkannya pada sebuah hiasan teratai di luarnya, sembari memegang satu tangannya. Selagi mandi, putri menjulurkan satu tangannya kepada pemuda tersebut.
Pemuda itu melepaskan perhiasan dari tangan sang putri dan memakaikannya ke tangan anak laki-laki yang dibawanya itu, kemudian mengangkat anak tersebut dan meletakkannya di atas hiasan teratai itu di samping sang putri. [326] Putri mengambil tangan anak laki-laki itu dan menempatkannya ke tangan ayahnya, yang kemudian memegangnya dan melepaskan tangan putrinya.
Kemudian putri itu menanggalkan perhiasan dari tangan satunya lagi dan mengenakannya ke tangan anak laki-laki yang satunya lagi, yang kemudian diletakkan ke tangan ayahnya, dan setelahnya pergi bersama pemuda tersebut. Raja pun mengira bahwa anak laki-laki itu adalah putri kandungnya. Ketika dia telah selesai mandi, raja membawanya untuk tidur di kamar tidur kerajaan, menutup pintu, dan menguncinya. Kemudian setelah menempatkan seorang penjaga, dia kembali ke kamarnya sendiri dan berbaring istirahat.
Ketika hari pagi, raja membuka pintu kamar putrinya dan dia melihat anak laki-laki itu di sana. “Apa-apaan ini?” teriaknya. Anak itu memberitahukan kepada raja tentang bagaimana sang putri melarikan diri. Raja pun menjadi lemas. “Bahkan dengan bersama dan memegang tangannya, seseorang tetap tidak bisa menjaga seorang wanita,” pikirnya, “oleh sebab itu, adalah merupakan hal yang tidak mungkin untuk menjaga wanita.” Dan dia mengucapkan bait-bait berikut:
Meskipun lembut tuturan katanya,
tetapi wanita itu seperti sungai,
sulit dipenuhi, selalu tidak puas,
tidak ada yang dapat memuaskan keinginan diri mereka:
Ke bawah, dan terus ke bawah mereka turun:
seorang laki-laki seharusnya lari menghindari wanita
di saat dia mengetahui seperti apa mereka itu.
Siapa saja yang mereka layani demi uang atau demi nafsu,
mereka akan membakar orang itu layaknya minyak di dalam api224.
[327] Setelah berkata demikian, Sang Mahasatwa menambahkan, “Saya harus mendukung keponakanku.” Maka dengan kehormatan yang besar, dia memberikan putrinya kepada orang tersebut dan menjadikannya sebagai wakil raja. Dan sang keponakan mewarisi takhta kerajaan setelah pamannya wafat.
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru memaklumkan kebenaran dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenaran, bhikkhu yang (tadinya) menyesal itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, Aku adalah sang raja.”
Catatan kaki :
224 Bait-bait berikut ini disebutkan di dalam Kitab Komentar:
Ketika wanita memimpin,
orang yang bisa melihat akan kehilangan penglihatannya,
orang yang kuat akan kehilangan kekuatannya,
orang yang berkuasa akan kehilangan kekuasaannya.
Ketika wanita memimpin,
moralitas dan kebijaksanaan akan menghilang:
dalam ketidakwaspadaan para (laki-laki) tawanan
berbaring di dalam penjara.
Seperti perampok jalanan, semuanya akan mereka rampas
dari para korbannya yang malang,
semuanya hanya menjadi lengah;
pemikiran, moralitas, kebenaran dan logika,
pengorbanan diri, dan kebaikan—semuanya.
Bagaikan api yang membakar minyak,
demikian setiap individu yang lengah dibakar
oleh mereka atas ketenaran, kejayaan, akal dan kekuasaan mereka.
Kritik dan saran,hubungi : cs@sariputta.com